206 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN PERKARA PERDATA
MELALUI LITIGASI DAN NON LITIGASI DENGAN CARA MEDIASI
AKRAM MUH. JAFAR SAHARUDDIN DJOHAS
Abstrak
Tinjauan yuridis tentang penyelesaian perkara perdata melalui litigasi dan non litigasi dengan cara mediasi dibimbing oleh Muh Jafar dan Saharudin Jdohas, tulisan ini mengangkat masalah tentang penyelesaian perkara perdata melalui jalur litigasi dan non litigasi dengan cara mediasi, mediasi sebagai salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa ini kiranya memiliki kelebihan dan kelemahan, tetapi merupakan cara penyelesaian perkara perdata yang dianggap lebih baik jika dilihat dari beberapa aspek, adapun rumusan masalah dalam tulisan ini untuk mengetahui bagaimana kedudukan serta peran aktif hakim mediasi dalam proses penyelesaian perkara para pihak di pengadilan dan bagaimana kekuatan hukum suatu perdamaian (mediasi) khususnya para pihak yang bersengketa di pengadilan, dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, analisa yang penulis dapatkan bahwa Bahwa perselisihan suatu perkara diselesaikan melalui proses pemeriksaan dipengadilan dan diakhiri dengan putusan, tetapi dapat juga diakhiri dengan perdamaian baik melalui litigasi maupun non litigasi dengan cara mediasi oleh hakim pengadilan.serta Bahwa manfaat penyelesaian perkara perdata secara mediasi (perdamaian) oleh para pihak dapat merasakan karena proses penyelesaiannya cepat dan biaya ringan, serta tidak ada permusuhan perdamaian melalui mediasi tersebut oleh hakim yang memeriksa perkara dapat dibuatkan akta perdamaian yang sama dengan putusan serta mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatannya dengan kekuatan hukum putusan
Kata Kunci: Penyelesaian Perkara, Litigasi, Non Litigasi, Mediasi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Begitu banyaknya perkara – perkara yang tertumpuk pada Mahkama Agung menjadi sebuah dilema dalam dunia penegakan hukum dan peradilan di Indonesia yang
sungguh sangat memilukan hati kita para pencari keadilan dan kebenaran.
207 dunia peradilan. Bahwa penyelesaian
sengketa perdata melalui pengadilan merupakan suatu cara penyelesaian yang kurang efisien dan efektif, namun pihak – pihak yang terlibat dalam sengketa perdata belakangan ini cenderung selalu melakukan banding dan kasasi terhadap putusan – putusan pengadilan, terlepas apakah putusan pengadilan itu sudah mencerminkan rasa keadilan dari kebenaran atau tidak, akibatnya hampir semua perkara perdata , pemeriksaannya sampai ke Mahkama Agung, permohonan pemeriksaan banding dan kasasi kadang – kadang bukan dilandasi suatu keinginan untuk memperoleh keadilan dan kebenaran yang nilainya lebih tinggi, melainkan hanya sekedar untuk memperlambat proses belaka, seakan – akan banding dan kasasi menjadi mode upaya hukum yang musti harus diminta dalam berita acara, keadaan yang demikian sesungguhnya membawa malapetaka bagi masyarakat kita sendiri sebagai pencari keadilan kalau tidak segera diatasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi keadaan seperti itu adalah dengan cara memberikan pengertian dan kesadaran masyrakat, bahwa sengketa perdata sebaiknya diseslesaikan dengan mengadakan perdamaian (dading), baik didepan siding pengadilan maupun diluar siding pengadilan. Dalam perkara perdata para pihak dapat mengakhiri sengketanya melalui jalur diluar pengadilan dan jalur didalam siding pengadilan. Hal ini dimungkinkan karena masalah bersifat privat atau perseorangan artinya terserah para pihak dengan jalan apa yang ditempuh untuk mengakhiri persengketaannya, sepanjang tidak melanggar hukum.
208 melaksanakan isi guna memenuhi apa
perjanjian perdamaian tersebut. Dalam hal ini perjanjian perdamaian yang dibuat para pihak diluar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, sehingga pelaksanaannya tergantung kesediaan dan kesukarelaan para pihak. Perdamain atau mediasi yang terjadi didalam persidangan pengadilan mengandung makna bahwa para pihak dengan kesadaran dan inisiatifnya masing – masing sepakat untuk mengakhiri sengketa mereka. Mengingat perdamaian atau mediasi seperti itu amat bermanfaat baik terhadap para pihak maupun terhadap pengadilan, maka dalam setiap perkara perdata Undang – Undang mewajibkan dalam bentuk peraturan Mahkama Agung Perma ( No. 1 Tahun 2016 ) dimana hakim senantiasa menawarkan para pihak untuk berdamai. Perdamain itu bukan hanya dapat ditawarkan dalam siding pertama, melainkan dapat dilakukan dalam setiap sidang. Hal ini sesuai dengan sifat aktif bagi hakim
seperti yang dikehendaki oleh HIR/R-Bg.
Jika tercapai perdamain dipersidangan, maka isi perdamaian yang telah disepakati dihadapan hakim, biasanya dituangkan dalam putusan hakim. Dengan demikian perdamaian tersebut bukan hanya sekedar mengikat para pihak tetapi bahkan mempunyai kekuatan hukum eksokutoria.
Adapun manfaat perdamaian tersebut antara para pihak maka permusuhan dan perselisihan diantara para pihak berkurang dan proses penyelesaian sengketanya cepat, sederhana dan biaya ringan.
Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dapat dikatan sebagai penyelesaian oleh para pihak meskipun syarat utamanya adalah kemampuan seorang mediator, untuk mengajak atau meyakinkan pihak – pihak yang bersangkutan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
209 pilihan kepada yang bersengketa
menggunakan jasa mediator yang tersedia dipengadilan Negeri atau menggunakan jasa mediator diluar pengadilan, sehingga membuka peluang bagi seorang menjalankan fungsi mediator sebagai sebuah profesi. Oleh sebab itu penyelesaian dengan cara mediasi dapat dikatakan sebagai penyelesaian oleh masyarakat itu sendiri.
Setelah itu diterbitkannya peraturan Mahkama Agung No. 1 Thun 2008 ( selanjutnya disebut PERMA No. 2 Tahun 2008 ) dan kemudian direvisi menjadi PERMA No. 1 tahun 2016, Mahkama Agung juga menetapkan beberapa pengadilan percontohan, banyak yang berhasil dan juga ada pelaksanaan mediasi yang dianggap masih sangat rendah.
Para pihak yang bersengketa dan juga hakim / mediator tentunya menemukan hambatan – hambatan dalam pelaksanaan prose mediasi. Pasal 130 HIR dan pasal 154 RBg diman kendala atupun hambatan dalam pelaksanaan tersebut sangat
mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu mediasi
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis memilih judul tentang : TINJAUAN YURIDIS TENTANG
PENYELESAIAN PERKARA
PERDATA MELALUI LITIGASI DAN NON LITIGASI DENGAN CARA MEDIASI.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan pokok permasalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kedudukan serta peran aktif hakim mediasi dalam proses penyelesaian perkara para pihak pengadilan?
210 II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Mediasi Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Melalui Litigasi dan Non Litigasi
Meskipun ketentuan HIR / RBg hakim perdata berperan pasif artinya bahwa hakim perdata tidak dapat memutus sesuatu perkara lebih / melampaui tuntutan, namun hakim perdata dapat berperan aktif mengupayakan terjadinya perdamaian apakah mediatornya melalui hakim pengadilan ataukah pihak luar, dan bila mana mediator tersebut adalah hakim pengadilan maka para pihak dibebaskan dan biaya jasa dari biaya jasa mediator tersebut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkama Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan sebagai berikut:
a. Mediasi dapat diselenggarakan disalah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak. b. Penyelenggaraan mediasi disalah
satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. c. Dan seterusnya.
d. Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya
e. Dan seterusnya.
Ketiadaan biaya yang dikeluarkan oleh pihak – pihak tersebut, disamping proses penyelesaian sengketanya relatif lebih cepat dibandingkan proses lembaga peradilan, melainkan manfaat bagi pihak – pihak, yaitu:
1. Dari segi waktu penyelesaian. Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi biasanya berlangsung dalam waktu yang relatif lebih singkat bila dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan1.
Contoh yang baik tentang berapa proses dipengadilan banyak sekali kendalanya dan sering menimbulkan frustasi adalah kasus strom king, milik perusahaan suasta di New York
Menurut Koesnadi Hardja Soemantri bahwa dengan pengalaman
1
211 seperti ini, banyak Negara secara
lambat laun dapat menghimpun dokumentasi penyelesaian perselisihan lingkungan melalui mediasi2, lain halnya dengan penyelesaian sengketa diluar forum pengadilan dimana proses penyelesaiannya biasanya relative lebih cepat sebagai contoh, yakni proses penyelesaian kasus kali tapak Semarang dan kasus Sungai Siak serta kasus Tembok Duku dimana proses penyelesaian ketiga kasus ini berlangsung dalam waktu relatif singkat kasus kali tapak proses penyelesaiannya hanya memakan waktu 85 hari, ini menunjukan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan lebih cepat bila dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan.
2. Dari Segi Pembiayaan.
Dengan melihat proses pengadilan sebagaimana yan telah disebut diatas yang menyita waktu penyelesaian yang panjang, sudah
2
Sudikno Mertokusumo, Alternatif
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001 hlm 19
tentu juga membutuhkan biaya yang lebih besar pula.
3. Hubungan Kedepan Para Pihak Putusan pengadilan akan dapat menyelesaikan sengketa itu dari segi yuridisnya, akan tetapi tidak dapat menghilangkan pertentangan antara pihak – pihak yang bersengketa3
Sementara dalam mediasi karena penyelesaian didasarkan pada kehendak para pihak maka secara otomatis tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Oleh karena itu, tidak ada rasa permusuhan di antara para pihak. Jadi setelah tercapainya kesepakatan maka persoalan yang tadinya ada, menjadi seolah – olah tidak pernah ada dan hubungan kembali membaik.
4. Ruang Lingkup Yang Dibahas Lebih Luas
Dalam kasus kesepakatan Kali Tapak Semarang Jawa Tengah tanggal
3
212 29 Agustus 1991 ruang lingkup
permasalahan yang disepakati meliputi:
a. Ganti kerugian / Kontribusi b. Rehabilitasi/Pemulihan
Lingkungan.
c. Upaya pengendalian pencegahan. d. Tanggung jawab sosial industry
terhadap masyarakat sebagai konsekuensi dan prinsip Ko – eksistensi antara industry dan masyarakat
e. Perombakan perijinan usaha dan para industry dengan menerapkan syarat pengendalian pencemaran tambahan.
Ruang lingkup permasalahan semacam ini menurut Mas Achmad Santosa dan Anthony LP. Hutapea bahwa :
“Diragukan dapat dibahas di
forum pengadilan, karena peran serta para pihak dalam pengadilan bersifat sangat terbatas mengakibatkan masukan – masukan yang bersifat inovatifpun menjadi terbatas”4
4ibid
Manfaat – manfaat tersebut akan dapat dirasakan, bilamana mediator itu berperan berperan. Peran mediator pada dasarnya tidak beda gaya yang dianggap paling benar, maksudnya beragam cara yang dapat diperankan oleh mediator dalam berbagai penyelesaian konflik. Kedudukan dan peran para mediator dalam penyelesaian sengketa yakni sebagai penengah. Karena kedudukannya sebagai penengah maka ia harus berada ditengah para pihak dalam arti dia harus bersikap netral dan bertindak sebagai pihak ketiga yang menempatkan diri benar – benar ditengah para pihak.
213 alternative penyelesaian sengketa
diluar pengadilan5.
Didalam penyelesaian konflik mediator bersifat sebagai penolong maka dalam memainkan peran untuk menjalankan fungsinya sebagai penolong ia harus:
1. Membantu para pihak agar bisa sepakat menggunakan mediasi. 2. Berusaha memodifikasi sengketa
sejelas dan sederhana mungkin. 3. Meluruskan persamaan presepsi
kedua belah pihak tentang sengketa.
4. Jika terjadi benturan pendapat, maka mediator menawarkan alternatif yang bisa diterima oleh para pihak.
5. Menjaga agar tetap berjalannya komunikasi yang lancer, dan sebagainya.
A. Kekuatan Hukum Mediasi (Perdamaian )
Untuk mengetahui lebih jauh kekuatan hukum mediasi (perdamaian)
5
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006 hlm 13
baik yang terjadi didalam maupun diluar pengadilan, akan diuraikan pada pembahasan berikut ini yaitu mengenai perjanjian perdamaian yang terjadi diluar pengadilan yang biasa dikenal dengan putusan hakim perdamaian desa, manakala salah satu pihak tidak mentaati dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan untuk mempertahankan haknya melalui instansi pengadilan.
Dalam hal putusan hakim perdamaian desa belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, kedudukan hakim (perdamaian) desa tersebut sebenarnya tidaklah sejajar dengan hakim pengadilan negeri6.
Hal ini dikarenakan menurut pasal ayat (3) Undang – Undang Darurat No. 1/1951 dinyatakan bahwa keadaan hakim perdamaian desa tetap dilanjutkan yang sebenarnya bukan menyangkut pemberian kuasa mengadili, hakim pengadilan negeri
6
Retnowulan Sutantio dan Iskandar
214 tidak terikat oleh keputusan hakim
perdamaian desa, mereka hanya diharuskan memperhatikan putusan tersebut akan tetapi suatu putusan desa tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan negeri.
Berdasarkan hal diatas maka perdamaian yang diadakan para pihak diluar pengadilan, menurut hemat penulis belum merupakan jaminan yang pasti akan terlaksana sepenuhnya perjanjian tersebut, walaupun telah diputus oleh hakim desa, sebab pelaksanaannya tergantung pada kesediaan dan kerelaan para pihak.
Atau salah satu pihak untuk memenuhinya, kehendaknya kepada pihak yang lalai untuk segera memenuhi perjanjian tersebut, disinilah letak kelemahan perdamaian diluar pengadilan dalam hal ini keputusan kepala desa sebagai hakim perdamaian di luar pengadilan karena tidak dapat dipaksakan.
Bagi pihak – pihak yang bersangkutan tidak tertutup kemungkinan untuk mengajukan
perkaranya langsung kepada hakim lain ( pengadilan negeri ) meskipun perkara tersebut telah diputus oleh hakim desa. Olehnya suatu perkara telah diputus oleh hakim desa dengan perdamaian, tetapi salah satu pihak tidak menaati atau tidak melaksanakan isi perdamaian tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajak gugatan untuk mempertahankan haknya lewat pengadilan negeri. Dengan demikian putusan perdamaian yang diambil oleh hakim desa belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti,
perdamaian seperti ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadila. Persoalannya hanya selesai untuk sementara dan sama sekali tidak menjamin bahwa suatu ketika tidak akan meletus lagi dan mungkin lebih berat dan yang semula7
215 Dengan hal tersebut, diatas,
maka dapat dikatakan bahwa perdamaian diluar pengadilan yang diadakan oleh para pihak hanya merupakan persetujuan yang sifatnya sementara dalam mengakhiri persengketaan mereka, ini jelas tidak menguntungkan pihak yang dirugikan sebab yang diharapkannya adalah untuk menyelesaiakan perselisihan antara para pihak, jadi perdamaian yang dibuat oleh para pihak tersebut hanya mengikat sebagai perjanjian, tidak mempunyai hak eksekutorial seperti pada perdamaian didepan persidangan pengadilan yang dimohonkan eksekusi.
Lain halnya bilamana perdamaian yang terjadi dengan cara mediasi persidangan pengadilan yang kemudian yang kemudian diputuskan oleh hakim, yang putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim pada tingkat penghabisan, hal ini sesuai dengan pasal 1858 ayat 1 KUHPerdata sebagai berikut segala perdamaian diantara para pihak
mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan8
Dengan berdasar pada ketentuan pasal 11 peraturan MA No. 2 tahun 2003, maka kesepakatan damai untuk mengakhiri sengketa di antara pihak – pihak oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara berdasarkan rekomendasi hakim mediasi, dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian, sebagaimana bunyi lengkapnya sebagai berikut:
1. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. 2. Kesepakatan wajib memuat
klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
3. Sebelum para pihak
menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi
8
216 kesepakatan untuk menghindari
adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum. 4. Para pihak wajib menghadap
kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan.
5. Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Terhadap pelaksanaan putusan tersebut sama dengan putusan biasa, yaitu bila mana pihak yang tidak melaksanakan putusan hakim tersebut, maka pelaksanaannya dapat dilakukan secara paksa oleh ketua pengadilan negeri atas permohonan pihak yang dirugikan dengan memerintahkan juru sita.
Adapun mengenai kekuatan hukum dan putusan hakim dalam hal perdamaian maupun putusan biasa dipersidangan mempunyai kekuatan hukum, yang oleh R. Supomo
mengemukakan “tiga macam kekuatan
yaitu: kekuatan yang mengikat (flindende kracht) kekuatan bukti
(bezvijzende kracht) dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dijalankan (exekutoriale Kracht)”9 maka penulis akan menjelaskan satu persatu sebagai berikut:
Suatu putusan hakim yang mengikat dimaksudkan untuk mengakhiri suatu sengketa para pihak dengan menetapkan atas hukumannya yang telah dijatuhkan hakim haruslah ditaati para pihak.
Menurut ketentuan pasal 130 ayat (3) HIR terhadap putusan sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding . proses perkaranya selesai sama sekali karena diakhiri oleh para pihak dengan jalan perdamaian dan seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh salah satu pihak, maka gugatan terakhir ini tidak dapat diterima.
Dalam putusan perdamaian tersebut para pihak harus menghormati dengan jalan mentaati
9
217 apa yang termuat dalam akta
perdamaian salah satu pihak tidak diperkenankan untuk bertindak bertentangan dengan putusan tersebut sehingga putusan itu mempunyai kekuatan mengikat.
Yang kedua menyangkut kekuatan bukti, maksudnya putusan tersebut merupakan akta otentik, karena dibuat oleh para pihak itu sendiri dalam bentuk tertulis dan merupakan alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukan dalam pelaksanaan ketentuan yang disebutkan dalam akta perdamaian tersebut akta perdamaian yang disetujui oleh para pihak didepan sidang pengadilan merupakan akta otentik yang penggunaannya sebagai alat bukti yang sempurna dan sebagai alat bukti bagi para pihak yang didamai.
Kemudian yang ketiga kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dijalankan, maksudnya setiap putusan hakim yang telah ditetapkan harus dilaksanakan, karena maksud putusan tersebut adalah merupakan
hak dan kewajiban para pihak serta realisasi pelaksanaannya secara paksa.
Suatu putusan perkara perdata meskipun mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tetapi perkara tersebut masih belum lagi selesai, manakala belum dimohonkan eksekusi Dengan adanya putusan hakim, sekalipun telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, perkara masih belum lagi selesai, supaya putusan itu menjadi kenyataan harus lebih dulu dimajukan permohonan eksekusi (permohonan agar putusan dapat dijalankan oleh para pihak yang menang). Tanpa permohonan itu jangan harap pihak pengadilan aka ada tindakan kearah itu10 Atas penjelasan beliau tersebut, maka dapat diliat bahwa putusan baru dapat dijalankan apabila mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan atas hal tersebut dimintakan eksekusi.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
10
218 Berdasarkan pada uraian pembahasan
diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa perselisihan suatu perkara diselesaikan melalui proses pemeriksaan dipengadilan dan diakhiri dengan putusan, tetapi dapat juga diakhiri dengan perdamaian baik melalui litigasi maupun non litigasi dengan cara mediasi oleh hakim pengadilan. 2. Bahwa manfaat penyelesaian
perkara perdata secara mediasi (perdamaian) oleh para pihak dapat merasakan karena proses penyelesaiannya cepat dan biaya ringan, serta tidak ada permusuhan.
Bahwa perdamaian melalui mediasi tersebut oleh hakim yang memeriksa perkara dapat dibuatkan akta perdamaian yang sama dengan putusan serta mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatannya dengan kekuatan hukum putusan
B. SARAN
219 DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia Pustaka Utama 2009
R Subekti, Hukum Pembuktian, Paradya Paramita, Jakarta 2009
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Dalam Teori Dan Praktek. Mandar Maju, Jakarta 2013
Sudikno Mertokusumo, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001
Undang – Undang: