• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 GAMBARAN UMUM DESA PARBULUAN 1 2.1 Letak Geografis - Dari Pertanian Nilam Ke Pertanian Hortikultura di Desa Parbulan 1 di Kecamatan Parbulan Kabupaten Dairi (1959-1998)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 GAMBARAN UMUM DESA PARBULUAN 1 2.1 Letak Geografis - Dari Pertanian Nilam Ke Pertanian Hortikultura di Desa Parbulan 1 di Kecamatan Parbulan Kabupaten Dairi (1959-1998)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

GAMBARAN UMUM DESA PARBULUAN 1

2.1 Letak Geografis

Desa Parbuluan 1 berada dalam Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 3100 Ha, yang terbagi atas 3 dusun, yaitu Dusun Simallopuk, Dusun Dalan Toba 1, dan Dusun Dalan Toba 2.

Desa Parbuluan 1 terletak pada ketinggian 1200 m diatas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2300 mm/tahun. Bentuk topografi berbukit, berudara sejuk dengan suhu minimal 13,7-15,7ºC dan dengan suhu maksimal 19,5-22,9ºC.

Secara administrasi, Desa Parbuluan I memiliki batas-batas wilayah: Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Parbuluan IV.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Parbuluan II.

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir.

Jarak Desa Parbuluan 1 dari ibukota Kecamatan Parbuluan 12 Km, dan jarak dari ibukota Kabupaten Dairi Sidikalang 30 Km dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Pada masa penelitian ini berlangsung telah ada sarana transportasi yang menghubungkan Desa Parbuluan dengan beberapa daerah seperti angkutan pedesaan yakni Terang Raya, Sitra, dan PSN, dan SAMPRI, Bintang Utara sepeda motor serta kendaraan pribadi. Angkutan pedesaan ini menghubungkan Desa Parbuluan dengan Sidikalang dan Medan serta Pekanbaru. Desa Parbuluan memiliki letak yang strategis dimana berada di daerah perlintasan dari Sidikalang ke Kabupaten lain. Misalnya Kabupaten Samosir serta

(2)

Curah hujan di daerah Parbuluan sangat membantu untuk bertani. Keadaan ini memungkinkan untuk bercocok tanam palawija seperti kol, kentang, bahkan tanaman nilam. Juga memiliki dataran rendah yang berada di sekitar pemukiman penduduk sehingga dapat digunakan untuk bercocok tanam.

2.2 Keadaan Penduduk

Sebagai desa yang mempunyai lahan pertanian yang luas, pada umumnya penduduk di Desa Parbuluan 1 bermata pencaharian sebagai petani (95%) dan hanya 5% yang bermata pencaharian di sektor lain antara lain sebagai pegawai negeri dan swasta, pedagang, dan lain lain.

Masyarakat desa Parbuluan 1 terdiri dari masyarakat Batak Toba, masyarakat Pakpak Dairi, masyarakat Karo, masyarakat Nias, dan masyarakat Simalungun. Masyarakat yang paling banyak adalah masyarakat Batak Toba. Pada zaman Belanda jumlah penduduk masyarakat Pakpak Dairi hampir sama jumlahnya dengan jumlah masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, masyarakat Pakpak Dairi pernah mengklaim bahwa Desa Parbuluan adalah termasuk wilayah masyarakat mereka. Akan tetapi raja adat yang pertama adalah dari etnis Batak Toba, maka lambat laun masyarakat Pakpak Dairi meninggalkan daerah ini. Etnis lain seperti Simalungun, Karo, dan Nias adalah termasuk perantau yang disebabkan oleh penempatan kerja oleh pemerintah dan mencoba bercocok tanam di daerah ini.

Pada umumnya masyarakat Batak selalu memiliki marga. Di Desa Parbuluan 1 marga yang paling banyak adalah Situmorang, Sinaga, dan Sihombing. Sedangkan marga lainnya adalah marga minoritas.

(3)

beribadah di Desa Parbuluan ada 5 unit, 1 adalah gereja khatolik dan 4 adalah gereja Protestan.

2.3 Latar Belakang Historis

Desa Parbuluan muncul setelah masuknya orang Batak Toba. Tetapi kapan perpindahan itu terjadi, tidak dapat ditentukan dengan pasti, tetapi diperkirakan terbentuk tidak lebih dari tiga generasi. Sesuai dengan tradisi adat Batak Toba, perkiraan urutan generasi ke generasi berikutnya mempunyai arti tersendiri di dalam pelaksanaan adat istiadatnya. Dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda, memiliki nomor-nomor tersendiri sehingga generasi berikutnya dengan sendirinya bisa mengetahui urutan/keberadaanya. Urutan ini merupakan tolok ukur di dalam interaksi sosialnya.

Perpindahan penduduk ke Desa Parbuluan awalnya ketika pemuda marga Sinaga dan Situmorang yang tinggal di Samosir berladang ke Tele untuk mengambil kayu api, akan tetapi mereka tidak berhasil kembali ke kampung asalnya karena kondisi alam yang ganas membuat mereka bertahan di tempat tersebut. Kemudian mereka mendirikan sebuah rumah kecil (sopo). Lalu kedua marga inilah yang menjadi pemilik tanah dan kepala Kampung (Huta) awalnya di Desa Parbuluan.

(4)

2.4 Keadaan Tanah dan Pemilikan Tanah

Desa Parbuluan memiliki luas sekitar 3100 ha. Penggunaan tanah di Desa Parbuluan I meliputi tanah sawah, tanah kering, bangunan dan lainya. Luas wilayah Desa Parbuluan menurut penggunaannya, dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 1. Penggunaan Tanah di Desa Parbuluan

NO Jenis Tanaman Luas/ha

1 Pemukiman 54

2 Perladangan 1963

3 Tidak dikelola 628

4 Hutan/Padang Rumput 455

Jumlah 3100

Sumber: Kantor Kepala Desa Parbuluan 1998

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat penggunaan lahan terluas adalah untuk tanah perladangan (1963 Ha) dan penggunaan lahan terkecil adalah untuk tanah pemukiman (10 Ha). Hal ini disebabkan mereka mebuka hutan sebagian besar fungsinya untuk dijadikan lahan pertanian.

(5)

2.5 Struktur Sosial Budaya

Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak, memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga, maupun beda marga serta masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki masyarakat Batak Toba pada hakikatnya berdasarkan garis keturunan bapak (patrilineal) yang memiliki tiga unsur struktur sosial yang lebih dikenal dengan sebutan Dalihan na tolu.

Dalihan na tolu adalah bentuk sistem kekerabatan Suku Batak Toba. Dalihan

merupakan tungku batu untuk meletakkan kuali di perapian, Jadi dalihan na tolu artinya tungku yang tiga, sebagai lambang kiasan aturan dan sikap hidup Suku Batak Toba sehari-hari dalam hubungan sosial dalam adat batak. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut adalah seperti di bawah ini:

1. Somba Marhula-hula (hormat kepada Hula-hula). Hula-hula adalah kelompok keluarga pihak marga istri, pihak pemberi istri. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan.

(6)

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, teman semarga, kaum kelompok yang satu marga (dongan=teman, sabutuha=satu perut). Suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat.

Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan na tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak. Hal ini yang menyebabkan

diperlukannya pemahaman mengenai dalihan na tolu oleh setiap individu dalam masyarakat Batak Toba. Sistem kekerabatan juga memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber masalah lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial.

Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak Toba berdiam di daerah pedesaan yang disebut huta (kampung). Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga (klan) tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk sebuah klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya.

Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu :

(a) perbedaan tingkat umur,

(7)

Pada umumnya perkawinan Batak Toba adalah monogami. Tetapi karena faktor keturunan laki-laki dianggap penting membawa garis keturunan, maka apabila sebuah keluarga di dalam perkawinan belum mempunyai anak laki-laki sering sekali terjadi poligami yang tujiuannya agar garis keturunan yetap berlanjut. Perkawinan sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedang perceraian sangat jarang terjadi dan sejauh mungkin diusahakan jangan sampai terjadi. Hal ini terjadi karena adat.

Bila seorang istri yang diceraikan suaminya cenderung tidak akan mempunyai hubungan lagi dengan keluarga laki-laki baik anak sendiri, maupun keluarga lain. Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan di dalam status sosial pada masyarakat Batak Toba. Dalam kehidupan seharihari orang yang berpoligami itu selalu kurang mendapat penghargaan dari masyarakat sekitar dan juga status sosialnya dianggap kurang baik.

Pandangan masyarakat Batak Toba bahwa anak (laki-laki dan perempuan) merupakan harta yang paling berharga baginya di dalam keluarga. Hal ini dapat di lihat dari semboyan di masyarakatnya yaitu anakhonki do hamoraon di au (anak adalah kekayaan yang dimiliki).

Gambar

Tabel 1. Penggunaan Tanah di Desa Parbuluan

Referensi

Dokumen terkait