• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAYANG “KAMPUNG SEBELAH” Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru (Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WAYANG “KAMPUNG SEBELAH” Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru (Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

WAYANG “KAMPUNG SEBELAH”

Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru

(Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

Skripsi

Oleh:

FIGUR RAHMAN FUAD K 3207025

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

WAYANG “KAMPUNG SEBELAH”

Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru

(Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

Oleh :

FIGUR RAHMAN FUAD

NIM K3207025

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Seni Rupa

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, Oktober 2011

Pembimbing I

Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si. NIP 19650521 199003 1 003

Pembimbing II

(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Jum’at

Tanggal : 14 Oktober 2011

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Edy Tri Sulistyo, M.Pd. ………….

Sekretaris : Drs. Edi Kurniadi, M.Pd. ………….

Anggota I : Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si. ………….

Anggota II : Adam Wahida, S.Pd., M.Sn. ………….

Disahkan Oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan ,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.

(5)

commit to user

v ABSTRAK

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK), Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah, (2) Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah, (3) Bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah, (4) Tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung Sebelah.

Strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan memanfaatkan informan, tempat dan peristiwa, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel bertujuan). Validitas data dicapai dengan menggunakan triangulasi sumber dan review informant. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kritik holistik.

(6)

commit to user

vi ABSTRACT

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: STUDY OF THE NEW CREATION LEATHER PUPPET (A CRITICISM HOLISTIC APPROACH), Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education in Sebelas Maret University of Surakarta. October, 2011.

The purpose of this study is to determine: (1) The background of the emergence of a Wayang Kampung Sebelah, (2) The creative process is the creation of a Wayang Kampung Sebelah, (3) The form looks and character Wayang Kampung Sebelah, (4) The response to the Wayang Kampung Sebelah.

Strategy which is used is single case study stake. Source of data that is used exploit the informant, place and event, and document. Sampling technique that is used is purposive sampling. The data validity reached by using triangulation of source and review informant. Technique analyze the data used is analysis criticize the holistic.

(7)

commit to user

vii MOTTO

“Sekecil apapun kebisaan kita, Tuhan tentu menganugerahkan itu sebagai rahmat bagi semesta”.

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan

Kepada :

Keindahan absolut.

Almarhumah Ibuku.

Ayah, Kakak, adik-adikku, Guru-guruku, Rekan-rekan.

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan

karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH PENDEKATAN KRITIK

HOLISTIK”. Penyusunan skripsi dilakukan sebagai salah satu persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak kesulitan dalam penyusunan skripsi ini, namun berkat bantuan dari

berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi, untuk itu

atas segala bantuannya, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

3. Dr. Slamet Supriyadi, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Seni Rupa

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si., selaku pembimbing I, atas bimbingannya

dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Adam Wahida ,S.Pd., M.Sn., selaku pembimbing II, atas bimbingannya

dalam penyusunan skripsi ini.

6. Drs. Edi Kurniadi, M.Pd., selaku pembimbing akademis.

7. Bapak Suparman (Ki Jlitheng) selaku narasumber utama penelitian ini.

8. Bapak Yayat Suhiryatna dan Bapak Suyatno selaku narasumber pendukung.

9. Bapak Bambang Suwarno S. Kar., M.Hum., Drs. Tjahjo Prabowo, M.Sn,

Bapak Sularno, S.Pd, M.Hum, Bapak Sarmin, Lilik Darmasto. Selaku

penghayat karya wayang Kampung Sebelah dalam penelitian ini.

(10)

commit to user

x

11.Rininta Citra Ayu Sari atas semua dukungan semangat yang berharga.

12.Teguh Triatmojo, atas diskusi-diskusi yang mencerahkan.

13.“Sunseters”: Alfan, Anggi, Anik, Ayu, Via.

14.Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Seni Rupa JPBS FKIP UNS.

15.Angkatan 2007 Prodi Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS..

16.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu

penyusunan skripsi ini.

Semoga segala amal kebaikan semua pihak yang telah membantu

penyusunan skripsi ini mendapat imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha

Pemurah.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 17 Oktober 2011

(11)
(12)

commit to user

xii

6. Kritik Seni Rupa Holistik ... 18

B. Penelitian yang Relevan ... 19

C. Kerangka Berpikir ... 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

A. Latar Belakang Munculnya Boneka Wayang Kampung Sebelah ... 29

1. Sejarah Wayang Kampung Sebelah ... 29

2. Format Pertunjukan ... 36

3. Format Iringan ... 37

(13)

commit to user

xiii

B. Proses Kreatif Penciptaan Boneka Wayang Kampung Sebelah ... 42

1. Sumber Ide ... 42

2. Teknik ... 42

C. Bentuk Rupa dan Watak Boneka Wayang Kampung Sebelah... 46

1. Lurah Somad ... 48

2. Eyang Sidik Wacono ... 50

3. Blegoh ... 52

4. Mbah Keblak ... 54

5. Sodrun ... 56

6. Parjo ... 58

7. Mbah Modin ... 60

8. Karyo ... 62

9. Silvy ... 64

10. Kampret ... 66

11. Jhony ... 68

12. Cak Dul ... 70

13. Minul Darah Tinggi ... 72

14. Koma Ramari-mari ... 74

D. Tanggapan Penghayat terhadap Bentuk Rupa dan Watak Boneka Wayang Kampung Sebelah ... 76

1. Tanggapan Dosen Pedalangan ... 76

2. Tanggapan Dosen Seni Rupa ... 79

3. Tanggapan Guru Seni Rupa ... 81

4. Tanggapan Mahasiswa Seni Rupa ... 84

5. Tanggapan Penonton Serius ... 87

E. Wayang Kampung Sebelah sebagai Wayang Kreasi Baru ... 91

1. Wayang Kampung Sebelah: Mengatasi Masalah Komunikasi ... 91

2. Masyarakat Kampung Sebagai Tema Karya ... 94

(14)

commit to user

xiv

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 98

A. Simpulan ... 98

B. Implikasi ... 100

C. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(15)

commit to user

xv

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1. Kerangka Berpikir ... 20

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Lurah Somad ... 48

Gambar 2. Eyang Sidik Wacono ... 50

Gambar 3. Blegoh ... 52

Gambar 4. Mbah Keblak. ... 54

Gambar 5. Sodrun ... 56

Gambar 6. Parjo ... 58

Gambar 7. Mbah Modin ... 60

Gambar 8. Karyo ... 62

Gambar 9. Silvy ... 64

Gambar 10. Kampret ... 66

Gambar 11. Jhony ... 68

Gambar 12. Cak Dul ... 70

Gambar 13. Minul Darah Tinggi ... 72

(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Foto-foto Penelitian ... 103

Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan Dalang ... 107

Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Penata Musik ... 111

Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan Penatah Wayang ... 113

Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Dosen Jurusan Pedalangan ... 115

Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Dosen Seni Rupa... 121

Lampiran 7. Hasil Wawancara dengan Guru Seni Rupa... 126

Lampiran 8. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Seni Rupa ... 133

Lampiran 9. Hasil Wawancara dengan Penonton Serius ... 139

Lampiran 10. Surat Keterangan Bukti Penelitian ... 144

(19)

commit to user

ABSTRAK

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK), Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah, (2) Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah, (3) Bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah, (4) Tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung Sebelah.

Strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan memanfaatkan informan, tempat dan peristiwa, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel bertujuan). Validitas data dicapai dengan menggunakan triangulasi sumber dan review informant. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kritik holistik.

(20)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wayang adalah suatu kesenian warisan leluhur bangsa Indonesia yang

telah mampu bertahan berabad-abad lamanya dengan mengalami perubahan dan

perkembangan sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti sekarang ini. Dalam

perjalanannya dari zaman ke zaman wayang mengalami perubahan akibat adanya

perubahan dalam pemerintahan, politik, sosial-budaya, dan kepercayaan, sesuai

dengan perubahan yang terjadi dalam pikiran manusia. Daya tahan wayang yang

luar biasa ini membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan dalam

kehidupan. Fungsi dan peranan wayang tidaklah tetap, tergantung pada

kebutuhan, tuntutan, dan penggarapan masyarakat pendukungnya (Haryanto,

1991: 1).

Sebagai salah satu produk kebudayaan wayang mengalami perubahan terus

menerus sebagaimana sifat kebudayaan itu sendiri, perubahan tersebut meliputi

aspek yang terlihat (bentuk, fungsi) maupun yang tak telihat (filosofi). Perubahan

tersebut bukan tanpa tantangan karena kadangkala terbentur dengan estetika

tradisional dan kritik-kritik dari pengamat seni wayang (wawasan lokal), seperti

mengingkari pakem, konsep inovasi yang tidak jelas dan lain sebagainya (Jazuli,

2001: 151).

Pada tahun 2001 lalu, sekelompok seniman Solo melahirkan genre wayang

baru yang dinamakan Wayang Kampung Sebelah. Penciptaan pertunjukan

Wayang Kampung Sebelah ini berangkat dari keinginan membuat format

pertunjukan wayang yang dapat menjadi wahana untuk mengangkat kisah realitas

kehidupan masyarakat sekarang secara lebih lugas dan bebas tanpa harus terikat

oleh norma-norma estetik yang rumit seperti halnya wayang klasik. Dengan

menggunakan medium bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Jawa maupun

bahasa Indonesia, maka pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap

oleh penonton. Isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat masa kini, baik

(21)

commit to user

merupakan sumber inspirasi penyusunan cerita yang disajikan. Boneka

wayangnya yang terbuat dari kulit tidak lagi berbentuk seperti wayang kulit klasik

pada umumnya melainkan berbentuk manusia yang distilasi. Tokoh-tokoh yang

terdapat dalam Wayang Kampung Sebelah juga tidak mengacu pada tokoh dalam

ceritera Mahabarata atau Ramayana namun menghadirkan sosok-sosok

masyarakat plural yang terdiri dari penarik becak, bakul jamu, preman, pelacur,

Pak Rukun Tetangga (RT), Pak lurah, hingga pejabat besar kota.

Kemunculan jenis wayang ini baru dapat dibaca sebagai sesuatu yang

wajar dan alamiah sesuai dengan sifat kebudayaan yang terus berubah. Namun

demikian perlu disadari bahwa sebuah karya seni tentu membawa pikiran-pikiran

atau peristiwa yang melatari kemunculannya. Jakob Sumardjo dalam bukunya

Filsafat Seni (2000: 233) dinyatakan bahwa setiap karya seni sedikit banyak

mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni

ada karena seorang seniman menciptakannya, seniman itu sendiri selalu berasal

dari masyarakat tertentu dan kehidupan masyarakat merupakan kenyatan yang

langsung dihadapi sebagai rangsangan kreativitas kesenimanannya.

Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian tentang

wayang kreasi baru karya Ki Jlitheng Suparman, yang populer disebut dengan

Wayang Kampung Sebelah. Adapun digunakannya pendekatan kritik dalam

penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan akan pentingnya penelitian

terhadap karya seni rupa yang tidak hanya bersifat deskriptif namun juga bersifat

evaluatif.

Permasalahan penting dalam metode kritik seni terletak pada pemahaman

struktur kritik yang didasarkan pada pilihan sumber nilai pendukung kualitas

karya sebagai sasaran kajian. (H. B. Sutopo 1995: 8). Perbedaan kritik yang

tampak jelas pada strukturnya terutama disebabkan karena adanya pemihakan

yang berlebihan kepada sumber nilai seni yang dianggap paling sah dalam

mengevaluasi karya. Sumber nilai pada setiap karya seni pada dasarnya berkaitan

langsung dengan tiga komponen utama penunjang kehidupan senidalam

(22)

commit to user

Tiga komponen tersebut saling berinteraksi dan menentukan nilai setiap karya

seni.

Pendekatan kritik holistik tidak mengabaikan salah satu komponen dalam

kehidupan seni. Ketiga sumber tersebut (seniman, karya, dan penghayat) ditelaah

dengan berimbang, sehingga diharapkan mampu melahirkan putusan kritik yang

proporsional.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah seperti tersebut di atas, bahwa wujud visual

sangatlah penting dan merupakan kesatuan dari pertunjukan wayang kulit itu

sendiri, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah?

2. Bagaimana proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah?

3. Bagaimana bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah?

4. Bagaimana tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung

Sebelah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Mengetahui latar belakang munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah.

2. Mengetahui proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah.

3. Mengetahui bentuk rupa dan watak tokoh boneka Wayang Kampung

Sebelah.

4. Mengetahui tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung

(23)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi baik untuk

kepentingan teoretis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis bagi kajian

kesenirupaan yang terkait dengan kreatifitas dalam penciptaan wayang,

karena hasil penelitian ini akan menyadarkan tentang pentingnya

kreatifitas dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur dalam seni wayang,

bagaimana mengolah idiom-idiom baru dari aspek rupa agar wayang

menjadi menarik, relevan dengan zaman, dekat dengan masyarakatnya,

dan tetap sarat makna.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah referensi kajian wayang kulit kreasi baru.

(24)

commit to user

5 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Tinjauan Tentang Wayang

Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan” dalam bahasa Melayu

disebut “bayang-bayang'”, dalam bahasa Aceh “bayeng”, dalam bahasa Bugis

“wayang atau bayang”. Akar kata dari wayang adalah “Yang”, akar kata ini bervariasi dengan Yung, Yong dan Ying, antara lain terdapat dalam kata layang

“terbang”, doyong “miring”,tidak stabil “royong” selalu bergerak dari satu tempat

ke tempat lain, poyang-payungan “berjalan sempoyongan, tidak tenang” (Sri

Mulyono, 1982: 9).

Awalan “Wa” di dalam bahasa Jawa Modern tidak mempunyai fungsi lagi,

tetapi dalam bahasa Jawa kunci awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata

bahasa. Jadi dalam bahasa Jawa Wayang mengandung pengertian "berjalan kian-

kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang) telah terbentuk

pada waktu yang amat tua ketika awalan wa masih mempunyai fungsi tata bahasa.

Oleh karena itu boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu

berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan Wayang. Awayang

atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukkan

wayang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang

atau pentas bayang-bayang. (Sri Mulyono, l982: 10).

Wayang adalah berasal dari kata “Hyang” yang berarti persembahan pada

Hyang Widhi” (Adhiman Sajuddin Rais, 1970: 8). Nenek moyang bangsa

Indonesia beberapa puluh tahun sebelum Masehi telah rnengenal wayang yaitu

suatu bentuk pentas sebagai sarana upacara keagamaan yang bersifat ritual dengan

menggunakan bayangan (wayang) dalam membawakan acara-acaranya. Wayang

merupakan dongeng, khayal dan mitos yang diapat membangkitkan daya mistik

(25)

commit to user

"Shadow Play" belaka adalah kurang tepat, karena wayang bukanlah obyek visual

belaka (S. Haryanto, 1988: 4).

Masih banyak lagi tulisan-tulisan dan pendapat mengenai wayang yang

masih memerlukan penyelidikan-penyelidikan seksama mengenai kebenarannya.

Bila ditelaah dengan seksama maka kata wayang tersebut berasal dari bahasa Jawa

yang berarti bayangan. Karena pengaruh warga-aksara, maka kata wayang

menjadi bayang, wesi menjadi besi dan watu menjadi batu (Haryanto, 1988: 28).

2. Jenis dan Ragam Wayang

Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa,

Bali, Lombok, Kalimantan, dan lain-lain. Berkembangnya wayang di daerah,

mempunyai hubungan yang sangat errat dengan masuknya kebudayaan Hindu

serta terdapat prasasti-prasasti kuno di daerah itu. Seni pewayangan tersebut telah

menjadi milik daerah itu dengan nama tersendiri dimana wayang itu hidup dan

verkembang. Oleh karena itu tidaklah tepat jika wayang-wayang tersebut disebut

wayang Palembang atau wayang Bengkulu, sedangkan bentuk wayang serta

pergelarannya serupa dengan pergelaran wayang Purwa Jawa, hanya bahasa serta

gendhing-gendhing pengiringnya saja yang berbeda (Haryanto, 1988: 145).

a. Wayang Kulit

Wayang kulit adalah suatu kesenian yang mempergunakan boneka

wayang sebagai salah satu peralatannya. Boneka yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “tiruan untuk anak permainan”, sedangkan Wayang berarti “boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam

pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan

oleh seseorang yg disebut dalang”. Bentuk boneka wayang dibuat dari kulit

binatang (kerbau) yang dibuat pipih atau ditipiskan, kemudian digambar dan

ditatah, baru kemudian disungging (diwarna) dan terakhir dilangkapi

dengan cempurit atau gapit (tangkai/ penjepit) yang terbuat dari tanduk

(26)

commit to user

Kesenian ini berkembang pesat dalam masyarakat Jawa, bukan

hanya dalam perupaan dan pementasan, tetapi juga berkembang dalam

peragaman jenis dan cerita yang dipergelarkan.

Macam-macam wayang kulit yang ada (pernah ada) di pulau Jawa

antara lain adalah:

1) Wayang Purwa

Wayang kulit Purwa adalah pertunjukan wayang yang

pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabharata atau

Ramayana. Pendapat para ahli, istilah Purwa tersebut berasal dari kata “Parwa” yang berarti bagian dari cerita Mahabharata atau Ramayana. Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa

sering diartikan pula purba (zaman dahulu). sesuai dengan pengertian

tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang

menyajikan cerita-cerita zaman dahulu (purwa). (S. Haryanto,

1998:48).

2) Wayang Gedog

Pada tahun 1583 (1505 Çaka) Raden Jaka Tingkir yang

bergelar sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, membuat wayang

Gedog dengan sengkalan: “panca boma marga tungga” dan Sunan

Bonang membuat wayang Beber Gedog pada tahun 1565 (1487 Çaka,

dengan sengkalan “wayang wolu kinarya tunggal”).

Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit yang

ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang

kulit Purwa jenis satria sabrangan. Busana kain berbentuk rapekan

elengan berselip keris. Hanya empat jenis muka yang terdapat pada

wayang Gedog ini antara lain muka dengan mulut gusen seperti muka

tokoh wayang Purwa Dursasana, wajah dengan mata miring

kedondongan seperti muka tokoh wayang Setiyaki, muka bermata

kliyepan seperti muka tokoh wayang Arjuna dan muka berhidung

dempak seperti muka tokoh wayang Wrekudara. Untuk tokoh wanita

(27)

commit to user

Atribut (irah-irahan) untuk satria pada umumnya bersumping

sekar keluih dengan rambut terurai lepas antara lain ngore polos,

ngore gembel, ngore gimbal ataupun ngore udalan. Muka-muka jenis

raksasa ataupun kera tidak terdapat dalam wayang Gedog ini. Busana

tokoh-tokoh raja pada urnumnya mengenakan irah-irahan garuda

mungkur dengan menyelip dua buah keris, sedang perlengkapan

busana lainnya, sama seperti yang terdapat pada wayang kulit Purwa,

namun tidak memakai praba, ataupun topong.

Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak menggunakan

cerita dari kitab Ramayana ataupun Mahabharata, tetapi

cerita-cerita Panji. Selain terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging,

terdapat pula yang terbuat dari kayu pipih (papan) yang diukir dan

disungging, letapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk

pementasan wayang ini diambilnya cerita Damarwulan Menakjingga

dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klitik (Haryanto,

1988: 97).

3) Wayang Madya

Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Adipati

Mangkunegoro IV (1853- 1881) berusaha menggabungkan semua

jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan yang berangkai serta

disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu

sampai masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara kronologis.

Semula Sri Mangkunegoro IV menerima buku Serat Pustaka

Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo

Warsito pada tahun 1870 Masehi (I792 Çaka). Buku tersebut berisikan

cerita riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari negeri

Mamenang di Kediri, yang kemudian kerajaan tersebut pindah ke

Pengging dan disebut Pengging Witarodya. Kesimpulan dari isi buku

tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang

menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pendawa sampai akhir

(28)

commit to user

untuk membuat jenis wayang baru, untuk meyambung sejarah zaman

Purwa dengan zaman Jenggala dalam cerita-cerita Panji. Dari gagasan

tersebut, maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang

Madya, satu jenis wayang yang menggambarkan dari badan tengah ke

atas berwujud wayang Purwa, sedang dari badan ke bawah berwujud

wayang Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat

dnri kulit, ditatah dan disungging.

Tokoh wayang Parikesit merupakan tokoh wayang pemula dari

wayang Madya, meskipun bentuk busana serta atribut-atributnya

masih nampak bentuk wayang Purwa. Bentuk wayang Purwa tersebut

nampak pada tokoh-tokoh wayang Patih Negara Aslina, Harya Dwara,

Anak Samba, serta Ramayana dan Ramaparwa putra-putra dari Prabu

Parikesit (Haryanto, 1988: 95).

4) Wayang Dobel

Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa

Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini

berdasarkan cerita-cerita nuansa Islam, yang diambil dari serat

Ambyah. Wayang ini disebut wayang Dobel, karena isi cerita dari

negeri Arab, sedang bahasa yang dipakai ialah bahasa Jawa. Sebagai

pengiring pergelaran, menggunakan terompet dan rebana seperti orang

selawatan, Menggunakan kelir berwarna merah dengan garis tepi

putih, berlainan dengan kelir wayang kulit biasa yang berwarna putih

dengan garis tepi merah, biru ataupun hitam.

Wayang yang disimping (dijajarkan), sebelah kanan terdiri atas

wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Israpil, sedang yang

disimping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijrail.

Wayang Malaikat Ijrail mempunyai bentuk yang aneh, ia berbadan

tiga yang merekat menjadi satu, mempunyai tiga buah kepala dan dua

kaki bersila. Ketiga badan tersebut merupakan lambang Amarah,

(29)

commit to user

Wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wayang

wahyu, yang menceritakan kisah-kisah para Nabi. Jika wayang Wahyu

dalam pementasannya mengambil kisah-kisah dari Kitab Injil, maka

wayang Dobel menceritakan kisah- kisah dari Kitab Al-Qur’an.

(Haryanto, 1998: 120).

b. Wayang Klitik atau Krucil

Raden Pekik di Surabaya membuat wayang krucil pada tahun

1648 (1570 Çaka, dengan, sangkalan: “watu tunggangane buta

widadari”). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk seperti

wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya tetap dibuat

dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada siang hari dan tidak

menggunakan kelir. Kemudian untuk seterusnya wayang Klitik

digunakan untuk pergelaran cerita Damarwulan Menakjingga, sedang

wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab Mahabharata, disebut

wayang Golek Purwa. Wayang Klitik merupakan wayang wasana (akhir)

dari zaman Wasana, setelah zaman Madya yang diwakili oleh wayang

Madya, sedang wayang Purwa (Mahabharata dan Ramayana) merupakan

wayang yang mewakili pada zaman Purwa (Haryanto, 1988: 63).

c. Wayang Golek

Sesuai dengan bentuk atau cirinya yang mirip boneka, bulat dan

dibuat dari kayu seperti boneka, sehingga benda wayang tersebut

dinamakan wayang Golek. Dalam bahasa Jawa, Golek berarti boneka.

Pada akhir pergelaran wayang kulit Purwa, biasanya para dalang

memainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan dinamakan Golek.

Dalam bahasa Jawa, Golek berarti juga “mencari”. Dengan memainkan

wayang golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada

para penonton agar seusai pergelaran, penonton nggoleki atau mencari

intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru usai.

Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah, wayang Golek dinamakan

(30)

commit to user

Berbeda dengan wayang kulit, wayang Golek yang terbuat dari

kayu dan berbentuk tiga dimensional itu; kepalanya terlepas dari

tubuhnya. Ia dihubungkan oleh sebuah tangkai yang menembus rongga

tubuh wayang dan sekaligus merupakan pegangan dalang. Melalui

tangkai itulah dalang dapat memalingkan wajah wayang ke kiri atau ke

kanan, hingga wayang tersebut nampak hidup. Atau dengan

menggerakkan badan wayang itu ke atas ke bawah berulang kali, ki

dalang dapat menunjukkan seolah-olah wayang tersebut sedang bernafas.

Seperti halnya dengan tangan-tangan wayang kulit, sendi-sendi tangan

wayang Golek pun dihubungkan dengan seutas benang, sehingga sang

dalang dapat bebas menggerakkan tangan wayangnya (Haryanto, 1988:

59).

d. Wayang Beber

Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang tua usianya, berasal

dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya wayang Beber

melukiskan cerita wayang dari kitab Mahabharata, tetapi kemudian

beralih dengan cerita-cerita Panji yang berasal dari Kerajaan Jenggala

dan mencapai jayanya pada zaman Majapahit (Haryanto, 1988: 41).

Prabu Bratono dari Kerajaan Majapahit membuat wayang Beber

Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 M (1283 Çaka, dengan sengkalan: “gunaning pujangga nembah ing dewa”) (pendapat tersebut tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di

Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apabila Prabu Bratono

adalah juga Prahu Hayam Wuruk). Wayang Beber Purwa maksudnya

adalah suatu pagelaran Wayang Beber yang menggunakan cerita dari

wayang Purwa.

g. Wayang Topeng

Pada masa kekuasaan kerajaan Demak, salah satu Wali Sanga

yang bernama Sunan Kalijaga menciptakan wayang Topeng yang mirip

dengan wayang Purwa pada tahun 1586 Masehi (1508 Çaka, dengan

(31)

commit to user

Sunan Kalijaga tersebut tersebar luas hingga dewasa ini masih hidup dan

berkembang sebagai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di

tempat Wayang Topeng tersebut berkembang.

Penampilan wayang Topeng tersebut dilakukan bersama dengan

pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog, sehingga

pertunjukan itu dikenal sebagai Wayang Topeng atau dengan sebutan

suatu nama daerah tempat wayang Topeng itu berkembang, misalnya:

wayang Topeng Losari, wayang Topeng Malang atau wayang Topeng

Madura. Kemudian sebutan wayang Topeng menjadi nama suatu

pertunjukan seperti halnya dengan sebutan wayang Purwa (Haryanto,

1988:129).

h. Wayang Alternatif

Selain jenis-jenis wayang seperti tersebut di atas ternyata masih

banyak lagi wayang-wayang yang ada dan pernah populer, meskipun

dalam tingkat lokal. Wayang-wayang tersebut sebagian besar

pembuatannya menginduk pada wayang Purwa. Macam-macam wayang

ini antara lain adalah: wayang Kertas (1244), wayang Demak (1478),

wayang Keling (1518), wayang Jengglong, wayang Kidang Kencana

(1556), wayang Purwa Gedog (1583), wayang Rama (1788), wayang

Babad, wayang Kuluk (1830), wayang Kaper, wayang Taspirin, wayang

Kulit Betawi dan termasuk wayang baru yaitu: wayang Ukur ciptaan

Sukasman, Yogyakarta (1964), wayang Golek Modern ciptaan Parta

Suwanda dari Bandung (1960), wayang Budha (1978), wayang Sadat

(1985), belum termasuk wayang dolanan anak-anak dari kertas dan

rumput (S. Haryanto, 1988: 47).

3. Wayang Kulit Kreasi Baru.

Seni pertunjukan wayang merupakan kesenian yang sangat populer dan

akrab bagi segenap lapisan masyarakat etnis Jawa. Bagi penggemarnya, wayang

selain merupakan ekspresi seni yang bernilai seni juga merupakan sumber acuan

(32)

commit to user

(Wahyono, 2007: 166). Di Jawa wayang telah dikenal bertahun-tahun bahkan

beratus tahun-ratus tahun lamanya. Tokoh-tokoh Harjuna, Bima, Raden

Gatotkaca, sampai dengan sampai dengan tokoh punakawan seperti Semar,

Gareng, Petruk, dan Bagong sudah dikenal secara mendalam oleh masyarakat

pendukungnya.

Memang, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bila membicarakan wayang

yang terlintas dalam pikiran kita hanyalah wayang kulit Purwa beserta gambaran

tentang induk ceritanya yaitu cerita Mahabarata dan Ramayana. Sebetulnya di

Jawa ini masih banyak dijumpai jenis wayang lain yang saat ini kurang dikenal

dalam masyarakat. Wayang kulit Purwa sering dijumpai dalam masyarakat luas,

baik dalam pertunjukan-pertunjukan maupun wayang kulit sebagai kelangenan.

Oleh karena seringnya pertunjukan dilakukan atau dikenalkan wayang kulit

Purwa secara terus-menerus, maka jenis wayang kulit Purwa ini lebih dikenal

secara luas dibandingkan dengan jenis wayang lainnya.

Seperti diketahui wayang kulit yang bercerita Mahabarata dan Ramayana

ini sangat digemari oleh sebagian masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan

berbagai variasi cerita (lakon) dan karakter-karakter tokohnya yang khas. Cerita

yang diceritakan dibuat sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi

seakan-akan di bumi nusantara ini, seolah-olah masyarakat turut terlibat di dalamnya.

(Sunarto, 1997: 132)

Bambang Suwarno dalam Sunarto (1997: 132) mengatakan bahwa bila

dicermati dalam wayang kulit Purwa kaitannya dengan kegiatan berbudaya,

memiliki dua fungsi utama. Pertama berfungsi sebagai sarana pengungkap

kreatifitas seni, kedua berfungsi sebagai sarana berkomunikasi dalam berbagai

kepentingan.

Fungsi ganda yang dimiliki wayang kulit Purwa itu telah lama

dimanfaatkan oleh para ahli untuk berbagai kepentingan dan berhasil tanpa

menimbulkan gejolak berarti dalam masyarakat luas. Keberhasilan wayang kulit

Purwa yang memiliki beberapa peran itu pula yang menyebabkan muculnya

berbagai kreasi baru dalam wayang kulit. Munculnya wayang alternatif dengan

(33)

commit to user

Munculnya bentuk dan cerita wayang baru itu dipengaruhi oleh

perkembangan yang sedang bergejolak dalam masyarakat pendukungnya. Dasar

penciptaan yang berbeda satu dengan lainnya itu melahirkan bentuk wayang yang

bervariasi, namun dari setiap bentuk wayang memiliki kelebihannya

masing-masing. Dalam kenyataannya beberapa wayang kreasi baru itu belum mampu

menggeser kedudukan wayang Purwa dalam masyarakat. Sebagai contoh dapat

dikemukakan munculnya wayang kreasi baru dipengaruhi oleh alam lingkungan

atau keadaan masyarakat pendukung waktu wayang itu diciptakan.

Seperti pada masa-masa perang kemerdekaan bangsa Indonesia, muncul

wayang kulit yang bertema perjuangan. Hal itu sesuai dengan keadaan masyarakat

pendukung wayang kulit tersebut yang bersemangat dalam merebut dan

mempertahankan kemerdekaan dengan semangat juang yang tinggi, wayang kulit

baru itu disebut dengan wayang Pancasila (Sunarto, 1997: 133).

Diantara wayang-wayang kreasi baru yang cukup terkenal adalah wayang

Williem van Oranje yang merupakan maha karya Ki Ledjar Soebroto yang secara

khusus dipesan oleh Museum Nusantara. Bagi bangsa Belanda, Pangeran William

yang lahir di Castle Dillenburg pada tanggal 24 April 1533, mendapat tempat

istimewa di hati mereka. Pangeran William yang dijuluki dan dikenal sebagai

William dari Orange atau nama panggilan William Diam, dan di Belanda sering

disebut sebagai Bapa Bangsa.

Ki Ledjar membuat desain wayang atas sesuai dengan lukisan-lukisan

wajah para tokoh yang terdapat pada cerita sejarah perjuangan William yang

lukisannya sudah berumur ratusan tahun dan selama ini masih tersimpan didalam

koleksi Prinsenhof Museum. Selain membuat desain karakter para tokoh, Ki

Ledjar juga mendesain beberapa wayang berupa artefak peninggalan sejarah yang

berada di Kota Delft seperti Gereja atau disebut dengan Nieuwe Kerk tempat

Pangeran Willem dan para raja Belanda dimakamkan. Dibuatnya wayang yang

mengisahkan perjuangan

Pangeran William dalam bentuk wayang bertujuan sebagai wahana

(34)

commit to user

(http://www.antaranews.com/berita/249471/dalang-ki-ledjar-tampilkan-wayang-william-van-oranje).

Wayang ukur lahir didorong oleh kreativitas Sukasman yang mencurahkan

perhatiannya dalam pengembangan wayang kulit Purwa gagrag Yogyakarta dan

Surakarta. Wayang ukur diciptakan oleh Sukasman pada tahun 1974, yang

menekankan kejelasan bentuk figur wayang kulit Purwa gagrag Yogyakarta dan

Surakarta. Wayang ukur memiliki unsur-unsur bentuk yang sangat istimewa bila

dilihat dari sudut pandang seni rupa. Hasil dari eksplorasi yang terwujud dalam

bentuk wayang ukur ini sebenarnya tidak sekedar sebagai hasil karya seni yang

tidak memiliki arti apa-apa, tetapi memiliki nilai estetik yang tinggi. Misalnya,

pada bentuk dan karakter tokoh-tokohnya. Keunikan tersebut yaitu segi bentuk

dan warna sunggingan serta pahatan yang tampak lain dari wayang kulit Purwa

yang merupakan ciri khas wayang ukur ciptaan Sukasman. Keistimewaan yang

lain bahwa, wayang ukur merupakan wayang kreasi baru yang diciptakan

Sukasman dengan melakukan perubahan-perubahan pada bentuk dan teknik tatah

sunggingnya. Perubahan tersebut dengan membuat ukuran-ukuran tersendiri atau

selalu diukur-ukur dengan rasa, sehingga berdasarkan teknik pembuatannya,

wayang kreasi Sukasman dinamakan wayang ukur.

Keistimewaan yang lain apabila dilihat secara keseluruhan, pelukisan

sikap Tubuh tokoh-tokohnya lebih variasi dibanding dengan jenis wayang Purwa.

Wayang ukur tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Purwa pada umumnya.

Obyek yang digambarkan terdiri dari bentuk wayang Purwa gagrag Yogyakarta

dan Surakarta, hanya pada beberapa unsur telah ada perubahan. Sukasman

mengadakan perubahanperubahan yaitu dengan membuat ukuran-ukuran

tersendiri. Hasil kreasi Sukasman terlihat dari sunggingan, tatahan yang tampak

berbeda dengan wayang Purwa pada umumnya. Pementasan wayang ukur di

sesuaikan dengan tuntutan perubahan jaman. Pementasan wayang ukur berdurasi

dua jam, menjadikan wayang ukur seperti cerita pendek. Dalang tidak hanya satu,

tetapi bisa tiga atau bahkan empat. Di samping Dalang, dalam satu pementasan

ditambah dua narator untuk karakter suara laki-laki dan perempuan, dengan

(35)

commit to user

penggambaran tokoh-tokohnya tidak terpancang pada cerita wayang klasik.

Penceritaan pada wayang ukur menggambil tokoh-tokoh yang terpinggirkan

seperti sang pencipta wayang ukur itu sendiri. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di

antaranya tokoh Bisma, Sukrasana, Ekalaya, Semar, dan Togog. (Salim, 2011:

78-79)

4. Sumber Gubahan Wayang Kulit Kreasi Baru

Munculnya wayang kreasi baru itu menambah semaraknya dunia

pewayangan. Dengan latar belakang dan dasar pemikiran yang berbeda-beda

dalam mencipta wayang sehingga mengenai makna atau nilai beragam pula.

Namun bila diperhatikan secara mendasar, kebanyakan dari wayang kulit kreasi

baru mempunyai sumber gubahan yang sama. Dua sumber gubahan dalam

mewujudkan wayang kreasi baru, ialah:

a. Cerita (Lakon)

Pada umumnya cerita memiliki tokoh-tokoh yang karakteristik, dari tokoh

itu dapat diklasifikasikan yang kemudian dapat diwujudkan menjadi suatu

kriteria. Berdasar cerita kriyawan dapat berkreasi mencipta beberapa

alternatif bentuk wayang dengan kriteria yang mantap. Misalnya mengenai

atribut akan dipengaruhi oleh latar belakang ceritanya.

b. Bentuk (Wujud)

Bentuk (wujud) merupakan sumber kedua yang lebih mengarah pada

pengolahan bentuk tokoh-tokohnya. Pertimbangan utama dalam

penciptaan wayang berdasar bentuk ini adalah aspek teknik dan estetis seni

rupa. Dalam mewujudkan wayang kreasi baru, beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian adalah komposisi warna (tata warna), tatahan yang

dapat mewujudkan karakter tertentu, untuk mendukung cerita yang

(36)

commit to user

5. Kritik Seni Rupa

a. Pengertian Kritik Seni Rupa

Istilah “kritik seni”, dalam bahasa indonesia, sering juga disebut dengan istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni”, atau “bincang seni”. Hal itu disebabkan istilah “kritik” bagi sebagian orang sering berkonotasi negatif yang berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan, dan lain-lain (Bahari, 2008: 1)

Di pandang dari segi keilmuan, kritik seni rupa adalah basis pengetahuan

teoretis dan teknis penilain mengenai prestasi kesenirupaan. Dari segi proses,

kritik seni rupa adalah kegiatan perorangan, baik lisan mauapun tulisan, yang

dipublikasikan kepada khalayak ramai. Dan dari segi produk, kritik seni rupa

adalah sekumpulan hasil oponi para pengamat tentang prestasi kesenirupaan yang

mengandung nilai apresiatif (Bangun, 2000: 1)

b. Tujuan dan Fungsi Kritik Seni Rupa

Feldman seperti yang dikutip Bahari (2008: 3) berpendapat bahwa tujuan

dari kritik seni adalah memahami karya seni (rupa), dan ingin menemukan suatu

cara untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu karya seni dihasilkan,

serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga hasil

kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat menyatakan baik dan

buruknya sebuah karya. Akhir dari tujuan kritik seni adalah supaya orang yang

melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan

mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap

karya seni.

Kritik seni berfungsi sebagai jembatan atau mediator antara pencipta

dengan penikmat karya seni, serta antara karya seni itu sendiri dengan

penikmatnya. Fungsi yang demikian sangat penting dan strategis, karena tidak

semua penikmat karya seni dapat mengetahui dengan pasti apa yang ingin

disampaikan dan dikomunikasikan oleh pencipta karya seni dengan wujud karya

yang dihadirkan. Di sisi lain, kritik seni juga dapat dimanfaatkan oleh pencipta

karya seni untuk mengevaluasi diri, sejauh mana prestasi kerjanya dapat dipahami

(37)

commit to user

6. Kritik Seni Rupa Holistik

Istilah kritik seni sudah lama didengungkan oleh para peneliti seni, kritikus

seni maupun pemerhati sastra. Bahkan, dalam bidang ilmu lain, kritik seni dapat

digunakan. Dalam disiplin ilmu humaniora, misalnya, Eliot Eisner dalam Sutopo

(1995: 6) menekankan perlunya penelitian dan evaluasi dengan menggunakan

pendekatan kritik seni. Seperti halnya sifat kegiatan kritis yang bersifat evaluatif,

kegiatan Eisner ini lebih memfokuskan kepada aktivitas evaluasi program

pendidikan. Dari pengalaman penelitian-penelitiannya Eisner semakin mantap dan

mempertegas bahwa kritik mampu menyajikan tiga aspek pokok dalam evaluasi,

yaitu (1) aspek deskriptif, (2) aspek interpretatif, dan (3) aspek evaluatif.

Menurut Stolnitz (dalam Sutopo, 1995:7) kritik seharusnya berupa

aktivitas evaluasi yang memandang seni sebagai objek untuk pengalaman estetik.

Pengalaman itu dihasilkan lewat kajian teliti atas karya seni sejalan dengan

pandangan Flaccus dalam Sutopo (1995: 7) yang merumuskan kritik sebagai studi

rinci dan apresiatif tentang karya seni. Dari pandangan ini, di satu sisi kritik

merupakan keyakinan dan semangat yang lebih besar dari logika seorang pecinta

seni yang berusaha mendukung karya, sedang di sisi lain ia merupakan analisis

cendekia dan teliti atas karya seni disertai berbagai tafsir dengan alasan-alasannya.

Sudah diakui bahwa di dalam dunia kritik seni terdapat beragam struktur

yang sering saling bertentangan. Menurut Osbone (dalam Sutopo, 1995:8) para

kritikus sering saling berbenturan tidak hanya penggunaan metode yang

dianggapnya sah tetapi juga berbeda mengenai peran yang harus dipenuhinya.

Perbedaana itu itu kemudian memunculkan kritikus yang cenderung berkelompok

untuk menjaga aktivitas kritiknya supaya tetap mencerminkan secara kuat

disiplin ilmunya. Adanya kritik aliran sosiologis dan psikologis yang selanjutnya

pecah menjadi dua arah yaitu aktivitas psikologis senimannya dan aktiviats

psikologis penghayatnya, lebih menjelaskan adanya keragaman kritik tersebut.

Perbedaan kritik yang tampak jelas pada strukturnya terutama disebabkan

adanya pemihakan yang berlebihan pada sumber nilai seni yang dianggap paling

sah dalam mengevaluasi karya. Sumber nilai setiap karya seni pada dasarnya

(38)

commit to user

seni (dalam hal ini seni rupa) dan (3) penghayat. Menurut Sutopo (1995 : 8), tidak

ada kehidupan seni dalam masyarakat manapun yang salah satu komponen seni

itu ditiadakan. Inilah yang menjadikan proses tersebut tidak cukup dengan

sebutan kritik seni saja tetapi kritik seni holistik. Kritik seni harus

melibatkan tiga komponen itu dalam satu kesatuan yang saling berkaitan. Dalam

mengevaluasi sebuah karya seni tidak bisa mengabaikan salah satu komponen

sumber nilai tersebut jika ingin mendapatkan pemahaman yang utuh.

B. Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang

relevan dengan penelitian yang dilakukan dalam upaya menyusun sripsi ini

adalah:

1. Sularno dalam penelitian tesisnya dengan judul Bentuk Rupa dan Makna

Simbolik Wayang Kulit Purwa Kreasi Baru Ki Manteb Sudarsono tahun

2009, memfokuskan diri pada identifikasi bentuk rupa wayang kulit Purwa

kreasi baru karya Ki Manteb Sudarsono dengan membandingkannya

dengan wayang kulit Purwa klasik, kemudian berusaha menemukan

makna simbolik baru dengan bersandar pada metode Hermeneutik

Fenomenologis.

2. Subandi dkk. (1995) dalam penelitiannya memaparkan wayang kulit kreasi

seniman Surakarta yaitu Ki Manteb Sudarsono, Ki Bambang Suwarno, dan

Hajar Satoto. Dalam penelitian tersebut dikaji tokoh-tokoh wayang kulit

Purwa yang menjadi pilihan seniman untuk digubah, bentuk-bentuk

gubahannya, serta alasan seniman dalam upaya penggubahan bentuk

boneka wayang kulit Purwa. Hasil penelitian tersebut sangat rinci dalam

memaparkan detail wayang Purwa yang telah digubah, baik dari aspek

bentuk, tatahan, maupun sunggingan.

Dari pengamatan penulis terhadap penelitian di atas, penelitian wayang di

(39)

commit to user

tentang boneka Wayang Kampung Sebelah dalam perspektif seni rupa. Untuk

itulah penulis ingin mengungkap latar belakang munculnya Wayang Kampung

Sebelah, proses kreatif penciptaannya, bentuk dan watak boneka wayangnya, serta

tanggapan penghayat terhadap bentuk rupa boneka Wayang Kampung Sebelah.

C. Kerangka Berpikir

Wayang adalah sebuah karya seni rupa yang tidak terlepas dari aspek

pikiran seniman pembuatnya maupun budaya masyarakat yang melatarinya.

Bentuk rupa wayang itu sendiri telah melalui tahapan-tahapan baik dalam tataran

ide maupun teknik. Setelah wayang tersebut menjadi suatu karya yang disuguhkan

kepada masyarakat, maka masyarakat sebagai penghayat karya memiliki respon

tersendiri terhadap karya wayang tersebut. Hal-hal tersebut ditelaah untuk

menghasilkan simpulan dalam keseluruhan penelitian ini. Lebih jelasnya dapat

(40)

commit to user

21 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di rumah Ki Jlitheng Suparman. RT 05 RW 02,

Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Adapun

penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2011.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian, maka

jenis dan strategi yang cocok adalah penelitian kualitatif deskriptif. Dengan jenis

penelitian dan strategi ini dapat ditangkap berbagai informasi kualitatif dengan

deskripsi yang penuh nuansa (Sutopo, 2002: 35).

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini bentuk rancangan adalah

studi kasus tunggal terpancang. Model studi kasus lebih sesuai bagi penyajian

realitas multi perspektif dengan kekayaan deskripsinya, dan berhubung penelitian

ini dilakukan pada satu sasaran karakteristik, artinya penelitian ini dilakukan pada

satu lokasi maka studi kasusnya adalah studi kasus tunggal. Berhubung

permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dan dibatasi, maka jenis

strategi studi kasus ini adalah studi kasus terpancang.

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Loftland: ”Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan sepertu

dokumen dan lain-lain” (Moleong, 2009: 157) Dalam penelitian ini mengambil sumber data :

1. Informan, 2. Tempat dan peristiwa, 3. Arsip atau dokumen yang

berhubungan dengan masalah penelitian.

(41)

commit to user

1. Narasumber atau Informan

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi

tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2009: 132).

Sumber data yang berupa narasumber atau informan dalam penelitian ini

adalah seniman penggagas Wayang Kampung Sebelah. Sedangkan Informan

pendukung adalah Dosen Seni Rupa, Dosen Pedalangan, Mahasiswa Seni Rupa,

Guru Seni Rupa, dan Penonton Serius Wayang Kampung Sebelah sebagai

penghayat Wayang Kampung Sebelah.

2. Tempat dan Peristiwa

Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan

penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan

oleh peneliti (Sutopo, 2002: 52).

Tempat dan peristiwa merupakan salah satu sumber data yang sangat

penting, sebab di lokasi tersebut penelitian akan dilaksanakan. Tempat dan

peristiwa yang dimaksud adalah rumah Ki Jlitheng Suparman RT.05 RW.02, Desa

Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, juga di tempat

digelarnya pertunjukan Wayang Kampung Sebelah. Sedang peristiwa yang akan

diamati adalah pertunjukan Wayang Kampung Sebelah.

3. Arsip atau Dokumen

Dokumen merupakan sumber data yang berupa benda, gambar, dan

rekaman peristiwa. Dalam penelitian ini dokumen yang diambil adalah boneka

Wayang Kampung Sebelah, video dokumentasi Wayang Kampung Sebelah, serta

buku-buku tentang wayang.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian pengumpulan data merupakan persyaratan yang sangat

dibutuhkan, maka dalam penelitian ini diperlukan teknik-teknik untuk menunjang

(42)

commit to user

Dalam penelitian ini teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data

adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu. (Moleong, 2009: 186).

Wawancara di dalam penelitian kualitatif pada umumnya tidak dilakukan

secara terstruktur ketat dan dengan pertanyaan tertutup seperti di dalam penelitian

kuantitatif, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur, atau sering disebut dengan

“wawancara mendalam” (Sutopo, 2002: 59). Dalam wawancara mendalam teknik interview-nya bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam

suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama.

Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh

informasi tentang latar belakang munculnya Wayang Kampung Sebelah, proses

kreatif penciptaannya, serta untuk mendapatkan informasi tentang pesan yang

terdapat dalam Wayang Kampung Sebelah.

2. Observasi Langsung

Observasi adalah suatu kegiatan pengamatan terhadap perilaku yang

relevan dengan kondisi lingkungan yang tersedia di lokasi penelitian. Teknik

observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,

tempat atau lokasi dan benda serta rekaman gambar (Sutopo, 2002: 64).

Dalam penelitian ini penulis mengadakan observasi secara langsung, yaitu

penulis secara langsung terjun ke lokasi tujuan penelitian untuk mengamati

(43)

commit to user

Analisis Dokumen/ Arsip

Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki

posisi yang sangat penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2002: 69). Dalam

penelitian ini dokumen yang dianalisis berupa boneka Wayang Kampung Sebelah,

video dokumentasi Wayang Kampung Sebelah, serta buku-buku-buku yang

memuat teori mengenai masalah yang diteliti, yang diharapkan mampu membantu

memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Teknik Sampling

Teknik sampling atau teknik cuplikan adalah suatu bentuk khusus atau

proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada

seleksi (Sutopo, 2002: 55).

Dalam penelitan ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive

sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang dipilih berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sutopo (2002: 56) menyatakan bahwa dalam

purposive sampling, peneliti cenderung memilih informan yang dianggap

mengetahui informasi dan masalahanya secara mendalam dan dapat dipercaya

untuk menjadi sumber data yang mantap.

Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah seniman penggagas

Wayang Kampung Sebelah. Adapun sampel wayang yang akan dianalisis adalah

tokoh-tokoh baku dalam wayang kampung sebelah, yaitu: Lurah Somad, Eyang

Sidik Wacono, Karyo, Kampret, Parjo, Silvy, Blegoh, Joni, Sudrun, Mbah Modin,

Mbah Keblak, Cak Dul, Komaramarimari, dan Minul Darah Tinggi.

F. Validitas Data

Data yang berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan

penelitian harus diusahakan kemantapan dan keabsahannya. Karena validitas dan

kebenaran data merupakan sesuatu yang sangat penting dalam penelitian.

Sehingga atas dasar tersebut maka data perlu diuji kebenaran dan keabsahannya

(44)

commit to user

1. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau

sebagai data pembanding terhadap data itu (Moleong: 2009: 330).

Dalam penelitian ini digunakan triangulasi sumber, yaitu membandingkan

berbagai sumber data yang diperoleh berupa daftar hasil wawancara informan,

observasi dan analisis dokumen/ arsip.

2. Review Informan

Review informan merupakan usaha pengembangan validitas penelitian

yang sering digunakan oleh peneliti kualitatif. Pada waktu peneliti sudah

mendapatkan data yang cukup lengkap dan berusaha menyusun sajian datanya

walaupun mungkin masih belum utuh dan menyeluruh, maka unit-unit laporan

yang telah disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informannya, khususnya

yang dipandang sebagai informan pokok (key informan). Hal ini perlu dilakukan

untuk mengetahui apakah laporan yang ditulis tersebut merupakan pernyataan

atau deskripsi sajian yang disetujui mereka (Sutopo, 2002: 83). Dalam penelitian

ini data yang sudah disusun akan ditunjukkan kepada para informan untuk

diperiksa kembali untuk menjaga keabsahannya.

G. Teknik Analisis Data

Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2009: 280) mendefinisikan bahwa

analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan

tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan

sebagai usaha secara formal untuk memberikan bantuan pada tema hipotesis kerja

itu.

Proses analisis data dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman data

dan penarikan simpulan data yang telah terkumpul melalui wawancara, observasi

dan dokumentasi. Analisis data dilakukan untuk mencari dan menata kembali

secara sistematis catatan dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi.

Analisis data yang digunakan bertujuan untuk pemahaman penelitian tentang

(45)

commit to user

Untuk menganalisis latar belakang kemunculan Wayang Kampung

Sebelah, bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah dan tanggapan masyarakat

(apresiator), digunakan analisis kritik holistik Sutopo (1995). Kerja analisis kritik

holistik berorientasi pada faktor genetik (seniman), obyektif (karya), dan afektif

(apresiator). Tiga sumber nilai tersebut dikaji secara lengkap dan seimbang agar

(46)

commit to user

(47)

commit to user

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah tahap-tahap atau langkah-langkah yang harus

ditempuh seorang peneliti agar penelitian yang akan dilakukannya berjalan

dengan sistematis, sehingga dapat mencapai tujuan. Sedangkan prosedur yang

ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap pra lapangan

a. Menyusun proposal penelitian.

b. Mengurus perijinan.

c. Mengadakan pra survey.

d. Memilih dan memanfaatkan informasi yang bersifat informal.

e. Menyiapakan perlengkapan penelitian.

2. Tahap observasi lapangan

a. Memahami latar belakang penelitian dan persiapan diri.

b. Mendapatkan data selengkap mungkin, dengan terlibat langsung

dalam kancah.

3. Tahap analisis data.

a. Memantapkan analisis awal pada data-data yang sudah masuk.

b. Melaksanakan analisis pada kasus tunggal sesuai dengan teknik

analisisnya sehingga diperoleh simpulan dan saran-saran.

c. Menyusun simpulan akhir sebagai hasil penelitian dan saran-saran

keseluruhan dari proses pengumpulan data dan analisis.

4. Tahap penyusunan laporan.

a. Mengatur data serta memeriksa kembali kelengkapannya.

b. Menulis laporan lengkap.

c. Memeriksa kesatuan laporan.

(48)

commit to user

29 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Munculnya Boneka Wayang Kampung Sebelah

Munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah sebagai sebuah karya

wayang kreasi baru tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pertunjukan Wayang

Kampung Sebelah dan kreator yang memprakarsainya. Pertunjukan wayang

yang di dalamnya terdapat beberapa cabang kesenian yaitu seni rupa, seni

musik, dan seni sastra tentu memiliki keterkaitan satu sama lain, yang

semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu menyampaikan pesan. Boneka

Wayang Kampung Sebelah, sebagai sebuah hasil karya rupa yang menjadi

bagian dari pertunjukan memiliki peran sebagai media penyampai pesan yang

terkandung dalam cerita (lakon) yang dibawakan dalam pertunjukan. Untuk

itulah aspek sejarah perlu ditelaah untuk dapat memahami karya rupa yang

berbentuk boneka wayang ini.

1. Sejarah Wayang Kampung Sebelah

Awal lahirnya Wayang Kampung Sebelah tidak bisa dilepaskan dari

sosok Suharman atau yang akrab dipanggil “Mance”, salah seorang dosen seni rupa IKIP Surabaya (sekarang UNESA). Dosen yang berlatar belakang disiplin

seni lukis itu melahirkan karya seni rupa berbentuk boneka wayang. Namun,

boneka wayang hasil karya cipta Suharman tersebut jauh berbeda dengan

boneka wayang yang banyak dikenal oleh masyarakat. Boneka Wayang dua

dimensi buatannya berbahan dari kulit yang berbentuk manusia masa kini yang

dideformasi. Seperti yang dikatakan salah seorang perintis Wayang Kampung

Sebelah (WKS), Yayat Suhiryatna sebagai berikut:

“Sejarah singkatnya itu ada pelukis dan dosen dari Surabaya namanya Suharman, dia bikin boneka seperti wayang Purwa tapi bentuknya sudah lain samasekali, lebih pada bentuk manusia yang dideformasi gitu lah. Tangannya lebih panjang, kakinya agak berbeda dengan ukuran manusia yang

(49)

commit to user

Semula karya itu memang sebatas sebagai karya seni rupa yang

merupakan bagian dari keinginan menginterpretasi medium kulit binatang

sebagai bahan boneka. Akan tetapi kemudian terbersit keinginan untuk

"menghidupkan" boneka wayang ke dalam bentuk seni pertunjukan. Untuk

merealisasikan keinginannya tersebut, Suharman bersama sejumlah mahasiswa

Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya (sekarang berganti

nama menjadi UNESA) dan didukung oleh beberapa seniman berusaha

melakukan eksplorasi. Langkah eksploratif tersebut telah menghasilkan sebuah

bentuk pertunjukan dalam format teatrikal. Dalam pelaksanaannya setiap tokoh

boneka dimainkan oleh satu orang tanpa menggunakan medium layar, tetapi

dengan medium ruang yang lengkap dengan properti dekoratif. Dialog

dilakukan oleh individu-individu memegang boneka tersebut dan dibantu oleh

narator. Demikian pertunjukan hasil eksplorasi dan dinamakan Wayang

Kampung (selanjutnya disingkat WK).

Hasil eksplorasi tersebut sempat dipentaskan di dua kota, yakni di

Surabaya dan di Surakarta. Dari kedua pementasan tersebut Suharman

mendapat masukan dan saran dari para seniman yang sempat mengikuti

pertunjukannya. Opini terbesar mengatakan bahwa pertunjukan wayang yang

dimaksudkan oleh Suharman untuk "menghidupkan" boneka wayangnya

dinilai kurang berhasil. Suharman dan kawan-kawan dinilai terjebak pada

permainan yang mengaburkan posisi boneka wayang sebagai media utama

untuk penyampaian cerita. Boneka wayang sebatas tampil sebagai properti

dekoratif terbiaskan oleh dominasi akting individu pemegang boneka.

Beberapa seniman menyarankankan agar Suharman mencari mitra yang tepat

untuk dapat benar-benar menghidupkan boneka karya ciptanya menjadi sebuah

pertunjukan sesuai yang dikehendaki.

Ketika Suharman melanjutkan studinya di Program Pascasarjana

Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (sekarang menjadi Institut

Seni Indonesia/ ISI) Surakarta pada tahun 1999, ia berusaha menindaklanjuti

saran-saran yang diterimanya agar dapat merealisasikan obsesinya

(50)

commit to user

beberapa seniman Solo, antara lain Ki Jlitheng Suparman (dalang), Yayat

Suhiryatna (musisi dan komposer) dan Sosiawan Leak (penyair dan

dramawan). Sebelum pertemuan tersebut terjadi, Ki Jlitheng Suparman dan

Yayat Suhiryatna juga memiliki obsesi untuk membuat pertunjukan wayang

yang untuk berekspresi tanpa terbelenggu oleh norma-norma estetik yang ketat

seperti yang terjadi pada pertunjukan wayang tradisional, seperti wayang kulit

Purwa, menyambut dengan antusias tawaran Suharman untuk melakukan

eksplorasi bersama.

Pertemuan Suharman dengan ketiga tokoh seniman dari Solo tersebut

membuahkan gagasan konseptual yang menjadi landasan bereksplorasi. Ki

Jlitheng Suparman yang memang berbasis disiplin seni pedalangan wayang

kulit Purwa memiliki pandangan bahwa boneka wayang karya cipta Suharman

yang berwujud dua dimensi tidak bisa lepas dari unsur media latar seperti

halnya wayang kulit Purwa. Untuk menghidupkan boneka WK tidak ada

buruknya mengadopsi media yang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit

Purwa, yakni unsur layar sebagai latar, unsur batang pohon pisang untuk

menancapkan boneka, dan unsur blencong (lampu untuk layar) sebagai

penerangan sekaligus pembentuk bayang- bayang. Perihal pemakaian unsur

perlengkapan bantu lain seperti keprak, cempala, dan lain sebagainya, dapat

dipertimbangkan selanjutnya menyesuaikan kebutuhan dalam proses

eksplorasi.

Yayat Suhiryatna yang berbasis disiplin musik, baik tradisonal maupun

modern memiliki pandangan bahwa iringan WK semestinya dibuat spesifik dan

unik sesuai dengan karakter boneka berikut kisah yang dibawakannya. Secara

kebetulan Yayat Suhiryatna yang komposer sudah melakukan eksplorasi

musikal dan melahirkan sebuah kelompok dengan gaya musik alternatif

lengkap dengan repertoar karya ciptanya. Hasil eksplorasi musikal tersebut

yang ditawarkan untuk menjadi bagian dari pertunjukan WK.

Sosiawan Leak yang berbasis kepenyairan dan teater berpandangan

bahwa boneka Wayang karya cipta Suharman memang tepat untuk mengangkat

Gambar

Tabel 1. Tanggapan Penghayat  ......................................................................
Gambar 1. Lurah Somad
Gambar 2. Eyang Sidik Wacono
Gambar 3. Blegoh
+7

Referensi

Dokumen terkait