• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. Pengertian Kebijakan - Pengertian Kebijakan )Publik Teks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. Pengertian Kebijakan - Pengertian Kebijakan )Publik Teks"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan

2.1.1. Pengertian Kebijakan

(2)

2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Chief J.O (1981) (Abdul Wahab, 2005), kebijakan publik adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang memengaruhi sebagian besar warga masyarakat. Menurut Nugroho (2008), kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino, 2006) sebagai “otoritas” dalam sistem politik yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja, dan sebagainya.” Selanjutnya Easton menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam sistem politik dalam rangka memformulasikan kebijakan publik itu adalah orang-orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada satu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari yang diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.

2.1.3. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik

(3)

a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih dari pada isu lain. Dalam agendasetting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William N.Dunn (1999), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

b. Formulasi Kebijakan

(4)

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah harus didukung. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini, warga negara belajar untuk mendukung pemerintah.

d. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia.

e. Penilaian / Evaluasi Kebijakan

(5)

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dalam proses kebijakan.

Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dirangkum oleh Agustino (2006) adalah sebagai berikut :

a. Bardach (Agustino, 2006:54)

Implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata–kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya, dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang. b. Metter dan Horn (1975) (Agustino, 2006:139)

Implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

c. Mazmanian dan Sabatier (1983:61) (Agustino, 2006:139)

(6)

menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan menyangkut minimal tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan (Agustino,2008). Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh

Lester dan Stewart (2000) (Agustino, 2006), bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor dan masing-masing variabel atau faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperdalam pemahaman kita terhadap variabel atau faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, maka berikut ini dipaparkan beberapa teori implementasi menurut Subarsono (2009) :

a. Teori George C.Edward III (1980)

Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi. (Subarsono,2009).

(7)

a.1Faktor Sumber Daya

Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan suatu kebijakan dari pelaksana (implementor) kebijakan. Jika para personil yang mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Menurut Winarno (2002), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri dari :

a.1.1 Staf

Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah cukup dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki ketrampilan yang memadai. Di sisi lain kurangnya personil yang memiliki ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut.

a.1.2 Kewenangan

(8)

ditetapkan. Kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang diamanatkan dalam suatu kebijakan.

a.1.3 Informasi

Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan. Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan di sini adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman, petunjuk dan tata cara pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan.

a.1.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung.

a.2 Faktor Komunikasi

Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan

(9)

dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.

Menurut Ernawati (2009), komunikasi adalah proses penyampaian pesan/berita dari seseorang ke orang lain sehingga antara kedua belah pihak terjadi adanya saling pengertian. Komunikasi merupakan keterampilan manajemen yang sering digunakan dan sering disebut sebagai suatu kemampuan yang sangat bertanggungjawab bagi keberhasilan seseorang, hal ini sangat penting sehingga orang-orang sepenuhnya tahu bagaimana cara berkomunikasi.

Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi terdiri dari :

a.2.1.1Sumber Pesan

Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri.

a.2.1.2Komunikator

Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa. a.2.1.3Komunikan

Adalah orang yang menerima pesan. a.2.1.4Pesan

(10)

yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan (informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum, jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan komunikan).

a.2.1.5Media

Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa. a.2.1.6Efek

Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah laku orang lain itu sesuai, maka komunikasi dianggap berhasil dan demikian sebaliknya.

Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi, baik kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat dijadikan untuk menjaga pintu keluar masuk dengan pihak-pihak luar organisasi. (Umar,2002).

Arah komunikasi di dalam suatu organisasi menurut Umar (2002) antara lain :

(11)

a.2.2.2Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi

utamanya adalah mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja, saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat, keluhan-keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik secara tertulis atau nota dinas.

a.2.2.3Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi

yang setingkat. Fungsi utamanya adalah melakukan kerja sama dan proaktif pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian, luar atau antar bagian lain yang bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah maupun menceritakan pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.

a.2.2.4Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dan pihak luar, misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau media iklan lain.

Menurut Cummings (Umar,2002), dalam berkomunikasi ada caranya tersendiri. Untuk mengkomunikasiskan ke bawah, hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan adalah :

a.2.3.1Memberikan perhatian penuh kepada bawahan. a.2.3.2Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. a.2.3.3Mendengarkan dengan umpan balik.

(12)

a.2.3.5Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan.

Untuk berkomunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi berikut ini :

a.2.4.1Melaporkan segera setiap perubahan yang dihadapi. a.2.4.2Menyusun informasi sebelum dilaporkan.

a.2.4.3Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu. a.2.4.4Mengajukan fakta bukan perkiraan.

a.2.4.5Melaporkan juga perihal sikap, produktifitas, moral kerja atau persoalan khusus yang dihadapi bawahan.

a.2.4.6Menghindari penyebaran informasi yang salah.

a.2.4.7Meminta nasehat kepada atasan mengenai cara-cara yang sulit diatasi sendiri oleh bawahan.

Secara umum George C.Edward III membahas tiga hal yang penting dalam proses komunikasi kebijakan (Winarno,B,2002) yaitu :

(13)

a.2.5.2Kejelasan

Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana, akan tetapi komunikasi harus jelas juga. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan dan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

a.2.5.3Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah-perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankaan tugasnya dengan baik.

a.3Faktor Disposisi (sikap)

(14)

Disposisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Subarsono (2005) adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, sifat demokratis. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan tidak efektif. Disposisi oleh implementor ini mencakup tiga hal penting yaitu :

a.3.1.1 Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.

a.3.1.2 Kognisi, yaitu pemahaman para implementor terhadap kebijakan yang dilaksanakan.

a.3.1.3 Intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh setiap implementor.

a.4Faktor Struktur Birokrasi

(15)

Menurut George C.Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan melaksanakan fragmentasi.

a.4.1 Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

a.4.2 Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan- kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit. b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

(16)

oleh masyarakat terhadap kebijakan yang terlaksana. Variabel isi kebijakan menurut Grindle mencakup beberapa indikator yaitu :

b.1.1 Kepentingan kelompok sasaran atau target group yang termuat dalam isi kebijakan.

b.1.2 Jenis manfaat yang diterima oleh target group.

b.1.3 Derajat perubahan yang diharapkan dari sebuah kebijakan. b.1.4 Letak pengambilan keputusan.

b.1.5 Pelaksana program telah disebutkan dengan rinci. b.1.6 Dukungan oleh sumber daya yang dilibatkan.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup 3 indikator yaitu :

b.2.1 Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

b.2.2 Karakteristik lembaga dan rejim yang sedang berkuasa. b.2.3 Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya, tinggi-rendahnya intensitas berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya ) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

c. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

(17)

c.1 Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan.

c.2 Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non manusia (non human resources).

c.3 Hubungan Antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.

c.4 Karakteristik Agen Pelaksana

Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan dan intensitas disposisi implementor yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining

Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok variabel besar yang dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yaitu :

d.1Logika dari suatu Kebijakan

Ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat dukungan teoritis.

(18)

ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam dan fisik atau geografis.

d.3Kemampuan Implementor

Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan ketrampilan dari implementor kebijakan.

2.1.6. Analisa Kebijakan Publik

Analisa kebijakan adalah aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan proses pembuatan kebijakan. Disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang policy relevant untuk memecahkan masalah kebijakan (Dunn,2003). Menurut William N.Dunn bentuk analisa kebijakan adalah sebagai berikut :

a. Analisa kebijakan prospektif yaitu bentuk analisa yang mengarahkan sebelum aksi kebijakan mulai diimplementasikan. Bentuk ini melibatkan teknik-teknik peramalan untuk memprediksikan kemungkinan yang timbul akibat kebijakan yang akan dilaksanakan.

b. Analisa kebijakan retrospektif yaitu bentuk analisa yang menjelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Bentuk ini bersifat evaluatif, karena melibatkan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang sedang ataupun yang telah dilaksanakan.

(19)

informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan. Bentuk ini melibatkan teknik peramalan maupun evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan.

2.1.7. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan Kesehatan (Health Policy) adalah segala sesuatu untuk memengaruhi faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).

Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan digambarkan sebagai spons yang dapat menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Ada juga yang berpendapat bahwa sektor kesehatan merupakan pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi biomedis serta produksi dan penjualan obat-obatan. Sebagian masyarakat selalu mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Kesehatan juga dipengaruhi oleh masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, maka masalah kesehatan ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial lainnya.

2.1.8 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

(20)

a. Faktor Situasional

Faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: kekeringan)

b. Faktor Struktural Faktor ini meliputi :

b.1 Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan (contohnya : warga masyarakat diminta pendapatnya tentang kebijakan BBM bersubsidi).

b.2 Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya : negara dapat memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga).

b.3 Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya : akibat kemajuan teknologi mengakibatkan pertambahan jumlah wanita hamil yang melahirkan secara caesar ).

b.4 Kekayaan suatu negara akan berpengaruh kuat terhadap jenis layanan kesehatan.

c. Faktor budaya yaitu faktor yang dapat berpengaruh seperti hirarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu.

(21)

2.1.9 Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan

Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan

Sumber : Walt and Gilson (1994)

Keuntungan analisis kebijakan adalah dapat menjelaskan mengenai apa dan bagaimana hasil (outcome) kebijakan akan dicapai, model kebijakan di masa depan dapat dirancang sehingga mudah dalam mengimplementasikan kebijakan secara lebih efektif. Penggunaan analisis kebijakan dapat dilihat contohnya dalam analisis kebijakan penentuan tarif untuk meningkatkan efisiensi di pelayanan kesehatan, dimana konteksnya terdiri dari kondisi ekonomi, ideologi dan budaya. Konten

Aktor/Pelaku: Individu

Pelaku Organisasi

Konteks

Isi/

(22)

(isinya) menjabarkan apa tujuan yang ingin dicapai dan apakah ada pengecualian terhadap tarif yang diberlakukan ? Aktor (pelaku) dalam kebijakan ini adalah siapa yang mendukung dan menolak kebijakan tarif tersebut ? Analisis prosesnya yaitu bagaimana pendekatan dilakukan, apakah secara top-down atau bottom up ?

Bagaimana kebijakan ini akan dikomunikasikan?

2.2. Eliminasi Filariasis

2.2.1. Program Eliminasi Filariasis

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, maka dipandang dari sudut :

a. Tujuan

a.1 Tujuan Umum

Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020.

a.2 Tujuan Khusus

a.2.1 Menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota.

(23)

b. Pengertian

b.1 Eliminasi filariasis

Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah - tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.

b.2 Pengobatan massal filariasis

Pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC (diethylcarbamazine citrate), albendazol dan paracetamol

sesuai takaran, setiap tahun minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang bertujuan untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan mata rantai penularan filariasis di daerah.

b.3 Tatalaksana kasus filariasis

Pengobatan dan perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan. Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri dan seumur hidup.

c. Kebijakan

c.1 Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program pemberantasan penyakit menular.

(24)

memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan.

c.3 Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota.

c.4 Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara. 2.2.2. Strategi Eliminasi Filariasis di Indonesia

a. Strategi Nasional

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, strategi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mencapai eliminasi filariasis adalah :

a.1Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis.

a.2Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.

a.3Pengendalian vektor secara terpadu.

a.4Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. a.5Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian. b. Kegiatan Pokok

Untuk merealisasikan strategi eliminasi filariasis tersebut, maka dilaksanakanlah berbagai kegiatan yaitu :

(25)

b.1.1 Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif dalam upaya eliminasi filariasis antara lain :

b.1.1.1 Penderita klinis filariasis bersedia memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan serta mampu merawat anggota tubuh yang sakit.

b.1.1.2 Anggota masyarakat melaksanakan pengobatan filariasis secara teratur, minimal 5 tahun berturut-turut.

b.1.1.3 Anggota masyarakat, perorangan atau berkelompok berperan aktif dalam upaya eliminasi filariasis di daerahnya. Masyarakat membentuk relawan filariasis di tempat tinggalnya, baik relawan dalam perawatan penderita klinis kronis filariasis, pengobatan massal filariasis, maupun dalam rangka pemantauan kinerja program filariasis di daerahnya.

b.1.1 Pengembangan pesan promosi yang mendukung peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya eliminasi filariasis yaitu :

b.1.2.1 Mengidentifikasi dan menentukan sasaran promosi. b.1.2.2 Menentukan metode promosi yang tepat.

(26)

b.2 Mengembangkan sumber daya manusia filariasis

b.2.1 Memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program eliminasi filariasis, baik melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis.

b.2.2 Prioritas pendidikan dan pelatihan tenaga profesional adalah tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi, tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan di daerah.

b.3 Menyempurnakan Tata Organisasi

b.3.1 Pembentukan Task Force eliminasi filariasis atau kelompok kerja eliminasi filariasis di pusat dan di daerah.

b.3.2 Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor. b.3.3 Penyempurnaan pedoman pelaksanaan Program Eliminasi

Filariasis.

b.3.4 Mendorong terbentuknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli filariasis.

b.4 Meningkatkan Kemitraan

b.4.1 Inventarisasi dan merumuskan kerjasama lembaga mitra.

(27)

meningkatkan efisiensi dan efektifitas Program Eliminasi Filariasis.

b.4.3 Menentukan skala prioritas kerjasama antar sektor pada program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) terutama dalam rangka penemuan kasus dan pengobatan massal serta lembaga mitra pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media massa dan lain sebagainya.

b.4.4 Melakukan kerjasama dengan lembaga donor nasional dan internasional serta dunia usaha.

b.5 Meningkatkan Advokasi

b.5.1 Meningkatkan advokasi para penentu kebijakan untuk mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan perundangan, serta terlaksananya program eliminasi filariasis dengan dukungan anggaran, sumber daya manusia, dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta penggerakan semua potensi yang ada di pusat dan di daerah.

(28)

kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga donor.

b.6 Pemberdayaan Masyarakat

b.6.1 Menumbuhkembangkan norma kemasyarakatan yang berdaya guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis.

b.6.2 Mengutamakan pemberdayaan masyarakat dalam penemuan dan perawatan penderita klinis filariasis serta pelaksanaan pengobatan massal filariasis dengan sasaran prioritas pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh masyarakat, guru, tenaga kesehatan, penyandang dana lokal dan masyarakat luas.

b.7 Memperluas Jangkauan Program

b.7.1 Melaksanakan tahapan kegiatan eliminasi filariasis agar tercapai tujuan eliminasi filariasis tahun 2020.

b.7.2 Memperluas jangkauan program eliminasi filariasis dengan pendekatan kepulauan, pendekatan lintas batas administrasi pemerintahan dan pendekatan kawasan edipemiologi filariasis. b.7.3 Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu

(29)

b.8 Memperkuat Sistem Informasi Strategis

b.8.1 Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian dan evaluasi program eliminasi filariasis.

b.8.2 Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans eliminasi filariasis provinsi dan nasional serta sistem surveilans epidemiologi kesehatan.

b.8.3 Meningkatkan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia.

2.2.3. Langkah-langkah Eliminasi Filariasis

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, langkah-langkah eliminasi filariasis adalah sebagai berikut :

a. Pentahapan Kabupaten/Kota

Program eliminasi filariasis di kabupaten/kota melalui tahapan penemuan kasus kronis filariasis, pemetaan endemisitas filariasis kabupaten/kota, penetapan data dasar sebelum pengobatan filariasis, pengobatan massal filariasis, penatalaksanaan kasus klinis filariasis, monitoring dan evaluasi, sertifikasi eliminasi filariasis.

a.1 Penemuan Kasus Klinis Filariasis

(30)

merupakan data dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data dasar (baseline survey), penetapan prioritas daerah pelaksana kegiatan penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan evaluasi Program Eliminasi Filariasis. Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis dilaksanakan oleh puskesmas dengan melaksanakan kegiatan:

a.1.1 Kampanye penemuan dan penatalaksaan kasus klinis filariasis.

a.1.2 Mendorong penemuan dan pelaporan kasus oleh masyarakat, kepala desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan.

a.1.3 Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis. a.1.4 Perekaman dan pelaporan data kasus klinis filariasis. a.2 Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota

Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas filariasis di kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

a.2.1Kabupaten/kota yang memiliki kasus klinis filariasis, melaksanakan survei mikrofilaria (survei darah jari) di desa dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Microfilaria rate 1% atau lebih merupakan indikator sebagai kabupaten/kota endemis filariasis.

(31)

endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis filariasis.

a.2.3Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan keputusan gubernur.

a.3 Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis

Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal, perlu melakukan survei data dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis terbanyak.

a.4 Persiapan Pelaksanaan POMP Filariasis

Sebelum kegiatan pelaksanaan POMP filariasis dilakukan, maka dilakukan kegiatan persiapan yaitu :

a.4.1 Advokasi/sosialisasi di kabupaten a.4.2 Rapat koordinasi di kabupaten/kota a.4.3 Sosialisasi di puskesmas

a.4.4 Distribusi obat sampai puskesmas a.4.5 Pendataan sasaran

a.4.6 Training kader

a.4.7 Packing obat sesuai sasaran

(32)

a.5 Pelaksanaan POMP Filariasis

Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota, sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal dapat dilakukan serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota, atau secara bertahap per kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan massal.Pengobatan massal secara bertahap harus dapat diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar reinfeksi tidak terjadi.

a.6 Monitoring dan Evaluasi

a.6.1 Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun setelah pengobatan massal.

a.6.2 Survei cakupan pengobatan massal dilakukan setelah pelaksanaan pengobatan massal tahun pertama.

a.6.3 Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum pengobatan tahun ketiga dan kelima.

a.7 Sertifikasi Eliminasi Filariasis

(33)

a.8 Penatalaksanaan Kasus Klinis

Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis yang ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan kasus dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.

a.9 Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis

Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya.

a.10 Pengendalian Vektor

Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis dilaksanakan untuk memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan

pengendalian vektor lainnya. b. Pentahapan Provinsi

b.1Provinsi bertugas untuk menentukan endemitas filariasis semua kabupaten/kota yang ada di wilayahnya yang diharapkan selesai tahun 2006.

b.2Provinsi mendorong perluasan pelaksanaan eliminasi filariasis, sehingga semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan program eliminasi. Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah selesai melaksanakan pengobatan massal.

(34)

c. Pentahapan Nasional

c.1Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi. c.2Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi.

c.3Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain.

c.4Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.

c.5Pra sertifikasi eliminasi filariasis dilakukan pada tahun 2015-2020. Berikut ini ditampilkan skema proses eliminasi filariasis di kabupaten/kota :

(35)

Agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1. Untuk

melaksanakan pengobatan massal filariasis terhadap lebih dari 60 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemis filariasis, mengacu pada agenda yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI.

Tabel 2.1. Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia

Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia

Kegiatan Tahun

d. Pendekatan Perluasan Program

Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah yang sudah eliminasi.

d.1 Pendekatan kepulauan

Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis dilakukan dengan mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara serentak pulau-perpulau.

d.2 Pendekatan lintas batas

Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan daerah yang

(36)

d.3 Pendekatan blok

Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok-perblok daerah yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas penduduk atau secara epidemiologis mudah terjadi penularan.

2.2.4. Sumber Dana dan Sarana Eliminasi Filariasis

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan pemerintah, lembaga kemasyarakatan, kerjasama antar negara dan lembaga internasional. 1. Sumber pendanaan pelaksanaan pengobatan massal filariasis

a. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di kabupaten/kota, puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari alokasi anggaran di kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota.

b. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan paracetamol dan Badan Kesehatan Dunia WHO untuk obat albendazole.

c. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan reaksi pengobatan massal filariasis, bersumber dari anggaran pemerintah kabupaten/kota.

(37)

b. Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis

Biaya operasional dan logistik obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota.

2.2.5. Indikator Kinerja

Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, indikator kinerja eliminasi filariasis ada 2 yaitu :

a. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis

= ( Jumlah kab/kota eliminasi filariasis pada akhir tahun tertentu / Jumlah kab/kota endemis filariasis sebelum program eliminasi filariasis dilaksanakan pada tahun yang sama ) x 100 %

Kab/kota endemis filariasis adalah kab/kota yang memiliki microfilariarate >= 1 %, dan kab/kota eliminasi filariasis adalah apabila hasil evaluasi tahun ke 5 menunjukkan microfilaria rate < 1 %.

b. Kasus klinis yang ditangani per tahun (> 90 %)

b.1Persentase kasus klinis yang ditangani per tahun = (jumlah kasus klinis filariasis yang ditangani pada tahun tertentu / jumlah kasus klinis yang tercatat pada tahun yang sama) x 100 %

b.2Jumlah limfedema yang ditangani per tahun b.3Jumlah hidrokel yang dioperasi per tahun

(38)

Gambar 2.3. Skema Eliminasi Filariasis, Strategi dan Kegiatan Pokok

2.3. Landasan Teori

Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Menurut George C. Edward III (Subarsono,2009) ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut saling berhubungan dan saling

memengaruhi dalam proses implementasi. Hubungan faktor-faktor yang saling memengaruhi tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :

Gambar 2.4 Model Implementasi menurut George C. Edward III Kegiatan Pokok :

1. Memutus rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis

2. Mencegah dan membatasi kecacatan

melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis 3. Pengendalian vektor secara terpadu

(39)

2.4. Kerangka Berfikir

Berdasarkan landasan teori di atas, maka faktor-faktor yang memengaruhi implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan adalah faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan stuktur birokrasi.

Gambar 2.5 Kerangka Berfikir Penelitian Komunikasi

- Transmisi - Konsistensi - Kejelasan

Sumber Daya

- Instrumen Kebijakan - Alokasi Biaya/Anggaran - SDM

- Ketersediaan Faskes

Disposisi

- Komitmen Implementor - Kejujuran Implementor - Sikap Demokratis

Struktur Birokrasi

- Struktur Organisasi - SOP

- Koordinasi Berjenjang

Gambar

Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan
Gambar 2.2 Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota
Tabel 2.1. Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia
Gambar 2.3. Skema Eliminasi Filariasis, Strategi dan Kegiatan Pokok
+2

Referensi

Dokumen terkait

dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama, sedangkan uji korelasi antar variabel terikat dilakukan untuk mengetahui

Berdasarkan hasil pengujian serta analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini membuktikan bahwa pengalaman merek dan citra merek secara simultan berpengaruh

2.5 Pembebanan Jembatan Rangka Baja Canai Dingin Pejalan Kaki Beban merupakan gaya luar yang bekerja pada suatu struktur.. Umumnya penentuan besarnya beban yang bekerja pada

Data hasil observasi dalam penelitian upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada materi jajargenjang dengan menggunakan metode penemuan terbimbing di kelas IV

Staf Badan Kelengkapan merupakan perwakilan individu dari masing-masing anggota ILMPI yang dipilih dengan mekanisme yang ditentukan oleh Pengurus Harian Nasional

Dari peta kendali tersebut, terlihat bahwa tidak ada pengamatan yang berada di luar batas kendali sehingga dapat dikatakan bahwa jenis cacat crack telah terkendali.. Gambar 7

Setelah itu Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Kehakiman dan Hak Azazi Manusia, dan Menteri

Proses flowchart pada login merupakan data yang harus di isi sesuai dengan user name dan password yang sudah melakukan registrasi sebelumnya, proses ini