• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM PANDANGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM PANDANGA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK TERHADAP PANDANGAN HENDRIK KRAEMER

MENGENAI SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW

DALAM BUKU AGAMA ISLAM

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islamic Worldview

Dosen Pengampu: Dr. Adian Husaini

Oleh

Muhammad Isa Anshory

Oleh

Muhammad Isa Anshory

FAKULTAS PASCASARJANA

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

▸ Baca selengkapnya: bagaimana nabi muhammad saw mengajarkan sikap peduli sesama

(2)

Dalam sejarah Kristenisasi di Indonesia, nama Hendrik Kraemer cukup terkenal. Seperti halnya Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan tokoh sentral dalam studi agama dan kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai Islam, Hendrik Kraemer menjadi tokoh penting dan dalam waktu yang sama tokoh kontroversial bagi dunia gereja dan misi – tidak hanya berkenaan dengan Indonesia, tetapi juga pada skala internasional. Selama 15 tahun (1922–1937) tinggal di Indonesia, Kraemer memberikan banyak kontribusi kepada misi Kristen. Carl F. Hallencreutz menulis, “Kraemer dipercaya dengan sebuah tugas missi

khusus, yaitu membantu para misionaris Belanda dalam konfrontasi mereka dengan Islam di Jawa… Untuk melaksanakan tugas ini, Kraemer menggunakan dan selanjutnya

mengembangkan pandangan-pandangannya mengenai pendekatan missi.”1

Aktivitas dan karya Kraemer tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya menjalankan tugas khusus di atas, termasuk penulisan buku Agama Islam. Barangkali, ini adalah satu-satunya buku Kraemer yang diterjemahkan langsung oleh penulisnya bersama asistennya, Cornelis Taroreh, ke dalam bahasa Indonesia sebagai buku pegangan bagi orang Kristen di Indonesia untuk memahami Islam. Oleh karena itu, buku ini penting dikaji secara kritis.

A. Mengenal Hendrik Kraemer

Hendrik Kraemer dilahirkan sebagai anak yatim di Amsterdam, Belanda, pada 17 Mei 1888, dalam sebuah keluarga imigran miskin dari Jerman. Kehidupannya berpindah dari asuhan satu keluarga ke keluarga lainnya. Beberapa di antara keluarga tersebut adalah penganut sosialisme. Pada akhirnya, dia tinggal di sebuah panti asuhan sempit yang kental nuansa agama Kristen Protestannya. Oleh karena latar belakang ini, saat usia 12 tahun, dia menyatakan, “Suatu saat, saya pasti akan menjadi seorang Kristen atau seorang sosialis.”

Pada usia 16 tahun, Kraemer mengambil keputusan untuk menjadi seorang misionaris setelah seorang misionaris dari Papua New Guinea membangkitkan perasaannya bahwa dia pantas menjadi misionaris.2 Setahun berikutnya, dia masuk sekolah pelatihan misionaris di

Rotterdam (1905–1909) untuk mempersiapkan tugasnya di Indonesia, yang saat itu masih menjadi daerah jajahan Belanda. Dia belajar secara otodidak bahasa Latin yang disukainya. Akan tetapi, dia tidak berhasil menyelesaikan ujian akhirnya karena gagal pada pelajaran dogmatik yang memang tidak pernah disukainya. Pada 1911, dia kemudian memulai lagi

1 Carl F. Hallencreutz, Kraemer Towards Tambaran; A Study in Hendrik Kraemer's Missionary Approach,

(Uppsala: Almquist & Wiksells, 1966), hlm. 161, 162.

2 Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965” dalam Ion Bria dan Dagmar Heller (ed), Ecumenical Pilgrims;

(3)

studinya di Universitas Leiden. Di sini, Kraemer belajar linguistik. Selama setahun, dia berhasil mempelajari bahasa Indonesia. Selain itu, dia juga mempelajari bahasa Jawa.3

Di Universitas ini, Kraemer bertemu beberapa misionaris penting, seperti J.H. Oldham dan John R. Mott, yang mengajaknya bergabung ke dalam Gerakan Mahasiswa Kristen. Dia pun segera menjadi salah seorang pemimpin yang menonjol di organisasi ini.4 Di

Universitas Leiden ini pula, Kraemer bertemu dengan Christiaan Snouck Hurgronje yang kemudian menjadi supervisornya untuk mendapatkan gelar doktoral. Kraemer menyelesaikan studi pada 1921 dengan disertasi berjudul Een Javaanse Primbon in de Zestiende Eeuw.5

Kraemer sempat menghabiskan waktunya selama beberapa bulan di Paris untuk belajar Islam kepada Massignon. Dia juga menghabiskan waktu selama empat bulan di Universitas Al-Azhar Kairo.6 Hal ini menjadi bekal penting baginya untuk menghadapi umat

Islam di kemudian hari.

Pada 1922, Kraemer ditugaskan oleh Dutch Bible Society (Masyarakat Alkitab Belanda) untuk bekerja di Indonesia. Selama di Indonesia, Kraemer pertama-tama tinggal di Yogyakarta, kemudian pindah ke Malang. Kraemer memahami dengan baik kebudayaan Jawa dan juga menguasai bahasa Jawa. Dia ditunjuk untuk membantu merevisi terjemahan Bibel dalam bahasa Jawa. Dia juga diminta mempelajari kecenderungan yang lebih belakangan dalam masyarakat Indonesia (terutama di kalangan kaum intelektual muda Jawa) dan

perkembangan dalam Islam.7 Oleh karena penguasaannya atas kebudayaan Jawa, dia ditunjuk

sebagai penasihat perhimpunan mahasiswa Jong Java pada sekitar 1924. Dia

menyebarluaskan gagasan menyingkirkan unsur-unsur Islam dari masyarakat Jawa. Dia juga mempunyai pandangan negatif mengenai Islam dan kurang apresiatif dibandingkan dengan banyak misionaris Belanda lain. Baginya, Islam pada saat yang sama bersifat superfisial, dangkal, miskin kandungannya, dan sama sekali tidak punya nilai yang bisa ditawarkan kepada manusia lain. Bagi banyak kalangan, Kraemer adalah simbol arogansi dan intoleransi misionaris.8

Kepada para anggota perhimpunan Jong Java, Kraemer memberikan serangkaian kuliah tentang agama Kristen, juga tentang teosofi dan Katolik. Para mahasiswa Muslim

3 Ibid. Lihat juga Jan A. B. Jongeneel, “Kraemer, Hendrik,” dalam Biographical Dictionary of Christian

Missions, ed. Gerald H. Anderson (New York: Macmillan Reference USA, 1998), hlm. 374.

4 Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965”, hlm. 125. 5 Jan A. B. Jongeneel, “Kraemer, Hendrik,”, hlm. 375. 6 Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965”, hlm. 125.

7 Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596–1942),

(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 162.

8 Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di

(4)

karenanya menuntut agar perhimpunan juga mensponsori kuliah tentang Islam. Pemimpin rapat, Raden Samsurijal, mengajukan proposal untuk maksud ini pada pertemuan tahunan perhimpunan yang ketujuh, yang diadakan di Yogyakarta menjelang akhir 1924. Begitu proposal tersebut ditolak, Samsurijal dan sejumlah simpatisannya keluar untuk mendirikan perhimpunan baru, Jong Islamieten Bond.

Dalam diskusi hangat tentang perpecahan di kalangan perhimpunan pemuda ini, pemimpin Muslim Haji Agus Salim dikatakan mempromosikan kuliah tentang Islam dan perpecahan.9 Apa yang dia lakukan sebenarnya hanyalah respons terhadap upaya Kraemer

untuk melenyapkan unsur Islam berapa pun harganya dari Jong Java. Harga tersebut memang mahal. Selama periode 1925–1942, JIB berkembang menjadi sebuah organisasi intelektual muda Muslim yang percaya diri. JIB dengan gigih melakukan penentangan terhadap Katolik dan Kristen; baik dari dalam maupun dari luar Dewan Rakyat. Selain itu, JIB juga

menerbitkan sejumlah artikel anti-Kristen dalam majalah Het Licht serta berbagai publikasi lainnya. Kraemer dan sebagian besar kalangan misionaris menempatkan diri di luar, bahkan menentang kelompok tersebut.10 Dia tinggal di Indonesia hingga 1937, kemudian kembali ke

negerinya di Belanda.

Sebagai seorang orientalis yang sekaligus juga misionaris, Kraemer sangat produktif menulis. Berbagai tulisannya terbit dalam bentuk buku maupun artikel-artikel. Di antara bukunya adalah:

1. Een Javaansche Primbon Uit De Zestiende Eeuw: Inleiding, Vertaling en Aanteekeningen terbit 1921

2. Agama Islam terbit 1928 dalam dua jilid 3. De Strijd Over Bali en De Zending terbit 1933

4. Waarom Zending Juist Nú; Aan Studia Over Het Good Recht en De Noodzaak Der Zending Juist In Den Tegenwoordingen Tijd terbit 1936

5. Kerk en Zending terbit 1936

6. Eenige Grepen Uit De Moderne Apologie Van Den Islam

7. De Islam Als Godsdientig en Als Zendingsprobleem terbit 1938 8. The Christian Massage in A Non-Christian World terbit 1938

9. From Missionfield to Independent Church: Report on A Decisive Decade in The Growth of Indigenous Churches in Indonesia terbit 1958

10.A Theology of The Laity terbit 1958

(5)

Hendrik Kraemer meninggal di Driebergen pada 11 Nopember 1965. Usianya ketika meninggal adalah 77 tahun. Meski telah meninggal, buku-bukunya masih banyak yang tersebar dan dikaji oleh generasi setelahnya.

B. Buku Agama Islam dan Pengaruhnya di Hindia Belanda/Indonesia

Buku Agama Islam pada mulanya diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama terbit pada 1928, lalu jilid kedua terbit lima tahun berikutnya, yaitu pada 1933. Setelah itu, buku ini mengalami dua kali cetak ulang dengan dijadikan satu jilid. Buku yang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah cetakan pertama (1928 dan 1933) dan cetakan ketiga (1952).

Masa terbitnya buku Agama Islam adalah masa dimana terjadi pergumulan yang semakin sengit antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Pada masa tersebut, gerakan umat Islam telah banyak yang terorganisasi rapi. Beberapa Muslim yang sempat mengeyam pendidikan Barat di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda tampil menjadi tokoh dan pemimpin umat. Lulusan sekolah Belanda itu justru berani mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Majalah-majalah Islam, seperti Pembela Islam, Panji Islam, dan Pedoman Masyarakat, sering memuat

kritikan-kritikan tersebut. Perjuangan untuk membela hak-hak umat Islam dan melawan Kristenisasi juga dilakukan di Volksraad (Dewan Rakyat) yang telah dibentuk sejak 1916.11

Sementara itu, kegiatan zending dan misi Kristen telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang Islam dan umat Islam.12

Keadaan di atas sedikit maupun banyak turut mempengaruhi latar belakang ditulisnya buku Agama Islam oleh Hendrik Kraemer. Orang-orang Kristen tertuntut untuk mengetahui lebih banyak Islam karena mereka hidup di tengah-tengah umat Islam. Dalam bab

pendahuluan, Kraemer menjelaskan tujuan penulisan buku ini, "dengan maksoed hendak memberikan penerangan kepada peladjar-peladjar sekolah goeroe Kristen serta poen akan memperloeaskan pemandangan orang-orang Maséhi terpeladjar tentang agama Islam. Itoe

11 Muhammad Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa; Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi

Misi Kristen, (Solo: Pustaka Lir Ilir, 2013), hlm. 137.

(6)

perloe, sebab pergaoelan Maséhi dan Islam, makin lama makin rapat di dalam kehidoepan sehari-hari."13

Kraemer menyatakan bahwa dia tidak bermaksud hendak membantahi agama Islam dengan menulis buku ini, namun hendak menerangkan agama itu menurut pelajaran kitab-kitab agama itu sendiri.14 Pernyataan Kraemer ini berlainan antara teori dan praktek. Pada bab

pendahuluan terbitan pertama (1928), dia menulis bahwa bukunya ini disusun berdasarkan usaha dan pendapat para cendekiawan Eropa (orientalis) yang mempelajari seluk beluk agama Islam.15 Beberapa referensi memang dari buku karya ilmuwan Muslim, namun

sebagian besarnya adalah buku karya para orientalis. Dari 120 judul buku yang dia jadikan referensi pada cetakan ketiga (1952), buku karya ilmuwan Muslim hanya sebanyak 26. Selebihnya adalah buku karya orientalis, seperti A.J. Wensinck, Carl Brockelmann, C. Snouck Hurgronje, Ignaz Goldziher, H. A. R. Gibb, Philip K. Hitti, Arthur Jeffery, Th. W. Juynboll, D. S. Margoliouth, Reynold A. Nicholson, S. M. Zwemmer, G. W. J. Drewes, dan sebagainya.16 Pendapat para orientalis tersebut tentu banyak mempengaruhi pendapat

Kraemer dalam buku Agama Islam. Oleh karena itu, pendapatnya banyak yang tidak sesuai dengan pendapat para ilmuwan Muslim.

Buku Agama Islam menjadi buku pegangan bagi orang Kristen untuk menilai dan memandang Islam beserta umatnya. Pada saat terbitnya, dimana terjadi pergumulan sengit antara umat Islam dan umat Kristen serta persaingan antara dakwah Islam dan zending Kristen, buku ini menjadi senjata bagi orang Kristen untuk menyerang Islam dan

menanamkan keragu-raguan kaum Muslim terhadapnya. Menanggapi buku Kraemer ini, seorang mubaligh Muhammadiyah Surakarta, R. Moehammad Sardjana, pada 1934

menerbitkan buku berjudul Agama Kristen. Sardjana menyatakan, H. Kraemer mempunyai niat menunjukkan pengetahuannya tentang agama Islam kepada umat Islam. Melalui buku ini, Kraemer berharap dapat membelokkan umat Islam dari agama Islam ke agama Kristen. Selain itu, Kraemer juga memberi taktik untuk pegangan kepada umat Kristen bagaimana cara membantah agama Islam. Berdasarkan hal demikian, Sardjana memandang perlu jika umat Islam juga menerbitkan buku Agama Kristen. Buku ini diharapkan bisa memberi tahu semua pihak pembaca bagaimana kepercayaan orang Islam kepada agama Kristen.17

13 Hendrik Kraemer, Agama Islam, Jilid I, (Bandung: Uitgave N.V. v/h A.C. NIX & Co, 1928), hlm. i. 14 Ibid.

15 Ibid.

(7)

C. Pandangan Hendrik Kraemer Mengenai Sejarah Nabi Muhammad SAW

Kraemer menulis sejarah Nabi Muhammad menurut perspektif seorang orientalis misionaris yang tidak percaya. Ketidakpercayaan ini dia tulis di beberapa tempat. Misalnya, Kraemer menulis di halaman 24 cetakan ketiga (1952), “Kalau orang percaya Muhammad sesungguhnya nabi, maka untuk orang itu firman ilahilah yang dikabarkan oleh Muhammad. Akan tetapi untuk siapa tidak menaruh kepercayaan itu, tidak bisa tidak segala yang

dimaklumkan oleh Muhammad, meskipun luhur adanya, adalah buah fikiran Muhammad belaka, yang tidak ada alasan untuk menganggapinya sebagai firman ilahi, atau pula yang dicampurkan dengan firman ilahi sehingga tak dapat dipastikan mana perkataan manusia dan mana firman Tuhan. Dari kedua golongan ini, golongan yang pertama ialah umat Islam, dan golongan yang kedua ialah segala orang yang bukan Muslim.” Oleh karena Kraemer

termasuk golongan yang kedua, tentu dia memandang semua yang disampaikan Nabi Muhammad bukanlah wahyu dari Tuhan, namun adalah buah pikiran Muhammad belaka.

Kraemer juga menulis di halaman 43, “Dengan ringkas, pengertian dan pemandangan kami yang tidak beragama Islam ialah, meskipun Nabi Muhammad sebenarnya seorang paling besar adanya, nyata juga di dalam riwayat hidupnya sifat-sifat kelemahan manusia.” Dia menulis lagi di halaman 44, “Untuk kami yang tidak dapat menaruh kepercayaan penuh kepada Nabi Muhammad, kalau bertemu dengan saudara-saudara kami yang beragama Islam, hanya ada satu jalan saja. Jalan itu ialah memperingatkan saudara-saudara itu bahwa

kepercayaan kami, sebagai orang Kristen, sepenuh-penuhnya kami letakkan kepada Tuhan Isa, karena kami percayai Tuhan itu bukan membaharui aturan serta hukum agama saja melainkan hati manusia juga.” Di atas ketidakpercayaan inilah, Kraemer menulis sejarah Nabi Muhammad.

Kraemer mulai menceritakan sejarah hidup Nabi Muhammad dari kelahiran dan masa kecilnya. Di sini, dia sudah membuat kesalahan dengan menyatakan bahwa ayah Nabi

meninggal waktu Nabi baru berumur dua bulan. (halaman 16 cetakan ketiga) Kraemer lalu menceritakan masa muda Nabi Muhammad. Pada masa ini, Nabi Muhammad sempat bekerja sebagai penggembala kambing, kemudian sebagai pedagang yang membantu Khadijah mengawal kafilah ke Mesir, Irak, dan Suria.

(8)

ajaib sekali seorang yang buta huruf dapat menyampaikan kitab, yang indah bahasanya dan isinya, kepada sesama manusia. Dalam surat Al-A‘raf (Sura 7, ayat 157 dan 158) Nabi Muhammad digelar al-nabi al-ummi, yang menurut banyak orang Muslim dapat

diterjemahkan dengan: nabi yang buta huruf. Akan tetapi ada juga beberapa ahli bahasa Arab yang berpendapat bahwa bukan demikian terjemahan yang seharusnya.” (hlm. 17)

Kraemer kemudian menjelaskan dalam footnote bahwa sebelum Muhammad menjadi Nabi, kerap kali beliau berjalan jauh untuk berniaga. Menurutnya, tidak gampang seseorang yang buta huruf melakukan pekerjaan sesulit itu. (hlm. 17) Selanjutnya, Kraemer berusaha menjelaskan makna al-nabi al-ummi dan al-rasul al-ummi dalam surat Al-A‘raf. Menurut kesimpulannya, meskipun perkataan ummi itu barangkali dapat berarti “bodoh” atau pula “biasa”, namun yang dimaksud di dalam Al-Qur’an ialah nama yang seringkali dipakai oleh orang Yahudi dan orang Masehi tentang orang Arab yang menyembah berhala itu. Kalau begitu, perkataan ummi itu artinya: yang tidak berpengetahuan tentang kitab agama, atau: yang bukan ahl al-kitab. Jadi perkataan al-nabi al-ummi itu, menurut Kraemer, jika diterjemahkan menurut bunyi Al-Qur’an, berarti Nabi yang berasal dari orang yang bukan

ahl al-kitab. (hlm. 18)

Dengan menolak makna ummi sebagai tidak bisa membaca dan menulis, Kraemer dalam halaman-halaman selanjutnya menggambarkan bahwa Nabi Muhammadlah yang mengarang Al-Qur’an. Kraemer menulis, “Baiklah sekarang kita menyelidiki apa yang menggerakkan hati Nabi, serta pula apa isi pengajarannya pada mula-mulanya. Sumber pengetahuan kita dalam hal ini ialah Qur’an. Dalam Qur’an ternyata bahwa ada dua soal yang diutamakan oleh Nabi. Yang pertama ialah pengajaran tentang Allah Yang Maha Siksa, Yang bermurka lagi adil. Pada hari kiamat segala sesuatu akan binasa karena kebesaranNya dan kemulianNya. Soal yang kedua ialah Nabi menyatakan berang hatinya tentang pencabulan, kelaliman dan kedegilan hati penduduk Makkah; begitu pula tentang kelobaan mereka dan penganiayaan terhadap orang miskin, orang lemah, perempuan janda dan anak-anak piatu.” (hlm. 20-21)

(9)

Di halaman-halaman lain, Kraemer menulis beberapa kalimat untuk menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mengubah-ubah penyampaian firman Allah sesuai kondisi yang dihadapinya. Di halaman 27, dia menulis bahwa pada mula dakwahnya, Nabi mengemukakan hari kiamat. Rupa-rupanya, hari kiamat ini tertunda. Lambat laun isi ayat yang beliau siarkan di hadapan orang Makkah berkurang hebatnya. Umpamanya, pada permulaannya Nabi mengemukakan bahwa Allah ialah Raja Hari Kiamat (Malik yaum al-din). Kini yang dikemukakannya tentang Tuhan ialah: Tuhanlah Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Yang mengadakan langit dan bumi. Beliau tetap mencela orang-orang Makkah, tetapi kini alasan yang dikemukakannya ialah sebab mereka tidak menyembah Allah Yang Esa melainkan berhala yang banyak. Mereka dinamainya musyrik, artinya yang memberikan kawan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (hlm. 27)

Menurut Kraemer, pengajaran Nabi Muhammad itu berasal dari pengaruh kitab agama Yahudi dan Masehi. Nabi sangat memperhatikan orang Masehi atau orang Yahudi ketika membaca kitab-kitab agama masing-masing atau kalau mereka berdoa. Dari sinilah, kemudian timbul pertanyaan dalam hati Nabi: apa sebabnya bangsaku tidak berbuat

sedemikian? Niscaya celaka kami, kalau kami tidak mempunyai kitab agama sendiri, seperti orang Masehi dan orang Yahudi. Akan tetapi, menurut Kraemer, Nabi Muhammad ternyata salah sangka dan salah paham terhadap agama Yahudi dan Masehi. Disangkanya orang Yahudi, begitu pula orang Masehi, sebangsa, sebahasa dan seasal, seperti orang Arab. Berbeda dengan bangsa Yahudi, umat Masehi itu berbagi-bagi bangsanya dan bahasanya. (hlm. 22)

Dengan keinsafan, Muhammad menjadi Nabi dan Rasul setelah melakukan perenungan terhadap beberapa pertanyaan mengenai penantian bangsa Arab akan

dinyatakannya firman ilahi kepada mereka dengan bahasa Arab sebagaimana telah dinyatakan kepada bangsa-bangsa lainnya, kapan dan bagaimana caranya firman ilahi itu akan

dinyatakan, serta siapa yang dipilih untuk menjadi pesuruh. Setelah sempat ragu, lambat laun hati Nabi yakin dan insaf bahwa firman Allah akan dinyatakan kepada bangsa Arab juga dan pengantarnya tidak lain adalah Muhammad. (hlm. 23) Jadi, kenabian dan kerasulan

Muhammad, menurut Kraemer, adalah melalui perenungan-perenungan. Setelah melakukan perenungan, Muhammad mengangkat dirinya sendiri menjadi nabi dan rasul. Kraemer menulis bahwa kenabian Muhammad sangat dipengaruhi oleh proses pergerakan dan perkembangan jiwa yang sangat sukar diuraikan. Dia akhirnya menyatakan

(10)

Seringkali orang Makkah mengganggu Nabi Muhammad dan orang-orang yang mengikutinya. Oleh karena banyak kesusahan dan perlawanan yang dideritanya antara tahun 616 dan 618 M, Nabi Muhammad merasa sangat khawatir sehingga berniat berdamai dengan orang Makkah. Kraemer menukil sebuah kisah yang menurutnya diceritakan dalam kitab-kitab sejarah karangan orang Muslim dahulu. Suatu ketika, Nabi Muhammad mengaji di hadapan orang Makkah. Nabi mengakui tiga tuhan sesembahan orang Makkah yaitu: Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Al-Manat. Akan tetapi, tidak lama kemudian Nabi menyesali perbuatannya. Nabi memberitahukan bahwa pengakuannya itu tidak berdasarkan wahyu dari Allah, namun waswas dari Iblis. (hlm. 26) Kraemer kemudian menulis di footnote bahwa kisah itu terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Najm: 19-20. Kisah ini dikenal dengan kisah gharaniq.

Pada mulanya, Nabi Muhammad tidak bermaksud sama sekali mengajarkan agama yang baru. Maksud beliau semata-mata memasyhurkan firman ilahi dengan bahasa Arab, seperti seringkali sudah disiarkan oleh nabi-nabi lain dengan bahasanya masing-masing. (hlm. 24) Nabi berpendirian bahwa agama Islam sama dengan agama Yahudi dan Masehi. Hal ini terjadi pada periode Makkah. (hlm. 25 dan 32) Akan tetapi, pendirian ini berubah setelah Nabi hijrah ke Madinah. Orang Yahudi yang semula diharapkan akan menjadi sahabatnya yang erat ternyata malah memperolok-olokkan Nabi Muhammad dengan mengatakan hikayat nabi-nabi yang beliau ceritakan, apalagi segala yang beliau sebut wahyu ilahi, sama sekali tidak sesuai dengan isi Kitab Taurat. Nabi kemudian menuduh mereka memalsukan isi Kitab Taurat. Selanjutnya, Nabi mulai mengemukakan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang sejati lagi cocok isinya dengan isi kitab-kitab yang diturunkan Tuhan kepada nabi-nabi dahulu kala, sedangkan Kitab Taurat dan Kitab Injil sebetulnya bukan Kitab Taurat dan Kitab Injil yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi kini juga mengajarkan bahwa agama Islam berdiri sendiri, sedangkan agama Yahudi dan Masehi berlawanan dengan agama Islam. Jadi, menurut Kraemer, pendapat Nabi Muhammad yang baru ini ditimbulkan oleh perselisihan beliau dengan orang Yahudi karena penolakan mereka terhadap agama yang disampaikannya. (hlm. 32-33)

(11)

Madinah. Kini Nabi mencampuri perkara-perkara duniawi sehingga terperosok dalam adat kelakuan duniawi. (hlm. 33-34)

Setelah posisinya kuat dan berkuasa di Madinah, Nabi Muhammad menindak kaum Yahudi yang menjadi rintangan bagi beliau. Yang pertama diserbu ialah Banu Qainuqa’. Sehabis perang Uhud, Nabi menyerang Banu Nadhir dengan, menurut Kraemer, salah satu alasan yang tidak penting untuk kita ketahui sekarang. Mereka terpaksa lari ke Khaibar, 30 km di sebelah utara Madinah. Hanya barang yang terbawa boleh dibawanya. Tanah mereka diberikan Nabi kepada golongan Muhajir. Suku Yahudi berikutnya yang ditindak Nabi adalah Banu Quraizah. Oleh sebab mereka selama Perang Parit (Khandaq) tidak menyatakan

pendiriannya, entah membantu entah melawan Nabi, mereka diserang dan ditaklukkan. Yang laki-laki dibunuh, sedangkan yang perempuan beserta kanak-kanak dijual. (hlm. 34-35) Dalam dua halaman ini, Kraemer menggambarkan bahwa Nabi lah yang salah dengan melakukan tindak kezaliman terhadap orang-orang Yahudi.

Kraemer selanjutnya menceritakan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Makkah. Di sini, dia membuat kesalahan bahwa Perjanjian Hudaibiyah dilatarbelakangi oleh gagalnya keinginan orang Muslim untuk berziarah (umrah) dan menaklukkan kota Makkah. (hlm. 38) Kesalahan lainnya, dia menyatakan bahwa Abbas, paman Nabi Muhammad, baru masuk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah. (hlm. 38) Selain dua kesalahan ini, di bagian akhir tulisannya mengenai Sejarah Nabi Muhammad, Kraemer juga membuat kesalahan dengan menulis bahwa beberapa saat setelah Nabi meninggal, Umar mendatangkan keputusan dengan memaksa orang Madinah melantik Abu Bakar jadi pengganti Nabi Muhammad. (hlm. 41)

Demikianlah pandangan Hendrik Kraemer tentang sejarah Nabi Muhammad. Terlalu banyak kesalahan yang dia tulis dalam 31 halaman (dari hlm 15 hingga 46) di buku Agama Islam. Makalah ini hanya menampilkan beberapa kesalahan pokok. Selanjutnya, makalah ini akan menampilkan kritik terhadap pandangan Hendrik Kraemer yang sudah ditulis secara ringkas tadi.

D. Kritik terhadap Pandangan Hendrik Kraemer

Dari ringkasan pandangan Hendrik Kraemer mengenai sejarah Nabi Muhammad tadi, ada beberapa poin pokok yang perlu dikritisi, yaitu:

(12)

Menurut Kraemer, makna ummi dalam QS Al-A‘raf: 157 dan 158 yang paling tepat adalah Nabi yang berasal dari orang yang bukan ahl al-kitab. Marilah kita lihat penjelasan para ulama mengenai makna ummi. Ibnul Manzhur dalam Lisân Al-‘Arab mengatakan bahwa

ummi adalah orang yang tidak bisa menulis. Dia lalu menukil perkataan Az-Zajaj, “Ummi

adalah orang yang berada pada fitrah (kondisi pembawaan) suatu bangsa. Dia tidak mempelajari tulis menulis sehingga berada dalam bentuk mulanya.” Ibnu Manzhur juga menukil perkataan Abu Ishaq, “Makna ummi adalah dihubungkan pada kondisi saat dilahirkan oleh ibunya, yaitu tidak bisa menulis. Jadi, orang ummi itu tidak bisa menulis karena tulis menulis adalah kemampuan yang diperoleh melalui usaha. Kata ini menunjukkan seakan-akan dihubungkan pada kondisi saat dia dilahirkan atau saat ibunya melahirkannya.” Dalam sebuah hadits disebutkan (ُبسأ حك نل ل ولل ُبتأكك نل ل ل ةةينممأأ ةةمنأأ َّاننإ).18“Kami adalah

umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan menghitung.” Maksudnya, mereka dalam keadaan semula saat dilahirkan ibu mereka. Mereka tidak menguasai tulisan dan hitungan. Jadi, mereka berada dalam keadaan pembawaan seperti saat pertama dilahirkan.

Dalam hadits lain disebutkan (ةينممأأ ةة منأأ َىللإع تأ ِثععبأ).19 “Aku diutus kepada umat

yang ummi.” Bangsa Arab disebut ummi karena di kalangan mereka sangat jarang yang bisa tulis menulis. Nabi Muhammad saw disebut ummi karena bangsa Arab (saat itu) tidak bisa menulis dan membaca tulisan. Allah mengutus beliau sebagai seorang rasul dalam keadaan tidak bisa menulis dan membaca tulisan apa pun. Keadaan ini adalah salah satu tanda mukjizat-Nya karena Nabi saw membacakan kitabullah kepada mereka dengan disyairkan dari waktu ke waktu. Beliau membacakan dengan susunan yang diturunkan kepadanya tanpa menngubah kata-katanya. Demikian Ibnu Manzhur menjelaskan.20

Dalam kitab-kitab tafsir, para ulama mengartikan kata ummi yang terdapat dalam QS Al-A‘raf: 157 dan 158 sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Makna ini dikemukakan oleh banyak ulama, seperti Muqatil bin Sulaiman21, Ath-Thabari22, Az-Zajaj23,

Al-Mawardi 24, Al-Wahidi25, As-Samarqandi26, dan Ibnul Jauzi.27 Selain makna ini, sebagian

18 HR Bukhari dan Muslim. 19 HR Ibnu Hiban.

20 Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414), 12/34.

21 Muqatil, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, 1423 H), 2/67.

22 Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jâmi‘Al-Bayân ‘An Ta’wîl Ayyi Al-Qur’ân, (Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 2000),

2/259.

23 Az-Zajaj, Ma‘ân Al-Qur’ân wa I‘râbuhu, (Beirut: ‘Alam Al-Kutub, 1988), 1/159. 24 Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-‘Uyȗn, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt), 1/149. 25 Al-Wahidi, Al-Wajîz fîTafsîr Kitâb Al-‘Azîz, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1415 H), hlm. 416. 26 Abul Laits As-Samarqandi, Bahr Al-‘Ulȗm, (Maktabah Syamilah: 556).

(13)

ulama juga ada yang mengartikan ummi di sini sebagai orang yang berasal dari Ummul Qura

(Makkah), seperti As-Samarqandi28 dan Ibnul Jauzi.29

Dari sekian banyak pendapat para ulama, kata ummi diartikan sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Tidak ada yang mengartikan ummi sebagai orang yang bukan Ahl Al-Kitab. Memang, dahulu orang Yahudi menyebut orang Arab sebagai orang

ummi. Sebutan ini bukan karena orang Arab adalah bangsa non-Yahudi, namun karena orang Arab saat itu sangat sedikit yang bisa membaca dan menulis.

2. Nabi Muhammad Mengarang Al-Qur’an

Dalam beberapa ungkapan, Kraemer menggiring pembaca buku Agama Islam untuk mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud membantah pendapat bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad. Dalam buku Konsep Pengetahuan dalam Islam, dia mengemukakan beberapa argumen yang menunjukkan secara rasional bahwa bukan Nabi Muhammad, juga bukan orang lain, yang menyusun Al-Qur’an, kemudian mengubahnya sebagai wahyu Tuhan. Pertama, Al-Qur’an sendiri menantang orang-orang yang ragu di enam tempat tentang sumber ketuhanannya.30

Al-Qur’an mengundang orang-orang yang ragu agar mencari ketidaksesuaian pesan dan kandungannya (An-Nisa’: 82), atau membuat sepuluh surat (Hud: 13-14) atau satu surat saja yang semisal (Al-Baqarah: 23-24, Yunus: 38) dengan minta pertolongan semua manusia dan jin. Secara jelas, Al-Qur’an merupakan pencapaian tertinggi dalam bahasa Arab.

Ketidakmungkinannya untuk ditiru inilah yang dianggap oleh kaum Muslimin sebagai alasan utama bahwa ia berasal dari Tuhan.

Kedua, asumsi bahwa Al-Qur’an merupakan produk sastra Muhammad sendiri secara sadar tidaklah benar karena beberapa alasan. Jauh sebelum menjadi nabi (berdakwah), beliau sudah dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amin). Tetapi beliau tidak pernah dikenal sebagai orang yang suka membaca atau menulis karya-karya sastra atau syair.

Ketiga, sikap Nabi terhadap Al-Qur’an harus dipertimbangkan. Nabi Muhammad tidak hanya menta‘zimkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pertama-tama membaca doa

ta‘awwudz dan basmalah sebelum membaca Al-Qur’an, tetapi juga terus-menerus membaca ayat-ayat itu baik ketika dalam kesendirian ataupun ketika bersama para sahabat. Jika Al-Qur’an ciptaannya sendiri, ia tidak perlu membaca ayat-ayatnya di rumahnya sendiri untuk memohon petunjuk dan kekuatan. Ia juga diketahui memanfaatkan banyak waktu malamnya

28 Abul Laits As-Samarqandi, Bahr Al-‘Ulȗm, (Maktabah Syamilah: 556). 29 Ibnul Jauzi, Zâd Al-Masîr fi ‘Ilm At-Tafsîr, 2/208.

(14)

untuk shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan seringkali menangis sedalam-dalamnya.

Keempat, tema-tema yang terputus-putus dan beragam masih menjadi sifat ayat-ayat yang konsisten dan utuh yang, sejak awal sekali, dipahami sesuai dengan konteks sosio-historis ayat-ayat tertentu, adalah bukti bahwa Al-Qur’an tidak dapat dikuasai oleh pikiran manusia. Seorang penulis akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengetengahkan alur pikirannya yang teratur dan runtut, dan hasilnya akan, dalam semua kemungkinan –jika dia harus menulis secara sporadis dalam situasi yang meliputinya secara emosional dalam rentang waktu 23 tahun– tetap penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi serta tidak membentuk suatu hal yang dapat dipikirkan secara keseluruhan. Pada sisi lain, sifat

kandungan Al-Qur’an yang terputus-putus dan secara historis berlawanan, memberikan satu petunjuk dan rujukan bagi pemahaman dan pelaksanaan kaum Muslimin secara permanen.

Kelima, penyebutan Al-Qur’an tentang kelemahan dan kemanusiaan Muhammad benar-benar tidak sesuai dengan sikap orang yang ingin mengklaim menerima pengetahuan atau ilham dari Tuhan. Ia tentu tidak mau menunjukkan kecenderungan kesalahan

manusiawinya jika kasusnyab demikian. Al-Qur’an mengkritik beberapa tindakan Nabi Muhammad di beberapa tempat (misalnya QS ‘Abasa: 1-5) dan di tempat lain

memperingatkannya dari pemutarbalikan wahyu Tuhan (QS Al-Isra’: 73-75)

Keenam, Al-Qur’an di samping mempunyai ayat-ayat tentang berbagai tema dan ungkapan yang tumpang tindih, namun ia tetap hanya sebagai buku yang mudah dihapal, baik sebagian maupun keseluruhan. Banyak kaum Muslimin yang, meskipun tidak memahami bahasa Al-Qur’an, dapat menghapalnya di luar kepala. Al-Qur’an secara langsung menaungi dan selalu menaungi sejarah kaum Muslimin. Mereka akan selalu menggunakannya sebagai petunjuk dan sumber inspirasi. Al-Qur’an sendiri telah menetapkan tantangan bagi para pencelanya agar membuat buku petunjuk yang lebih baik (QS Al-Qashash: 49)

Dengan demikian, jelas bahwa Muhammad saw atau orang lain tidak dapat menghasilkan kitab semisal Al-Qur’an karena Al-Qur’an berasal dari Tuhan.31

3. Ajaran Nabi Muhammad Terpengaruh Agama Yahudi dan Masehi

Pandangan Hendrik Kraemer ini sebenarnya bukanlah pandangan baru. Dia hanya menyampaikan kembali pandangan para orientalis sebelumnya. Sebagian orientalis memandang bahwa kenabian Muhammad sebagai imitasi dari nabi-nabi dalam Bibel. Menurut Gustave E. von Grunebaum, ajaran Yahudi dan Kristen merupakan instrumen bagi

(15)

Muhammad dalam membentuk ide-ide kenabiannya. Ahrens lebih menekankan agama Kristen sebagai sumber awal inspirasi Muhammad. Pada awal kehidupannya, Muhammad terpengaruh oleh Kristen di wilayah Hijaz. Oleh karena itu, agama Kristen lebih dominan mempengaruhi Muhammad dalam merumuskan ajarannya. J. Wellhausen memandang Muhammad adalah murid pendeta Kristen dari arah selatan (Yaman). Sementara itu, Richard Bell melihat pengaruh Kristen terutama dari arah utara (Syria) karena Kristen Syiria yang menolak penyaliban Yesus serta doktrin mengenai Maryam. Arthur Jeffery juga berpendapat bahwa Bibel merupakan sumber awal pengetahuan Muhammad sebagai basis kerasulannya. Konsep tentang nabi, rasul, wahyu, dan kitab suci diambil dari Bibel.32

Mengapa para orientalis tadi menyatakan bahwa ajaran Nabi Muhammad terpengaruh agama Yahudi dan Kristen? Menurut Moh. Natsir Mahmud, mereka melakukan itu karena motif politik. Para orientalis tadi hidup pada masa kolonial ketika Dunia Islam masih berada di tangan imperialisme Barat. Imperialisme tidak dapat dipisahkan dari Kristenisasi. Pada abad 19, kegiatan imperialisme semakin meningkat dan agama Kristen menjadi salah satu media imperialisme. Para sarjana Barat ahli agama Kristen, seperti J. Wellhausen, berusaha mencari naskah Bibel yang asli untuk memperkokoh kedudukan Kristen, namun tidak

berhasil. Memperkokoh kedudukan Kristen tidak hanya dilakukan dengan merenovasi agama itu, tetapi juga menyerang agama bangsa jajahan, terutama Islam diletakkan sebagai agama sub-ordinat, lebih rendah dari agama Kristen karena merupakan tiruan dari agama Kristen. Sikap ini menyuburkan kembali apologi Kristen terhadap Islam seperti apologi pada masa Perang Salib.33

Di kalangan orientalis sendiri, ada yang menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen terhadap Nabi Muhammad. Misalnya, Philip K. Hitti menyatakan bahwa kedua agama itu tidak pernah menarik minat orang Arab di Hijaz dan sekitarnya, kecuali beberapa orang tertentu. J. Fuck juga menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen terhadap Muhammad, karena bila Muhammad terpengaruh agama itu akan membawa pada kontradiksi yang sulit diatasi. Misalnya saja tentang konsep ketuhanan. Meskipun demikian, J. Fuck juga

menempatkan Islam lebih rendah dari Kristen.34

4. Kisah Gharaniq

32 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam, (Kudus: MASEIFA

Jendela Ilmu, 2013), hlm. 127.

(16)

Kisah gharaniq, yaitu kisah damainya Nabi Muhammad saw dan mau mengakui tuhan-tuhan sesembahan orang Quraisy pada saat mereka tidak berhenti mengganggu dakwah beliau, adalah kisah yang sumbernya sangat lemah, bahkan tidak jelas. Kisah ini memang sempat ditulis oleh beberapa mufassir dan penulis sejarah Nabi. Kemudian, sekelompok orientalis, seperti Sir William Muir, menyebarkan dan mempertahankan cerita ini. Sebenarnya, cerita ini penuh dengan kontradiksi. Oleh karena itu, Ibnu Ishaq tidak ragu-ragu menyatakan bahwa cerita ini adalah hasil karya orang-orang atheis.35

Muhammad Husain Haekal mengkritik cerita ini dengan mengemukakan beberapa argumen. Pertama, cerita ini kacau dari segi ilmiah. Apabila cerita ini diteliti secara ilmiah, ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Cerita ini dimuat dalam beberapa sumber yang beraneka ragam. Adanya keanekaragaman sumber itu menunjukkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan sumber tersebut palsu dan buatan orang atheis, seperti dinyatakan oleh Ibnu Ishaq. Tujuannya adalah hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran dakwah Muhammad dan risalah Tuhan.

Kedua, konteks surat An-Najm menolak. Bukti lain yang lebih kuat dan pasti ialah konteks atau susunan surat An-Najm yang sama sekali tidak menyinggung soal gharaniq. Konteks itu seperti dalam firman Allah berikut, “Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terakhir (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm: 18-23)

Susunan ini jelas sekali bahwa Lata dan ‘Uzza adalah nama yang dibuat-buat oleh kaum musyrik dan leluhur mereka, sedangkan Allah tidak memberikan satu keterangan pun untuk menyembahnya. Bagaimana mungkin susunan itu akan berjalan sebagai berikut, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terakhir (sebagai anak perempuan Allah)? Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.

(17)

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya.”

Susunan ini rusak, kacau, dan bertentangan satu sama lain. Dari pujian kepada Lata, ‘Uzza, dan Manat yang paling terakhir dan celaan dalam empat ayat berturut-turut tidak dapat diterima akal. Tidak akan ada orang yang berpendapat begitu.

Ketiga, segi semantik. Muhammad Husain Haekal menukil argumen Muhammad Abduh. Menurut Muhammad Abduh, belum pernah ada orang Arab yang menamakan dewa-dewa mereka dengan gharaniq; baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka. Tidak ada pula berita yang dibawa orang bahwa nama demikian itu pernah dipakai dalam percakapan mereka. Akan tetapi, yang ada adalah sebutan ghurnuq dan ghirniq sebagai nama sejenis burung air, entah hitam atau putih, serta sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan. Dari semua itu, tidak ada yang cocok untuk diberi arti dewa. Orang-orang Arab dahulu juga tidak ada yang menamakannya demikian.

Keempat, kejujuran Nabi Muhammad tidak membenarkan adanya cerita ini. Sejak kecil, semasa kanak-kanak, dan semasa dewasa, belum pernah terbukti beliau berdusta, sehingga beliau diberi gelar “Al-Amin” pada waktu usianya belum lagi mencapai dua puluh lima tahun. Orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga usia tuanya begitu jujur, bagaimana bisa dipercaya bahwa beliau mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Allah, lalu beliau lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah? Hal ini tidak mungkin.36

5. Nabi Muhammad Melakukan Penjarahan

Kraemer menyatakan bahwa kehidupan Nabi Muhammad dan umat Islam di Madinah berada dalam kekurangan. Oleh karena itu, beliau beserta umatnya melakukan penjarahan terhadap kafilah dagang Quraisy dalam Perang Badar sehingga terbebas dari kemiskinan. Karena sukses dalam penjarahan, pengaruh beliau di Madinah semakin besar. (hlm. 33-34)

Dengan gambaran tadi, Kraemer hendak membangun citra negatif terhadap Islam. Memang dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Nabi saw memerintahkan para sahabatnya untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan yang kembali dari Syam. Kalaupun kaum Muslimin mengambil barang-barang dari kafilah dagang tersebut, hal ini sebenarnya adalah tindakan balasan atas perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap harta mereka di Makkah. Orang Quraisy telah menyakiti kaum Muslimin dan mengusir mereka dari kampung halamannya setelah lebih dahulu menimpakan

bermacam-macam hal yang tiada tertanggung rasa sakitnya. Harta benda yang tertinggal di

(18)

Makkah, sebab kaum Muslimin hijrah, diambil saja dengan paksa. Oleh karena itu, setelah Rasulullah mendirikan negaranya di Madinah, “hutang piutang” dengan kaum musyrikin inilah yang hendak diselesaikannya lebih dahulu.37

Upaya penghadangan ini pun gagal. Abu Sufyan mengetahui bahwa kafilahnya akan dihadang. Dia bersama rekan-rekannya kemudian memutar jalur dan meminta bantuan orang Quraisy. Di Makkah, orang Quraisy segera mempersiapkan pasukan. Di bawah pimpinan Abu Jahal, seribu orang Quraisy berangkat dengan tekad memerangi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin. Sementara itu, Nabi Muhammad dan kaum Muslimin hanya berjumlah 313 orang. Itupun berangkat meninggalkan Madinah tanpa ada niat untuk berperang. Kedua pasukan yang dari segi jumlah, persenjataan, dan persiapan tidak imbang ini akhirnya bertemu di Sumur Badar. Pasukan kaum Muslimin berhasil meraih kemenangan. Mereka mendapatkan harta yang ditinggalkan oleh pasukan Quraisy.38 Dalam situasi perang, sudah lazim pihak

yang menang akan mendapatkan harta pihak yang kalah. Pada zaman modern ini pun, kita sering melihat bangsa Barat melakukan berbagai macam kejahatan dan tipu muslihat untuk merampas harta kekayaan kaum Muslimin; baik melalui perang militer maupun penekanan politik.

Saat pertama datang ke Madinah, harta perbekalan kaum Muslimin dari Makkah (Muhajirin) nyaris habis. Mereka bisa terus bertahan, bahkan terbebas dari kemiskinan, bukan karena sukses dalam penjarahan. Kaum Muslimin Madinah (Anshar) rela berbagi harta dengan saudara mereka yang datang dari Makkah. Sebagian kaum Muhajirin menerima harta dari kaum Anshar. Sebagian yang lain menolak dan lebih memilih melakukan usaha sendiri untuk mencari nafkah. Dalam kelompok terakhir ini, ada Abdurrahman bin Auf yang meminta ditunjukkan di mana pasar Madinah. Dia merintis dagang hingga akhirnya sukses. Selain berdagang, ada sahabat lain yang memilih bercocok tanam, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, dan lainnya.39 Jadi, kaum Muhajirin terbebas dari kemiskinan karena kerja keras mereka.

6. Nabi Muhammad Menzalimi Kaum Yahudi

Pada saat awal datang di Madinah, Nabi Muhammad berusaha menjalin persahabatan dan mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi. Semula kaum Yahudi menyambut baik kedatangan beliau dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka. Selain itu, mereka berharap bisa meminta bantuan kepada beliau untuk membentuk sebuah Jazirah Arab. Dengan demikian, mereka akan dapat

(19)

membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi –bangsa pilihan Tuhan– dari Palestina, sebuah tanah yang dijanjikan untuk mereka.40

Ketika ajaran Nabi Muhammad semakin meninggalkan pengaruh di Madinah dan banyak orang datang untuk menyatakan keislamannya, kaum Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka kemudian membuat ulah untuk melemahkan kekuatan kaum Muslimin di Madinah, seperti berusaha mengungkit-ungkit permusuhan suku Aus dan Khazraj pada zaman jahiliyah agar kedua pihak ini kembali bermusuhan.41

Kabilah Yahudi, Banu Qainuqa‘, mengkhianati janji, menyebarkan hasutan dan cacian terhadap Nabi, serta menantang kaum Muslimin agar berperang melawan mereka. Oleh karena itu, Nabi menghukum mereka dengan mengepung mereka selama 15 hari, lalu mengusir mereka dari Madinah.42 Kabilah Yahudi lainnya, Banu Nadhir, juga mengkhianati

perjanjian damai. Pada waktu Rasulullah bersama beberapa orang sahabat bertamu di salah satu rumah mereka, bersepakatlah mereka untuk membunuh Nabi saw dengan cara

menjatuhkan batu dari loteng. Nabi diberitahu oleh malaikat Jibril tentang rencana jahat mereka sehingga berhasil selamat. Sebagai hukuman, Nabi mengultimatum mereka untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Pada mulanya mereka bersedia, namun berubah sikap setelah Abdullah bin Ubay berjanji akan membantu mereka dengan mengirimkan 2000 pasukan. Merasa ada yang mendukung, mereka semakin berani melawan kaum Muslimin. Saat Nabi saw bersama pasukan kaum Muslimin datang di tempat mereka, Bani Nadhir menyambutnya dengan lemparan batu dan anak panah. Pasukan kaum Muslimin berhasil menaklukkan mereka, selanjutnya mengusir mereka dari kampung halaman mereka.43

Selanjutnya adalah Banu Quraizhah. Ketika berkecamuk Perang Khandaq pada 5 H, mereka membatalkan secara sepihak perjanjian damai yang mereka sepakati bersama Nabi. Mereka juga bersekutu dengan orang-orang Yahudi lainnya beserta orang-orang musyrik Makkah untuk memerangi umat Islam. Oleh karena itu, Nabi menghukum mereka dengan mengusirnya dari Madinah.44

Jadi, hukuman yang dilakukan Nabi Muhammad kepada orang-orang Yahudi tersebut adalah karena ulah mereka sendiri. Dalam sejarah, orang-orang Yahudi memang dikenal

40 Ibid, hlm. 196. 41 Ibid, hlm. 216.

42 Hamka, Sejarah Umat Islam, hlm. 125-126.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Penanganan kerang pokea ( Batissa violacea celebensis Martens 1897) dari Sungai Pohara yang dilakukan oleh nelayan adalah mengumpulkan kerang dengan cara menangkap atau

Komando, Kendali, Komunikasi dan Informasi (K3I), kemampuan lain yang dimiliki oleh batalyon mekanis adalah K3I dimana setiap Ranpur Anoa dilengkapi dengan radio komunikasi VHF

Dari uraian di atas peneliti tertarik sekali untuk melakukan penelitian di dalam kelas dari masalah yang ada, dengan judul Peningkatkan Aktivitas dan

Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan)..

Metode pembelajaran yang diterapkan dalam KBM disesuaikan dengan jenis materi pelajaran, karakter siswa, dan alokasi waktu yang tersedia. Penggunaan Media

Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa team attachment (ikatan tim) yang diukur dengan daya tarik (attraction) dan pemusatan (centrality) berpengaruh terhadap sponsor

sayur ketika harga pasar lokal yang anorganik sama dengan harga penetapan

Hasil peDeliliaD ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dimana terdapat hubungan antara jurnlah rokok yang dihisap pel hari dedgan kejadian