• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Konflik Perkawinan Lintas Budaya Perempuan Indonesia dan Laki-Laki Bule

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potensi Konflik Perkawinan Lintas Budaya Perempuan Indonesia dan Laki-Laki Bule"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Konflik Perkawinan Lintas Budaya

Perempuan Indonesia dan Laki-Laki Bule

Benazir Bona Pratamawaty Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia (benazir_bona@yahoo.com / benazir.bona@unpad.ac.id)

Abstract

The intercultural marriages are frequently encountered by many problems and conflicts. One of the causes is the cultural background differences. This kind of marriage occurs between Indonesian women and the foreigner, the mixing between different cultural background, western and eastern culture. This research was aimed at identifying and recognizing the conflict that caused by the intercultural marriages of the Indonesian women and the caucasians. This research is one part of a broader scope of research using a phenomenological approach,in terms of particular symbolic interaction and social construction theory of reality. Methods of data collection include in-depth interviews and observations of seven Indonesian women who married caucasian and domiciled in Jakarta. The results show some dominant conflict-causing differences in cross-cultural marriages between Indonesian women and male caucasians. The differences include language – context differences, communication style, perceptions on family concepts, and perceptions about privacy. In the end, cross-cultural marriage couples find a pattern of settlement in responding the cultural differences they find in everyday life. Over time, sharing the differences that exist together, the Indonesian .Finally, women and foreign husbands reach the a point where they start sharing the same values and worldviews.

Keywords : Conflict, interaction, culture.

Abstrak

Perkawinan lintas budaya seringkali menghadapi banyak masalah dan konflik, diantaranya disebabkan perbedaan latar belakang budaya. Dalam perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule, terjadi pertemuan antara dua latar budaya yang berbeda, yakni budaya Timur dan budaya Barat. Riset ini bertujuan untuk menyelidiki dan mengkaji perbedaan yang berpotensi konflik dalam perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule. Kajian ini merupakan salah satu bagian dari sebuah penelitian yang lebih luas cakupannya dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, khususnya interaksi simbolis dan teori konstruksi sosial atas realitas. Metode pengumpulan data meliputi wawancara mendalam dan observasi terhadap tujuh perempuan Indonesia yang bersuamikan bule dan berdomisili di Jakarta. Terdapat beberapa perbedaan penyebab konflik yang dominan dalam perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule, yakni perbedaan konteks bahasa, gaya berkomunikasi, persepsi tentang konsep keluarga, dan persepsi tentang ruang privasi. Pada akhirnya, pasangan perkawinan lintas budaya menemukan pola penyelesaian dalam menghadapi perbedaan-perbedaan budaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berpotensi konflik maupun tidak. Sejalan dengan waktu, berbagi perbedaan-perbedaan yang ada bersama-sama, perempuan Indonesia dan suami bule akan mencapai titik di mana mereka mulai berbagi nilai-nilai dan cara pandang yang sama.

Kata kunci : Konflik,interaksi, budaya.

KAFA’AH JOURNAL, 7 (1), 2017, (1-14)

(Print ISSN 2356-0894 Online ISSN 2356-0630)

Available online at :

(2)

PENDAHULUAN

Perkawinan lintas budaya bukan lagi merupakan hal yang baru dalam kehidupan

masyarakat global saat ini. Tingkat

mobilitas manusia yang sangat tinggi dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan manusia untuk bertemu, bergaul, menjalin hubungan, bahkan hingga menikah. Perkawinan lintas budaya bahkan telah terjadi selama Perang Dunia I berlangsung. Perpindahan dan pergerakan manusia di seluruh dunia memungkinkan hal ini terjadi.

Gudykunst (2003) mencatat

beberapa alasan terjadinya perkawinan

lintas budaya berdasarkan beberapa

penelitian terdahulu. Orang-orang yang

melakukan perkawinan lintas budaya

terkesan pada pasangannya karena mereka memegang nilai-nilai yang sama dan memiliki kepentingan yang sama

(Al-Ma’ruf, 2006, p.; Kouri & Lasswell, 1993;

Liliweri, 2003; Mulia, Baso, & Nurcholish, 2005; Panuju, 2001; Suparlan, 2004), atau mereka merasa nyaman bersama-sama

(Irianto & Margaretha, 2013;

Puspowardhani, 2008; Sobirin, 2001;

Wahyuningsih, 2002). Faktor lainnya

adalah adanya kedekatan jarak atau proksemiti (Ningsih, 2015; Okfriana, 2017; Yudistriana, Basuki, & Harsanti, 2011), serta karena tidak tersedianya pilihan lain, misalnya militer yang sedang bertugas ke negara lain (Gudykunst, 2003).

Masing-masing latar belakang

perkawinan lintas budaya tersebut sesuai dengan jaman atau periode penelitian

tersebut dilakukan. Demikian halnya

dengan tulisan ini. Penelitian ini juga tentunya dilakukan merujuk pada kejadian perkawinan lintas budaya yang terjadi pada jaman atau periode atau konteks waktu masa kini.

Perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule lebih banyak terjadi di Indonesia daripada sebaliknya. Lebih banyak ditemui pasangan

kawin campur yang terdiri dari perempuan Indonesia dan laki-laki bule daripada perempuan bule dan laki-laki Indonesia. Hal ini dikonfirmasi oleh data yang didapatkan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Propinsi DKI Jakarta sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah perkawinan campuran antara WNI

dan WNA (dari negara-negara Barat) dalam 5 tahun terakhir

Sumber: Seksi perkawinan dan perceraian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Propinsi DKI Jakarta

Data yang digunakan merupakan data perkawinan lintas budaya yang terjadi di Jakarta karena penelitian ini mengambil lokasi di Jakarta. Sebagai ibu kota negara, Jakarta menawarkan kehidupan dan standar ekonomi yang mapan bagi kaum ekspatriat yang ada di Indonesia. Dengan demikian,

banyak dari mereka yang menikahi

perempuan Indonesia dan menetap di Jakarta.

Perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule merupakan sebuah perkawinan antara dua budaya yang sangat berbeda, yakni budaya Timur dan budaya Barat. Hartati, (2009); Lubis, (2002) dalam model komunikasi antar budaya yang dibuatnya menyebutkan bahwa perbedaan-perbedaan antara budaya Barat dan budaya Timur (dalam hal ini,

Indonesia) merupakan contoh utama

(3)

Perbedaan budaya yang mencolok ini mungkin bisa dipahami dan diantisipasi oleh perempuan Indonesia yang pernah pergi atau tinggal di luar negeri, namun tidak untuk mereka yang belum pernah ke luar negeri. Perbedaan budaya yang ada

akan membuat mereka terkejut dan

mungkin sulit diadaptasi oleh sebagian orang, terutama bagi mereka yang belum pernah bersentuhan dengan budaya asing

tersebut sebelumnya. Budaya orang

Indonesia yang bersifat kolektivis akan berbenturan dengan budaya Barat yang bersifat individualis.

Besar (n.d.) menjelaskan bahwa

secara umum dalam berkomunikasi,

khususnya dalam menangani informasi, kebudayaan dapat dilihat sebagai kontinum

konteks tinggi (high context) dan konteks

rendah (low context). Pada kebudayaan

konteks tinggi, informasi pesan kebanyakan berada di dalam konteks fisik atau diinternalisasi di dalam diri manusia, sedangkan informasi yang ditransmisikan dalam bentuk kode dan informasi eksplisit sangat sedikit. Namun, dalam kebudayaan konteks rendah justru sebaliknya, pesan banyak diterjemahkan ke dalam bentuk

kode eksplisit. Tingkat konteks ini

menentukan segala aspek komunikasi dan merupakan dasar bagi perilaku manusia selanjutnya.

Secara umum, budaya Barat yang bersifat individualistik cenderung berada

pada konteks rendah (low context),

sementara itu budaya Indonesia yang bersifat kolektivistik cenderung berada pada

konteks tinggi (high context) (Aziati &

Suharnomo, 2011; Rejeki, 2013;

Syarifuddin, 2017; Widiastuti, 2012).

Meskipun demikian, Suparlan (2001)

menjelaskan bahwa di dalam masyarakat

Indonesia – yang berkebudayaan konteks

tinggi – terdapat perbedaan derajat konteks

kebudayaan. Derajat konteks kebudayaan ini terjadi meliputi dua, yaitu kebudayaan

konteks tinggi – tinggi (high – high context)

dan kebudayaan konteks tinggi – rendah

(high – low context). Namun secara umum,

orang Indonesia memiliki budaya konteks

tinggi – tinggi.

Dalam perkawinan lintas budaya yang terjadi, di satu kutub terdapat suami bule dengan latar belakang budaya konteks

rendah – rendah dan di kutub lain terdapat

isteri Indonesia dengan latar belakangan

budaya konteks tinggi – tinggi. Orang bule

cenderung berbicara spontan, mengutarakan opini mereka dengan langsung, tanpa peduli siapa lawan bicara mereka. Sedangkan orang Indonesia cenderung suka berbasa-basi dan tidak berterus terang. Gaya berkomunikasi tersebut mereka lakukan terhadap semua orang, bahkan terhadap orang asing atau bule sekalipun. Namun, demikian, potensi konflik tidak hanya berasal dari gaya berkomunikasi.

Bahari (2014); Haryanto (2013)

menyatakan bahwa perkawinan lintas

budaya lebih banyak berpotensi pada masalah dari pada perkawinan intra etnis.

Kemudian terdapat banyak masalah

eksternal dalam perkawinan lintas budaya daripada intrabudaya, meski keduanya

sama-sama puas dengan pernikahan

mereka. Lebih jauh dijelaskan bahwa keberhasilan perkawinan lintas budaya

tergantung pada kemampuan untuk

menyesuaikan diri satu sama lain (Amirin, 2012; Heryadi & Silvana, 2013; Karel, 2014; Rahmaniah, 2014).

Kunci dalam perkawinan lintas budaya adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan pasangan, disini letak penting

peran komunikasi. Perkawinan lintas

budaya menuntut adaptasi dengan karakter dan juga latar belakang budaya

masing-masing. Penggunaan bahasa dalam

komunikasi yang dilakukan antar pasangan pun kemudian menjadi sangat penting. Ting-Toomey (2012, 2015); Ting-Toomey

et al., (2000) menjelaskan bahwa

komunikasi antarbudaya merujuk pada proses komunikasi antar anggota kelompok budaya yang berbeda. Derajat perbedaan

yang ada di antara individu yang

(4)

keanggotaan suatu kelompok budaya seperti kepercayaan, nilai-nilai,

norma-norma dan urutan-urutan interaksi

(interaction script). Perbedaan nilai-nilai dan norma yang dibawa oleh masing-masing pihak dalam sebuah perkawinan lintas budaya memerlukan diskusi panjang untuk kesatuan visi dan misi mereka dalam membangun sebuah keluarga. Hal ini tertu saja akan mempengaruhi keputusan yang akan mereka ambil sehubungan dengan masa depan anak-anak yang mereka miliki.

Perbedaan-perbedaan yang ada

dalam perkawinan lintas budaya memiliki potensi konflik yang dapat mempengaruhi sebuah hubungan perkawinan. Namun demikian, hal ini sangat bergantung pada bagaimana pasangan perkawinan lintas budaya menyikapinya. Komunikasi dan interaksi merupakan dua hal yang saling

berkaitan dan berpengaruh dalam

kehidupan sebuah rumah tangga, terlebih lagi bagi pasangan dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda satu sama lain.

Kajian ini dibuat untuk membahas

perbedaan-perbedaan latar belakang budaya yang berpotensi konflik bagi pasangan perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule. Artikel ini secara komprehensif akan memaparkan empat poin utama perbedaan yang paling

potensial menyebabkan konflik bagi

pasangan perkawinan lintas budaya dari perspektif komunikasi lintas budaya. Pada akhir tulisan, artikel ini akan memaparkan

beberapa rekomendasi terkait kajian

komunikasi lintas budaya untuk penelitian lanjutan dari fenomena perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule. Untuk mengungkap hal ini digunakan pendekatan fenomenologi.

Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur pengalaman dan kesadaran. Secara harfiah, fenomenologi adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti penampakan, segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu, dan makna yang kita

miliki dalam pengalaman kita.

Kenyataannya, fokus perhatian

fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena, yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang

mengalaminya secara langsung).

Menimbang tujuan penelitian ini adalah untuk dapat membangun konstruksi makna realitas sebagaimana adanya mengenai kehidupan perkawinan lintas budaya, maka fenomenologi merupakan pisau bedah yang

tepat untuk menganalisis pertanyaan

penelitian yang ada. Fenomenologi sebagai teori dalam penelitian dapat membantu peneliti menganalisis pemaknaan subjek

penelitian akan pengalaman sadarnya

sebagai pelaku perkawinan lintas budaya. Dengan mengkaji pengalaman subjek penelitian, serta makna yang dimilikinya

mengenai perkawinan lintas budaya,

penulis berharap dapat menghasilkan

sebuah konstruksi makna yang mendekati realitas, sebagaimana sudut pandang orang pertama.

Kuswarno (2009) menegaskan

bahwa pada dasarnya, fenomenologi

mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran, yang terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan, sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa. Menurut Husserl, struktur bentuk-bentuk kesadaran

dinamakan dengan “kesengajaan”, yang

terhubung langsung dengan sesuatu.

Struktur kesadaran dalam pengalaman ini akhirnya membuat makna dan menentukan

isi dari pengalaman (content of experience).

“Isi” ini sama sekali berbeda dengan

“penampakannya”, karena sudah ada

penambahan makna.

Bagi sebagian orang, perkawinan lintas budaya mungkin terasa asing dan

tidak normal. Namun, bagi pelaku

(5)

alami. Secara konteks, fenomena yang mereka alami pada dasarnya sama saja, yakni menikahi seorang lelaki bule yang memiliki latar belakang budaya barat.

Sedangkan, secara tingkat kesadaran

individu dan pemberian makna, masing-masing individu tentu memiliki persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan, dan tindakan yang berbeda-beda, yang pada akhirnya memberikan makna dan menentukan isi yang berbeda-beda dari pengalaman yang mereka alami. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, isi pengalaman dari tiap individu tentunya berbeda satu sama lain, karena, kembali lagi tingkat kesadaran tiap individu dalam mengalami sebuah pengalaman adalah berbeda-beda.

Alfred Schutz merupakan orang pertama yang membawa fenomenologi ke

dalam ilmu sosial. Baginya tugas

fenomenologi adalah menghubungkan

antara pengetahuan ilmiah dengan

pengalaman sehari-hari, dan dari kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan itu

berasal. Dengan kata lain, manusia

mendasarkan tindakan sosial pada

pengalaman, makna, dan kesadaran.

Menurut Schutz, manusia mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalaman

melalui proses “tipikasi”. Hubungan antar

makna pun diorganisir melalui proses ini,

atau biasa disebut stock of knowledge, yang

memfokuskan pada pengetahuan yang kita miliki, atau dimiliki seseorang.

Fenomenologi dianggap relevan

dengan penelitian yang dilakukan. Melalui

fenomenologi, kajian ini berusaha

mendapatkan pemaknaan dari “isi”

pengalaman perempuan Indonesia yang

menikah dengan laki-laki bule. “Isi” dari

pengalaman ini yang menentukan

perbedaan apa saja yang mereka temui dan bagaimana mereka mengatasi perbedaan tersebut dalam rangka menghindari konflik yang mungkin terjadi karena perbedaan yang ada.

Kajian ini dilakukan menggunakan

metode fenomenologi yang berbasis

interaksi simbolik. Proses pemaknaan perkawinan lintas budaya yang melibatkan individu dan makna bersama tentu akan tercapai jika terjadi interaksi di dalamnya.

Fenomenologi yang mengkaji makna

individu dan konstruksi atas realitas yang mengkaji makna bersama akan terjadi dengan syarat terjadinya interaksi. Untuk menghasilkan makna dan menentukan isi

dari sebuah pengalaman, manusia

memerlukan kesadaran dan pengalaman sadar dalam berinteraksi dengan manusia dan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi perempuan Indonesia yang bersuamikan lelaki bule dengan kolega dan teman-temannya tentu berbeda dengan bagaimana dia berinteraksi dengan suami dan anak-anaknya di rumah. Satu poin pembeda utama disini adalah penggunaan bahasa. Disinilah interaksi simbolik berperan.

Kouri & Lasswell (1993), yang dikenal sebagai pencetus awal Teori Interaksi Simbolik, menyatakan bahwa

orang bertindak berdasarkan makna

simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi tertentu. Pada dasarnya, teori ini menekankan pada hubungan antara simbol

dan interaksi. Tripambudi (2014)

mengatakan bahwa interaksi simbolik

adalah “sebuah kerangka referensi untuk

memahami bagaimana manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini,

sebaliknya, membentuk perilaku manusia”.

Sebagaimana diamati oleh Juita (2012), interaksi simbolik berargumen bahwa

masyarakat dibuat menjadi “nyata” oleh

interaksi individu-individu, yang “hidup

dan bekerja untuk membuat dunia sosial

mereka bermakna”.

Teori ini berasumsi bahwa orang

tergerak untuk bertindak berdasarkan

(6)

pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas (West & Turner, 2008).

Teori di atas, menekankan interaksi

antar individu yang memungkinkan

terbentuknya sebuah “dunia” yang nyata,

bagaimana setiap individu bereaksi

terhadap individu lain berdasarkan interaksi yang mereka lakukan sehari-hari. Dalam hal ini, produk yang dihasilkan dari interaksi adalah simbol-simbol yang menghasilkan bahasa. Proses pemaknaan diri dan tindakan

diri dalam pengalaman menjalani

perkawinan lintas budaya mungkin didapat melalui interaksi dengan individu lain, baik itu dengan pasangan sendiri, anak-anak, maupun dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Bahwa bahasa yang dihasilkan dari interaksi tersebut dapat digunakan oleh subjek penelitian untuk berinteraksi dengan diri sendiri dalam rangka memproduksi makna. Selain itu, disebutkan pula bahwa bahasa yang dihasilkan memungkinkan

individu mengembangkan perasaan

mengenai dirinya. Maka pemaknaan yang diberikan individu mengenai perkawinan lintas budaya yang dijalani secara tidak

langsung mempengaruhi perasaan

mengenai dirinya.

Perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule menimbulkan interaksi simbolik yang

melibatkan pertukaran makna dalam

berbagai aspek kehidupan. Dalam proses pertukaran simbol yang terjadi antara

pasangan, masing-masing individu

kemudian memberikan makna atas perilaku, sikap, dan persepsi pasangannya. Makna yang diberikan kemudian menjadi patokan berperilaku dalam berinteraksi dengan pasangan. Namun demikian, perilaku dari setiap individu ditopang oleh latar belakang

budaya yang dimilikinya, di mana

didalamnya meliputi nilai-nilai, norma, dan sistem kepercayaan. Dalam perkawinan lintas budaya antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule, perbedaan latar belakang

budaya yang tajam pada gilirannya akan menghasilkan perbedaan cara pandang atau persepsi yang berpotensi konflik.

Kajian ini mengarah pada potensi konflik yang terjadi dari proses komunikasi dan interaksi yang terjadi antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule dalam sebuah perkawinan lintas budaya. Perbedaan latar

belakang budaya yang tajam antara

perempuan Indonesia dan laki-laki bule berpotensi menghasilkan konflik yang tidak dapat dihindarkan. Kajian ini membahas bagaimana perbedaan-perbedaan yang ada

menghasilkan konflik dan bagaimana

pasangan perkawinan lintas budaya

menghadapi dan mengatasi konflik tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

pendekatan fenomenologi. Fenomenologi bertujuan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalami secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang ditempelkan kepadanya. Dalam hal ini, Schutz berpandangan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas.

Sebagai peneliti sosial, interpretasi terhadap realitas yang diamati memgang

peranan penting. Dalam melakukan

penelitian, harus mampu menggunakan metode interpretasi yang sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian (Kuswarno, 2009).

Data penelitian didapatkan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap tujuh orang informan, yakni perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki bule, dan melakukan observasi terhadap

komunikasi dan interaksi sehari-hari

(7)

di jejaring sosial Facebook. Informan

pertama berperan sebagai gatekeeper bagi

peneliti. Gatekeeper tersebut kemudian

memperkenalkan peneliti kepada informan

berikutnya, dan dengan informan

berikutnya, dan seterusnya hingga tujuh informan.

Wawancara mendalam dilakukan empat hingga lima kali pertemuan dengan

setiap informan. Proses wawancara

dilakukan di rumah tinggal informan dan di lokasi lain yang disepakati bersama. Ketika wawancara dilakukan di rumah informan, maka tampaklah interaksi dan komunikasi yang berlangsung antara informan dan pasangannya. Kegiatan pengamatan tidak hanya berhenti pada bagaimana informan berinteraksi dengan suami, anak-anak, dan teman-temannya, tapi juga pada bahasa non verbal informan saat berinteraksi dan menjawab pertanyaan yang diajukan. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan suami dari setiap informan. Seperti yang

ditekankan oleh Moustakas (1994)

mengenai pentingnya pemberian ijin oleh

informan untuk merekam jalannya

wawancara, maka merekam setiap kegiatan

wawancara dengan sebuah camera pocket

atas sepengetahuan informan juga

dilaksanakan beserta pengumpulan

informasi sekunder, seperti bertanya pada

teman informan mengenai hubungan

informan dengan suaminya di mata

teman-teman informan. Teknik pemilihan

informan menggunakan snowball sampling.

Guna mencapai keabsahan data yang diinginkan, digunakan sebuah teknik untuk mencari tahu apakah apa yang dikatakan oleh informan adalah keadaan yang sebenarnya, yakni dengan mengajukan pertanyaan yang sama pada kesempatan yang berbeda. Kemudian diberikan jeda satu minggu untuk setiap pertemuan

wawancara, kemudian dalam dua

pertemuan berikutnya ditanyakan

pertanyaan yang sama, guna memastikan kebenaran data. Tidak hanya bergantung

pada waktu, tapi juga mengajukan

pertanyaan yang sama pada situasi yang

berbeda, misalnya saat di kafe dan saat di rumah yang mengacu pada kecenderungan seseorang merasa aman dan nyaman saat berada di zona nyamannya (rumah sendiri).

Semua hasil wawancara dan

pengamatan tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk transkrip wawancara dan catatan observasi. Kedua data tertulis inilah yang dipergunakan dalam menganalisis dan

menjabarkan hasil temuan. Metode

fenomenologi yang digunakan sangat

membantu dalam memandang isu

penelitian ini dari sudut pandang orang pertama, yakni sudut pandang informan. Selanjutnya berusaha menempatkan diri secara subjektif, dari sudut pandang orang pertama agar dapat mengkonstruksi makna sesuai dengan realitas yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inti dari pemaknaan perkawinan lintas budaya bagi perempuan Indonesia yang menikahi laki-laki bule terletak pada interaksinya dengan suami dan anak-anak. Perlakuan suami terhadapnya, pemahaman tingkah laku suami, pemahaman terhadap

perbedaan yang ada dengan suami,

semuanya membentuk makna dalam diri informan mengenai perkawinan lintas budaya yang dijalaninya. Dua orang yang

bertemu, menikah, dan membentuk

keluarga disebut oleh Makalew (2013) sebagai sebuah pelembagaan, dalam hal ini keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak.

Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam sebuah perkawinan lintas budaya, tentu saja lahir dari adanya perbedaan latar belakang budaya yang membedakan diri

(self) sang suami dan isterinya. Sobur

(2013) menjelaskan bahwa diri atau self

adalah semua ciri, jenis kelamin,

pengalaman, sifat-sifat, latar belakang budaya, pendidikan, dan sebagainya, yang melekat pada seseorang. Semakin dewasa dan semakin tinggi kecerdasan seseorang,

semakin mampu dia menggambarkan

(8)

menunjukkan keseluruhan lingkungan subjektif seseorang. Untuk orang itu

sendiri, diri merupakan “pusat pengalaman dan kepentingannya”. Diri membangun

dunia batiniah yang harus dibedakan dari

“dunia luar” yang dibangun oleh orang lain

dan barang-barang lain (Sobur, 2013).

Hal tersebut kemudian

meng-hasilkan perbedaan perspektif, nilai-nilai yang dianut, cara pandang tentang dunia, serta sikap terhadap beragam hal bagi pasangan perkawinan lintas budaya. Kajian terhadap tujuh perempuan Indonesia (yakni Mary, Lydia, Sandra, Rini, Nana, Erni, dan Suci) yang menikah dengan laki-laki bule dan berdomisili di Jakarta menunjukkan terdapat beberapa perbedaan yang menjadi penyebab konflik paling dominan dalam

kehidupan perkawinan lintas budaya,

seperti perbedaan konteks bahasa, gaya berkomunikasi, sistem kepercayaan, konsep

keluarga, dan konsep ruang privasi

individu.

Perbedaan konteks bahasa diakui sebagai kendala utama bagi kehidupan

perkawinan lintas budaya. Walaupun

terdapat kemampuan berbahasa asing, seperti Sandra dengan latar belakang pendidikan bahasa Inggris dan Erni dengan latar belakang pendidikan bahasa Prancis, maupun bagi yang pernah belajar ke luar negeri dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, seperti Mary dan Suci, tidak menjamin kehidupan perkawinan mereka berjalan mulus..

Sebagai contoh, Sandra adalah pengguna bahasa Inggris aktif yang

bersuamikan seorang bule Amerika. Saat

dia berkomunikasi dengan suami masih banyak terjadi kesalahpahaman. Apalagi dengan latar belakang suami yang telah berpengalaman menetap di beberapa negara pengguna bahasa Inggris, seperti Amerika, Inggris, dan Australia. Seringkali Sandra bingung membedakan apakah suami sedang

berbicara dalam konteks british english,

australian english, ataukah american english.

Erni juga mengakui hal yang sama.

Erni yang bersuamikan seorang bule

Prancis, mengakui bahwa kesalahpahaman dalam berkomunikasi, meskipun dengan

menggunakan satu bahasa yang sama –

yakni bahasa Prancis – tidak dapat

dihindarkan karena konteks kalimat yang mereka gunakan tidak sesuai dengan konteks bahasa Prancis. Pemahaman Erni tentang bahasa Prancis hanya sebatas apa yang dipelajarinya di bangku kuliah, sedangkan pemahaman mengenai konteks

penggunaannya sendiri tidak dapat

dipahaminya secara utuh karena dia belum pernah tinggal di Prancis. Meskipun Erni

lancar berkomunikasi dalam bahasa

Prancis, namun masih ada kata-kata atau konteks kalimat yang tidak dipahaminya karena tidak pernah digunakannya saat dia berada di Indonesia. Hal ini karena kata-kata dan konteks kalimat tersebut memang tidak sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat Indonesia.

Kendala bahasa akan selalu

ditemukan dalam proses komunikasi

walaupun memiliki kemampuan dalam menggunakan bahasa suami. Akan selalu ada konteks kalimat atau ungkapan yang diucapkan suami yang tidak dimengerti oleh informan karena informan tidak pernah tumbuh dalam budaya suami. Hal ini

merupakan sesuatu yang wajar,

sebagaimana ditegaskan bahwa ketika orang-orang dari budaya yang berlainan berkomunikasi, penafsiran keliru atas sandi

merupakan pengalaman yang lazim.

Sementara itu, bahasa merupakan alat

individu untuk membentuk makna

mengenai dirinya dan segala hal yang berada di sekitarnya (Ardiyansah, 2017; Hartanto, 2015).

Interaksi sehari-hari informan

dengan suami, terkadang membuat dirinya sakit hati atas perkataan suami. Padahal suami tidak bermaksud menyinggung perasaan isterinya. Konteks bahasa yang

berbeda seringkali menimbulkan

(9)

diri sendiri. Dengan demikian, penting bagi perempuan Indonesia yang menikah dengan

bule untuk memahami sepenuhnya budaya

suami agar konflik akibat perbedaan konteks bahasa dapat dihindari. Begitu juga dengan suami, penting untuk memahami

budaya isteri – budaya Indonesia – untuk

dapat memahami dengan baik maksud

penggunaan konteks bahasa yang

digunakan oleh isteri sebagai pengguna bahasa asing.

Selain konteks bahasa, gaya

berkomunikasi yang berbeda juga turut menjadi kendala. Gaya berkomunikasi

orang bule yang senantiasa terang-terangan

mengutarakan maksudnya tanpa

memperhatikan situasi dan kondisi bagi orang Indonesia terkesan kasar. Sedangkan

di sisi lain, orang bule tidak menyukai gaya

berkomunikasi orang Indonesia yang

senang berbasa-basi dan cenderung

berputar-putar. Erni mengakui bahwa

kesalahpahaman dengan suami akibat perbedaan gaya berkomunikasi ini tidak dapat dielakkan, bahkan juga terjadi antara dia dan keluarga suami. Namun, di sisi lain Erni merasa bahwa hal tersebut merupakan bagian dari proses belajar. Erni juga mengakui bahwa banyaknya perbedaan malah justru membuatnya banyak belajar dari perbedaan yang ada dengan suaminya. Hal yang sama juga diakui oleh informan lain.

Meskipun informan mengaku telah terbiasa dengan gaya suami yang selalu berterus terang dalam berbicara, namun hal tersebut tidak kemudian membuat mereka kebal dan tidak tersakiti oleh perkataan

suami. Suami informan juga sering

meminta informan untuk lebih terbuka dan berterus terang jika berbicara dengannya. Informan yang lahir dan besar dalam lingkungan yang berkomunikasi dengan

gaya high-context kemudian berusaha

menyesuaikan diri dengan gaya

berkomunikasi suami yang low-context.

Untuk menghindari terciptanya konflik karena perbedaan gaya berkomunikasi

tersebut diperlukan keinginan untuk

berusaha memahami dari kedua belah

pihak. Keinginan untuk selalu

mengkomunikasikan kesalahpahaman yang ada merupakan kunci utama menghadapi perbedaan tersebut.

Terdapat perbedaan persepsi tentang konsep keluarga dalam pandangan orang bule yang individualis dan orang Indonesia

yang kolektivis. Erni, mengeluhkan

perbedaan pandangan tentang konsep

keluarga, sering dia susah memberikan

penjelasan kepada suami. Misalnya,

mengenai pentingnya melibatkan keluarga besar dalam membuat keputusan-keputusan besar. Suami menganggap bahwa keluarga mereka adalah privasi mereka dan tidak penting keluarga besarnya tahu mengenai keputusan-keputusan besar yang mereka buat. Sedangkan bagi Erni, di Indonesia hal seperti itu tidak berlaku. Dalam budaya Indonesia, keterlibatan keluarga sangat besar artinya. Selain itu, suami Erni merasa tidak perlu membangun hubungan dekat dengan keluarga besar Erni, menurutnya selama dia membangun hubungan baik dengan orang tua dan saudara kandung Erni itu sudah cukup. Disini Erni menemukan kesulitan untuk memberikan suaminya

pengertian mengenai peran penting

keluarga besar dalam budayanya.

Kondisi yang sama juga terjadi pada

Rini – bersuamikan bule Australia – yang

(10)

pemahaman dan dijelaskan duduk masalahnya, suaminya tidak

sungkan-sungkan mengeluarkan uang untuk

kebutuhan keluarga Rini.

Ketika informan dan suami

memutuskan untuk menikah, konsep

perkawinan itu sendiri berbeda antara

perempuan Indonesia dan laki-laki bule.

Bagi perempuan Indonesia, perkawinan tidak hanya berlangsung antara dia dan suami, melainkan antara keluarganya dan keluarga suami, layaknya dalam masyarakat kolektivis. Sedangkan bagi laki-laki bule yang berasal dari masyarakat individualis, perkawinannya dengan sang isteri hanya berarti perkawinan antara mereka berdua dan keluarga barunya tersebut adalah

privasinya. Informan penelitian juga

mengaku bahwa perbedaan konsep

keluarga, antara keluarga besar (perempuan Indonesia) dan keluarga inti (laki-laki bule) merupakan salah satu pemicu konflik yang utama dalam perkawinan beda budaya yang dijalaninya.

Informan dengan konsep keluarga besarnya terbiasa dibebani oleh tanggung jawab dan kepentingan keluarga besarnya, sehingga keinginan untuk selalu terlibat dan melibatkan diri dalam keluarga besar sangat tinggi. Di sisi lain, suami dengan konsep keluarga inti berprinsip bahwa keluarganya adalah privasinya dan tanggung jawabnya. Tanggung jawabnya hanya kepada keluarga intinya, tidak pada keluarga besar sang isteri.

Prinsip tersebut seringkali

berbenturan dengan kebutuhan informan

untuk selalu ingin melibatkan dan

dilibatkan dalam urusan keluarga besarnya. Benturan yang paling keras terjadi ketika berkaitan dengan beban finansial. Namun,

pada akhirnya informan dan suami

menemukan solusi untuk menghadapi benturan tersebut, yakni sama-sama datang di titik tengah, membicarakan skala prioritas dalam hal melibatkan keluarga besar dan membuat kompromi untuk saling menghormati skala prioritas tersebut.

Jika informan tidak bisa menangani hal tersebut dengan baik bersama suami, maka keluarga bisa menjadi pemicu pecahnya sebuah rumah tangga perkawinan lintas budaya. Fakta bahwa informan menetap di Indonesia bersama suami membuatnya tidak bisa menghindar begitu saja dari tanggungan keluarga besar. Di satu sisi hal ini merupakan budayanya, nilai yang dianutnya, sedangkan di sisi lain bertentangan dengan prinsip suami.

Persepsi yang berbeda tentang konteks ruang privasi bagi laki-laki bule cenderung menimbulkan konflik tersendiri

bagi informan. Bagi orang bule, ketika

mereka sedang berkegiatan di luar rumah, misalnya bekerja atau bertemu teman-teman, semua itu adalah privasi suami dan suami berharap orang lain menghargai privasi tersebut, termasuk isteri Hal yang sama pun mereka terapkan kepada isteri. Ketika isteri pergi ke luar rumah suami tidak pernah menelpon atau mengirim pesan untuk mengecek keberadaan isteri. Karena menurut mereka hal itu adalah privasi isteri yang harus dihormati.

Bagi informan, beradaptasi dengan sikap bule yang sangat menghormati privasi seseorang tidak mudah. Di satu sisi, mereka selalu khawatir dan ingin tahu keberadaan suami, namun di sisi lain isteri merasa tidak diacuhkan oleh suami, saat suami tidak menghubungi ketika isteri sedang di luar rumah atau bepergian jauh. Meskipun

informan mengaku sempat susah

beradaptasi dengan sikap suami yang

demikian dan selalu merasa tidak

diacuhkan, namun pada saat yang sama informan merasakan nilai positif dari sikap tersebut. Informan merasa lebih independen

dan merasa dihargai kebebasannya

berkreasi sebagai individu.

Proses adaptasi tersebut menurut

teori konstruksi atas realitas dapat

menciptakan sebuah pola tipifikasi timbal balik yang dimengerti oleh satu sama lain

dalam proses interaksi sehari-hari.

(11)

sebuah bentuk kebiasaan yang

memungkinkan keduanya mampu

meramalkan tindakan pasangannya

sehingga menghasilkan sebuah pola

interaksi yang dapat diramalkan. Interaksi yang dapat diramalkan menurut Ahmadi (2007), mempermudah pasangan dalam menghadapi satu sama lain, menghemat waktu dan tenaga mereka, terutama

menyelamatkan mereka dari beban

ketegangan dan rasa khawatir yang

berlebihan secara psikologis. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dirasakan oleh informan penelitian. Informan sempat mengalami kesulitan beradaptasi dengan sikap suami yang sangat menjunjung tingi privasi pasangannya, yang ditafsirkan

sebagai bentuk ketidakpedulian oleh

informan pada awalnya. Namun demikian, saat pola mulai terbentuk, tipifikasi timbal balik terjadi, dan informan menjadi terbiasa serta mampu meramalkan interaksinya dengan sang suami, sikap suami malah dianggap memberikan keuntungan bagi informan, yakni berupa kebebasan individu yang bertanggung jawab. Hal tersebut kemudian membantu informan menghemat waktu, tenaga, dan terutama mengurangi beban psikologi yang kerap mengganggu sebelumnya.

Pemaparan di atas menunjukkan beberapa konflik utama yang terdapat dalam perkawinan lintas budaya. Temuan tersebut sajikan dalam matriks sederhana berikut:

Tabel 2. Matriks penyebab konflik utama dalam perkawinan lintas budaya

No. Penyebab Konflik Paling Dominan Cara Menghadapinya

1. Konteks bahasa:

-Perempuan Indonesia yang bersuamikan laki-laki bule selalu menggunakan bahasa suami saat berinteraksi dengan suami.

-Penguasaan bahasa asing yang tidak menyeluruh, menimbulkan kesalahpahaman dalam berbagai konteks dan level.

Pasangan menggunakan konsep pengecekan kembali. Saat salah satu pihak tampak tidak mengerti atau bahkan tersakiti oleh ucapannya, pihak yang lain menjelaskan kembali maksud dari kata-katanya tersebut. Alih-alih marah atau bersikap defensif, masing-masing pihak tahu bahwa kesalahpahaman harus selalu dijelaskan dengan konsep introspeksi diri.

2. Gaya berkomunikasi:

Perbedaan konteks komunikasi pada perempuan Indonesia (high-context) dan laki-laki bule (low-context). Sang isteri seringkali tersakiti dengan ucapan suami yang terlalu terbuka dan jujur.

Isteri tidak memaksa suami mengubah cara bicaranya, namun isteri lebih memilih beradaptasi atau membiasakan diri dengan cara bicara suami yang demikian. Di lain pihak, suami ingin agar sang isteri bersikap lebih terbuka dan jujur dalam berkomunikasi sehari-hari degannya.

3. Konsep keluarga:

-Perempuan Indonesia dengan konsep keluarga besarnya, sedangkan laki-laki bule dengan konsep keluarga inti.

-Perempuan Indonesia selalu ingin melibatkan dan dilibatkan oleh keluarga besarnya meskipun telah menikah, sedangkan bagi suami keluarga yang dibentuknya bersama isteri adalah privasinya, tidak boleh ada campur tangan pihak lain, termasuk keluarga besar isteri.

Saat berurusan dengan keluarga besar, isteri memberikan pengertian kepada kedua pihak, baik pada suami maupun pada keluarga besarnya. Sehingga masing-masing mampu mengerti dan menghormati kedudukan dan prinsip pihak lainnya. Dengan demikian kunci dari penyelesaian konflik ada pada keinginan isteri untuk menjadi jembatan penghubung antara kedua belah pihak.

4. Ruang privasi:

Laki-laki bule sangat menjunjung tinggi privasi mereka, bahkan hal tersebut juga diterapkan pada isterinya. Di sisi lain, perempuan Indonesia cenderung sangat bergantung dan selalu ingin tahu semua detail kegiatan suami di luar rumah.

(12)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Potensi konflik dalam perkawinan lintas budaya jauh lebih berat dari pada perkawinan pada umumnya. Hal ini

dikarenakan adanya perbedaan latar

belakang budaya yang signifikan antara kedua individu dalam perkawinan tersebut, Khususnya bagi pasangan yang berasal dari dua latar belakang budaya yang sangat bertentangan, seperti budaya Timur dan budaya Barat. Meskipun perbedaan yang ada cenderung memicu konflik, namun hal tersebut dapat diatasi dengan adanya

keinginan untuk memahami dan

berkompromi satu sama lain.

Akhirnya, pasangan perkawinan

lintas budaya menemukan pola

penyelesaian dalam menghadapi perbedaan-perbedaan budaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berpotensi konflik maupun tidak. Bagaikan roda yang

berputar, perbedaan-perbedaan budaya

diantara pasangan perkawinan lintas budaya selalu muncul ke permukaan dan selalu mereka hadapi dan atasi dengan cara yang sama. Pada gilirannya timbul pemahaman yang sama antara kedua belah pihak terhadap berbagai permasalahan. Seiring berjalannya waktu, berbagi perbedaan yang ada secara bersama, perempuan Indonesia

dan suami bule mencapai titik di mana

mereka mulai berbagi nilai-nilai dan cara

pandang yang sama. Kajian ini dapat

melahirkan kajian-kajian selanjutnya terkait perkawinan lintas budaya dalam perspektif komunikasi lintas budaya dan juga kajian gender. Hal menarik yang dapat dikaji selanjutnya dari perspektif komunikasi lintas budaya adalah bagaimana keluarga

pasangan perkawinan lintas budaya

mendidik anak-anaknya dengan dua budaya yang berbeda.

REFERENSI

Ahmadi. (2007). Jaringan Sosial PSK di

Sumenep. Jurnal Genta, 1(VI).

Al-Ma’ruf, A. I. (2006). Dimensi Sosial

Keagamaan dalam Fiksi Indonesia Modern Fenomena Perkawinan Lintas Agama dalam Novel Keluarga Permana Karya Ramadhan KH: Kajian Semiotik. Smart Media Solo.

Amirin, T. M. (2012). Implementasi

pendekatan pendidikan

multikultural kontekstual berbasis

kearifan lokal di Indonesia. Jurnal

Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 1(1).

Ardiyansah, M. (2017). Dinamika

komunikasi antarbudaya santri di pondok pesantren al-anwar Paculgowang Diwek Jombang. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Aziati, F., & Suharnomo, S. (2011).

Analisis pengaruh budaya nasional, kompetensi komunikasi lintas budaya, dan budaya organisasi terhadap kompetensi negosiasi berbasis PSA (Problem Solving Approach) Studi pada PT Prudential (Semarang). Universitas Diponegoro.

Bahari, Y. (2014). Model Komunikasi Lintas Budaya dalam Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu dan Madura di Kalimantan

Barat. Jurnal Ilmu Komunikasi

(JIK), 6(1).

Besar, P. P. G. (n.d.). Peranan pemahaman lintas budaya dalam pencapaian fungsi integratif bahasa Indonesia.

Gudykunst, W. B. (2003). Cross-cultural

and intercultural communication. Sage.

Hartanto, A. (2015). Pola Komunikasi Komunitas Perantau Asal Madura Di Kota Bandung Studi Etnografi

Komunikasi Mengenai Pola

(13)

Hartati, S. (2009). Pengaruh Komunikasi

Antarbudaya Dan Harmonisasi

Kerja Di PT. Sumber Tani Agung

Medan (Studi Korelasional

Pengaruh Komunikasi Antarbudaya Terhadap Harmonisasi Kerja di PT. Sumber Tani Agung Medan).

Haryanto, J. T. (2013). Dinamika

Kerukunan Intern Umat Islam

Dalam Relasi Etnisitas Dan Agama

Di Kalteng. Jurnal Analisa Volume

20 Nomor 01 2013, 13–24.

Heryadi, H., & Silvana, H. (2013).

Komunikasi antarbudaya dalam

masyarakat multikultur. Jurnal

Kajian Komunikasi, 1(1), 95–108.

Irianto, S., & Margaretha, R. (2013). Piil Pesenggiri: Modal Budaya dan Strategi Identitas Ulun Lampung.

Makara Hubs-Asia, 8(3).

Juita, R. (2012). Meningkatkan kemampuan

siswa dalam menulis sebuah teks recount dengan menggunakan metode latihan pada siswa kelas VIII. A2 Madrasah Tsanawiyah (MTS) Darul Hikmah Pekanbaru. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Karel, R. S. (2014). Komunikasi antar

Black-white marriages: Social

change and intergenerational

mobility. Marriage & Family

Kuswarno, E. (2009). Metodologi

Penelitian Komunikasi

Fenomenologi. Bandung: Widya

Pajajaran.

Liliweri, A. (2003). Makna budaya dalam

komunikasi antarbudaya. PT LKiS Pelangi Aksara.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological

research methods. Sage.

Mulia, M., Baso, A., & Nurcholish, A.

(2005). Pernikahan beda agama:

kesaksian, argumen keagamaan, dan analisis kebijakan. Komnas HAM-ICRP.

Ningsih, I. N. D. K. (2015). Proximity: kedekatan yang diusung citizen journalism (studi kasus: persepsi pelajar dan alumni pelajar indonesia yang melakukan studi di luar

negeri). ultimacomm, 7(1).

Okfriana, R. (2017). Pola komunikasi

pasangan yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Pasangan yang Menjalani Hubungan Pacaran Jarak Jauh atau Long Distance Relationship (LDR) Dalam Memelihara Hubungan di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program S-1 Transfer Prodi Ilmu Komunikasi Non Reguler 2014 UNS). Universitas Sebelas Maret.

Panuju, R. (2001). Komunikasi organisasi:

dari konseptual-teoritis ke empirik. Pustaka Pelajar.

Puspowardhani, R. (2008). Komunikasi

antar budaya dalam keluarga kawin campur Jawa-Cina di Surakarta.

Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Rahmaniah, S. E. (2014). Multikulturalisme dan hegemoni politik pernikahan endogami: implikasi dalam dakwah

Islam. Walisongo: Jurnal Penelitian

(14)

Rejeki, M. N. S. (2013). Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam

Relasi Kemitraan Inti-Plasma.

Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(2).

Sobirin, A. (2001). Merger dan Akuisisi:

Sebuah Perkawinan Paradoksal.

Jurnal Siasat Bisnis, 1(6).

Sobur, A. (2013). Semiotika komunikasi.

Suparlan, P. (2001). Kesetaraan Warga dan

Hak Budaya Komuniti dalam

Masyarakat Majemuk Indonesia.

Antropologi Indonesia, 66.

Suparlan, P. (2004). Hubungan

antar-sukubangsa. Yayasan

Pengembangan Kajian Ilmu

Kepolisian.

Syarifuddin, S. (2017). Identitas Kultur dalam Relasi Etnik Komin-Amber

di Papua. Jurnal Penelitian

Komunikasi, 20(1).

Ting-Toomey, S. (2012). Communicating

across cultures. Guilford Press.

---. (2015). Identity negotiation theory. The

International Encyclopedia of Interpersonal Communication.

Ting-Toomey, S., Yee-Jung, K. K., Shapiro, R. B., Garcia, W., Wright, T. J., & Oetzel, J. G. (2000). Ethnic/cultural identity salience and conflict styles in four US ethnic

groups. International Journal of

Intercultural Relations, 24(1), 47– 81.

Tripambudi, S. (2014). Interaksi Simbolik

Antaretnik di Yogyakarta. Jurnal

Ilmu Komunikasi (JIK), 10(3).

Wahyuningsih, H. (2002). Perkawinan: Arti Penting, Pola dan Tipe Penyesuaian

Antar Pasangan. Psikologika:

Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 7(14).

West, R., & Turner, L. H. (2008). Pengantar teori komunikasi: analisis

dan aplikasi. Jakarta: Salemba

Humanika.

Widiastuti, T. (2012). Analisis framing sebuah konflik antarbudaya di

media. Journal Communication

Spectrum, 1(2).

Yudistriana, K., Basuki, A. H., & Harsanti, I. (2011). Intimasi pada Pria Dewasa Awal yang Berpacaran Jarak Jauh

Beda Kota. Jurnal Ilmiah Psikologi,

3(2).

Gambar

Tabel 1. Jumlah perkawinan campuran antara WNI dan WNA (dari negara-negara Barat) dalam 5 tahun terakhir
Tabel 2. Matriks penyebab konflik utama dalam perkawinan lintas budaya

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang sama terjadi pada uji tambahan yang menghitung komponen-komponen dari kecerdasan emosi, dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan

Status anak dari hasil perkawinan laki-laki Batak dengan perempuan Minangkabau di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat sebelum tahun

Status anak dari hasil perkawinan laki-laki Batak dengan perempuan Minangkabau di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat sebelum tahun

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, keabsahan pelaksanaan perkawinan antara laki-laki yang berumur 27

8 Salima, Nama Samaran untuk Perempuan yang hidup bersama laki-laki tanpa perkawinan yang sah, Wawancara Pribadi, 28 Maret 2022 Jam 18.35 WIB.. bagaimana pandangan masyarakat dan

Jesperson (1949) mengobservasi gaya percakapan para perempuan dan laki-laki dan menemukan bahwa laki-laki lebih suka memakai istilah-istilah baru, ekspresi bahasa

pemberian welin oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka perkawinan adalah sal ah satu aspek hukum adat yang hidup dan berkembang di pulau Adonara ini*

Perbedaan coping pada laki-laki dengan perempuan disebabkan oleh faktor fisiologis, dimana kecenderungan perempuan lebih berfokus pada emosi sedangkan laki-laki