• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prior Informed Consent PIC dalam Basel C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prior Informed Consent PIC dalam Basel C"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Prior Informed Consent (PIC) dalam Basel Convention dan Penerapannya dalam Hukum Positif Indonesia1

Marcelino H. Latuputty2

Perpindahan lintas batas limbah-limbah berbahaya bermula dari krisis

energi yang dialami Negara-negara maju pada periode 1970-an. Krisis energi ini

mendorong para pengusaha untuk menganggarkan biaya produksi dan konsumsi

seminimal mungkin. Pada saat yang bersamaan, terdapat pula pengetatan standar

lingkungan lokal. Hal tersebut mendorong pengusaha dan broker (perantara untuk

pembuangan limbah) untuk mencari tempat-tempat pembuangan baru yang lebih

murah biayanya. Akhirnya Negara-negara dunia ketiga dijadikan sasaran untuk

membuang limbah-limbah tersebut.3 Di Negara-negara dunia ketiga,

limbah-limbah ini menimbulkan permasalahan untuk generasi mendatang. Dalam

merespon protes internasional (khususnya dari negara-negara miskin yang menjadi

target penerima limbah-limbah) UNEP (The United Nations Environment

Programme) mensponsori pembentukan Konvensi Global untuk Mengontrol

Perpindahan Lintas Batas dari Limbah-limbah Berbahaya dan Pembuangannya.4

Limbah berbahaya merupakan sebuah bom waktu bagi masyarakat di

Negara-negara berkembang yang menjadi sasaran permbuangan limbah-limbah

dari Negara-negara industri maju. Sudah banyak penelitian yang memaparkan

bahaya dan resiko yang akan ditanggung oleh masyarakat Negara-negara

berkembang. Efeknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dapat timbul dengan cepat. Pada tulisannya yang berjudul “Toxic Terrorism”, Phil O’Keefe (1988) menulis beberapa contoh perdagangan limbah dari Negara maju ke Afrika.

1 Ujian Akhir Semester Desember 2017 Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Lingkungan pada

Program Pascasarjana Hukum Transnasional Universitas Indonesia, Dosen Pengampu: Prof. Melda Kamil Ariadno, SH., LL.M., Ph.D.

2 Mahasiswa Pascarsarjana Hukum Transnasional, Universitas Indonesia. NPM: 1706084746,

korespondensi: marcelino.h@ui.ac.id

3Anara Noora Pitaningtiyas. “Globalisasi dan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya.” Jurnal

Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus (2010): 96-97.

(2)

Sedangkan dalam tulisan “Unfair Trade e-Waste in Africa” (2006), Charles W. Schmidt mengungkapkan bahwa selain limbah-limbah kimia dan abu yang dikirim

ke Afrika, terdapat pula limbah barang-barang elektronik atau yang biasa disebut

e-Waste. Charles W. Schmidt dalam tulisannya yang lain, “e-Junk Explosion” (2002),

juga menjelaskan tentang limbah-limbah elektronik yang dikirimkan ke Asia.5

Kekhawatiran mengenai limbah-limbah yang berbahaya juga dituliskan

oleh Charit Tingsabadh dan Pracha Jantarasarsophon pada tulisannya yang berjudul “Electrical Impacts of Trade Liberalization” (2007). Mereka mengungkapkan kekhawatiran mengenai perdagangan bebas yang turut meliputi perdagangan

limbah-limbah elektrik dan elektronik, serta dampaknya terhadapa lingkungan

hidup dan mengambil keuntungan dari kesempatan pasar.6 Jonathan Krueger dalam

tulisannya “The Basel Convention and the International Trade in Hazardous Wastes” (2001) menjelaskan juga mengenai limbah berbahaya, mulai dari bentuk, efeknya terhadap kesehatan manusia, total produksi setiap tahunnya serta biaya

untuk pembuangan limbah. Mengapa permasalahan perdagangan limbah-limbah ini menjadi penting juga diangkat oleh Jennifer Clapp dalam tulisannya “The Toxic Waste and Political Alliances” (1994).7

Sementara itu, Duncan Barak menuliskan laporan yang berjudul “The Growth and Control of International Environmental Crime” (2004) bahwa berbagai bentuk kejahatan lingkungan seperti illegal logging, illegal fishing, perdagangan

illegal margasatwa dan bahan-bahan berbahaya bagi ozon dan pembuangan illegal

limbah-limbah berbahaya menghasilkan keuntungan 20-40 juta dollar per tahun,

sekitar 5-10% dari perdagangan narkotika. Thaqal S. Al-Ajmi dalam tulisannya yang berjudul “Maritime Transport of Environmentallly Damaging Materials : A Balance Absolute Freedom and Strcit Probition” (2007) mengemukakan alasan-asalan yang membuat Negara-negara industri mengekspor limbah yang berbahaya

(3)

a. Negara-negara maju akan membebaskan diri mereka dari potensi yang

membahayakan masyarakat dan lingkungan mereka.

b. Negara-negara maju atau perusahaan lokal telah menghemat sejumlah uang.

c. Menghindari regulasi pemerintahan yang ketat.

Akibat pelarangan perdagangan limbah-limbah berbahaya tersebut terhadap sistem perdagangan Eropa dibahas oleh Brian Wynne dalam tulisannya “The Toxic Waste Trade: International Regulatory Issues and Options” (1989). Selain itu,

Odette Jankowitsch dalam tulisannya “A Code of Practice on the International Transboundary Movement of Radioactive Waste” (1990) mengungkapkan kebutuhan disusunnya Undang-undang Internasional mengenai perpindahan lintas

batas limbah-limbah radio aktif.9 Jennifer Clapp, dalam tulisannya “The Toxic

Waste Trade with Less-Industrialised Countries : Economic Linkages and Political Alliances” (1994) selain membahas tentang hubungan antara perdagangan limbah-limbah berbahaya dengan Negara-negara yang kurang industrialisasinya, ia juga

menjelaskan mengenai usaha Negara-negara dunia ketiga dan NGO internasional

yang melarang perdagangan limbah-limbah berbahaya.10

Jonathan Krueger (2001) juga turut membahas tentang hal ini. Ia

menuliskan bahwa Konvensi Basel yang dinegosiasikan antara tahun 1978 samapi

1989 adalah respon dunia internasional. Tujuan dari Konvensi Basel adalah untuk

meminimalisasi pemroduksian limbah-limbah berbahaya dan untuk mengontrol

dan mengurangi perpindahan lintas batas mereka sebagai usaha untuk melindungi

kesehatan manusia dan lingkungan. Dampak dari Konvensi ini adalah telah

menolong dengan memberikan banyak tekanan politik pada Negara-negara

pengekspor untuk mulai membentuk perilaku ini.11

Bentuk usaha yang nyata dari Konvensi Basel untuk mengurangi

(4)

meratifikasi Konvensi Basel. Usaha untuk memerangi perdagangan limbah-limbah

berbahaya juga dialkukan oleh Thailand, hal tersebut diungkapkan oleh Charit

Tingsabadh dan Pracha Jantarasarsophon dalam tulisannya yang berjudul “Electrical dan Electric Equipment Environmental Impacts of Trade Liberalization” (2007). Dijelaskan bahwa Thailand telah menyusun sistem pengawasan dan inspeksi efisien yang layak untuk barang-barang yang poin

masuknya berbeda; bagaimanapun ada usaha lebih lanjut untuk mengawasi

pergerakan barang-barang dalam negeri untuk memastikan WEEE tidak diimpor

secara illegal untuk dibuang di Thailand.12

Selain pihak-pihak yang berusaha untuk mengkonsepkan kebijakan yang

ideal untuk melarang perdagangan limbah-limbah berbahaya, ternyata ada pula

yang berpendapat bahwa usaha pelarangan total limbah-limbah berbahaya akan

menjadi hal yang sia-sia belaka. Hal tersebut diungkapkan Al Ajmi (2007) bahwa

larangan total bagi ekspor limbah-limbah berbahaya tidak menyelesaikan masalah,

dikarenakan banyak alasan.13 Globalisasi sendiri turut memberikan peran dalam

terjadinya perdagangan limbah. Chandan Sengupta dalam tulisannya yang berjudul “Conceptualising Globalisation: Issues and Implications” (2001) membahas mengenai fenomena globalisasi dan segala dampaknya. Deborah C. Poff dalam tuliasannya yang berjudul “Reconciling the Irreconcilable: The Global Economy and the Environment” (1994) memberikan penjelasannya akan globalisasi dan dampaknya terhadap lingkungan. Ia menjelaskan dalam era globalisasi,

Negara-negara bukan hanya berkompetisi dalam privatisasi dan liberalisasi ekonomi,

namun juga keberlanjutan lingkungan.14

Konvensi Basel sendiri mengatur tentang Pengawasan Perpindahan Lintas

Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya (Basel Convention on

the Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal), yang merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi menyeluruh

mengenai pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang

12 Ibid.

(5)

diselenggarakan oleh UNEP, yaitu badan khusus PBB yang bergerak di bidang

permasalahan lingkungan hidup.15 Konvensi Basel menjadi instrumen yang sangat

penting bagi Indonesia dan juga negara-negara lainnya untuk melindungi kesehatan

dan lingkungan hidup dari kontaminasi limbah.16 Konvensi Basel merupakan

perjanjian internasional yang diadakan untuk mengurangi perpindahan limbah

berbahaya antarnegara. Secara khusus, konvensi ini diberlakukan untuk mencegah

pengiriman limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Konvensi

ini terbuka untuk ditandatangani sejak 22 Maret 1989 dan dinyatakan berlaku sejak

5 Mei 1992.

Selain mengatur mengenai kewajiban umum Negara Pihak, pembatasan

perpindahan limbah berbahaya lintas Negara dan ruang lingkup Konvensi,

Konvensi Basel juga mengatur mengenai prosedur Prior Informed Consent (PIC).17

Dalam proses perpindahan limbah B3 antar Negara, berlaku prinsip PIC. Prinsip ini

mengharuskan tiap persetujuan atas perdagangan limbah B3 didasarkan atas segala

keterangan yang telah diperoleh sebelumnya. Sehingga Negara Pihak harus

mengetahui terlebih dahulu berbagai hal terkait limbah B3 yang akan dikirimkan

baik jenis limbahnya, asalnya, pihak operatornya, tempat pembuangannya dan lain

lain. Prosedur ini sendiri diatur di dalam Pasal 6 dan 7 serta lampiran VA. Negara

pihak harus menentukan setidaknya satu otoritas yang berwenang untuk mengurus

administrasi prosedur (Pasal 2, ayat 6 jo. Pasal 5 ayat 1), kemudian mereka harus

saling menginformasikan satu sama lain lewat sekretariat mengenai agensi yang

dipercaya untuk mengemban fungsi ini (Pasal 5 ayat 2 dan 3 jo. Pasal 13 ayat 2(a)).

Peran Negara pengekspor dan pengimpor serta Negara transit dalam pelaksanaan

15https://www.unenvironment.org/, diakses 29 Desember 2017, pukul 11:43 WIB.

16 Berita Bumi, Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal,

http://beritabumi.or.id/konvensi-basel-indonesia-rentan-perpindahan-limbah-b3-ilegal/, diakses 29 Desember 2017, pukul 12:30 WIB.

17Lihat Katharina Krumer. “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous

(6)

prosedur PIC dan limbah B3 yang masuk dalam objek pengaturan akan dijelaskan

sebagai berikut:18

a. Posisi dari Negara Pengekspor dan Pengimpor

Negara Pengekspor memiliki tugas untuk memberitahukan Negara yang

akan mengimpor dan Negara transit dari proses perpindahan limbah B3 lintas

Negara. Negara pengekspor dapat memberitahukannya secara sendiri atau

meminta penghasil limbah ataupun pelaku eksportir yang melakukannya.

Informasi harus diberitahukan sedetail mungkin kepada otoritas dari Negara

pengimpor dan Negara transit untuk menaksir resiko lingkungan dari

pengiriman tersebut. Hal ini diatur di lampiran VA. Segala informasi mengenai

alasan ekspor dan pihak penghasil B3, situs pengasil limbah B3 tersebut, asal

limbah dan pengemasannya, tempat pembuangannya dan pihak penampungnya

serta metode pengolahannya harus dilaporkan serinci mungkin (Pasal 6 ayat1).

Sejalan dengan Pasal 6 ayat 6-8, Negara pengekspor dengan persetujuan

pendahulu dari Negara transit dan Negara importir, diizinkan untuk

menggunakan notifikasi umum dalam pengapalan limbah B3 yang memiliki

karakteristik dan rute perjalanan yang sama dalam jangka waktu 12 bulan.19

Negara pengimpor harus merespon secara tertulis baik itu persetujuan

transportasi limbah dengan atau tanpa persyaratan, penolakan pemberian ijin

ataupun permintaan informasi lebih lanjut atas limbah B3 yang akan

dikirimkan. Dalam balasannya Negara pengimpor lebih harus mengonfirmasi

keberadaan kontrak antara ekportir dan penerima limbah juga memastikan

bahwa pengelolaan limbah B3 harus ramah lingkungan. Salinan balasan

terakhir harus dikirimkan ke otoritas yang kompeten dari semua negara yang

terlibat dalam transaksi (Pasal 6, ayat 2 dan 3 (b)).20

18Danar Anindito M. “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang

Disepakati dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Januari 2012, hlm. 35.

(7)

Negara pengekspor tidak diizinkan memulai pengeksporan hingga

diterimanya persetujuan tertulis dari Negara pengimpor bersama dengan

konfirmasi atas kebenaran kontrak (Pasal 4, ayat 1 (c); Pasal 6 ayat 2 dan 3).

Konvensi tidak memberikan batasan waktu atas respons dari Negara

pengimpor. Kemudian persetujuan Negara pengimpor harus disampaikan

secara eksplisit dan tanpa syarat. Setelah segala prosedur lengkap, baik Negara

pengekspor maupun eksportirnya harus segera diberitahu (Pasal 6, ayat 9)21

Sekilas regulasi mengenai persyaratan ekspor dan impor terlihat detail,

namun tetap ada kelemahan. Diantaranya adalah tidak adanya kewajiban bagi

Negara pengekspor untuk memverifikasi konten kontrak yang disepakati antar

pelaku eksportir dan importir. Jadi transaksi dapat dimulai hanya dengan

konfirmasi atas keberadaan kontrak. Kemudian salinan dari kontrak atau

kesepakatan kerjasama perpindahan limbah harus dikirimkan ke sekretariat bila

ada Negara pihak yang memintanya dengan alasan perpindangan limbah B3 itu

dapat memberikan dampak lingkungan bagi Negara-nya (Pasal 13 ayat 4).22

b. Kedudukan Negara Transit

1) Negara Transit yang juga Pihak Konvensi

Menurut Pasal 6 ayat 4 setelah menerima notifikasi, suatu Negara

transit yang juga menjadi Negara Pihak Konvensi harus segera

menyampaikan bahwa notifikasi telah diterima (Pasal 6, ayat 4, kalimat

pertama). Tidak ada batas waktu secara mendetail, namun penggunaan kata “segera” mengindikasikan bahwa harus dilakukan sesingkat mungkin. Kemudian Negara transit wajib merespon secara tertulis dalam waktu 60

hari dimana lalu lintas limbah B3 tidak diizinkan untuk dimulai tanpa

adanya persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu tersebut (Pasal 6 ayat

4).23

2) Negara Transit yang bukan Pihak Konvensi

21 Ibid.

22 Ibid.

(8)

Hal ini berpedoman pada Pasal 7 yang menggariskan bahwa

kedudukan Negara transit yang non-pihak Konvensi mengacu pada Pasal 6

ayat 2 secara mutatis mutandis. Pasal 6 ayat 2 ini sendiri sebenarnya

memberikan pedoman bagi Negara importir dalam mengaplikasikan prinsip

PIC. Jadi dengan kata lain, dalam hal ini Negara transit yang bukan pihak

Konvensi memiliki hak yang sama dengan Negara importir dalam proses

PIC.24

c. Limbah yang didefinisikan sebagai Limbah B3 oleh Hukum Nasional

Konvensi Basel menggariskan bahwa limbah yang didefinisikan sebagai limbah

B3 oleh regulasi nasional juga menjadi objek pengaturan Konvensi walaupun

tidak termasuk ke dalam limbah B3 yang ditetapkan Konvensi (Pasal 1 ayat

1(b)). Jadi dalam hal suatu Negara telah mendefinisikan suatu limbah sebagai

limbah B3 maka berlaku hak dan kewajibannya dalam segala transaksi dimana

terutama menyangkut implementasi prosedur PIC dengan Negara lain walaupun

Negara lainnya tersebut tidak menggolongkan limbah terssebut sebagai limbah

B3 dalam hukum nasionalnya (Pasal 6, ayat 5 (a)-(c)).25

Pengaturan mengenai prosedur PIC selain terdapat dalam Konvensi Basel,

juga terdapat dalam Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent

Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade

(Konvensi Rotterdam).26 Prinsip pokok Konvensi Rotterdam mengatur mengenai

perlunya pengelolaan yang benar untuk bahan-bahan kimia berbahaya dan pestisida

di semua Negara dengan memperhatikan The International Code of Conduct dan

The UNEP Code of Ethics on the International Trade in Chemical.27 Serta perlunya pengemasan dan pemberian label yang benar dari bahan-bahan kimia berbahaya

24 Ibid.

25 Ibid.

26 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Rotterdam dengan Undang-undang Republik Indonesia No.

10 tahun 2013 tentang Pengesahan Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahay Tertentu dalam Perdagangan Internaional)

27 Melda Kamil Ariadno, Bahan Ajar/Modul (Teaching Material) Hukum dan Kebijakan

(9)

dan pestisida yang akan diperdagangkan secara internasional sesuai dengan prinsip

the Amended London Guidelines dan International Code of Conduct.28

Materi pokok dari Konvensi Rotterdam dapat dijelaskan sebagai berikut:29

a. Apabila suatu Negara melarang atau membatasi penggunaan pestisida tertentu

karena alasan kesehatan dan keamanan manusia serta lingkungan, maka Negara

tersebut akan memberitahui FAO dan UNEP melalui Joint Programme

FAO/UNEP on implementation of PIC atau Sekretariat bersama FAO dan

UNEP. Kemudian Joint Programme akan menyampaikan keputusan tersebut

kepada semua negara peserta yang telah memutuskan berpartisipasi dalam

kerangka PIC.

b. Masing-masing Negara kemudian akan menetapkan apakah Negara tersebut

mengeluarkan pembatasan serupa atau tidak bergantung kepada keadaan

setempat. Joint Programme FAO/UNEP, berikutnya akan memberitahu

pemerintah atau Negara peserta mengenai keputusan yang telah diambil.

Setelah itu, pihak-pihak pemerintah tersebut harus menjamin bahwa

industri-industri bahan kimia dan pestisida di Negara-nya mematuhi keputusan tersebut.

Terdapat juga ketentuan pokok Konvensi Rotterdam yang mengatur sebagai

berikut:30

a. Pembentukan prosedur PIC

1) Pestisida dan bahan kimia industri yang telah dilarang atau sangat dibatasi

untuk alasan kesehatan atau lingkungan.

2) Pemberitahuan dari satu atau dua wilayah tertentu.

3) Formulasi pestisida yang sangat berbahay terkait dengan kondisi

penggunaan di Negara-negara berkembang atau Negara dengan transisi

ekonomi.

b. Lampiran III yang menetapkan 40 jenis bahan kimia, termasuk 25 pestisida, 4

formulasi pestisida sangat berbahaya dan 11 bahan kimia industri.

28 Ibid.

(10)

c. Decision Guidance Document (DGD), merupakan keputusan akhir (untuk memungkinkan impor bahan kimia, tidak mengizinkan impor, atau membiarkan

impor dengan tunduk pada syarat-syarat tertentu) atau tanggapan interim. DGD

akan diedarkan kepada para Negara pihak, dan Negara pihak memiliki waktu 9

bulan untuk mempersiapkan respon.

d. Pertukaran informasi mengenai bahan kimia dalam lingkup yang sangat luas

e. The Prior Informed Consent (PIC) regions. f. “Chemical Review Committee”.

Prosedur PIC juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat 5 CBD yang

menyebut:

“Akses terhadap sumber daya genetika wajib mematuhi prior informed consent dari Negara pihak terkait yang menyediakan sumber daya tersebut, kecuali jika

ditentukan lain oleh Negara pihak tersebut.”

Dalam Protokol Nagoya dijelaskan juga mengenai PIC. Pasal 6 Protocol Nagoya

menjelaskan bahwa akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional

yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan

atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya

genetik.

Sebagai Negara Kepulauan terbesar yang perairannya sangat luas, Indonesia

rentang terhadap perpindahan limbah B3 secara illegal. Perpindahan limbah B3

yang menggunakan sarana angkutan laut tentunya berpotensi untuk mencemari laut

akibat zat beracun dan berbahaya. Indonesia juga termasuk Negara yang menerima

permasukkan limbah B3 dari Negara-negara maju, hal tersebut menunjukkan

bahwa Indonesia bisa saja menjadi lahan untuk pembuangan limbah B3 secara

mudah. Oleh karena itu, Indonesia telah menjadi salah satu Negara yang

meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Indonesia juga telah meratifikasi

(11)

Pembuangannya) dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun

2005.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun

1993, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi tersebut karena:

a. Bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau

dengan perairan terbuka, oleh karena itu sangat potensial sebagai tempat

pembuangan limbah berbahaya dan beracun secara illegal dari luar negeri;

b. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar wilayah

Republik Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya,

dipandang perlu menjadi pihak pada Konvensi tersebut.

Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka memasukkan limbah B3 kedalam

wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada Pemerintah

Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh

undang-undang nasional. Karena jika hal tersebut dilanggar dapat dianggap sebagai

suatu tindak pidana, maka Indonesia dapat mengambil tindakan atau menerapkan

hukuman yang diatur oleh Indonesia. Selain meratifikasi dengan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan

hukum mengenai pengelolaan limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai

macam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan limbah B3 di

Indonesia. Ketentuan tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah sebagai peraturan

pelaksana yang berkaitan dengan limbah bahan berbahaya dan beracun. Peraturan

Pemerintah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah

Berbahaya dan Beracun;

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah

Berbahaya dan Beracun;

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang

(12)

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Selain diatur dengan Peraturan Pemerintah, Badan Pengendalian Dampak

Lingkungn (BAPEDAL), juga telah mengeluarkan keputusan-keputusan mengenai

pengelolaan limbah B3, yaitu:

a. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 68 Tahun 1994 Tentang Tata Cara

Memperoleh Penimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan dan

Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

b. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 1 Tahun 1995 Tentang Tata Cara dan

Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya

dan Beracun;

c. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1995 Tentang Dokumen Limbah

Bahan Berbahaya dan Beracun;

d. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor 3 Tahun 1995

Tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan

Beracun;

e. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 4 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pesyaratan

Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan

Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

f. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 5 Tahun 1995 Tentang Simbol dan label

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

g. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1998 Tentang Tata Laksana

Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

h. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 3 Tahun 1998 Tentang Program Kemitraan

dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Dasar hukum dari terbentuknyaa BAPEDAL dapat dilihat dalam Keppres

No 10 Tahun 2000 Tentang BAPEDAL, dimana BAPEDAL mempunyai fungsi

(13)

dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).31 Peraturan PerUndang-undangan yang

ada di Indonesia merupakan suatu wujud respon Indonesia sebagai salah satu negara

yang meratifikasi Konvensi Basel 1989. Peraturan-peraturan tersebut dibuat agar

penerapan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun dapat berjalan baik dan

sesuai dengan tujuannya. Peraturan tersebut dijadikan suatu pedoman dalam

mengatasi permasalahan limbah B3. Mengenai perpindahan atau pembuangan

limbah B3 dari negara lain, Indonesia dengan tegas melarang semua pihak untuk

memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI.

Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan impor limbah B3

mengalami pasang surut. Sebelum meratifikasi Konvensi Basel pada tahun 1993

melalui Keppres No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan impor limbah

B3. Dengan meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang

aktivitas perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan

teknologi pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor

limbah B3 untuk tujuan pengolahan. Diterbitkannya PP No. 19 Tahun 1994 tentang

Pengelolaan Limbah B3 menegaskan pelarangan impor limbah B3 dengan alasan

apa pun. Atas desakan kepentingan industri, melalui PP No. 12 Tahun 1995 tentang

Perubahan PP No. 19 Tahun 1994 Indonesia kemudian menerapkan pelarangan

Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk penambahan bahan baku bagi

kegiatan industri. Tindakan ini dianggap memberikan peluang berdirinya

industri-industri baru yang menggunakan limbah B3 sebagai bahan baku yang disinyalir

sebagai modus baru aliran masuk limbah B3 ke Indonesia.

Diundangkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, PP No. 12 Tahun 1995 dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih

tinggi mengenai pelarangan impor limbah. Dengan diterbitkannya PP No. 18 Tahun

1999 yang kemudian diubah menjadi PP No. 85 Tahun 1999, Indonesia akhirnya

kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara total dengan alasan

apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi acuan bagi

pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula

31 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan Pengendalian

(14)

UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18 Tahun 2008

tentang Persampahan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan: “Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan

hidup Indonesia”.

Larangan impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam

batas wilayah NKRI mempunyai hambatan, limbah B3 sering kali tetap masuk ke

Indonesia. Menurut pihak bea cukai, meskipun pengamanan telah dilakukan secara

rutin, masih terdapat temuan penyelundupan kontainer yang mengandung limbah

B3 dengan berbagai modus.32 Modus tersebut antara lain:

a. mencampurkan limbah B3 dengan bahan lain;

b. memalsukan dokumen barang;

c. membuang limbah B3 di lepas pantai (open sea discharge).

Kendala yang dialami dalam mengamankan wilayah laut dari

penyelundupan limbah B3 adalah keterbatasan petugas dan fasilitas pengamanan.

Fasilitas utama yang paling diperlukan dalam memantau masuknya limbah B3 di

pelabuhan contohnya adalah laboratorium pemeriksaan. Fasilitas tersebut sama

sekali belum menjadi perhatian untuk diadakan atau dioperasikan.33

Kemudian Desentralisasi pemerintahan turut mendorong banyak eksportir

limbah B3 melirik kabupaten, terutama di daerah terpencil, untuk menerima limbah

B3. Tawaran tersebut diikuti dengan iming-iming kompensasi yang besar untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti kasus impor limbah B3 dari

Korea Selatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Selain tawaran

dana yang menggiurkan bagi pemerintah daerah, pengetahuan tentang potensi

bahaya limbah B3 dan pemahaman terhadap kebijakan pelarangan impor limbah

B3 yang rendah turut menjadi alasan kejadian seperti ini masih saja terjadi. Jika

pengetahuan kepala daerah masih rendah seperti sekarang ini, peluang lolosnya

32 Teddy Prasetiawan. “Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).”

Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sektretariat Jenderal DPR RI (2012): 147.

(15)

limbah B3 ke Indonesia tentu sangat besar.34

Selain itu, Indonesia masih saja terjebak dalam kondisi yang secara tidak

langsung mengesahkan impor limbah B3 melalui perjanjian bilateral. Perjanjian

dagang dengan Jepang misalnya, program IJEPA (Indonesia-Japan Economic

Partnership Agreement) yang menyangkut perdagangan bebas, investasi, dan

kebijakan ekonomi, mencantumkan daftar barang-barang yang boleh

diperdagangkan. Salah satu barang yang dimaksud adalah limbah B3. Walaupun

perjanjian dagang ini pada prinsipnya harus mengacu pada hukum nasional, namun

ini menunjukkan bahwa tidak semua pihak memahami kebijakan Indonesia yang

melarang impor limbah B3.

Salah satu contoh kasus terkait pelanggaran Negara terhadap Konvensi

Basel dapat dilihat dalam pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel yang

melakukan Digital Dumping Ground di Nigeria.35 Berdasarkan pasal 9 dari

Konvensi Basel, disebutkan bahwa suatu perpindahan limbah berbahaya

antarnegara bisa dikatakan ilegal jika berada dalam kondisi-kondisi berikut ini: (1)

mengirimkan sampah elektronik tanpa adanya pemberitahuan yang berdasarkan

pada suatu konvensi dari semua negara yang terlibat; (2) pengiriman sampah

elektronik tanpa persetujuan negara yang terlibat; (3) pengiriman sampah yang

melalui persetujuan yang dipalsukan atau berbentuk penipuan; (4) barang yang

dikirim tidak sesuai dengan material yang tertulis di dokumen perjanjian; (5) ketika

aliran sampah elektronik tersebut dengan sengaja dibuang dengan tidak

mengindahkan peraturan konvensi dan hukum internasional, maka pihak yang

terlibat diminta membawa kasus tersebut pada pihak sekretariat untuk diambil

tindakan yang tepat (Basel Action Network, 2011). Berdasarkan Annex VII, salah

satu jenis dari kategori limbah berbahaya adalah limbah rakitan listrik dan

elektronik atau potongan yang mengandung komponen seperti akumulator dan

baterai (Annex VII nomor A1180 dan B1180 Konvensi Basel).36

34 Ibid.

35 Yulius Haryadi. “Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping Ground di Nigeria.” Journal of International Relations, Volume 3 No. 4 (2017: hlm. 32-39.

(16)

Inggris adalah negara dengan tingkat pembuangan tertinggi diantara negara

Eropa lain dengan membuang sekitar 394 kiloton sampah elektronik ke negara lain

pada periode satu tahun. Sampah elektronik yang dihasilkan Inggris ini akan

dibuang menuju jalur-jalur yang biasanya dipakai sebagai jalur pembuangan

sampah elektronik dari Inggris, yaitu ke Afrika Barat dan sebagian kecil ke Asia

(ESAET, 2014). Inggris memproduksi sekitar 800 juta ton sampah elektronik pada

tahun 2012 (ESAET, 2014). Sampah elektronik yang dihasilkan oleh Inggris

umumnya dibuang ke wilayah Afrika Barat dan ada sedikit yang ke Pakistan.37

Environmental Agency memperkirakan bahwa separuh dari semua komputer yang dibuang di Inggris berujung pada pembuangan ke pasar gelap.

Penelitian oleh media dan LSM telah berulang kali mendokumentasikan ekspor

sampah elektronik ilegal dari Inggris ke berbagai tujuan, terutama Nigeria, Ghana

dan Pakistan (The Times, 2009). Selain keuntungan finansial untuk industri daur

ulang domestik yang disorot di atas, metode yang digunakan untuk membuang dan

mengolah WEEE, seperti pembakaran, dapat mengakibatkan dampak kesehatan

yang buruk pada pekerja. Di situs-situs pembakaran dan daur ulang sampah

elektronik informal ini, bahan kimia berbahaya termasuk arsenik, berilium,

kadmium, timbal dan merkuri terkandung pada tingkat yang cukup tinggi dan dapat

menyebabkan masalah pernapasan, pencernaan, dan sistem saraf.38

Nigeria menjadi tujuan dari sampah elektronik yang berasal dari negara

negara maju, terkait dengan pembuangan Inggris ini, Nigeria menjadi negara yang

paling banyak menerima sampah elektronik dari Inggris. Sampah elektronik

biasanya masuk melalui distributor yang kemudian memilih barang elektronik

bekas yang dapat diperbaiki atau yang tidak dapat diperbaiki sama sekali. Barang

elektronik yang tidak dapat diperbaiki biasanya dikelola dengan cara dibakar atau

diambil komponen komponen yang masih bisa dijual. Sampah elektronik di Nigeria

melibatkan banyak orang dan profesi. Penduduk Nigeria cukup banyak terlibat

dalam dunia sampah elektronik ini dan menggantungkan hidup pada keberadaan

sampah elektronik tersebut. Sampah elektronik yang mereka kelola yang berasal

37 Ibid.

(17)

dari luar negeri dan masuk melalui impor cukup banyak jumlahnya. Impor yang

cukup banyak dari Nigeria ini berasal dari banyak negara. Nigeria menjadi salah

satu tujuan pembuangan sampah elektronik dari negara-negara di Eropa dan

Amerika Serikat (Greenpeace, 2011). Berdasarkan data dari Greenpeace, Nigeria

menjadi tujuan dari sampah elektronik yang berasal dari wilayah Eropa dan

Amerika Serikat. Dalam laporan yang dirilis UNEP tahun 2012 ini, pada periode

Maret sampai Juli tahun 2010, Inggris mendominasi ekspor dengan hampir 60%,

diikuti oleh Jerman (Hamburg) dengan 16%. Dari 104 kontainer yang datang dari

Inggris, 75% diimpor dari pelabuhan Felixstowe (Ogungbuyi, dkk., 2012 : 51).39

Salah satu faktor kenapa Inggris menjadikan Nigeria sebagai tujuan utama

digital dumping ground karena Lagos sebagai kota pelabuhan dimana merupakan yang terbesar di seluruh Afrika yang berisi sekitar seperempat dari penduduk Afrika

dan diperkirakan menjadi kota terbesar kedua di dunia (Puckett dkk, 2005:. 11).

Lagos adalah megacity dengan lebih 17.000.000 jiwa penduduk, 356.861 hektar

lahan kering dan 75.755 hektar lahan basah (Lagos State Government, 2011). Lagos

adalah kota ekonomi yang paling penting dari Nigeria dan memiliki pengaruh di

negara-negara Afrika Barat lainnya, karena banyak perusahaan yang beroperasi

secara internasional yang memiliki afiliasi atau kantor pusat di Lagos. Kota ini tidak

hanya berfungsi sebagai penopang kehidupan sosial Nigeria, tetapi juga sebagai

portal perdagangan untuk sebagian besar wilayah di Afrika Barat. Ketersediaan

pelabuhan laut seperti Apapa Port atau Tincan Island Port juga memberikan

kontribusi untuk posisi Lagos sebagai aktor utama dalam perdagangan internasional

diantara negara Afrika Barat lainnya. Lagos juga berbagi berbatasan langsung

dengan beberapa negara Afrika Barat seperti Bénin dan Kamerun. Oleh karena itu,

Lagos bertindak sebagai saluran utama dari rute ekspor dan impor dari dan menuju

wilayah Afrika Barat (Ideho, 2012).40

Selain konsumsi lokal, Lagos telah berkembang menjadi titik masuk utama

Afrika Barat untuk peralatan listrik dan elektronik bekas. Meskipun peralatan ini

sebagian besar diperbaharui dan dijual ke rumah tangga dan pedagang dari Nigeria

39 Ibid.

(18)

dan lainnya Barat dan negara-negara Afrika Tengah, sektor ini menghasilkan

sejumlah besar e-waste, masalah yang pertama kali masuk ke perhatian publik pada

tahun 2005 dengan film "The Dump Digital "oleh BAN (BAN, 2005). Selain itu,

Afrika Barat menjadi tujuan utama dari e-waste yang dikirim ke wilayah Afrika,

karena wilayah Afrika bagian selatan dan timur sudah menerapkan regulasi yang

lebih ketat dibandingkan dengan apa yang dilakukan di wilayah Afrika Barat,

terutama di Ghana dan Nigeria (Manhart, 2011).41

Masih banyak yang harus diperbaiki oleh pemerintah Nigeria agar

penerapan peraturan yang sudah dilakukan akan sepenuhnya efekif. Walaupun

peraturan sudah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, namun penerapan

peraturan yang lemah menyebabkan sampah elektronik masuk ke wilayah Nigeria

dengan mudah, salah satunya adalah karena barang elektronik bekas tidak dianggap

sebagai selundupan oleh Pelayanan Bea Cukai Nigeria, selama kewajiban iuran dan

pajak dengan nilai yang sudah ditentukan dikumpulkan pada mereka (Adediran &

Abdulkarim, 2012). Hal ini disampaikan juga oleh Nigeria Customs Service pada

bulan Februari 2011, dalam presentasi dari paper berjudul Challenges Facing

Effective Management and Regulation of E-waste ketika berlangsung Two-day summit of Regulation and Management of Ewaste di Nigeria (Eko E-waste Summit) yang membahas tentang regulasi dan manajemen sampah elektronik di Lagos,

Nigeria. Konferensi ini bekerjasama dengan Basel Action Network dan NESREA

sebagai mitra dalam melaksanakan konferensi tersebut. Fakta bahwa terdapat

oknum yang bermain di area ekspor ilegal e-waste ini membuktikan bahwa

penerapan peraturan yang sebenarnya sudah diberlakukan faktanya masih mudah

ditembus oleh pihak yang masih bisa membuang sampah ke wilayah Lagos, asalkan

memberi iuran sejumlah yang diminta oleh petugas.42

Selain faktor-faktor di atas, pembuangan sampah elektronik dari Inggris ke

wilayah Lagos, Nigeria juga disebabkan karena masih banyak permintaan dari

masyarakat Nigeria terhadap barang barang elektronik bekas tersebut. Ada banyak

sektor yang hajat hidupnya bergantung pada sampah elektronik ini. Tercatat sekitar

41 Ibid.

(19)

80.000 orang terlibat langsung dalam sektor daur ulang limbah elektronik,

diantaranya di situs pembuangan di Olusosun, Odo iya Alaró dan Alaba rago

(Osibanjo, 2012). Selain pendaur ulang, sampah elektronik juga bersinggungan

dengan konsumen yang membeli barang elektronik bekas hasil daur ulang informal,

pegawai toko barang elektronik bahkan juga industri elektronik juga terkait dengan

banyaknya sampah elektronik ini. Jika aliran sampah elektronik dihentikan, maka

akan berpengaruh kepada sebagian besar masyarakat Lagos yang bekerja pada

pengolahan dan daur ulang sampah elektronik. Bahkan hal tersebut bisa

berpengaruh langsung kepada perekonomian Lagos dan sekitarnya.43

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ariadno, Melda Kamil, Bahan Ajar/Modul (Teaching Material) Hukum dan

Kebijakan Lingkungan. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013.

Skripsi:

M, Danar Anindito. “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang Disepakati dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).” Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Januari 2012.

Website:

Berita Bumi, Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal, http://beritabumi.or.id/konvensi-basel-indonesia-rentan-perpindahan-limbah-b3-ilegal/, diakses 29 Desember 2017.

https://www.unenvironment.org/, diakses 29 Desember 2017.

Jurnal:

Haryadi , Yulius. “Pelanggaran Inggris terhadap Konvensi Basel: Digital Dumping

Ground di Nigeria.” Journal of International Relations, Volume 3 No. 4

(2017).

Krumer, Katharina. “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous Wastes: The 1989 Basel Convention.” International and Comparative Law Quarterly Vol. 41 July (1991).

Pitaningtiyas, Anara Noora. “Globalisasi dan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya.” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus (2010). Prasetiawan, Teddy. “Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya

Beracun (B3).” Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sektretariat Jenderal DPR RI (2012).

Konvensi Internasional dan Peraturan Per-Undang-Undang-an:

Basel Convention on the Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes

(21)

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 tentang Pengesahan

Basel Convention on the Control Transboundary Movements of Hazardous

Wastes and Their Disposal 1989 (Konvensi Basel).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3595).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3815)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1994 tentang

Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1994 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3551).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4153).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3910).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 tahun 2005 tentang Pengesahan

Amandement to the Basel Convention on the Control of Transboundary

Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal (Amandemen atas

(22)

Berbahaya dan Pembuangannya). (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2005 Nomor 60).

Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for for Certain

Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (Konvensi

Rotterdam).

Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2013 tentang Pengeseahan

Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for for

Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade

(Konvensi Rotterdam tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi

Awal untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahay Tertentu dalam

Perdagangan Internaional). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2013 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5411).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Persampahan.

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 69).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik

Referensi

Dokumen terkait

Nama Penyedia barang/Jasa Harga Penawaran Harga Terkoreksi Keterangan. 1 Sumber Rejeki Rp - Rp - Hanya Upload Dok Pengadaan

Hal yang pertam a dilakukan sebelum penghitungan kadar karbon terikat di laboratorium yaitu s ebagai berikut:.. 1) Persiapan contoh uji dilakukan dengan c ara

Anggota Eerste Kamer terdiri atas 75 kursi, dengan mana anggotanya dipilih secara tidak langsung oleh dewan propinsial (12 propinsi) negara untuk masa bakti 4 tahun. Eerste

[r]

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara

Penerapan metode demonstrasi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA tentang energy dan gerak benda.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Penelitian ini menghasilkan suatu alur rancangan atau permodelan sistem dan rancangan database serta alur kegiatan tiap aktifitas sistem yang digunakan dalam perancangan

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis, evaluasi harga serta evaluasi penilaian kualifikasi penawaran oleh Pokja ULP Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pengairan,