• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Dan Yuriko Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Dan Yuriko Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang adalah salah satu negara yang terkenal karena kemajuannya di

berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi dan teknologi, Jepang dikenal sebagai

negara super power menyaingi bangsa barat. Dengan ketekunan dan kerja keras,

Jepang mampu bangkit kembali setelah kalah dalam Perang Dunia II.

Dalam menjalani kehidupannya masyarakat Jepang didukung dengan

fasilitas-fasilitas yang praktis dan canggih. Saat ini kehidupan masyarakat Jepang

juga sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat, tetapi budaya tradisional

mereka juga tetap mereka jaga dan memberi pengaruh dalam setiap kehidupan

masyarakat Jepang.

Selain teknologi, dalam bidang kesusastraan Jepang juga terus mengalami

perkembangan. Jepang menghasilkan banyak karya sastra yang terkenal di dunia,

terbukti dengan banyaknya sastrawan-sastrawan yang terkenal di dunia

internasional. Seperti Akutagawa Ryonosuke, Yasunari Kawabata, Natsuo Kirino,

(2)

tersebar di banyak negara. Selain itu, di Jepang juga banyak terdapat

penghargaan-penghargaan yang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menghargai

para sastrawan.

Novel sebagai salah satu karya sastra di Jepang, sama seperti novel lainnya,

merupakan karya fiksi tulis yang diceritakan secara panjang lebar. Sebagian besar

novel mengungkapkan berbagai karakter dan menceritakan kisah yang kompleks

dengan menampilkan berbagai tokoh dalam situasi yang berbeda. Untuk

menciptakan dunia fiksi dalam novel yang mendekati kenyataan, novelis

menggunakan 5 unsur yaitu plot, karakter, konflik, latar dan tema

(Trianto,2009:118) banyak berisi tentang hal-hal yang terjadi dalam masyarakat.

Menurut Jan Van Luxemburg (1986:23-24) sastra dapat dipandang sebagai

suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung

berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun

dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistim masyarakat. Sastra juga

mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk

memahaminya.

Menurut Iswanto dalam Jabrohim (http://blognyaphie.blogspot.com/),

(3)

serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Pendapat tersebut

mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama)

dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.

Karya sastra terbagi atas dua jenis yaitu karya sastra fiksi dan non fiksi.

Menurut Aminuddin (2000 : 66), fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban

oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan rangkaian

cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin

suatu cerita. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995: 166) fiksi adalah suatu

bentuk kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan

tokoh-tokoh cerita pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitas. Karya sastra fiksi

lebih lanjut dapat dibedakan menjadi berbagai macam bentuk yaitu roman, novel,

novelet maupun cerpen.

Menurut Moeliono (1988:618) dijelaskan bahwa novel merupakan

karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang

dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap

pelaku. Dalam bahasa Jepang novel disebut dengan shousetsu.

Kawabata Takeo dalam Muhammad Pujiono (2006:6) mengatakan bahwa

(4)

di dalam masyarakat, meskipun kejadiannya tidak nyata. Tetapi itu merupakan

sesuatu yang dapat dipahami dengan prinsip yang sama dengan kehidupan

sehari-hari. Novel sebagai karya sastra fiksi memiliki dua unsur yaitu unsur

intrinsik dan ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri atau unsur-unsur yang secara langsung membangun cerita. Unsur-unsur

yang dimaksud adalah tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa,

dll. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar karya sastra tetapi

secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut atau dapat dikatakan

sebagai unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun tidak

ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik itu yaitu kebudayaan,

ekonomi, keyakinan dll. Untuk membuat suatu cerita maka diperlukan semua

unsur-unsur tersebut untuk menciptakan hubungan antara tokoh yang satu dengan

tokoh yang lain. Dalam sebuah novel, setiap tokoh tentu menunjukkan watak, sifat

dan peran dalam cerita. Setiap watak atau karakter yang muncul dalam cerita bisa

menyebabkan banyak hal seperti persahabatan, pertentangan dan persaingan.

Dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino juga terdapat latar belakang

(5)

karakter mereka masing-masing dan alur kehidupan yang mereka jalani

sehari-hari akibat adanya pembagian menjadi dua kelompok siswa di sekolah

tempat mereka menuntut ilmu, yaitu kelompok “orang dalam” dan kelompok

“orang luar”.

Perbedaan kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar” sangat

jelas terlihat, kelompok “orang dalam” adalah siswa-siswa yang berasal dari

keluarga kaya dan sangat berpengaruh di sekolah itu. Sedangkan kelompok “orang

luar” adalah siswa yang baru masuk ke perguruan Q dengan seleksi dan mayoritas

berasal dari keluarga yang biasa saja. Kelompok “orang dalam” memiliki

kekuasan dan kebebasan di sekolah, berbeda dengan siswa kelompok “orang luar”

mereka sering mendapat diskriminasi. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siswa

kelompok “orang dalam” mereka sering bertindak sesuka hati dan

memperlakukan siswa kelompok “orang luar” dengan semena-mena.

Kazue Sato yang berasal dari keluarga yang biasa selalu ingin menjadi

nomor satu dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, dia tidak setuju kalau

dirinya ditempatkan di kelompok “orang luar” yang merupakan kelompok yang

ada di bawah kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berusaha untuk bisa

(6)

Berbeda dengan Yuriko yang kecantikannya boleh dikatakan sempurna

seperti “monster” menurut penuturan kakaknya. Memasuki usia remaja Yuriko,

mencapai pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan

kecantikannya.

Di dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino dapat dilihat bahwa tokoh

menampilkan masalah, yaitu adanya sikap diskriminasi sosial di perguruan Q.

Pandangan tentang moral dan etika khususnya bagi bangsa Jepang yang terdapat

dalam novel ini, bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang bersifat

vertikal, artinya berdasarkan hubungan atas-bawah, sekaligus bersifat patriakal.

Sistem ini tidaklah terkait dengan kelas-kelas dalam masyarakat, melainkan lebih

pada penekanan terhadap kesenioran. Hubungan kesenioran bisa diartikan sebagai

hubungan antara atasan-bawahan, antara siswa kelas yang lebih atas dan siswa

kelas yang bawah di sekolah, atau bisa juga hubungan antara orang tua-anak.

Sistem vertikal dan patriakal ini pada dasarnya masih tetap berakar dalam

masyarakat Jepang. Hubungan atas-bawah bangsa Jepang ini sebagian besar

mendapat pengaruh dari ajaran Konfusius. Ajaran tersebut yaitu 五 倫 (5

hubungan manusia); (1) hubungan pimpinan dan bawahan, (2) hubungan suami

(7)

hubungan kawan dan sahabat (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu).

Sama dengan pemikiran gorin (5 etika tentang kesadaran) yaitu pengabdian

pengikut terhadap tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki-laki

terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang

sederajat (Watsuji dalam Situmorang, 1995: 44).

Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam

kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan besar.

Sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai

anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.

Hal inilah yang menjadi permasalahan beberapa tokoh di dalamnya.

Dapat pula dilihat agaimana tokoh Kazue berusaha sekuat tenaga dan melakukan

segala cara untuk mendapatkan haknya seperti siswa kelompok dalam, namun

usahanya itu tidak berhasil. Sementara tokoh Yuriko, hanya dengan mengandalkan

kecantikan justru berhasil untuk bergabung dan diterima siswa kelompok dalam.

Dan bagaimana Jepang masa kini telah mengalami perubahan pemikiran, bahwa

seseorang perempuan dengan kecantikan yang luar biasa lebih menarik dan

mudah untuk diterima daripada perempuan pintar dengan fisik yang tidak

(8)

Dari hal di atas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana sikap dan

tindakan yang diambil oleh Kazue dan Yuriko dalam menghadapi pengelompokan

sosial di sekitar mereka. Oleh karena itu penulis memilih judul “Analisis

Sosiologis Tokoh Kazue dan Yuriko dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino”

dengan harapan dapat memberikan pandangan dan informasi kepada pembaca

mengenai kondisi sosial tokoh Kazue dan Yuriko yang digambarkan Natsuo

Kirino dalam karya sastra yang telah melejitkan kepopulerannya itu.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul proposal, yaitu “Analisis Sosiologis Tokoh Kazue

dan Yuriko dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino”, maka proposal ini akan

membahas mengenai kondisi sosial tokoh dalam melalui hari-harinya.

Dalam novel Grotesque ini pengarang yaitu Natsuo Kirino menyebutkan

adanya pembagian siswa menjadi dua kelompok saat menceritakan kehidupan

Kazue Sato saat berada di sekolah lanjutan atas. Kedua kelompok tersebut adalah

siswa kelompok “orang dalam” dan siswa kelompok “orang luar”. Perbedaan

antara kedua kelompok ini sangat jelas. Siswa kelompok “orang dalam” adalah

(9)

siswa yang berasal dari keluarga biasa saja. Siswa di kelompok “orang dalam”,

dianggap sebagai siswa yang terbaik, mereka disegani dan memiliki kekuasaan.

Sedangkan siswa di kelompok “orang luar” cenderung tidak memiliki kebebasan

dan sering mendapatkan diskriminasi. Kazue Sato yang berasal dari kelompok

“orang luar” ingin menjadi yang terbaik, dia juga ingin mendapatkan hak yang

sama seperti siswa di kelompok “orang dalam” dan melakukan banyak usaha

untuk bisa seperti siswa di kelompok “orang dalam” dan berusaha menentang

segala sesuatu yang membatasi dirinya. Hingga sikap itu pun terbawa setelah dia

menyelesaikan studinya.

Lain halnya dengan Yuriko, dia adalah gadis remaja yang sama sekali tidak

pintar, malah tergolong ‘tidak tahu apa-apa’. Tetapi dengan kecantikan luar biasa

yang ia miliki, dengan mudahnya dia masuk ke perguruan Q, bahkan diterima di

kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berpikir bahwa kecantikannya adalah

senjata yang paling ampuh.

Dalam bentuk pertanyaan masalah yang akan di teliti dalam skripsi ini

adalah :

1. Bagaimana interaksi sosial tokoh Kazue dan Yuriko dalam

(10)

2. Bagaimana pandangan Gorin (5 etika) hubungan golongan atas dan

bawah yang terdapat pada novel Grotesque?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap

perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan

agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, sehingga penulisan dapat lebih terarah.

Dalam analisis ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang

difokuskan pada masalah sosiologi tokoh dalam novel Grotesque, yang

digambarkan melalui dua tokoh utamanya yaitu, Kazue dan Yuriko. Bagaimana

kedua tokoh ini bertahan dalam lingkungan sosial yang menganggap adanya

perbedaan strata sosial antara siswa kelompok dalam dan kelompok luar. Selain

kondisi sosial kedua tokoh, sebagai pendukung akan dipaparkan bagaimana

pengaruh budaya Gorin (5 etika) pergaulan pada masyarakat Jepang yang menjadi

(11)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Menurut Wolff dalam Endraswara (2003:77) sosiologi sastra merupakan

disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah

studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general,

yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya

berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat.

Sosiologi sastra menurut Ratna (2002:2) yaitu pemahaman terhadap

totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung

di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen,

yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena itu, analisis sosiologis memberikan

perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk

masyarakat tertentu.

Sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang

merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang

membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang

dikembangkan dalam karya sastra. Penelitian sosiologi sastra lebih banyak

(12)

Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada dalam karya sastra, aspek

sosial pun juga tidak bisa terabaikan. Aspek sosial akan memantul penuh dalam

karya sastra (Endraswara 2003:78).

Namun Swingewood dalam Faruk (1999:43) mengisyaratkan perlunya

pemahaman mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang

menjembatani hubungan antara sastra dengan masyarakat itu sendiri.

Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui 3

perspektif, yaitu:

1. Perspektif teks sastra

Artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat

dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan

dijelaskan makna sosialnya

2. Perpektif biografis

Yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan

dengan life story seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Memang

analisis ini akan terbentur pada kendala jika pengarang telah meninggal dunia,

sehingga tidak bisa ditanyai. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu

(13)

3. Perspektif reseptif

Yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa

antara lain tema, penokohan, alur, plot, setting, dan sebagainya. Tokoh dan

penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Tokoh dalam

sebuah karya sastra fiksi merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang

memiliki posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat,

moral atau yang ingin sengaja disampaikan pada pembaca. Tokoh cerita

menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:165) adalah orang-orang yang

ditampilkan dalam karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan

memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam

hal ini sangat tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh

sesuai dengan pesan, amanat, atau moral yang ingin disampaikan kepada

(14)

2. Kerangka teori

Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang

berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam

menganalisis novel ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan

pendekatan semiotik

Untuk melihat gambaran kehidupan sosial suatu individu secara khusus

dan masyarakat pada umumnya dalam sebuah karya sastra adalah dengan

menggunakan disiplin ilmu yaitu sosiologi sastra.

Sosiologi dan sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda, kendati

demikian sosiologi dan sastra walaupun mempunyai perbedaan tertentu namun

sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna-makna sosial melalui

teks sastra.

Selain itu tinjauan sosiologi khususnya dilihat dari seni sastra berarti

yang didasarkan pada hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok, serta

hubungan antar manusia dengan kelompok di dalam proses kehidupan

bermasyarakat yang berdinamis yang dituangkan ke dalam karya sastra baik

berupa cerpen ataupun novel. Dalam proses interaksi yang melibatkan anak dan

(15)

yang bertujuan agar pihak yang dididik dan diajak kemudian mematuhi

kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat (dalam

Soerjono, 1990:63)

Dengan menggunakan teori sosiologis tersebut penulis dapat

menganalisis kondisi sosial tokoh pada novel Grotesque menyebabkan timbulnya

masalah sosial. Salah satunya contohnya adalah tokoh Kazue dan Yuriko yang

menggunakan jalan yang berbeda untuk dapat diterima di lingkungan sosial

sekitarnya.

Menurut Hoed (dalam Nurgiyantoro 1995;40), semiotik adalah ilmu atau

metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili

sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan

lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata,

mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian,

karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Bahasa juga

merupakan tanda. Dalam karya sastra bahasa digunakan sebagai tanda untuk

menunjukkkan suatu pemikiran, keadaan atau gejala sosial. Sehingga dalam

meneliti sebuah novel pendekatan semiotik digunakan untuk melihat tanda-tanda

(16)

sebuah novel, tanda-tanda itu akan dideskripsikan berdasarkan konteksnya, dan

ditafsirkan maknanya.

Penulis menggunakan pendekatan semiotik karena mengetahui adanya

persoalan-persoalan yang dialami tokoh Kazue dan Yuriko selama menjalani

kehidupan dan berbaur dengan lingkungan agar dapat mencapai tujuan mereka

masing-masing.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di

atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial tokoh Kazue dan Yuriko yang

terungkap dalam novel Grotesque.

2. Untuk mendeskripsikan pandangan Gorin (5 etika) yang terdapat pada novel

Grotesque.

(17)

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi

dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi khususnya

dalam novel Grotesque.

2. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan menambah informasi tentang

bagaimana pandangan Gorin (5 etika) pada masyarakat Jepang yang terlihat

pada novel Grotesque.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan Sastra

Jepang sebagai refrensi tentang analisis novel.

1.6 Metode penelitian

Sebuah penelitian pasti menggunakan metode sebagai penunjang dalam

mencapai tujuan. Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu,

yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dalam menganalisis novel ini

penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30)

bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran secermat

(18)

deskriptif merupakan metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian

yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya

dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun,

mengklasifikasi, mengkaji dan menginterprestasi data.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan

teknik ilmu kepustakaan (Library Research), yaitu menyusuri sumber-sumber

kepustakaan dengan cara membaca buku refrensi yang berkaitan dengan masalah

yang akan dijelaskan. Selain memanfaatkan literatur yang berupa buku, penulis

juga memanfaatkan teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website

yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

Data yang diperoleh dari berbagai refrensi tersebut kemudian dianalisa

untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Teknik penelitian adalah dengan

penelaahan terhadap buku-buku kepustakaan. Penulis mempelajari buku-buku

tersebut kemudian menganalisis unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung di

dalamnya, dan menginterprestasikannya ke dalam teks-teks cerita dari novel

Referensi

Dokumen terkait

Pada pembelajaran perbaikan siklus I dengan menggunakan lembar observasi diperoleh data bahwa: (1) Penjelasan materi sangat cepat sehingga kurang dimengerti siswa,

Ketika mengadaptasi instrumen, diterjemahkan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, yaitu bahasa baru yang akan digunakan. Ini adalah proses yang kompleks dan sangat

[r]

Untuk merancang sistem akuntansi perhitungan bonus penjualan penulis menggunakan data berupa data barang, data sales dan data penjualan.. Setelah target penelitian

Isolat Actinomycetes BYL-15 dan BYL-28 merupakan bakteri penghasil enzim protease alkalin termostabil yang sangat potensial untuk dikembang- kan sebagai sumber gen maupun

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,

Gerakan kerja operator berkaitan dengan prinsip-prinsip ekonomi gerakan yang dihubungkan dengan tubuh manusia dan gerakan-gerakan kerjanya, tata letak tempat kerja,

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan pada siklus I, peneliti dan guru kolaborator mengadakan refleksi yang diawali dengan analisis terhadap hasil observasi dan