• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Pendid ikan karakter Yusro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Pendid ikan karakter Yusro"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MENAKAR KEMBALI PENDIDIKAN KARAKTER KITA

MELALUI SASTRA PIWULANG JAWA

oleh

Yusro Edy Nugroho

Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes

1.

Pengantar

Istilah Pendidikan karakter akhir-akhir ini merebak menjadi doktrin baru yang populer dan menawan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini karena semakin nyata dirasakan di seluruh pelosok negeri ini, betapa rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan hidup dan tujuan sejati pendidikan Indonesia yaitu untuk memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya. Para pelaku pendidikan di Indonesia berbondong-bondong menyusun kurikulum bermuatan pendidikan karakter.

Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter ( character education ) dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang baikdidukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan kterkaitan ketiga kerangka pikir ini.

(2)

Pada dasarnya, perkembangan seorang anak adalah jalan menuju pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja, mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini . Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter. Ada 3 Cara Mendidik Karakter Anak, yaitu:

a)

Ubah Lingkungannya

, melakukan pendidikan karakter dengan cara menata

peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah.

b)

Berikan Pengetahuan

, memberikan pengetahuan bagaimana melakukan perilaku

yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya serta diaplikasikan.

c)

Kondisikan Emosinya

, emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan

manusia. Jika mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat

maka informasi tersebut akan menetap dalam hidupnya.

2.

Nilai-nilai dalam pendidikan karakter

Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.

(3)

3.

Kemana Arah Pendidikan Karakter Kita Kini.

Sebuah pertanyaan besar yang selalu sulit untuk dijawab dengan tepat.

Pendidikan di Indonesia menganut kurikulum yang seragam pada setiap penjuru nusantara. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 (Sisdiknas) diatur bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum yang berlaku pada semua sekolah. Pemberlakuan KTSP dimaksudkan agar standarisasi pendidikan di seluruh Indonesia sama. Melihat hal ini sepertinya pemerintah mencoba untuk menyeragamkan arah teknis pendidikan Indonesia. Maka, muncullah beberapa standarisasi teknis yang menurut saya cukup lucu. Dalam menentukan standarisasi kelulusan, pemerintah memberlakukan Ujian Nasional (UN) yang penentuannya semua dibuat di pusat (Jakarta) baik soal ujian, koreksi, hingga seluruh proses pelaksanaannya.

Pemberlakuan UN telah membuka lapangan kecurangan seluas-luasnya. Saya tidak heran kecurangan-kecurangan UN terjadi dimana-mana. Sebab, pemerintah sendiri juga membuat peringkat-peringkat sekolah terbaik berdasarkan tingkat berapa jumlah siswa yang lulus. Peringkat-peringkat-peringkat itu membuat sekolah berlomba-lomba meluluskan sebanyak-banyaknya siswa mereka dengan cara apapun, bahkan dengan melegalkan kecurangan. Sehingga karakter kejujuran hilang disini. Lalu, berkaitan dengan teknis mata pelajaran di sekolah. Sekarang ini banyak sekolah-sekolah yang menambahkan bahasa asing selain bahasa Inggris dalam kurikulumnya. Sebenarnya bukan sebuah masalah jika penambahan tersebut disertai dengan tidak hilangnya muatan lokal. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Muatan-muatan lokal semakin diminimalisir dan tidak diapresiasi di lingkungan sekolah.

Pelajaran muatan lokal hanya diberi sedikit ruang. Saya masih ingat sekali dulu saat SMA pelajaran muatan lokal yang berbudaya Indonesia hanyalah Bahasa Jawa. Pelajarannya pun memberikan porsi yang lebih pada aspek kognitif tanpa adanya praktek riil. Dulu sempat ada pemberlakuan bahasa Jawa setiap hari Jum'at atau Sabtu, namun tidak berjalan efektif. Contoh ini memperlihatkan pelajaran muatan lokal kurang diberi ruang dan diapresiasi. Hal inilah yang menjadi pangkal munculnya karakter acuh tak acuh terhadap budaya bangsa (dalam hal ini bahasa) pada diri manusia Indonesia. Sehingga budaya meniru muncul dengan budaya barat sebagai role modelnya.

(4)

4.

Serat Piwulang: karya Sastra sebagai warisan Budaya dan Pengukuhan

Jati Diri.

Para pengarang sastra Jawa, khususnya yang hidup pada zaman kebangkitan mataram baru di Surakarta telah banyak melahirkan karya-karya yang bersumber pada keselarasan hidup antara manusia dan alamnya. Para pujangga yang namanya begitu masyhur sebagai pekerja kreatif seperti Susuhunan Pakubuana IV, Yasadipura I, Yasadipura II, Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan KGPA Mangkunegara IV, telah mampumembawa perubahan besar pada peta kesusastraan Jawa abad itu, bahkan melalui karya mereka telah terciptalah suatu garis anutan pendidikan moral.

Sebagai hasil karya seorang pujangga, kehadiran sastra piwulang tidak pernah lepas dari fungsi penyaluran ide pribadi pengarangnya, dan bagi masyarakat pembaca karya sastra secara tidak langsung juga merupakan tawaran ide yang setiap saat akan mempengaruhi pola tingkah laku mereka. Karya sastra selain berfungsi sebagai penghibur juga dalam kasus- kasus tertentu dapat berperan aktif memberi tuntunan bagi keselarasan hidup manusia pada umumnya.

Dalam khasanah sastra Jawa yang telah berkembang jauh sejak zaman Hindu, selain dalam penceritaan suatu kisah tertentu, dikenal pula teks-teks didaktik moralistik. Ciri teks ini banyak diwarnai dengan deskripsi tata tingkah laku pergaulan sehari-hari dalam hidup bermasyarakat. Karya sastra didaktik dalam masyarakat Jawa merupakan sastra piwulang yang memberi tuntunan bagi pendidikan moral dan budi pekerti yang sebaiknya dilakukan oleh manusia berbudaya. Pada umumnya yang disebut sastra piwulang dalam tradisi kesusastraan Jawa adalah teks didiktik berbahasa Jawa yang ditulis oleh raja atau pujangga istana untuk dijadikan dasar pembentukan watak dan perilaku kerabat istana.

Serat wedhatama yang secara semantik terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha, dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, Wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan Tama berasal dari kata Utama yang artinya baik, tinggi, atau luhur. Dengan demikian maka Serat Wedhatama memiliki pengertian sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan umat manusia.

Serat Wedhatama sebagai karya sastra piwulang atau sebagai wahana pendidikan moral, karena dalam Serat Wedhatama terkandung ajaran tentang pendidikan budi pekerti yang luhur. Sehingga dapat menjadi tuntunan hidup bagi masyarakat, ajaran yang terkandung dalam Serat Wedhatama tidak hanya ditujukan bagi masyarakat jawa saja, meskipun awalnya bertujuan untuk pembentukan watak dan perilaku kerabat istana dan masyarakatnya yaitu masyarakat Jawa. Tetapi juga dapat dijadikan wahana pendidikan moral bagi masyarakat bangsa Indonesia bahkan seluruh dunia, hal ini dikarenakan ajaran yang terkandung dalam Serat Wedhatama yang memiliki sifat universal.

(5)

5.

Daftar Pustaka

Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id

Goble, G Frank.1991.Mazhab Ketiga : Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta.Penerbit Kanisius

Lickona, Thomas. 1994. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility by Thomas Lickona (Sep 1, 1992)

_______________2004. Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues New York : Simon and Schuster

Nugroho, Yusro Edy. 2008. Senarai Puisi Jawa Klasik. Semarang: Cipta Prima Nusantara.

Nuridin. (2010). Pendidikan Karakter. Dapat diakses pada URL: http://www.pendidikankarakter.org/index.php?p=4_5 atau http://

Margana,S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muin,Fachtul.2011.Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan praktik.Yogyakarta : Arr-ruzz Media

Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7

Suyanto. (2009). Urgensi Pendidikan Karakter. Dapat diakses pada URL: http:// www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html

___________. (2010). Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Akademi Anak.

(6)

Kutipan Teks Serat Wedhatama

(7)

 Dhandhanggula

o Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha,tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.

o Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah Ian kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.

 Kinanthi.

o Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesthi, pesunen sarinira, sudanen dhahar ! an guling.

o Lan wong anom-anom iku, kang kanggo ing mangsa iki, andhap-asor dipunsimpar, umbag gumunggung ing dhiri, obrol umuk kang dengulang, kumenthus iawan kumaki.

o Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku lalabete uga, nonoman adoh wong becik, emoh angrungu carita, carita ala Ian becik. o Carita pan wus kalaku, panggawe ala Ian becik, tindak bener Ian kang

ora, kalebu jro cariteki, mulane aran carita, kabeh-kabeh denkawruhi. o Mulane wong anom iku, becik ingkang ataberi, jajagongan Ian wong

tuwa, ingkang sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.

 Gambuh.

o Aja nganti kabanjur, sabarang poiah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti koju•tan hecik, becik r;gapayaa iku; pitutur ingkang sayektos. o Pitutur bener iku, sayektine apantes tirairu, nadyan metu saking wong

sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo.

o Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh.

 Pangkur.

o Kang sekar pangkur winarna, lalabuhan kang kanggo wong aurip, ala Ian becik puniku, prayaga kawruhana, adat waton puniku dipunkadulu, miwah ta ing tatakrama, denkaesthi siyang ratri.

(8)

o Muwah ing sabarang karya, ing prakara gedhP kalawan cilik, papat iku datan kantun, kanggo sadina-dina, Ian ing wengi nagara muwah ing dhusun, kabeh kang padha ambegan, papat iku nora kari.

 Maskumambang.

o Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur myang sanak, kalamun muruk tan becik, nora pantes yen dennuta.

o Apan kaya mangkono watekan iki, sanadyan wong tuwa, yen duwe watek tan beck miwah tindak tan prayoga.

o Aja sira niru tindak kang tan becik, nadyan ta wong liya, lamun pamuruke becik, miwah tindake prayoga.

o Iku pantes sira tirua ta kaki, miwah bapa biyang, kang muruk watek kang becik, iku kaki estokena.

o Wong tan manut pituturwong tuwa ugi, anemu duraka, ing dunya tumekeng akir, tan wurung kasurang-surang.

o Maratani ing anak putu ing wuri, den padha prayitna, aja na kang kumawani, ing bapa tanapi biyang.

 Mijil.

o Poma kaki padha dipuneling, ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, ruruh sarwa wasis, samubarangipun. o Lan dennedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasabana yen

durung mangsane, kekendelan aja wani mingkis, wiweka ing batin, densamar densemu.

o Lan densami mantep maring becik, Ian ta wekas ingong, aja kurang iya panrimane, yen wus tinitah maring Hyang Widdhi, ing badan puniki, wus papancenipun.

o Ana wong narima wus titahing, Hyang pan dadi awon, Ian ana wong tan nrima titahe, ing wekasan iku dadi becik, kawruhana ugi, aja salang surup.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraiann dari penelitian sebelumnya, yang membedakan dari penelitian ini yaitu kategori dari populasi, sampel yang digunakan dan penelitian sebelum berfokus pada

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada seluruh sampel penelitian yang berjumlah 43 bayi, dapat di ketahui bahwa seluruh bayi yang kebutuhan oksigennya tidak

Menurut Soemardjo (dalam Wahyuningtyas, 2011:25) sosiologi sastra dengan sendirinya mempelajari sifat hubungan antaranggota masyarakat sastra dan mengetahui

Cianjur merupakan kota agamis yang biasanya kepemimpinan dari tingkat desa sampai pusat dipimpin oleh laki-laki, tapi di Desa Padaluyu kecamatan Cugenang Cianjur

Bukti fisik adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya pada pihak luar .Pengaruh bukti fisik dengan kepuasan nasabah yaitu semakin baik persepsi

Mengetahui pengaruh due-Professional care terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh auditor independen yang bekerja pada kantor akuntan publik di wilayah

Melalui program Interfaith Youth Forum para pemuda yang berbeda agama akan diajak untuk memahami perbedaan melalui dialog dan kemudian mencintai serta menghargai serta

mengalokasikan sebagian besar dari biaya tidak langsung departemental adalah sulit dan bersifat arbitrer. Yang terbaik yan dapat dilakukan adalah melakukan..