• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan pencucian uang atau dalam bahasa Inggris disebut money

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan pencucian uang atau dalam bahasa Inggris disebut money"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kejahatan pencucian uang atau dalam bahasa Inggris disebut money laundering merupakan salah satu kejahatan yang berkembang pesat seiring dengan peradaban manusia. Dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan pencucian uang sedemikian besar dan luas, sehingga menjadikannya sebagai salah satu tantangan internasional.1

Sifat dasar tindak pidana pencucian uang itu sendiri secara umum adalah berupaya memperoleh keuntungan keuangan dari tindak pidana yang dilakukannya. Sementara, pelaku tindak pidana berupaya untuk menjadi sosok yang baik dan tidak ada seorangpun yang diharapkannya beranggapan bahwa dirinya telah melakukan tindak pidana. Untuk itulah, pelaku tindak pidana akan selalu melakukan berbagai upaya agar keuntungan ataupun dana yang diperoleh dari hasil tindak pidana dapat dinyatakan berasal dari aktivitas yang legal.2 Tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, tidak hanya melalui sistem keuangan, investasi lansung tetapi juga disembunyikan dalam bentuk harta benda seperti properti, kendaraan, perhiasan dan lain sebagainya.3

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan dewasa ini, banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang mengingat sektor inilah yang banyak menawarkan jasa instrumen

1Yusup Saprudin, Money Laundring (kasus L/C fiktif BNI 1946), Jakarta : Pensil-324, 2006, hal.1.

2Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di

Pasar Modal, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2010, hal.3.

(2)

dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang pada umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.4

Kegiatan money laundering hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui batas negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang oleh bank pada dasarnya merupakan penyimpangan dari tradisi memegang teguh rahasia bank. Terdapat suatu prinsip yang berlaku secara universal yang menyatakan larangan kepada bankir untuk memberikan informasi tentang nasabahnya kepada pihak ketiga termasuk kepada otoritas yang berwenang, kecuali dimungkinkan oleh undang-undang yang berlaku.5

Cara pencucian uang yang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara illegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit adalah guna menyulitkan pihak berwenang untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling

4Muammar Zia Nasution, “Analisis Yuridis Peran Dan Tanggung Jawab PPATK Sebagai

Intelligence Unit Dalam Sistem Perbankan Indonesia, dalam Jurnal Hukum Ekonomi”, Vol.1,

No.2, 2013, hal.2. 5

Erdiansah, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Bentuk Peranan Bank

Dalam Mengantisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) TBK Cabang Pekanbaru”, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3, No.1,

(3)

disukai karena kerumitannya dan daya jangkauanya menembus batas-batas yuridiksi. Kerumitan inilah yang merupakan kekhususan dari tindak pidana pencucian uang yang kemudian dimanfaatkan para pelaku guna melakukan tahap proses pencucian uang.

Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin kompleks, melintasi batas yuridiksi, menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga keuangan di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah keberbagai sektor. Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak untuk melakukan pengenalan, pencegahan, dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang.6

Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang disuatu negara, antara lain:7 Globalisasi sistem keuangan, kemajuan di bidang teknologi, ketentuan rahasia bank yang sangat ketat, penggunaan nama samaran atau anonim, penggunaan electonic money ( e-money), praktik pencucian uang secara layering, berlakunya ketentuan hukum terkait kerahasiaan hubungan antara lawyer dan akuntan dengan kliennya masing-masing, serta pemerintah di suatu negara kurang bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan.

Selain itu, tindakan pencucian uang juga sangat berdampak negatif secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian suatu negara. Adapun dampak-dampak negatif pencucian uang ialah:8

1. Menghambat sektor swasta yang sah

6Juni Sjafrein Jahja, Melawan Money Laundering, Jakarta : Visimedia, 2012, hal.14. 7Ibid.,hal. 70.

(4)

2. Menghemat integritas pasar-pasar keuangan

3. Hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi 4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi

5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak 6. Merusak reputasi negara

7. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi

Berbagai dampak tersebutlah yang membuat negara-negara di dunia dan organisasi internasional sangat memperhatikan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan ini. Upaya memberantas pencucian uang, pada awalnya dilakukan secara bilateral diantara negara yang menjadi tempat asal dana kejahatan dengan negara yang diduga menjadi tempat pencucian uang. Dalam perkembangannya, pemberantasan pencucian uang secara bilateral dirasakan tidak memadai dan efektif, sehingga perlu diperluas ke tingkat multilateral.

Kerja sama multilateral dimaksudkan untuk mempersempit dan membuka blog spot wilayah-wilayah anti pencucian uang dimana pun di dunia ini. Pada saat ini, pencucian uang atau money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan tantangan internasional. Semua negara sepakat, bahwa pencucian uang merupakan suatu tidak kejahatan yang harus dihadapi dan diberantas melalui kerjasama antar negara.9

Secara yuridis untuk menanggulangi tindak pidana pencucian uang di Indonesia diawali dengan diundangkannya undang-undang nomor 15 tahun 2002, yang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang dan kemudian diubah dengan undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

(5)

Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU).10 Bersamaan dengan disahkannya undang-undang nomor 15 tahun 2002 pada tanggal 17 April 2002 telah dibentuk suatu lembaga yang dimaksudkan sebagai upaya Indonesia ikut serta bersama dengan negara-negara lain dalam memberantas kejahatan lintas negara yang terorganisir seperti terorisme dan pencucian uang, lembaga yang dimaksud ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disebut PPATK).11

PPATK adalah lembaga yang independen yang dalam melaksanakan tugasnya yaitu dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam menjaga ke independenannya, ketentuan mengenai PPATK dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang melarang setiap orang untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Di sisi lain, PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun.12 Penanggulangan tindak pidana pencucian uang, merupakan tugas yang berat bagi PPATK, terutama untuk medeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana lanjutannya. Sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan mekanisme yang sistematis dan kompherensif, yang mencangkup pendeteksian dan proses hukum.

10

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan

Terorisme, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti,2004, hal.153.

11Yusup Saprudin,Op.Cit., hal.54. 12Juni Sjafrein Jahja, Op.Cit., hal 15.

(6)

Tugas pokok PPATK adalah membantu aparatur penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Laporan tersebut dianilisis oleh PPATK, pihak pelapor yang dimaksud adalah Penyedia Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PJK) baik itu PJK bank maupun PJK non-bank, PPATK berkewajiban untuk membuat pedoman bagi PJK dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan yang mencurigakan.13

Tujuan pedoman tersebut adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai anti money laundering yang dapat digunakan sebagai acuan bagi setiap PJK termasuk PJK bank untuk membantu mendeteksi kegiatan pencucian uang. Selain itu juga untuk memberikan pemahaman yang sama kepada setiap penyedia jasa keuangan atau pihak yang yang terkait dalam penanganan tindak pidana pencucian uang.14

Banyaknya kesulitan yang dialami PJK dalam mendeteksi ketidakwajaran transaksi keuangan pengguna jasa atau nasabah membuat PPATK perlu menetapkan suatu aturan yang berkenaan dengan identifikasi terhadap transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK sehingga PJK mempunyai pedoman dalam mengidentifikasi transaksi yang berindikasi transaksi keuangan mencurigakan. Sehubungan dengan hal tersebut PPATK telah mengeluarkan peraturan mengenai

pedoman tersebut yaitu Keputusan Kepala PPATK Nomor:

13Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung : BooksTerrace & Library, 2008, hal.471.

(7)

2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan. Pedoman ini dikeluarkan dalam rangka memberikan pemahaman dan acuan bagi setiap PJK termasuk PJK Bank tentang bagaimana melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan dengan tepat.15 Namun, peraturan tersebut dianggap tidak sesuai lagi dengan standar internasional yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF) dan belum mencangkup perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, khususnya dengan bertambahnya pihak pelapor baru. Dengan demikian PPATK memandang perlu untuk menyempurnakan peraturan pedoman mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK yang mengakomodir perubahan ketentuan dan perkembangan tipologi pencucian uang.

Peraturan yang telah dibuat oleh PPATK sebagai upaya penyempurnaan pedoman tersebut ialah Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan dalam artian peraturan ini berlaku bagi PJK secara keseluruhan baik untuk PJK bank maupun PJK non-bank. Dengan adanya peraturan tersebut dimaksudkan agar PJK dapat memberikan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang lebih berkualitas kepada PPATK.16 Sehingga akan

15

Ibid.,hal.504.

13Penjelasan umum Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014.

(8)

mempermudah PPATK dalam menjalankan tugasnya yaitu untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Hal inilah yang mendorong Penulis untuk membahas tentang “Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang‟‟.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ?

2. Bagaimana identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan bank ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Setiap karya ilmiah memiliki tujuan, yang akan diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah antara lain :

1. Untuk mengetahui mengenai upaya yang dilakukan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Untuk mengetahui secara garis besar mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK khususnya PJK Bank.

(9)

3. Untuk mengetahui tata cara identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK khususnya PJK Bank sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh PPATK.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi, sumbangan pemikiran serta untuk menambah khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan untuk memberikan informasi, sumbangan pemikiran serta menambah khasanah tentang identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh PJK Bank berdasarkan UU TPPU dan berdasarkan peraturan yang dibuat oleh PPATK sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang pada khususnya. Sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh PPATK dengan membuat peraturan tentang identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK bank pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat mengenai pentingnya identifikasi transaksi keuangan mencurigakan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan perannya dalam mencegah dan

(10)

memberantas tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan pemberian informasi tentang adanya transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi tindak pidana pencucian uang kepada PPATK.

2. Untuk memberikan masukan bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme kerjanya dalam upaya membantu PPATK dalam memberantasan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, maupun media elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht.17 Dalam KUHPid ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) tidak diberikan defenisi terhadap istilah tindak pidana

17Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal.24.

(11)

atau strafbaarfeit. Karenanya, para penulis hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam undang-undang, antara lain dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ).18

Menurut Moeljatno, pengertian hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:19

1. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

2. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Mengenai definisi dari tindak pidana ada 2 (dua) pandangan yang berbeda dari para sarjana yakni pandangan dualisme dan pandangan monisme. Pertama, Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Salah satu sarjana terkenal penganut pandangan ini adalah Moeljatno.20

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada

18

Frans Maramis, Hukum Pidana umum dan tertulis di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal.57.

19Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal.1. 20Adami Chazawi,Op.Cit.,hal.72.

(12)

perbuatannya (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).21

Kedua, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Salah satu sarjana terkenal yang menganut pandangan ini adalah Simon.22

Simon merumuskan strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena:23 1. Untuk adanya suatu srafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu

tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh Undang- Undang.

3. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

Suatu perbuatan dapat dikatan sebagai suatu perbuatan pidana tentunya ada unsur-unsur dari suatu yang dikatakan tindak pidana telah dilakukan oleh yang bersangkutan. Adapun unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut.

a. Unsur Objektif

21Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal.7. 22Adami Chazawi, Op.Cit., hal.75.

(13)

Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : (1) Sifat melanggar hukum, (2) Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sabagai akibat.24

b. Unsur Subjektif

Unsur subjektif ialah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :25

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan ( dolus atau culpa).

2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut azas yang dinamakan azas legalitas (principle of legality), yakni suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Dalam bahasa latin, berbunyi: Nullum delictum nulla poena sine previa legi

24Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers, 2102, hal.50. 25Ibid.,hal.51.

(14)

poenalli (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu).26

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Tidak ada defenisi yang seragam dan komprehensif meneganai pencucian uang atau money laundering. Masing-masing negara memiliki defenisi mengenai pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan menurut hukum negara yang bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, dan negara-negara maju mempunyai defenisi sendiri mengenai pencucian uang berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda, tetapi semua negara sepakat, bahwa pemberantasan pencucian uang sangat penting untuk melawan tindak pidana yang bekenaan dengan tindak pidana pencucian uang.27 Terdapat beberapa pengertian tentang pencucian uang (money laundering), namun secara umum pengertian atau defenisi tersebut tidak jauh berbeda satu sama lain. Departemen Perpajakan Amerika Serikat ( tahun 1960) mendefenisikan bahwa:

Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang, yang secara akal sehat dipercayai berasal dari tindak pidana, yang dialihkan, ditukarkan, atau disatukan dengan dana yang sah, dengan tujuan untuk menutupi ataupun mengaburkan asal, sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun kepemilikan dari proses tersebut.

Tujuan dari proses pencucian uang adalah membuat dana yang berasal dari atau diasosiasikan dengan kegiatan yang tidak jelas menjadi sah.28 Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2003, hal.2.

27Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Op.Cit., hal.10.

(15)

bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal, dengan demikian asal uang itu pun tertutupi.29

Dalam Black’s Law Dictionary, istilah Money Laundering diartikan : Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drung transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that it’s original sources can not be traced. Money laundering is a federal crime.

Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang adalah penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang illegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui/dilacak.30

Tidak jauh berbeda dengan pengertian itu, Sarah N.Welling mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh seseorang menyembunnyikan keberadaan, sumber ilegal atau aplikasi ilegal dari pendapatan dan kemudian menyamarkan pendapatan itu menjadi sah. Sarah N. Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu proses mengaburkan, menyembunyikan uang-uang ileegal melalui sistem keuangan sehingga ia akan muncul kembali sebagai uang yang sah.31

Berdasarkan pengertian money laundering yang terdapat di dalam Black’s Law Dictionary diatas, secara umum yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang adalah sebagai berikut :32

29Philips Darwin, Money Laundering- Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal

Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2002, hal.9.

30Black’s Law Dictionary dalam Juni Sjafrein Jahja, Op.Cit., hal. 4. 31Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Log.Cit.

(16)

a. Adanya uang (dana) yang merupakan hasil yang illegal.

b. Uang haram tersebut diproses dengan cara-cara tertentu melalui kelembagaan yang legal (sah).

c. Dengan maksud menghilangkan jejak, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat atau sulit diketahui dan dilacak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan perundang-undangan tersebut, dan telah disempurnakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, menyebutkan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dengan ketentuan dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang-undang ini. Hal-hal yang tergolong dan dimasukkan sebagai hasil tindak pidana pencucian uang dapat ditemukan dalam pasal 2 ayat (1) yang dikenal sebagai tindak pidana asal.33 Dari beberapa defenisi dan penjelasan mengenai tindak pidana pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah: “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara lain dan terutama memasukkan

(17)

uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.34

3. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan

Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Sedangkan Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.35

Undang-undang tindak pidana pencucian uang menggunakan istilah “Transaksi Keuangan Mencurigakan”, istilah “mencurigakan” memiliki konotasi bahwa transaksi keuangan tersebut seolah-olah sudah pasti terkait dengan tindak pidana sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan istilah transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan dan tidak wajar dan selalu terkait dengan tindak pidana tertentu.

Istilah “transaksi keuangan mencurigakan” atau suspicious transaction dalam terminologi anti pencucian uang digunakan pertama kali oleh the Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dalam the Forty Recomendations tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam prakteknya setiap negara dapat menggunakan istilah yang berbeda. Istilah yang digunakan tidak hanya „transaksi keuangan mencurigakan”, tetapi juga dengan

34Yusup Saprudin, Op.Cit.,hal.16.

35Pasal 1 ayat (4),(5), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor PER-04/1.02/PPATK/03/2014.

(18)

istilah lainnya seperti “transaksi yag menyimpang dari kebiasaan” atau unsual

transaction.36 Berdasarkan peraturan yang telah dibuat oleh PPATK,

mendefenisikan bahwa transaksi keuangan mencurigakan (selanjutnya di singkat dengan TKM), adalah:37

a. Transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

b. Transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Pengertian transaksi keuangan mencurigakan dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah :38

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karateristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Penggguna Jasa yang bersangkutan:

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan

menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana ; atau,

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk diaporkan oleh Pihak Pelapor karea melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari transaksi

36Bismar Nasution, Op.Cit., hal 506 37

Pasal 1 ayat (6), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuagan Nomor PER-04/1.02/PPATK/03/2014.

38Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(19)

keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan, yaitu:39 a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas

b. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang diluar kewajaran

c. Diluar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah.

Apabila diperlukan PJK dapat melakukan klarifikasi atau meminta dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi.

4. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan (PJK)

Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan, termasuk tapi tidak terbatas pada bank tetapi juga lembaga non-bank. PJK termasuk sebagai pihak pelapor yaitu pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK apabila terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 butir 5 memberikan defenisi tentang PJK, yaitu :40

bahwa PJK ialah setiap pihak yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelolaan reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

Defenisi PJK besifat luas, mencangkup semua PJK yang bergerak di bidang keuangan, baik berada didalam sistem keuangan maupun yang diluar itu.

39 Bismar Nasution, Loc.Cit 40Yusup Saprudin, Op.Cit., hal. 61.

(20)

Namun yang menjadi tumpuan dalam penulisan skripsi ini ialah PJK yang bergerak dalam sistem keuangan bank. Bank merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan menyalurkan dana sehingga sangat strategis digunakan sebagai sarana pencucian uang. Pada Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kerdit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menerapkan taraf hidup rakyat banyak.41

Sedangkan berdasarkan SK Menteri Republik Indonesia Nomor 792 tahun 1990 pengertian bank adalah suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna untuk membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.42

Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila penyedia jasa keuangan melaksanakan kewajibannya dalam melaporkan setiap transaksi keuangan mencurigakan. Laporan disampaikan kepada PPATK sebagai lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan sesuai UU TPPU yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Laporan yang disampaikan oleh PJK termasuk PJK Bank kepada PPATK akan menjadi bahan analisis bagi PPATK dan hasil analisis tersebutlah yang

41Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 42Wiji Nurastuti, Teknologi Perbankan, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011, hal. 22.

(21)

kemudian akan menentukan apakah laporan tersebut akan diserahkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti atau tidak. Sehingga, PJK adalah pihak yang paling berperan sebagai unjung tombak dalam melacak transaksi keuangan mencurigakan.43

F. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan bahan-bahan di dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan suatu cara atau metode yaitu :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normativ merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.44

2. Bahan Hukum

Sebagaimana umumnya, penelitian normativ dilakukan dengan penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

43Ibid., hal.262.

45Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal.67.

(22)

undangan yang diurut berdasarkan hirarki,45seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PPATK yakni:

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

4. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat

Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor:

PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan,

5. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.46 Dalam hal penulisan sikripsi ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku teks tentang Pencucian Uang (money laundering), Tindak Pidana Pencucian Uang

46Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Metodologi Hukum Normatif, Surabaya : Bayumedia, 2008, hal.282.

(23)

(TPPU),tentang Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.47 Misalnya kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya yang relevan dengan skripsi ini. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.48

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analisis Bahan Hukum

Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diuraikan secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalan skripsi ini.

47Ibid

(24)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan masing-masing terdiri dari beberapa sub-sub bab. Adapun susunannya adalah :

BAB I : Bab ini berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai

latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penelitian dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Bab ini berisikan tentang Upaya Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan yang dalam garis besarnya dituangkan dalam 4 (empat) sub, yaitu : Sejarah Terjadinya Pencucian Uang, Objek dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang, Alasan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

BAB III: Bab ini berisikan tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank. Dalam Bab ini Penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan, yang dalam garis besarnya dituangkan ke dalam 6 (enam ) sub, yaitu: Identifikasi

(25)

Transaksi Keuangan Mencurigakan, Peranan Penyedia Jasa Keuangan Bank, Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah, Tujuan Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah Kepada Penyedia Jasa Keuangan, Tata Cara Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank, Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank.

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (2) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 31 Tahun 2018

1. Sebelum mengikuti pelatihan, pada umumnya peserta pelatihan belum memiliki pekerjaan tetap yang dapat dijadikan sumber mata pencaharian, meskipun mereka sudah bekerja

Metode pengukuran hidung tersumbat bias dilakukan dengan berbagai metode seperti, Rhinoresistomeetri (RRM) metode ini menggunakan nilai-nilai diukur dengan

Penulisan hukum ini diharapkan dapat dijadikan bahan bagi para mahasiswa untuk menambah pengetahuan baru mengenai studi kasus yang diangkat, dengan demikian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan menambah pengetahuan mengenai metode penelitian yang menyangkut masalah akuntansi keuangan pada umumnya, serta

Pengelolaan lingkungan yang mencekam komoditi panenan dilakukan sedemikian rupa sehingga produk tersebut masih dapat mampu mempertahankan hidupnya yang direfleksikan

Hasil belajar yang diproleh perserta didik yakni peningkatan hafalan hadist, tentunya tingkatan perserta didik hafalanya berbeda- beda. 100 Daya ingatpun

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknis analisis uji t pada analisis skor keterampilan berpikir kritis dan teknis analisis uji Mann Whitney pada