Prior Informed Consent (PIC) dalam Basel Convention dan Penerapannya dalam Hukum Positif Indonesia1
Marcelino H. Latuputty2
Perpindahan lintas batas limbah-limbah berbahaya bermula dari krisis
energi yang dialami Negara-negara maju pada periode 1970-an. Krisis energi ini
mendorong para pengusaha untuk menganggarkan biaya produksi dan konsumsi
seminimal mungkin. Pada saat yang bersamaan, terdapat pula pengetatan standar
lingkungan lokal. Hal tersebut mendorong pengusaha dan broker (perantara untuk
pembuangan limbah) untuk mencari tempat-tempat pembuangan baru yang lebih
murah biayanya. Akhirnya Negara-negara dunia ketiga dijadikan sasaran untuk
membuang limbah-limbah tersebut.3 Di Negara-negara dunia ketiga,
limbah-limbah ini menimbulkan permasalahan untuk generasi mendatang. Dalam
merespon protes internasional (khususnya dari negara-negara miskin yang menjadi
target penerima limbah-limbah) UNEP (The United Nations Environment
Programme) mensponsori pembentukan Konvensi Global untuk Mengontrol
Perpindahan Lintas Batas dari Limbah-limbah Berbahaya dan Pembuangannya.4
Limbah berbahaya merupakan sebuah bom waktu bagi masyarakat di
Negara-negara berkembang yang menjadi sasaran permbuangan limbah-limbah
dari Negara-negara industri maju. Sudah banyak penelitian yang memaparkan
bahaya dan resiko yang akan ditanggung oleh masyarakat Negara-negara
berkembang. Efeknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dapat timbul dengan cepat. Pada tulisannya yang berjudul “Toxic Terrorism”, Phil O’Keefe (1988) menulis beberapa contoh perdagangan limbah dari Negara maju ke Afrika.
1 Ujian Akhir Semester Desember 2017 Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Lingkungan pada
Program Pascasarjana Hukum Transnasional Universitas Indonesia, Dosen Pengampu: Prof. Melda Kamil Ariadno, SH., LL.M., Ph.D.
2 Mahasiswa Pascarsarjana Hukum Transnasional, Universitas Indonesia. NPM: 1706084746,
korespondensi: marcelino.h@ui.ac.id
3Anara Noora Pitaningtiyas. “Globalisasi dan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya.” Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus (2010): 96-97.
Sedangkan dalam tulisan “Unfair Trade e-Waste in Africa” (2006), Charles W. Schmidt mengungkapkan bahwa selain limbah-limbah kimia dan abu yang dikirim
ke Afrika, terdapat pula limbah barang-barang elektronik atau yang biasa disebut
e-Waste. Charles W. Schmidt dalam tulisannya yang lain, “e-Junk Explosion” (2002),
juga menjelaskan tentang limbah-limbah elektronik yang dikirimkan ke Asia.5
Kekhawatiran mengenai limbah-limbah yang berbahaya juga dituliskan
oleh Charit Tingsabadh dan Pracha Jantarasarsophon pada tulisannya yang berjudul “Electrical Impacts of Trade Liberalization” (2007). Mereka mengungkapkan kekhawatiran mengenai perdagangan bebas yang turut meliputi perdagangan
limbah-limbah elektrik dan elektronik, serta dampaknya terhadapa lingkungan
hidup dan mengambil keuntungan dari kesempatan pasar.6 Jonathan Krueger dalam
tulisannya “The Basel Convention and the International Trade in Hazardous Wastes” (2001) menjelaskan juga mengenai limbah berbahaya, mulai dari bentuk, efeknya terhadap kesehatan manusia, total produksi setiap tahunnya serta biaya
untuk pembuangan limbah. Mengapa permasalahan perdagangan limbah-limbah ini menjadi penting juga diangkat oleh Jennifer Clapp dalam tulisannya “The Toxic Waste and Political Alliances” (1994).7
Sementara itu, Duncan Barak menuliskan laporan yang berjudul “The Growth and Control of International Environmental Crime” (2004) bahwa berbagai bentuk kejahatan lingkungan seperti illegal logging, illegal fishing, perdagangan
illegal margasatwa dan bahan-bahan berbahaya bagi ozon dan pembuangan illegal
limbah-limbah berbahaya menghasilkan keuntungan 20-40 juta dollar per tahun,
sekitar 5-10% dari perdagangan narkotika. Thaqal S. Al-Ajmi dalam tulisannya yang berjudul “Maritime Transport of Environmentallly Damaging Materials : A Balance Absolute Freedom and Strcit Probition” (2007) mengemukakan alasan-asalan yang membuat Negara-negara industri mengekspor limbah yang berbahaya
a. Negara-negara maju akan membebaskan diri mereka dari potensi yang
membahayakan masyarakat dan lingkungan mereka.
b. Negara-negara maju atau perusahaan lokal telah menghemat sejumlah uang.
c. Menghindari regulasi pemerintahan yang ketat.
Akibat pelarangan perdagangan limbah-limbah berbahaya tersebut terhadap sistem perdagangan Eropa dibahas oleh Brian Wynne dalam tulisannya “The Toxic Waste Trade: International Regulatory Issues and Options” (1989). Selain itu,
Odette Jankowitsch dalam tulisannya “A Code of Practice on the International Transboundary Movement of Radioactive Waste” (1990) mengungkapkan kebutuhan disusunnya Undang-undang Internasional mengenai perpindahan lintas
batas limbah-limbah radio aktif.9 Jennifer Clapp, dalam tulisannya “The Toxic
Waste Trade with Less-Industrialised Countries : Economic Linkages and Political Alliances” (1994) selain membahas tentang hubungan antara perdagangan limbah-limbah berbahaya dengan Negara-negara yang kurang industrialisasinya, ia juga
menjelaskan mengenai usaha Negara-negara dunia ketiga dan NGO internasional
yang melarang perdagangan limbah-limbah berbahaya.10
Jonathan Krueger (2001) juga turut membahas tentang hal ini. Ia
menuliskan bahwa Konvensi Basel yang dinegosiasikan antara tahun 1978 samapi
1989 adalah respon dunia internasional. Tujuan dari Konvensi Basel adalah untuk
meminimalisasi pemroduksian limbah-limbah berbahaya dan untuk mengontrol
dan mengurangi perpindahan lintas batas mereka sebagai usaha untuk melindungi
kesehatan manusia dan lingkungan. Dampak dari Konvensi ini adalah telah
menolong dengan memberikan banyak tekanan politik pada Negara-negara
pengekspor untuk mulai membentuk perilaku ini.11
Bentuk usaha yang nyata dari Konvensi Basel untuk mengurangi
meratifikasi Konvensi Basel. Usaha untuk memerangi perdagangan limbah-limbah
berbahaya juga dialkukan oleh Thailand, hal tersebut diungkapkan oleh Charit
Tingsabadh dan Pracha Jantarasarsophon dalam tulisannya yang berjudul “Electrical dan Electric Equipment – Environmental Impacts of Trade Liberalization” (2007). Dijelaskan bahwa Thailand telah menyusun sistem pengawasan dan inspeksi efisien yang layak untuk barang-barang yang poin
masuknya berbeda; bagaimanapun ada usaha lebih lanjut untuk mengawasi
pergerakan barang-barang dalam negeri untuk memastikan WEEE tidak diimpor
secara illegal untuk dibuang di Thailand.12
Selain pihak-pihak yang berusaha untuk mengkonsepkan kebijakan yang
ideal untuk melarang perdagangan limbah-limbah berbahaya, ternyata ada pula
yang berpendapat bahwa usaha pelarangan total limbah-limbah berbahaya akan
menjadi hal yang sia-sia belaka. Hal tersebut diungkapkan Al Ajmi (2007) bahwa
larangan total bagi ekspor limbah-limbah berbahaya tidak menyelesaikan masalah,
dikarenakan banyak alasan.13 Globalisasi sendiri turut memberikan peran dalam
terjadinya perdagangan limbah. Chandan Sengupta dalam tulisannya yang berjudul “Conceptualising Globalisation: Issues and Implications” (2001) membahas mengenai fenomena globalisasi dan segala dampaknya. Deborah C. Poff dalam tuliasannya yang berjudul “Reconciling the Irreconcilable: The Global Economy and the Environment” (1994) memberikan penjelasannya akan globalisasi dan dampaknya terhadap lingkungan. Ia menjelaskan dalam era globalisasi,
Negara-negara bukan hanya berkompetisi dalam privatisasi dan liberalisasi ekonomi,
namun juga keberlanjutan lingkungan.14
Konvensi Basel sendiri mengatur tentang Pengawasan Perpindahan Lintas
Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya (Basel Convention on
the Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal), yang merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi menyeluruh
mengenai pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang
12 Ibid.
diselenggarakan oleh UNEP, yaitu badan khusus PBB yang bergerak di bidang
permasalahan lingkungan hidup.15 Konvensi Basel menjadi instrumen yang sangat
penting bagi Indonesia dan juga negara-negara lainnya untuk melindungi kesehatan
dan lingkungan hidup dari kontaminasi limbah.16 Konvensi Basel merupakan
perjanjian internasional yang diadakan untuk mengurangi perpindahan limbah
berbahaya antarnegara. Secara khusus, konvensi ini diberlakukan untuk mencegah
pengiriman limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Konvensi
ini terbuka untuk ditandatangani sejak 22 Maret 1989 dan dinyatakan berlaku sejak
5 Mei 1992.
Selain mengatur mengenai kewajiban umum Negara Pihak, pembatasan
perpindahan limbah berbahaya lintas Negara dan ruang lingkup Konvensi,
Konvensi Basel juga mengatur mengenai prosedur Prior Informed Consent (PIC).17
Dalam proses perpindahan limbah B3 antar Negara, berlaku prinsip PIC. Prinsip ini
mengharuskan tiap persetujuan atas perdagangan limbah B3 didasarkan atas segala
keterangan yang telah diperoleh sebelumnya. Sehingga Negara Pihak harus
mengetahui terlebih dahulu berbagai hal terkait limbah B3 yang akan dikirimkan
baik jenis limbahnya, asalnya, pihak operatornya, tempat pembuangannya dan lain
lain. Prosedur ini sendiri diatur di dalam Pasal 6 dan 7 serta lampiran VA. Negara
pihak harus menentukan setidaknya satu otoritas yang berwenang untuk mengurus
administrasi prosedur (Pasal 2, ayat 6 jo. Pasal 5 ayat 1), kemudian mereka harus
saling menginformasikan satu sama lain lewat sekretariat mengenai agensi yang
dipercaya untuk mengemban fungsi ini (Pasal 5 ayat 2 dan 3 jo. Pasal 13 ayat 2(a)).
Peran Negara pengekspor dan pengimpor serta Negara transit dalam pelaksanaan
15https://www.unenvironment.org/, diakses 29 Desember 2017, pukul 11:43 WIB.
16 Berita Bumi, Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal,
http://beritabumi.or.id/konvensi-basel-indonesia-rentan-perpindahan-limbah-b3-ilegal/, diakses 29 Desember 2017, pukul 12:30 WIB.
17Lihat Katharina Krumer. “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous
prosedur PIC dan limbah B3 yang masuk dalam objek pengaturan akan dijelaskan
sebagai berikut:18
a. Posisi dari Negara Pengekspor dan Pengimpor
Negara Pengekspor memiliki tugas untuk memberitahukan Negara yang
akan mengimpor dan Negara transit dari proses perpindahan limbah B3 lintas
Negara. Negara pengekspor dapat memberitahukannya secara sendiri atau
meminta penghasil limbah ataupun pelaku eksportir yang melakukannya.
Informasi harus diberitahukan sedetail mungkin kepada otoritas dari Negara
pengimpor dan Negara transit untuk menaksir resiko lingkungan dari
pengiriman tersebut. Hal ini diatur di lampiran VA. Segala informasi mengenai
alasan ekspor dan pihak penghasil B3, situs pengasil limbah B3 tersebut, asal
limbah dan pengemasannya, tempat pembuangannya dan pihak penampungnya
serta metode pengolahannya harus dilaporkan serinci mungkin (Pasal 6 ayat1).
Sejalan dengan Pasal 6 ayat 6-8, Negara pengekspor dengan persetujuan
pendahulu dari Negara transit dan Negara importir, diizinkan untuk
menggunakan notifikasi umum dalam pengapalan limbah B3 yang memiliki
karakteristik dan rute perjalanan yang sama dalam jangka waktu 12 bulan.19
Negara pengimpor harus merespon secara tertulis baik itu persetujuan
transportasi limbah dengan atau tanpa persyaratan, penolakan pemberian ijin
ataupun permintaan informasi lebih lanjut atas limbah B3 yang akan
dikirimkan. Dalam balasannya Negara pengimpor lebih harus mengonfirmasi
keberadaan kontrak antara ekportir dan penerima limbah juga memastikan
bahwa pengelolaan limbah B3 harus ramah lingkungan. Salinan balasan
terakhir harus dikirimkan ke otoritas yang kompeten dari semua negara yang
terlibat dalam transaksi (Pasal 6, ayat 2 dan 3 (b)).20
18Danar Anindito M. “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang
Disepakati dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Januari 2012, hlm. 35.
Negara pengekspor tidak diizinkan memulai pengeksporan hingga
diterimanya persetujuan tertulis dari Negara pengimpor bersama dengan
konfirmasi atas kebenaran kontrak (Pasal 4, ayat 1 (c); Pasal 6 ayat 2 dan 3).
Konvensi tidak memberikan batasan waktu atas respons dari Negara
pengimpor. Kemudian persetujuan Negara pengimpor harus disampaikan
secara eksplisit dan tanpa syarat. Setelah segala prosedur lengkap, baik Negara
pengekspor maupun eksportirnya harus segera diberitahu (Pasal 6, ayat 9)21
Sekilas regulasi mengenai persyaratan ekspor dan impor terlihat detail,
namun tetap ada kelemahan. Diantaranya adalah tidak adanya kewajiban bagi
Negara pengekspor untuk memverifikasi konten kontrak yang disepakati antar
pelaku eksportir dan importir. Jadi transaksi dapat dimulai hanya dengan
konfirmasi atas keberadaan kontrak. Kemudian salinan dari kontrak atau
kesepakatan kerjasama perpindahan limbah harus dikirimkan ke sekretariat bila
ada Negara pihak yang memintanya dengan alasan perpindangan limbah B3 itu
dapat memberikan dampak lingkungan bagi Negara-nya (Pasal 13 ayat 4).22
b. Kedudukan Negara Transit
1) Negara Transit yang juga Pihak Konvensi
Menurut Pasal 6 ayat 4 setelah menerima notifikasi, suatu Negara
transit yang juga menjadi Negara Pihak Konvensi harus segera
menyampaikan bahwa notifikasi telah diterima (Pasal 6, ayat 4, kalimat
pertama). Tidak ada batas waktu secara mendetail, namun penggunaan kata “segera” mengindikasikan bahwa harus dilakukan sesingkat mungkin. Kemudian Negara transit wajib merespon secara tertulis dalam waktu 60
hari dimana lalu lintas limbah B3 tidak diizinkan untuk dimulai tanpa
adanya persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu tersebut (Pasal 6 ayat
4).23
2) Negara Transit yang bukan Pihak Konvensi
21 Ibid.
22 Ibid.
Hal ini berpedoman pada Pasal 7 yang menggariskan bahwa
kedudukan Negara transit yang non-pihak Konvensi mengacu pada Pasal 6
ayat 2 secara mutatis mutandis. Pasal 6 ayat 2 ini sendiri sebenarnya
memberikan pedoman bagi Negara importir dalam mengaplikasikan prinsip
PIC. Jadi dengan kata lain, dalam hal ini Negara transit yang bukan pihak
Konvensi memiliki hak yang sama dengan Negara importir dalam proses
PIC.24
c. Limbah yang didefinisikan sebagai Limbah B3 oleh Hukum Nasional
Konvensi Basel menggariskan bahwa limbah yang didefinisikan sebagai limbah
B3 oleh regulasi nasional juga menjadi objek pengaturan Konvensi walaupun
tidak termasuk ke dalam limbah B3 yang ditetapkan Konvensi (Pasal 1 ayat
1(b)). Jadi dalam hal suatu Negara telah mendefinisikan suatu limbah sebagai
limbah B3 maka berlaku hak dan kewajibannya dalam segala transaksi dimana
terutama menyangkut implementasi prosedur PIC dengan Negara lain walaupun
Negara lainnya tersebut tidak menggolongkan limbah terssebut sebagai limbah
B3 dalam hukum nasionalnya (Pasal 6, ayat 5 (a)-(c)).25
Pengaturan mengenai prosedur PIC selain terdapat dalam Konvensi Basel,
juga terdapat dalam Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent
Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade
(Konvensi Rotterdam).26 Prinsip pokok Konvensi Rotterdam mengatur mengenai
perlunya pengelolaan yang benar untuk bahan-bahan kimia berbahaya dan pestisida
di semua Negara dengan memperhatikan The International Code of Conduct dan
The UNEP Code of Ethics on the International Trade in Chemical.27 Serta perlunya pengemasan dan pemberian label yang benar dari bahan-bahan kimia berbahaya
24 Ibid.
25 Ibid.
26 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Rotterdam dengan Undang-undang Republik Indonesia No.
10 tahun 2013 tentang Pengesahan Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahay Tertentu dalam Perdagangan Internaional)
27 Melda Kamil Ariadno, Bahan Ajar/Modul (Teaching Material) Hukum dan Kebijakan
dan pestisida yang akan diperdagangkan secara internasional sesuai dengan prinsip
the Amended London Guidelines dan International Code of Conduct.28
Materi pokok dari Konvensi Rotterdam dapat dijelaskan sebagai berikut:29
a. Apabila suatu Negara melarang atau membatasi penggunaan pestisida tertentu
karena alasan kesehatan dan keamanan manusia serta lingkungan, maka Negara
tersebut akan memberitahui FAO dan UNEP melalui Joint Programme
FAO/UNEP on implementation of PIC atau Sekretariat bersama FAO dan
UNEP. Kemudian Joint Programme akan menyampaikan keputusan tersebut
kepada semua negara peserta yang telah memutuskan berpartisipasi dalam
kerangka PIC.
b. Masing-masing Negara kemudian akan menetapkan apakah Negara tersebut
mengeluarkan pembatasan serupa atau tidak bergantung kepada keadaan
setempat. Joint Programme FAO/UNEP, berikutnya akan memberitahu
pemerintah atau Negara peserta mengenai keputusan yang telah diambil.
Setelah itu, pihak-pihak pemerintah tersebut harus menjamin bahwa
industri-industri bahan kimia dan pestisida di Negara-nya mematuhi keputusan tersebut.
Terdapat juga ketentuan pokok Konvensi Rotterdam yang mengatur sebagai
berikut:30
a. Pembentukan prosedur PIC
1) Pestisida dan bahan kimia industri yang telah dilarang atau sangat dibatasi
untuk alasan kesehatan atau lingkungan.
2) Pemberitahuan dari satu atau dua wilayah tertentu.
3) Formulasi pestisida yang sangat berbahay terkait dengan kondisi
penggunaan di Negara-negara berkembang atau Negara dengan transisi
ekonomi.
b. Lampiran III yang menetapkan 40 jenis bahan kimia, termasuk 25 pestisida, 4
formulasi pestisida sangat berbahaya dan 11 bahan kimia industri.
28 Ibid.
c. Decision Guidance Document (DGD), merupakan keputusan akhir (untuk memungkinkan impor bahan kimia, tidak mengizinkan impor, atau membiarkan
impor dengan tunduk pada syarat-syarat tertentu) atau tanggapan interim. DGD
akan diedarkan kepada para Negara pihak, dan Negara pihak memiliki waktu 9
bulan untuk mempersiapkan respon.
d. Pertukaran informasi mengenai bahan kimia dalam lingkup yang sangat luas
e. The Prior Informed Consent (PIC) regions. f. “Chemical Review Committee”.
Prosedur PIC juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat 5 CBD yang
menyebut:
“Akses terhadap sumber daya genetika wajib mematuhi prior informed consent dari Negara pihak terkait yang menyediakan sumber daya tersebut, kecuali jika
ditentukan lain oleh Negara pihak tersebut.”
Dalam Protokol Nagoya dijelaskan juga mengenai PIC. Pasal 6 Protocol Nagoya
menjelaskan bahwa akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan
atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya
genetik.
Sebagai Negara Kepulauan terbesar yang perairannya sangat luas, Indonesia
rentang terhadap perpindahan limbah B3 secara illegal. Perpindahan limbah B3
yang menggunakan sarana angkutan laut tentunya berpotensi untuk mencemari laut
akibat zat beracun dan berbahaya. Indonesia juga termasuk Negara yang menerima
permasukkan limbah B3 dari Negara-negara maju, hal tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia bisa saja menjadi lahan untuk pembuangan limbah B3 secara
mudah. Oleh karena itu, Indonesia telah menjadi salah satu Negara yang
meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Indonesia juga telah meratifikasi
Pembuangannya) dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun
2005.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun
1993, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi tersebut karena:
a. Bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau
dengan perairan terbuka, oleh karena itu sangat potensial sebagai tempat
pembuangan limbah berbahaya dan beracun secara illegal dari luar negeri;
b. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar wilayah
Republik Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya,
dipandang perlu menjadi pihak pada Konvensi tersebut.
Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka memasukkan limbah B3 kedalam
wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada Pemerintah
Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
undang-undang nasional. Karena jika hal tersebut dilanggar dapat dianggap sebagai
suatu tindak pidana, maka Indonesia dapat mengambil tindakan atau menerapkan
hukuman yang diatur oleh Indonesia. Selain meratifikasi dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan
hukum mengenai pengelolaan limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai
macam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan limbah B3 di
Indonesia. Ketentuan tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana yang berkaitan dengan limbah bahan berbahaya dan beracun. Peraturan
Pemerintah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun;
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun;
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Selain diatur dengan Peraturan Pemerintah, Badan Pengendalian Dampak
Lingkungn (BAPEDAL), juga telah mengeluarkan keputusan-keputusan mengenai
pengelolaan limbah B3, yaitu:
a. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 68 Tahun 1994 Tentang Tata Cara
Memperoleh Penimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan dan
Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
b. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 1 Tahun 1995 Tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun;
c. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1995 Tentang Dokumen Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun;
d. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor 3 Tahun 1995
Tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;
e. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 4 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pesyaratan
Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan
Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
f. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 5 Tahun 1995 Tentang Simbol dan label
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
g. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1998 Tentang Tata Laksana
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
h. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 3 Tahun 1998 Tentang Program Kemitraan
dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Dasar hukum dari terbentuknyaa BAPEDAL dapat dilihat dalam Keppres
No 10 Tahun 2000 Tentang BAPEDAL, dimana BAPEDAL mempunyai fungsi
dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).31 Peraturan PerUndang-undangan yang
ada di Indonesia merupakan suatu wujud respon Indonesia sebagai salah satu negara
yang meratifikasi Konvensi Basel 1989. Peraturan-peraturan tersebut dibuat agar
penerapan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun dapat berjalan baik dan
sesuai dengan tujuannya. Peraturan tersebut dijadikan suatu pedoman dalam
mengatasi permasalahan limbah B3. Mengenai perpindahan atau pembuangan
limbah B3 dari negara lain, Indonesia dengan tegas melarang semua pihak untuk
memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI.
Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan impor limbah B3
mengalami pasang surut. Sebelum meratifikasi Konvensi Basel pada tahun 1993
melalui Keppres No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan impor limbah
B3. Dengan meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang
aktivitas perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan
teknologi pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor
limbah B3 untuk tujuan pengolahan. Diterbitkannya PP No. 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah B3 menegaskan pelarangan impor limbah B3 dengan alasan
apa pun. Atas desakan kepentingan industri, melalui PP No. 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan PP No. 19 Tahun 1994 Indonesia kemudian menerapkan pelarangan
Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk penambahan bahan baku bagi
kegiatan industri. Tindakan ini dianggap memberikan peluang berdirinya
industri-industri baru yang menggunakan limbah B3 sebagai bahan baku yang disinyalir
sebagai modus baru aliran masuk limbah B3 ke Indonesia.
Diundangkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, PP No. 12 Tahun 1995 dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih
tinggi mengenai pelarangan impor limbah. Dengan diterbitkannya PP No. 18 Tahun
1999 yang kemudian diubah menjadi PP No. 85 Tahun 1999, Indonesia akhirnya
kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara total dengan alasan
apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi acuan bagi
pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula
31 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan Pengendalian
UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18 Tahun 2008
tentang Persampahan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan: “Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan
hidup Indonesia”.
Larangan impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam
batas wilayah NKRI mempunyai hambatan, limbah B3 sering kali tetap masuk ke
Indonesia. Menurut pihak bea cukai, meskipun pengamanan telah dilakukan secara
rutin, masih terdapat temuan penyelundupan kontainer yang mengandung limbah
B3 dengan berbagai modus.32 Modus tersebut antara lain:
a. mencampurkan limbah B3 dengan bahan lain;
b. memalsukan dokumen barang;
c. membuang limbah B3 di lepas pantai (open sea discharge).
Kendala yang dialami dalam mengamankan wilayah laut dari
penyelundupan limbah B3 adalah keterbatasan petugas dan fasilitas pengamanan.
Fasilitas utama yang paling diperlukan dalam memantau masuknya limbah B3 di
pelabuhan contohnya adalah laboratorium pemeriksaan. Fasilitas tersebut sama
sekali belum menjadi perhatian untuk diadakan atau dioperasikan.33
Kemudian Desentralisasi pemerintahan turut mendorong banyak eksportir
limbah B3 melirik kabupaten, terutama di daerah terpencil, untuk menerima limbah
B3. Tawaran tersebut diikuti dengan iming-iming kompensasi yang besar untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti kasus impor limbah B3 dari
Korea Selatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Selain tawaran
dana yang menggiurkan bagi pemerintah daerah, pengetahuan tentang potensi
bahaya limbah B3 dan pemahaman terhadap kebijakan pelarangan impor limbah
B3 yang rendah turut menjadi alasan kejadian seperti ini masih saja terjadi. Jika
pengetahuan kepala daerah masih rendah seperti sekarang ini, peluang lolosnya
32 Teddy Prasetiawan. “Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).”
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sektretariat Jenderal DPR RI (2012): 147.
limbah B3 ke Indonesia tentu sangat besar.34
Selain itu, Indonesia masih saja terjebak dalam kondisi yang secara tidak
langsung mengesahkan impor limbah B3 melalui perjanjian bilateral. Perjanjian
dagang dengan Jepang misalnya, program IJEPA (Indonesia-Japan Economic
Partnership Agreement) yang menyangkut perdagangan bebas, investasi, dan
kebijakan ekonomi, mencantumkan daftar barang-barang yang boleh
diperdagangkan. Salah satu barang yang dimaksud adalah limbah B3. Walaupun
perjanjian dagang ini pada prinsipnya harus mengacu pada hukum nasional, namun
ini menunjukkan bahwa tidak semua pihak memahami kebijakan Indonesia yang
melarang impor limbah B3.
Salah satu contoh kasus terkait pelanggaran Negara terhadap Konvensi
Basel dapat dilihat dalam pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel yang
melakukan Digital Dumping Ground di Nigeria.35 Berdasarkan pasal 9 dari
Konvensi Basel, disebutkan bahwa suatu perpindahan limbah berbahaya
antarnegara bisa dikatakan ilegal jika berada dalam kondisi-kondisi berikut ini: (1)
mengirimkan sampah elektronik tanpa adanya pemberitahuan yang berdasarkan
pada suatu konvensi dari semua negara yang terlibat; (2) pengiriman sampah
elektronik tanpa persetujuan negara yang terlibat; (3) pengiriman sampah yang
melalui persetujuan yang dipalsukan atau berbentuk penipuan; (4) barang yang
dikirim tidak sesuai dengan material yang tertulis di dokumen perjanjian; (5) ketika
aliran sampah elektronik tersebut dengan sengaja dibuang dengan tidak
mengindahkan peraturan konvensi dan hukum internasional, maka pihak yang
terlibat diminta membawa kasus tersebut pada pihak sekretariat untuk diambil
tindakan yang tepat (Basel Action Network, 2011). Berdasarkan Annex VII, salah
satu jenis dari kategori limbah berbahaya adalah limbah rakitan listrik dan
elektronik atau potongan yang mengandung komponen seperti akumulator dan
baterai (Annex VII nomor A1180 dan B1180 Konvensi Basel).36
34 Ibid.
35 Yulius Haryadi. “Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping Ground di Nigeria.” Journal of International Relations, Volume 3 No. 4 (2017: hlm. 32-39.
Inggris adalah negara dengan tingkat pembuangan tertinggi diantara negara
Eropa lain dengan membuang sekitar 394 kiloton sampah elektronik ke negara lain
pada periode satu tahun. Sampah elektronik yang dihasilkan Inggris ini akan
dibuang menuju jalur-jalur yang biasanya dipakai sebagai jalur pembuangan
sampah elektronik dari Inggris, yaitu ke Afrika Barat dan sebagian kecil ke Asia
(ESAET, 2014). Inggris memproduksi sekitar 800 juta ton sampah elektronik pada
tahun 2012 (ESAET, 2014). Sampah elektronik yang dihasilkan oleh Inggris
umumnya dibuang ke wilayah Afrika Barat dan ada sedikit yang ke Pakistan.37
Environmental Agency memperkirakan bahwa separuh dari semua komputer yang dibuang di Inggris berujung pada pembuangan ke pasar gelap.
Penelitian oleh media dan LSM telah berulang kali mendokumentasikan ekspor
sampah elektronik ilegal dari Inggris ke berbagai tujuan, terutama Nigeria, Ghana
dan Pakistan (The Times, 2009). Selain keuntungan finansial untuk industri daur
ulang domestik yang disorot di atas, metode yang digunakan untuk membuang dan
mengolah WEEE, seperti pembakaran, dapat mengakibatkan dampak kesehatan
yang buruk pada pekerja. Di situs-situs pembakaran dan daur ulang sampah
elektronik informal ini, bahan kimia berbahaya termasuk arsenik, berilium,
kadmium, timbal dan merkuri terkandung pada tingkat yang cukup tinggi dan dapat
menyebabkan masalah pernapasan, pencernaan, dan sistem saraf.38
Nigeria menjadi tujuan dari sampah elektronik yang berasal dari negara
negara maju, terkait dengan pembuangan Inggris ini, Nigeria menjadi negara yang
paling banyak menerima sampah elektronik dari Inggris. Sampah elektronik
biasanya masuk melalui distributor yang kemudian memilih barang elektronik
bekas yang dapat diperbaiki atau yang tidak dapat diperbaiki sama sekali. Barang
elektronik yang tidak dapat diperbaiki biasanya dikelola dengan cara dibakar atau
diambil komponen komponen yang masih bisa dijual. Sampah elektronik di Nigeria
melibatkan banyak orang dan profesi. Penduduk Nigeria cukup banyak terlibat
dalam dunia sampah elektronik ini dan menggantungkan hidup pada keberadaan
sampah elektronik tersebut. Sampah elektronik yang mereka kelola yang berasal
37 Ibid.
dari luar negeri dan masuk melalui impor cukup banyak jumlahnya. Impor yang
cukup banyak dari Nigeria ini berasal dari banyak negara. Nigeria menjadi salah
satu tujuan pembuangan sampah elektronik dari negara-negara di Eropa dan
Amerika Serikat (Greenpeace, 2011). Berdasarkan data dari Greenpeace, Nigeria
menjadi tujuan dari sampah elektronik yang berasal dari wilayah Eropa dan
Amerika Serikat. Dalam laporan yang dirilis UNEP tahun 2012 ini, pada periode
Maret sampai Juli tahun 2010, Inggris mendominasi ekspor dengan hampir 60%,
diikuti oleh Jerman (Hamburg) dengan 16%. Dari 104 kontainer yang datang dari
Inggris, 75% diimpor dari pelabuhan Felixstowe (Ogungbuyi, dkk., 2012 : 51).39
Salah satu faktor kenapa Inggris menjadikan Nigeria sebagai tujuan utama
digital dumping ground karena Lagos sebagai kota pelabuhan dimana merupakan yang terbesar di seluruh Afrika yang berisi sekitar seperempat dari penduduk Afrika
dan diperkirakan menjadi kota terbesar kedua di dunia (Puckett dkk, 2005:. 11).
Lagos adalah megacity dengan lebih 17.000.000 jiwa penduduk, 356.861 hektar
lahan kering dan 75.755 hektar lahan basah (Lagos State Government, 2011). Lagos
adalah kota ekonomi yang paling penting dari Nigeria dan memiliki pengaruh di
negara-negara Afrika Barat lainnya, karena banyak perusahaan yang beroperasi
secara internasional yang memiliki afiliasi atau kantor pusat di Lagos. Kota ini tidak
hanya berfungsi sebagai penopang kehidupan sosial Nigeria, tetapi juga sebagai
portal perdagangan untuk sebagian besar wilayah di Afrika Barat. Ketersediaan
pelabuhan laut seperti Apapa Port atau Tincan Island Port juga memberikan
kontribusi untuk posisi Lagos sebagai aktor utama dalam perdagangan internasional
diantara negara Afrika Barat lainnya. Lagos juga berbagi berbatasan langsung
dengan beberapa negara Afrika Barat seperti Bénin dan Kamerun. Oleh karena itu,
Lagos bertindak sebagai saluran utama dari rute ekspor dan impor dari dan menuju
wilayah Afrika Barat (Ideho, 2012).40
Selain konsumsi lokal, Lagos telah berkembang menjadi titik masuk utama
Afrika Barat untuk peralatan listrik dan elektronik bekas. Meskipun peralatan ini
sebagian besar diperbaharui dan dijual ke rumah tangga dan pedagang dari Nigeria
39 Ibid.
dan lainnya Barat dan negara-negara Afrika Tengah, sektor ini menghasilkan
sejumlah besar e-waste, masalah yang pertama kali masuk ke perhatian publik pada
tahun 2005 dengan film "The Dump Digital "oleh BAN (BAN, 2005). Selain itu,
Afrika Barat menjadi tujuan utama dari e-waste yang dikirim ke wilayah Afrika,
karena wilayah Afrika bagian selatan dan timur sudah menerapkan regulasi yang
lebih ketat dibandingkan dengan apa yang dilakukan di wilayah Afrika Barat,
terutama di Ghana dan Nigeria (Manhart, 2011).41
Masih banyak yang harus diperbaiki oleh pemerintah Nigeria agar
penerapan peraturan yang sudah dilakukan akan sepenuhnya efekif. Walaupun
peraturan sudah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, namun penerapan
peraturan yang lemah menyebabkan sampah elektronik masuk ke wilayah Nigeria
dengan mudah, salah satunya adalah karena barang elektronik bekas tidak dianggap
sebagai selundupan oleh Pelayanan Bea Cukai Nigeria, selama kewajiban iuran dan
pajak dengan nilai yang sudah ditentukan dikumpulkan pada mereka (Adediran &
Abdulkarim, 2012). Hal ini disampaikan juga oleh Nigeria Customs Service pada
bulan Februari 2011, dalam presentasi dari paper berjudul Challenges Facing
Effective Management and Regulation of E-waste ketika berlangsung Two-day summit of Regulation and Management of Ewaste di Nigeria (Eko E-waste Summit) yang membahas tentang regulasi dan manajemen sampah elektronik di Lagos,
Nigeria. Konferensi ini bekerjasama dengan Basel Action Network dan NESREA
sebagai mitra dalam melaksanakan konferensi tersebut. Fakta bahwa terdapat
oknum yang bermain di area ekspor ilegal e-waste ini membuktikan bahwa
penerapan peraturan yang sebenarnya sudah diberlakukan faktanya masih mudah
ditembus oleh pihak yang masih bisa membuang sampah ke wilayah Lagos, asalkan
memberi iuran sejumlah yang diminta oleh petugas.42
Selain faktor-faktor di atas, pembuangan sampah elektronik dari Inggris ke
wilayah Lagos, Nigeria juga disebabkan karena masih banyak permintaan dari
masyarakat Nigeria terhadap barang barang elektronik bekas tersebut. Ada banyak
sektor yang hajat hidupnya bergantung pada sampah elektronik ini. Tercatat sekitar
41 Ibid.
80.000 orang terlibat langsung dalam sektor daur ulang limbah elektronik,
diantaranya di situs pembuangan di Olusosun, Odo iya Alaró dan Alaba rago
(Osibanjo, 2012). Selain pendaur ulang, sampah elektronik juga bersinggungan
dengan konsumen yang membeli barang elektronik bekas hasil daur ulang informal,
pegawai toko barang elektronik bahkan juga industri elektronik juga terkait dengan
banyaknya sampah elektronik ini. Jika aliran sampah elektronik dihentikan, maka
akan berpengaruh kepada sebagian besar masyarakat Lagos yang bekerja pada
pengolahan dan daur ulang sampah elektronik. Bahkan hal tersebut bisa
berpengaruh langsung kepada perekonomian Lagos dan sekitarnya.43
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ariadno, Melda Kamil, Bahan Ajar/Modul (Teaching Material) Hukum dan
Kebijakan Lingkungan. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013.
Skripsi:
M, Danar Anindito. “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang Disepakati dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Januari 2012.
Website:
Berita Bumi, Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal, http://beritabumi.or.id/konvensi-basel-indonesia-rentan-perpindahan-limbah-b3-ilegal/, diakses 29 Desember 2017.
https://www.unenvironment.org/, diakses 29 Desember 2017.
Jurnal:
Haryadi , Yulius. “Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping
Ground di Nigeria.” Journal of International Relations, Volume 3 No. 4
(2017).
Krumer, Katharina. “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous Wastes: The 1989 Basel Convention.” International and Comparative Law Quarterly Vol. 41 July (1991).
Pitaningtiyas, Anara Noora. “Globalisasi dan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya.” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus (2010). Prasetiawan, Teddy. “Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya
Beracun (B3).” Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sektretariat Jenderal DPR RI (2012).
Konvensi Internasional dan Peraturan Per-Undang-Undang-an:
Basel Convention on the Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 tentang Pengesahan
Basel Convention on the Control Transboundary Movements of Hazardous
Wastes and Their Disposal 1989 (Konvensi Basel).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3595).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3815)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3551).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4153).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3910).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 tahun 2005 tentang Pengesahan
Amandement to the Basel Convention on the Control of Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal (Amandemen atas
Berbahaya dan Pembuangannya). (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 60).
Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for for Certain
Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi
Rotterdam).
Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2013 tentang Pengeseahan
Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for for
Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade
(Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi
Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahay Tertentu dalam
Perdagangan Internaional). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5411).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Persampahan.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 69).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik