• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan bukanlah hal yang baru dibicarakan. Masalah ini sudah beberapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan bukanlah hal yang baru dibicarakan. Masalah ini sudah beberapa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. PERMASALAHAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Kemiskinan bukanlah hal yang baru dibicarakan. Masalah ini sudah beberapa dasawarsa diperbincangkan dan ditelusuri akar masalahnya namun tidak pernah tertuntaskan.1 Kemiskinan masih saja ada dan tetap menjadi pergumulan bangsa-bangsa yang ada di dunia ini termasuk bangsa-bangsa Indonesia. Bahkan masalah inipun menjadi bagian dari pergumulan gereja-gereja. Gereja menghayati hidup dan tugas pengutusannya sebagai alat keselamatan bagi semua. Gereja dengan perkataan dan perbuatan harus melibatkan diri pada pergulatan dan usaha pembebasan manusia terutama bagi mereka yang kecil dan miskin.2 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu tugas gereja adalah memperhatikan mereka yang miskin dan lemah dalam masyarakat.

Gereja ada di tengah-tengah dunia ini dengan tujuan melayani mereka yang miskin dan menderita..3 Dengan demikian gereja memiliki pergumulan serta tanggung jawab untuk memperhatikan kaum yang lemah dan menderita. Yewangoe mempertanyakan tentang kemiskinan kaum miskin. Apakah kemiskinan mereka disebabkan oleh diri mereka sendiri atau oleh kemalasan mereka? Ataukah ada

1

Mukhtar Sarman, ‘Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat’, dalam Prisma 1, Januari 1997, hal. 33.

2

J.B. Banawiratma dan J. Müller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan

Hidup Beriman, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal. 24.

3

Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal. 27.

(2)

2

sesuatu yang terletak di luar kuasa mereka yang membuat mereka tidak mampu mengubah kondisi mereka?4 Sehubungan dengan itu Suseno mengatakan pada dasarnya kemiskinan bukanlah disebabkan karena kesalahan orang miskin itu sendiri, melainkan akibat kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka.5

Pergumulan tentang kemiskinan juga merupakan bagian dari pergumulan gereja-gereja yang ada di pulau Nias. Ketertinggalan dan kemiskinan orang-orang Nias dalam segala hal patut menjadi bahan perhatian. Gereja-gereja yang ada di Nias yang sadar tentang fungsi dan peran konkret yang harus dilakukan dalam pembangunan masyarakat Nias harus bergerak dan melakukan sesuatu. Kesadaraan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang merupakan musuh iman yang harus diperangi dengan didasari pada penghayatan akan Injil yang adalah kekuatan Allah semestinya menjadi modal utama untuk melakukan perubahan.6

Pulau Nias7 sebagai salah satu kabupaten di propinsi Sumatra Utara merupakan pulau yang masih tergolong miskin. Dari 678.347 jumlah penduduk Nias, terdapat sekitar 70 persen masyarakat tergolong miskin.8 Keterpurukan masyarakat Nias yang hampir di semua sektor mulai dari pembangunan fisik, ekonomi hingga masalah sosial memang menjadi salah satu persoalan krusial.

4

A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia: Pandangan-Pandangan Orang Kristen Asia Mengenai

Penderitaan dalam Kemiskinan dan Keberagaman di Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, hal.

11.

5

F. Magnis Suseno, SJ, ‘Keadilan dan Analisis Sosial: Segi-segi Etis’, dalam J.B. Banawiratma, SJ (ed), Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hal. 38.

6

Panitia Seminar dan Lokakarya 2001, Peranan Gereja Dalam Pembangunan Masyarakat Nias:

Laporan Seminar Lokakarya Peranan Gereja-Gereja di Nias Dalam Pembangunan Masyarakat Nias, di Gunungsitoli, Nias, 27 s.d 31 Oktober 2001, hal. iv-vii.

7

Pulau Nias adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat Sumatra Utara. Terletak di antara 0 derajat 12 menit -1 derajat 32 menit Lintang Utara dan antara 97-98 derajat Bujur Timur. Memiliki luas wilayah 5,625 kilometer persegi sekitar atau 7,8 persen dari luas propinsi Sumatera Utara. Di daerah inilah hampir keseluruhan warga BNKP berdomisili.

8

(3)

3

Menangani persoalan ini membutuhkan keseriusan dan keikutsertaan semua pihak baik aparat pemerintah, dan para penganut agama maupun masyarakat Nias itu sendiri.

Sebelum terjadinya gempa bumi, masyarakat Nias sebagian besar mengandalkan hasil pertanian. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh tidak dapat memenuhi swasembada pangan. Hal ini terbukti ketika kabupaten ini masih mendatangkan beras dari luar daerah. Selain bertani, masyarakat Nias juga mengandalkan hasil perkebunan seperti karet, kelapa, kopi, cengkeh dan nilam. Namun tingkat pengolahannya masih bersifat tradisional, di samping belum ada investor yang berminat menanam modal dan mendirikan pabrik berskala besar untuk mengolah hasil perkebunan. Selain itu sarana dan prasarana jalan masih sulit dan belum berhasil tembus ke daerah-daerah sentra produksi.9

Letak geografis daerah Nias yang terisolir mengakibatkan sulitnya melakukan perjalanan menuju ibu kota propinsi, Medan. Dibutuhkan waktu satu hari satu malam dari kota Gunung Sitoli ke Medan melalui perjalanan laut dan darat, atau dengan menggunakan pesawat kecil yang rute penerbangannya hanya dua kali seminggu.10

Setelah gempa bumi terjadi, kemiskinan semakin mencolok karena sebagian besar lahan pertanian menjadi rusak. Gempa yang berkekuatan 8,7 skala Richter yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 telah menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Nias. Kondisi Nias semakin parah dan mengalami keterpurukan dalam berbagai hal. Banyak orang kehilangan tempat tinggal. Sawah

9

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/27/nasional/kabu08.htm, 28 September 2005.

10

Octhavianus Harefa, ‘Gereja Lokal Dan Dampak Globalisasi: studi Kasus Dalam Langkah-langkah Pembangunan Jemaat’, dalam Octhavianus Harefa (editor), Gereja dan Globalisasi: Percikan

(4)

4

dan tanaman perkebunan sebagai sumber pencaharian masyarakat rusak. Gedung-gedung perkantoran, sekolah dan unit-unit pelayanan kesehatan pun banyak yang rusak bahkan ada yang hancur berantakan. Lebih menyedihkan dan mengerikan lagi ketika banyak manusia yang menjadi korban, sehingga banyak orang yang kehilangan anggota saudara, sahabat ataupun kenalan, entah karena tertimbun reruntuhan bangunan, ataupun karena tertimbun tanah longsor. Semuanya meninggalkan duka yang mendalam, bahkan pengalaman traumatis yang menyedihkan. Sampai saat ini mereka tidak mampu untuk memulai hidup yang baru dengan kondisi yang begitu parah. Mereka sepenuhnya tergantung pada uluran tangan orang lain yang peduli akan penderitaan mereka.

Gereja pun tidak luput dari kondisi di atas. Diperkirakan 1.678 gereja yang mengalami kerusakan total. Warga gereja bahkan para pendeta mengalami kesedihan serta trauma yang dalam. Di satu sisi mereka menyadari bahwa bencana ini merupakan cobaan iman dari Tuhan supaya mereka lebih dekat lagi kepada-Nya. Namun pada sisi lain, mereka bingung dan mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Kebingungan mereka nampak dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan: Apakah Tuhan adalah penghukum atau Tuhan yang pengasih. Jika Tuhan adalah penghukum, mengapa hukuman yang Ia timpakan begitu besar, bahkan sangat banyak merenggut jiwa manusia? Di manakah kasih-Nya kepada manusia? Mengapa Ia mengizinkan peristiwa yang begitu tragis menimpa umat-Nya? Mengapa Ia tidak menyelamatkan manusia yang adalah ciptaan tangan-Nya? 11

11

Gustav G. Harefa, ‘Peran Pemuda Diantara Natal, Keprihatinan Sosial dan Pembaruan Gereja’ dalam Gustav G. Harefa (ed), Natal Diantara Keprihatinan Sosial dan Pembaruan Gereja Dalam

(5)

5

Yang lebih membingungkan lagi ketika gempa dan tsunami yang melanda sebagian daerah Nias pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi di saat orang kristen merayakan Natal yang kedua. Di saat gema sukacita akan kelahiran Yesus Kristus sang Juruslamat masih diperdengarkan. Sukacita Natal berubah menjadi kesedihan, penderitaan dan air mata. Mereka bertanya mengapa Tuhan melakukan semua ini?

Demikian pula ketika gempa tanggal 28 Maret 2005 terjadi sehari setelah orang kristen merayakan Paskah yang merupakan hari kemenangan Kristus atas kuasa kematian. Berita akan kuasa Kristus yang telah menang mengalahkan kuasa maut seakan hilang begitu saja. Orang-orang kristen semakin bingung dengan keberadaan Allah yang demikian. Refleksi-refleksi teologis yang menguatkan iman mereka sepertinya tidak mampu menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan12

Sampai saat ini masyarakat masih belum berani untuk membangun kembali rumah mereka. Selain karena masih adanya gempa-gempa susulan, juga karena adanya isu bahwa tsunami akan muncul dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Di samping itu, mereka juga tidak memiliki uang untuk membangun rumah yang baru. Apalagi ditambah dengan tidak diberikannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta tata ruang Nias pasca gempa bumi belum selesai dan rencana induk rekonstruksi Nias belum ada.13 Akibatnya mereka lebih betah tinggal dalam tenda-tenda. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat Nias semakin terpuruk dalam kemiskinan.

12

Triannasari Lömbu, ’Hikmah di Balik Bencana (Belajar Dari Gempa bumi di Pulau Nias 28 Maret 2005)’, dalam Gustav G. Harefa (ed), Natal Diantara Keprihatinan Sosial dan Pembaruan Gereja

Dalam Perspektif Pemuda, (Untuk kalangan sendiri), 2005, hal. 35-36.

13

.Jhon I. Tarigan, dalam www.niasisland.com yang berjudul Resiko Bencana Gempa dalam

(6)

6

Gereja Banua Niha Keriso Protestan yang selanjutnya disebut BNKP di distrik BNKP Awa’ai yang terletak di desa Hilimbosi, juga mengalami hal yang sama. Di distrik ini terdapat 157 rumah penduduk hancur total, 66 rumah rusak berat dan 39 rumah rusak ringan.14 Sebagian besar dari mereka kehilangan sumber mata pencaharian sebab tanaman coklat dan karet mereka rusak karena hanyut dibawa oleh air atau terendam oleh air. Kalau pun masih ada yang tersisa hasilnya tidak maksimal seperti hasil yang diperoleh sebelum gempa.

Di samping itu, mereka mengalami goncangan iman. Dalam kekalutan, kepanikan dan ketakutan, mereka merasa tidak memililiki tempat perlindungan. Akhirnya mereka hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Hal ini nampak dalam setiap kata-kata yang mereka ucapkan, atau juga dalam doa-doa yang mereka panjatkan kepada Tuhan. Kata-kata tolo So’aya (tolong Tuhan) merupakan kata-kata yang senantiasa terucap dari bibir mereka.

Mencermati kondisi di atas maka secara moral kita berkewajiban untuk menghilangkan kemiskinan karena pertama, kemiskinan membuat orang menderita; kedua, kemiskinan mencegah seseorang untuk mengembangkan kemanusiaannya secara utuh; ketiga, kemiskinan untuk sebagian besar adalah akibat dari ketidakadilan sosial.15 Terlebih-lebih peristiwa gempa yang melanda Nias beberapa waktu yang lalu telah menjadikan orang-orang Nias semakin miskin dan menderita. Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam. Bencana yang tidak mereka inginkan dan datang secara tiba-tiba tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bersiap-siap menyelamatkan diri maupun barang-barang yang mereka miliki. Peristiwa itu telah

14

Hasil wawancara dengan pendeta Poltak Zandroto, Awa’ai, Minggu, 29 Januari 2006.

15

F. Magnis Suseno, SJ, ‘Keadilan dan Analisis Sosial: Segi-segi Etis’, dalam J.B. Banawiratma, SJ (ed), Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hal. 38-39.

(7)

7

meluluhlantakkan seluruh sendi-sendi kehidupan mereka. Sekarang yang dirasakan hanyalah kepedihan serta trauma yang berkepanjangan. Keadaan inilah yang menyebabkan kita prihatin terhadap penderitaan yang kini mereka alami.

Alkitab Perjanjian Lama (PL) maupun perjanjian Baru (PB) juga menampilkan sosok orang miskin. Dalam PL orang miskin selalu dihubungkan dengan Allah. Allah memperhatikan, melindungi, dan membela orang miskin dan malang. Mereka adalah orang yang miskin secara material, fisik. Allah berbelas kasih terhadap orang miskin, orang lemah, anak yatim piatu, para janda dan pengungsi. 16

Pada tradisi awal dalam PB orang miskin hampir disamakan dengan orang sakit (band Matius 11:2-5) dan kemiskinan sinonim dengan orang lapar dan yang meratap (band Lukas 6:20 dst). Di sini orang miskin tidak perlu mengemis dengan bersusah payah karena secara ekonomis mereka sepenuhnya tergantung pada orang lain. Tetapi pada pengertian lain dapat juga disebut sebagai orang-orang yang terpaksa lapar melebihi pengemis: buruh-buruh yang menganggur, buruh pelarian atau yang kehilangan tempat tinggal karena tekanan ekonomi seperti para petani kecil yang tergantung pada ekonomi yang tidak menentu, karna biaya yang besar, gagal panen atau juga karena utang.17

Yesus sendiri mengidentikkan diri dengan orang miskin dengan mengatakan: “Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku

16

J.B. Banawiratma dan J. Müller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan

Hidup Beriman, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal. 132.

17

Luise Schottroff dan Wolfgang Stegemann, Jesus and the Hope of the Poor (trans, by Matthew J. O’connell), New York: Orbis Books, 1986, hal. 16.

(8)

8

(Matius 25:45). Keprihatinan Yesus ini hendaknya menjadikan kita senantiasa berpedoman pada tindakan Yesus sendiri untuk memperhatikan mereka yang telah terabaikan dalam masyarakat.

Demikian pula gereja memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan mereka yang miskin dan lemah. Dalam Tata Gereja BNKP pada Bab II pasal 7 dituliskan tujuan BNKP adalah menyaksikan Injil Yesus Kristus kepada semua makhluk bagi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia (Markus 16:15).18 Berdasarkan tujuan ini, BNKP melakukan tugas panggilannya dalam Tri Tugas Panggilan Gereja, yakni Marturia, Koinonia dan Diakonia.19 Diakonia sebagai salah satu bagian dari tri panggilan BNKP dipahami sebagai pelayanan untuk membebaskan manusia dari segala kemiskinan, kebodohan, kemelaratan, penyakit, kelemahan, ketidakadilan dan segala bentuk keterbelakangan dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus Kristus.20

Distrik BNKP Awa’ai yang merupakan bagian dari BNKP secara menyeluruh juga memahami tugas dan panggilannya sebagai gereja yang ada di tengah-tengah dunia ini. Gereja hadir untuk melakukan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Terlebih-lebih untuk kondisi jemaat yang sedang mengalami trauma akibat gempa. Pelayanan diakonia sangatlah memegang peranan yang penting untuk mendampingi, menguatkan warga jemaat yang menjadi korban bencana.

18

Tata Gereja BNKP, (Untuk kalangan sendiri), 1990, hal. 6.

19

Program Umum Pelayanan BNKP (PUPB) 2002-2007, BPHMS (Badan Pekerja Harian Majelis Sinode) – BNKP (Banua Niha keriso Protestan), hal. 1. Tri Tugas Panggilan Gereja kemudian dijabarkan lagi dalam 5 bidang program yaitu: Marturia (kesaksian), Didaskalia (pendidikan, pengajaran dan pembinaan), Koinonia (persekutuan), Diakonia (pelayanan pengasihan), dan Oikonomia (pelayanan pembangunan).

20

(9)

9

Pelayanan diakonia dipahami sebagai bantuan yang diberikan kepada mereka yamg miskin seperti janda dan yatim piatu. Akibat dari pemahaman yang demikian maka gereja lebih terfokus pada pemberian bantuan secara material. Hal itu terbukti pada pemberian bantuan kepada orang miskin pada saat Natal atau hari-hari Raya Gerejawi lainnya. Pemberian bantuan yang sifatnya karitatif ini biasanya diberikan dalam bentuk uang ataupun barang. Pemberian ini diberikan dari tahun ke tahun. Kesadaran bahwa orang miskin memerlukan bantuan yang lebih dari sekedar pemberian bantuan tiap tahun kurang dipedulikan oleh gereja. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pilihan untuk mendahulukan orang miskin (preferential option for the poor) tidak dianggap sebagai hal yang urgen. Akibatnya persoalan ini menjadi persoalan yang tidak diupayakan solusinya. 21

Pada saat gempa, gereja hanya mampu untuk berdoa dan mencoba memberi makna teologis terhadap peristiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan karena gereja sendiri juga menjadi korban gempa. Gereja tergantung sepenuhnya pada bantuan yang datang serta penguatan iman dari para relawan yang melakukan kebaktian kebangunan rohani (KKR). Namun hal ini sifatnya hanya sesaat saja. Dengan demikian keadaan yang seperti ini dapat menghambat pembangunan jemaat. Pembangunan jemaat yang diartikan sebagai campur tangan aktif sistematis dan metodis dalam tindak tanduk jemaat beriman yang bertanggung jawab penuh pada perkembangan menuju persekutuan yang mengantarai keadilan dan kasih Allah, dan yang terbuka terhadap masalah manusia masa kini,22 hendaknya menjalankan dan

21

Program Umum Pelayanan BNKP (PUPB) 2002-2007, BPHMS (Badan Pekerja Harian Majelis Sinode) – BNKP (Banua Niha keriso Protestan), hal. 13.

22

P.G. van Hooijdonk, Batu-Batu Yang Hidup: Pengantar ke Dalam Pembangunan Jemaat, Teopraksis, Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 1996, hal. 32.

(10)

10

memprogramkan tindakan-tindakan yang sistematis dan metodis untuk mengubah situasi.23 Tindakan-tindakan ini tentunya untuk menjadikan gereja menjadi vital dan menarik. Oleh karena itu, gereja sebagai persekutuan orang beriman mengambil bagian dalam diakonia termasuk di dalamnya kepada mereka yang miskin.24

Dalam upaya membangun jemaat, pemberdayaan komunitas basis perlu diberlakukan. Ketika gereja semakin menyadari tugas dan panggilannya menjadi sakramen, tanda dan sarana keselamatan umat manusia di tengah masyarakat, komunitas basis sebagai suata cara menggereja yang baru dapat dikembangkan dan diberdayakan.25 Komunitas Basis Gerejawi, karena tumbuh pada tataran akar rumput dalam wilayah geografis yang sama dan sempit, berpeluang mewujudkan iman secara kontekstual dan lokal, menjawab persoalan sehari-hari yang bukan saja dihadapi oleh komunitas gerejawi, melainkan lebih luas dari itu persoalan masyarakat setempat. Di sinilah Gereja menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan dan bahkan menjadi sarana keselamatan bagi dunia.26

1.2. RUMUSAN MASALAH

Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini membantu penulis untuk merumuskan masalah yang akan diuraikan dalam tesis ini:

1. Apa itu kemiskinan di Distrik BNKP Awa’ai di Nias sekarang? 2. Mengapa kemiskinan terjadi?

23

Rob van Kessel, 6 Tempayan Air: Pokok-pokok Pembanguan Jemaat, Seri Pembangunan Jemaat, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal. 26.

24

Roger Weverbergh, ‘Gambaran-Gambaran Gereja’, dalam Seri Pastoral 289, Bidang Pembangunan Jemaat, Yogyakarta, Pusat Pastoral Yogyakarta, 1998, hal. 12.

25

A. Margana, Komunitas Basis: Gerak Menggereja kontekstual, Yogyakarta, Kanisius, 2004, hal. 17-18.

26

(11)

11

3. Bagaimana warga jemaat di Distrik BNKP Awa’ai memahami Allah dalam kondisi mereka sekarang ini?

4. Bagaimana peran para pendeta terhadap orang-orang miskin?

5. Dalam upaya pembangunan jemaat, apa yang mesti dilakukan agar pemberdayaan terhadap orang miskin dapat tercapai?

1.3. BATASAN MASALAH

Mengingat kajian tentang kemiskinan terlalu luas maka penulis membatasinya dengan mengkaji kemiskinan yang dialami oleh warga distrik BNKP Awa'ai.

1.4. HIPOTESIS

Penulis mencoba membuktikan beberapa hal dalam tesis ini:

1. Kemiskinan di distrik BNKP Awa’ai disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: faktor ekonomi (kebutuhan pangan, sandang, papan), kurangnya kepedulian pemerintah Provinsi dan Kabupaten, faktor sosio-budaya (berkaitan dengan upacara pernikahan), faktor pendidikan, bencana alam, serta pemahaman teologi yang keliru.

2. Dalam memahami Allah, warga jemaat lebih cenderung pasrah menerima keberadaan hidup mereka karena mereka menganggap bahwa semua hal yang terjadi adalah kehendak Tuhan.

(12)

12

3. Peran gereja dalam hal ini para pendeta yang lebih memberi perhatian pada struktur gereja yang terlalu kaku sehingga perhatian terhadap kaum miskin kurang diutamakan.

4. Gereja masih belum sepenuhnya menjadi motivator, fasilitator, dan mediator bagi warga jemaat dalam membangun kehidupan mereka.

2. JUDUL

2.1. RUMUSAN JUDUL

KAUM MISKIN ADA DI ANTARAMU (Pemberdayaan Jemaat Pasca Gempa Bumi di Distrik BNKP Awa'ai)

2.2. ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Tesis ini berawal dari pergumulan penulis selama ini sebagai pelayan di BNKP yang sangat prihatin kemiskinan jemaat-jemaat. Kesempatan untuk studi lanjut dan menulis tesis tentang pemberdayaan kaum miskin merupakan peluang bagi penulis untuk memberikan sumbangan pikiran bagi gereja-gereja yang ada di Nias pada umumnya, dan BNKP secara khusus. Mengingat kondisi jemaat sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Kedahsyatan gempa bumi telah menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan warga jemaat. Untuk membangun jemaat harus dimulai dari awal dan dengan konsep yang jelas, agar jemaat dapat terpulihkan kembali. Harapan penulis kiranya tesis ini memberikan setitik harapan bagi setiap pembaca terutama gereja-gereja di Nias dan juga gereja lain yang pernah mengalami

(13)

13

bencana agar tidak larut dalam kesedihan dan penderitan, tetapi melangkah maju memperbaiki keadaan hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya.

3. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian, penulis memakai dua metode yang pertama metode penelitian literatur yang menggunakan buku-buku sebagai bahan acuan terhadap teori yang akan dipakai. Pada penelitian literatur ini, penulis menguraikan persoalan yang ada kemudian membandingkannya dengan teori tentang kemiskinan. Perbandingan ini bertujuan untuk mengesahkan teori yang sudah ada sebelumnya atau membantah teori yang sudah ada. Dengan kata lain, ingin dibuktikan masih relevan atau tidaknya teori yang sudah pernah ada. Penelitian ini juga dipakai untuk mendapatkan sumber-sumber yang dapat membantu penulis untuk memahami dan menganalisa persoalan yang ada. Dalam menganalisa masalah, penulis memakai teori analisis sosial. Di sini penulis menganalisa data dengan bertitik tolak pada tiga aspek yaitu aspek ekonomi, politik dan sosio-budaya.27

Metode kedua adalah metode penelitian lapangan dengan melakukan observasi partisipatif dan wawancara kepada beberapa responden. Pada penelitian lapangan penulis melakukan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan 3 cara. Pertama, observasi; peneliti harus dapat diterima dengan baik oleh para responden. Kedua, wawancara-mendalam sehingga memperoleh data atau informasi yang rinci. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa curiga atas kehadiran peneliti. Ketiga, memeriksa dokumentasi yang berupa informasi yang berasal dari catatan penting

27

J.B. Banawiratma dan J. Müller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan

(14)

14

baik dari lembaga atau organisasi maupun perorangan.28 Selanjutnya penulis menggunakan perspektif emik, yaitu memaparkan data dalam bentuk deskripsi menurut bahasa dan cara pandang para responden.29 Pada akhirnya, penulis melakukan analisis terhadap seluruh data yang telah diperoleh.

4. SISTEMATIKA Bab I : Pendahuluan

Bab ini dibagi menjadi empat poin yaitu: pertama, permasalahan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, dan hipotesa. Kedua, judul yang terdiri dari rumusan judul dan alasan pemilihan judul. Ketiga, metode penulisan dan keempat sistematika penulisan.

Bab II : Kondisi dan Permasalahan distrik BNKP Awa'ai

Bab ini berisi deskripsi, uraian-uraian tentang hasil penelitian yang dibagi atas empat bagian besar yaitu gambaran umum distrik BNKP Awa’ai, kemiskinan di distrik BNKP Awa’ai, wajah Allah dalam pemahaman warga jemaat BNKP Awa’ai dan peran Pendeta terhadap orang miskin.

Bab III : Kemiskinan dan Analisisnya

Teori kemiskinan yang penulis pakai dalam tesis ini akan dijelaskan dalam bab ini. Kemudian, seluruh data-data yang diperoleh, yang telah dipaparkan pada bab II, akan di analisis pada bab ini. Di sini penulis mencari sebab-sebab kemiskinan dengan melihat kaitan antara data yang satu dengan yang lain.

28

Hamadi, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan

Penelitian, Malang, UMM, 2004, hal. 72.

29

(15)

15

Bab IV : Refleksi Teologis

Bab ini berisi uraian teologi yang berbicara tentang kemiskinan dan refleksi terhadap gempa bumi. Apa kata Allah melalui Alkitab tentang penderitaan dan kemiskinan berkaitan dengan kondisi warga jemaat distrik BNKP Awa'ai sekarang akan diulas dalam bagian ini.

Bab V: Pemberdayaan Kaum miskin

Bab ini berisi gagasan terhadap tindakan-tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk membangun jemaat kembali. Bab ini lebih mengarah pada strategi dalam upaya pembangunan jemaat.

Bab VI : Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan pengolahan data, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Potensi energi laut yang memungkinkan untuk dikembangkan di

Untuk memperoleh informasi tentang kemampuan-kemampuan yang dapat dikembangkan pada keterampilan proses sains melalui MPP D–E–H ini maka digunakan subyek penelitian dari

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif dimana realita akan pengimitasian budaya pop Korea melalui televisi yang

• Pemilihan state berdasarkan aturan seleksi alam yang diterapkan pada state collection (sering disebut sebagai populasi).. Pencarian

Masa berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering and hunting period) adalah masa dimana cara manusia purba mengumpulkan makanan-makanan yang dibutuhkan

Metode yang dilakukan dalam penulisan buku adalah Metode Survei yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang penulis lakukan di Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Batang Kabung Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dengan

Menurut Mullins, Walker, Larreche, dan Boyd (2005, p422), apabila perusahaan ingin mempertahankan keunggulan kompetitifnya dalam pasar, perusahaan harus dapat mengerti