• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENAJAMKAN BATIN MEMELIHARA JIWA MELALUI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENAJAMKAN BATIN MEMELIHARA JIWA MELALUI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MENAJAMKAN BATIN MEMELIHARA JIWA MELALUI PANTUN (Potret Kejhung Papareghan dan Beberapa Sastra Lisan Bandingannya)

Oleh FN. Murti

Mon sèrèna ma’ sèrè konèng Rokok Ěskok talèna mèra Mon sakèrrana bulâ ta’ onèng

Sala lopot nyo’on sapora.

(Papareghan Madura)

/1/

Hakikat sastra milik manusia

Belajar menjadi tujuan hidup yang tak ada habisnya. Manusia hakikatnya adalah makhluk yang lemah dan penuh kekurangan dan hanya dengan ilmulah manusia menjadi makhluk yang berderajat. Banyak cara dilakukan manusia demi mendapat pelajaran. Pendidikan formal menjadi sangat populer daripada harus belajar dari alam. Sistem pendidikan formal yang kaku membuat pola pikir manusia juga kaku dan monoton. Pun dengan Kurikulum 2013 yang menurut saya kembali pada tata cara belajar dari alam yang sebenarnya secara implisit telah terjabarkan dalam kitab Islam di surah Al Alaq, “Iqro’...” (Bacalah), masyarakat tetap saja sibuk dengan indikator-indikator pembelajaran formal. Masyarakat lupa bahwa belajar kepada alam, belajar fenomena dan budaya merupakan hal penting yang justru lebih menguntungkan.

Sastra dan budaya ada di mana-mana dan telah menjadi atmosfir bagi para cendekia. Sastra menjadi tempat belajar dan mengasah diri. Sejak dulu manusia sadar bahwa sastra hadir sebagai produk sekaligus kebutuhan akan penebalan ilmu dan pemahaman diri terhadap kehidupan. Melalui sastra, ilmu dikekalkan dalam ideologi apik tempat tercurahnya segala pengalaman, cita-cita, ilustrasi, imajinasi, dan nilai. Sastra ibaratnya rangkuman kehidupan sama seperti prasasti, tempat mengukir jejak pencapaian kontemplasi manusia.

Kini, atmosfir sastra sebagai sarana kontemplasi telah menyurut. Sebagian generasi kita justru lesu jika berhadapan dengan sastra. Mereka tidak paham, tidak mau paham, dan tidak menikmati jelajah internalisasi melalui sastra. Bagi pecinta nonsastra, mungkin mendengar nama Rendra didengungkan, hanya sekedar mendengarkan saja nama Rendra terucap. Mungkin mereka lebih memilih konser musik, daripada wayang kulit atau ludruk.

(2)

Pada abad 17, pantun sebagai salah satu sastra lisan yang menjadi jati diri masyarakat Melayu, dianggap sebagai bentuk yang sempurna dari sastra lisan. Produk sastra lisan yang tersebar di seluruh nusantara (baik kidung maupun mantra) memiliki bentuk serupa pantun. Hingga penjajah datang membawa bentuk sastra bebas membuat pantun mulai ditinggalkan. Ironinya, yang terjadi kini justru sebaliknya. Orang luar mempelajari pantun, sedangkan bangsa sendiri lupa akan produk jati dirinya sendiri. Padahal, pantun sangat tersohor di dunia internasional, karena hanya bangsa Melayulah yang memilikinya.

Pantun sebagai bagian dari paham kuartenitas terdiri dari 4 baris, dan tiap baris terdiri dari 8 suku kata. Dua baris pertama, sebagai sampiran, bersajak a-b. Demikian pula dua baris ke-dua dan ke-tiga yang disebut isi, bersajak a-b. Masing-masing memiliki unsur kontras. Jika 4 baris digabungkan, maka terbentuk kontras baru, yakni a-b dan a-b. Dengan demikian, pantun harus dibaca secara kuartenitas (horisontal-vertikal) untuk menemukan

--‘tali jiwa’ (istilah Amir Hamzah)-- makna transendensi pantun. Sebagai sarana pembangun karakter bangsa, sastra daerah seperti pantun sangat berharga dan perlu dipertahankan.

/2/

Menilik pantun di beberapa lingkungan kebudayaan

Zaman dahulu pantun menduduki tempat yang penting dalam kehidupan kita. Pantun banyak digunakan dalam permainan kanak-kanak, dalam percintaan, upacara peminangan, pernikahan, nyanyian, dan upacara adat. Secara umum setiap tahap kehidupan masyarakat Melayu dihiasi oleh pantun.

Pantun tersebar di berbagai daerah di nusantara. Bentuk dan pengamalan dalam pantun bersifat multi-budaya, multi-bahasa, multi-agama dan multi-ras. Di Sunda terdapat tradisi berbalas pantun yang dikenal dengan sebutan “palang pintu” ketika meminang seorang gadis. Orang Melayu menamakannya pantun. Orang Ambon menyebutnya sebagai panton, mirip dengan sebutan orang Madura selain papareghan. Orang Sri Lanka dan Sulawesi menyebutnya pantong. Menurut orang orang Sunda, pantun ialah cerita panjang yang sedih dengan iringan suling. Pada orang Sunda bentuk empat kerat seperti pantun Melayu dikenali sebagai sisindiran atau sesebred. Orang Jawa menyebutnya wangsalan dan peparikan, sedangkan orang Bali menyebutnya sebagai wewangsalan.

Di Jawa, pantun yang sering dilantunkan menyerupai lagu disebut parikan. Di Madura, pantun dikenal dengan istilah paparegan, sehingga papareghan yang dikidungkan disebut dengan kejhung papareghan. Parikan dan paparegan memiliki struktur dan fungsi yang relatif sama.

(3)

Dalam kajian Muhammad Haji Saleh dan Bazrul Bahaman (1999) diperoleh informasi ada persamaan unsur pantun Semenanjung dan Sumatera yang digunakan, di antaranya tidak kurang daripada 29 bahasa termasuk Aceh, Gayo, Alas, Nias, 4 bahasa Batak – Toba, Mendailing, Simalungun; Lampung, Jawa, Sunda, Bali (Agha), Lombok, Bajau, Menado, Saluan, Kaili, Pamonma, Tanemperar, Sangihe-Talaud, Gorantalo, Bugis, Iranun, Iban, Bidayuh, dan Aslian. Sementara itu tidak kurang dari 35 dialek Melayu termasuk Minangkabau, Kerinci, Deli-Serdang, Riau Pulau dan Riau Daratan, Palembang, Bangkahulu, Betawi, Sakai, Kutai, Banjar, Pasir, Sintang, Ketapang, Sambas, Hulu Kapuas, Cocos, Sri Lanka, Kutai, Melayu Menado, Melayu Kupang, Melayu Makasar, Banda, Ternate, Patani-Kelantan, Terengganu, Pahang-Johor-Melaka, Peranakan Melaka, Peranakan India (Ceti), Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Kedah-Perlis, dan Pinang. Di Eropa pula pantun digunakan dalam bahasa Perancis, Inggris, Belanda dan Jerman.1

Pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Dalam kesusastraan, pantun pertama kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat popular yang sezaman. Kata pantun mempunyai asal-usul yang cukup panjang dengan persamaan dari bahasa Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka yang berasal dari India.

Menurut Dr. R. Brandstetter, seorang berkebangsaan Swiss yang ahli dalam perbandingan bahasa berkata bahwa pantun berasal dari akar kata tun, yang terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga, tuntun berarti teratur; dalam bahasa Tagalog tonton berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno, tuntun berarti benang dan atuntun yang berarti teratur dan matuntun

yang berarti memimpin; dalam bahasa Toba pantun berarti kesopanan atau kehormatan. Dalam bahasa Melayu, pantun berarti quatrin, yaitu sajak berbaris empat, dengan rima a-b-a-b, sedangkan dalam bahasa Sunda, pantun berarti cerita panjang yang bersajak dan diiringi oleh musik. R. O. Winstedt setuju dengan pendapat Brandstetter tersebut.

/3/

Potret Kèjhung Paparèghan sebagai Wahana Pendidikan Moral dan Karakter

Kèjhungpaparèghan berbeda dengan tembang. Walaupun memiliki sifat pelantunan yang mirip, namun struktur kèjhungpaparèghan lebih seperti parikan Jawa yang berbentuk pantun. Tembang (dalam Madura: tembhâng) yang datang dari kesusasteraan Jawa berbentuk prosa, memiliki aturan lagu tersendiri dari tiap jenisnya, dan pertunjukannya disebut seni macapat (dalam Madura dikenal dengan mamaca). Pelantunan kèjhung sangat khas. Jika mendengarnya, masyarakat bisa langsung tahu bahwa yang dilantunkan adalah

1

Muhammad Haji Salleh. Ghairah Dunia dalam Empat Baris: Pantun Sebagai Bentuk Bersama.

(4)

kèjhung, bukan tembhâng, nyanyian/laghu, atau jhung-kèjhungan. Kèjhung ditandai oleh teknik vokal yang khas melengking, nyaring, serta pelafalan yang sering kurang jelas.

Dalam masyarakat etnis madura, kèjhung paparèghan dapat dijumpai dalam dua konteks, yaitu konteks umum keseharian dan pertunjukan. Pada konteks umum, kèjhung paparèghandilantunkan di saat-saat santai, di rumah atau beranda, dan jeda saat bekerja di sawah. Dahulu etnis madura biasa melantunkannya bersahut-sahutan di waktu senggang saat mengambil rumput atau menggembala ternak. Dalam konteks pertunjukan

(performance art), kèjhung paparèghan digelar pada ritus-ritus kehidupan seperti acara selamatan pernikahan, khitanan, bahkan ulang tahun, biasa dibawakan dengan iringan gamelan, menyatu dengan seni pertunjukan lain seperti ludruk, tayub, dan saronen.Pada konteks demikian, para tokoh wayang kulit dan wayang topeng, para sinden, penayub, pemusik saronen, para pemain lodrok, para pelawak menembangkan pantun (panton2) dalam bahasa madura, dengan iringan komposisi gending yang dikenal. Dalam bahasa madura, aktivitas mereka disebut ngèjhung.3

Kèjhung ialah aktivitas melagukan puisi atau pantun. Iramanya khas milik masyarakat etnis madura yang jika dinyanyikan orang dapat membedakan bahwa lagu tersebut adalah

kèjhungpaparèghan atau mamaca, nyanyian rakyat, nyanyian dalam permainan anak-anak

(jhung-kèjhungan). Gending untuk kèjhung paparèghan termasuk Rarari, Ram-eram,

Gunong Manto’, Tallang, dan lain-lain (Tim Nabara, 1996:16)4.

Kèjhung paparèghan memiliki fungsi pendidikan sebagai semacam kursus kilat mengenai adat dan pengetahuan kesukuan, tentang norma-norma, agama, nilai-nilai baik-buruk dan kepantasan, apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya tidak dilakukan, apa yang dilarang, dan sebagainya. Selain berisi ajaran-ajaran hidup, kèjhung paparèghan juga berisi tentang nilai keagamaaan. Dengan begitu, selain sebagai media pendidikan (pedagogical device), kèjhung juga berfungsi sebagai media syiar (dakwah). Kèjhung

mengajak pendengar untuk merenungkan kekuasaan Tuhan agar lebih bertaqwa. Contoh

kèjhung yang berfungsi sebagai syiar/dakwah adalah berikut.

Tamen magik tombu sokon Namen sokon tombu magik

Pon gi’ odi’ kodhu parokon Orèng rokon sangona paggi’

Kèjhung ini mengandung pesan bahwa manusia harus menjaga kerukunan dalam bermasyarakat, baik antar umat seagama maupun antar umat beragama. Kèjhung ini mengingatkan pendengar, khususnya umat Islam, akan janji Tuhan dalam Surah Al Hujurat

ayat 10, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu

2

Panton ialah istilah Madura untuk merujuk pantun. Dalam sastra Madura dibedakan antar pantun, papareghan, dan sendilan walaupun memiliki bentuk yang sama. Lihat Sadik (2008:82) Tumbuh dan Berkembangnya Sastra Madura.

3

Hélène Bouvier. 2000. Lèbur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

4

(5)

mendapat rahmat”/Orèng rokon sangona paggi’/. Kèjhung di atas juga mengandung pesan agar menjaga kerukunan /Pon gi’ odi’ kodhu parokon/, bersikap baik dalam bertingkah laku, agar tidak mendapatkan masalah dalam hidup bermasyarakat. Kèjhung ini juga dapat berfungsi sebagai media pendidikan sosial, karena mengajak manusia dalam kebaikan bertingkah laku dalam masyarakat.

Melatèna nalar ka tana, duh lek

Terrong perrat ma’ è sèbâ’â

Mon ta’ pastè neng è dunnya, duh alek

Nâng akhèrat bulâ è ambe’â

Kèjhung tersebut juga mengandung pesan bahwa segala yang dilakukan manusia semasa di dunia akan dikenai pertanggungjawaban di akhirat kelak /Nâng akhèrat bulâ è

ambe’â/. Maka, hendaknya manusia tidak menyia-nyiakan waktu dengan melakukan

perbuatan-perbuatan tidak terpuji dan dilarang agama, melainkan mengerjakan segala kebaikan dengan niat beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kèjhung paparèghan menjadi sebuah cara menyampaikan model atau pola-pola perilaku yang direstui masyarakat. Kèjhung paparèghan berisi tentang pengalaman dan penghayatan hidup manusia serta mengandung ajaran-ajaran luhur seputar norma, adat, etika, nilai baik dan buruk. Karena itu kèjhung dapat berfungsi sebagai media tunjuk ajar dalam masyarakat. Contoh lain yaitu.

Aèng santer labâng lèma’ Pagilie ka Caporè

Lamon nèser kodhu paènga’ A bâlie laèn arè

Kèjhung ini memberi pesan terutama untuk generasi muda agar dapat bersikap baik dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, /Lamon nèser kodhu paènga’/ Jika menjalin cinta harus dengan keseriusan /A bâlie laèn arè/ suatu saat akan kembali. Implikasi pantun tersebut ialah menumbuhkan sikap serius dan bertanggung jawab terhadap pasangan dalam menjalin cinta agar tetap terjaga nama baik. Nilai yang terkandung ialah nilai kesetiaan.

/4/

Kantong Emas Pantun: Ilmu dan Pengalaman Sebagai Warisan Budaya

Dari daerah Talukkuantan, Kampar, Sumatera, kita mendengar lagu yang dinyanyikan oleh ibu kepada anak mereka.

Omua kita poi mandi

(6)

Semasa anak sudah baligh dan dapat menikmati pengalaman rohaniah isi pantun diisi dengan hakikat ilmu sebagai payung di dalam hidup di dunia yang tidak kekal.

Potang iko potang sotu, Potang isuak potang had, Induak basuo ujud nan satu Cuba tengok dalam tariqat.

Pantun merupakan daya cipta kreasi penghayatan manusia terhadap pengalaman hidupnya. Melalui pantun –juga karya sastra yang lain-- , pengalaman hidup manusia dapat dihayati, sehingga dapat menambah kearifan penikmatnya. Pantun kaya akan tema dan nilai moral. Pantunberhasil memotret fenomena kehidupan masyarakatnya dan mengangkatnya dalam bahasa indah dan padat serta penuh nilai-nilai positif. Pantun berisi peristiwa-peristiwa umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti agama, cinta, etika, keluarga, dan sebagainya. Pantun dengan beragam bentuk dan variasinya yang tersebar di penjuru nusantara dapat dijadikan media kontrol sosial karena penuh dengan nilai-nilai positif realitas sosial (bermasyarakat, agama, kasih sayang keluarga, dan sebagainya) yang dapat dijadikan ajaran atau pedoman hidup. Melalui pantun, manusia dapat memelihara batin dan menajamkan jiwa dengan ilustrasi-ilustrasi pengalaman, pesan-pesan moral serta nilai-nilai luhur warisan budaya.

Nilai dalam pantun sangat besar. Pantun selalu menggunakan instrumen dalam level yang tinggi seperti moral dan ketuhanan. Lebih kompleks lagi dengan aspek-aspek kehidupan seperti kosmologi yang lebih abstrak dalam kehidupan. Lebih khusus lagi, pantun dapat memotret pandangan hidup dan aktivitas kehidupan manusia serta elemen-elemen alam semesta. Unsur-unsur dalam pantun yakni pengamatan unsur alam, kontemplasi, pengungkapan pemikiran, wacana, nilai, dan makna jika dapat dibaca dengan baik akan melahirkan sebuah pengalaman perjalanan ruhani yang menakjubkan. Dalam untaian larik tempat kata-kata hadir, timbul tenggelam dalam ritma, rima serta ide, dapat dijumpai percikan nilai sarat makna yang selalu berkutat seputar Tuhan dan kehidupan. Dengan demikian, pantun sangat berpotensi untuk menanamkan pemahaman moral dan karakter positif.

Manfaat pantun dalam masyarakat tidak lain sebagai bentuk ekspresi estetis, hiburan, pendukung ekonomi, pemelihara solidaritas dan media kritik sosial, serta sarana pendidikan (pedagogical device) dan syiar agama yang bersifat filosofis dan mengakar pada kepribadian masyarakat. Pantun sering kali menggambarkan hal-hal yang penting untuk kebudayaan, mentransfer nilai-nilai budaya, serta moral (pandangan hidup). Dengan demikian, pantun membantu melestarikan kearifan lokal (local genius) masyarakat kebudayaan.

(7)

revitalisasi budaya yang secara sadar dilakukan oleh pelaku seni. Jika ini berhasil, maka peran pantun dalam mempertahankan karakter kelompok etnis cukup besar.

/5/

Jejak Revitalisasi

Generasi mana yang lancar dan ahli berpantun? Anak muda betawi? Mungkin. Masyarakat Madura? Ya, sebagian masih. Masyarakat Jawa? (???) sebagian kecil, itupun sumbangsih para tetua. Yang lainnya? Tidak ada gaungnya. Tahukah mereka dengan karya-karya pantun fenomenal yang sarat akan nilai, seperti Syair Anggun Cik Tunggal, Tjeritera Si Umbut Muda, Berani Kulanggar Lautan Api, serta Bunga Dilengkung Ular Jang Besar karya R.J. Wilkinson dan R.O. Winstedt, atau yang lainnya? Bahkan, jika disuruh menyebutkan siapa saja tokoh pemantun tersohor hampir semua orang bahkan generasi sebelumnya pun akan kebingungan.

Dahulu memang pantun diungkapkan secara langsung dan tidak pernah dituliskan. Memang kebanyakan pantun tidak dapat diketahui siapa pembuatnya, karena pindah dari mulut ke mulut yang setiap orang berhak atasnya. Orang seolah-olah tidak merasa perlu menghubungkan nama penyair/pemantun dengan karya pantunnya. Begitulah, masyarakat lama kurang mengemukakan hal kepunyaannya sendiri. Namun, saya rasa saat ini penghargaan terhadap pemantun sangat dibutuhkan untuk menciptakan popularitas, eksistensialitas pantun dan pemantun, serta membangun prestige atas pantun yang kini kembali digalakkan dalam Kurikulum 13.

Pantun dalam konteks pertunjukkan secara sadar dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya sebagai bentuk pelestarian. Contohnya, kejhung papareghan dalam Ludruk Madura atau Suroboyoan, Selangot dan Kandan di Kalimantan. Mereka melakukan pertunjukan bukan sekedar faktor ekonomi dan prestige, melainkan lebih sebagai ungkapan berkesenian dan aktualisasi diri. Usaha revitalisasi tidak hanya dilakukan oleh pemikul folklor aktif, namun juga masyarakat yang sadar budaya etnisnya. Mereka melestarikan tradisi dari generasi-generasi sebelumnya.

Peran radio lokal sangat membantu kelestarian pantun. Pembawa acara radio-radio lokal membawakan pantun dalam suasana perbincangan santai dengan pendengar dengan banyak variasi pantun sesuai lingkungan kebudayaannya. Radio menjadi media penyalur kebutuhan berpantun masyarakat.

Beberapa artis dalam tahun-tahun terakhir mulai memopulerkan kembali pantun dalam konteks-konteks hiburan. Tentu ini merupakan titik keberuntungan bagi pantun. Dengan pembudayaan pantun oleh artis sebagai trendsetter akan mempermudah usaha revitalisasi pantun di kalangan generasi muda, walaupun tidak semua pantun profan memiliki nilai dan pesan moral dan memuat pendidikan karakter seperti pada pantun-pantun klasik.

(8)

ternyata menjadi peluang tersendiri terhadap perkembangan dan revitalisasi pantun secara besar-besaran. Dengan memasukkan pantun sebagai teks tersendiri, semoga pantun dapat merangkul kejayaannya kembali seperti 300-400 tahun silam, di mana masyarakat dekat sekali dengan nilai-nilai luhur dengan kemasan bahasa yang indah dan sopan. Namun, titik

terang ini juga diikuti oleh pertanyaan besar yakni “Sejauh mana kiranya peran guru dapat memanfaatkan pantun sebagai media pengoptimalan internalisasi nilai-nilai luhur budaya nusantara?” perlu kiranya kita sebagai pendidik, renungkan hal tersebut secara cermat. Upaya apa yang perlu dilakukan.

Tugas pembelajaran salah satunya adalah mengenalkan dan melestarikan. Tugas para pendidik yang tidak pernah habis dan tidak pernah selesai ialah bagaimana membuat nilai-nilai luhur dan falsafah dapat mengendap dalam pemahaman siswa, sehingga dapat membentuk karakter positif generasi bangsa. Pendidik harus mampu mengajak siswa berpikir dan merenung, produktif dalam memahami masalah-masalah filosofis. Perlu kiranya dikembangkan tema-tema aktual agar tercipta siswa terampil berpantun tetapi juga intelektual dan kritis. Misalnya, siswa ditugasi membuat pantun dengan tema yang up to date, berbasis kasus-kasus/isu sosial terkini, masalah politik, dan ekonomi di Indonesia.

Selain itu, yang harus dilakukan ialah pengembangan manfaat belajar budaya berpantun. Usaha ini tentu harus bersinergi dengan apa yang ada di masyarakat. Pola masyarakat dalam mengembangkan kembali pantun perlu didukung secara serius demi kelestarian budaya. Dengan sastra dan budaya, manusia berpotensi meningkatkan kualitas kearifan hidupnya.

Di negara tetangga kita, pantun tidak saja berhasil dilestarikan sebagai karya sastra lama, melainkan sebagai karakter bangsa. Itulah yang perlu kita tiru. Pantun haruslah diberi penghargaan seperti apa yang terjadi pada puisi. Begitulah cara puisi besar. Salah satu yang dapat dilakukan ialah menciptakan kebutuhan akan pantun, lomba-lomba berpantun tingkat pelajar dan advance, juga penghargaan terhadap karya pantun dan pemantun terbaik.

Walaupun perlahan, pantun-pantun daerah masih berjalan dan terus diusahakan. Pun demikian, tampaknya sebuah gerakan revitalisasi dengan anggota yang tidak berkembang bukanlah jalan mulus yang bisa diandalkan.

/6/

Apakah Pantun Masih Relevan di Jaman Teknologi Informasi Saat Ini?

Banyaknya pertanyaan, seperti apa harapan kita tentang pantun di masa kini dan masa datang? Mungkinkah pantun mendapat kedudukan di antara maraknya perkembangan puisi dan prosa modern? Kini tirai itu sedikit demi sedikit terkuak dengan harapan yang diberikan oleh Kurikulum 2013.

(9)

sastra bebas membuat pantun mulai ditinggalkan, tergeser oleh puisi. Semakin lama, mengarungi abad 21, prinsip dulce et utile (keestetikan dan kebermaknaan) saat ini tidak lagi menjadi unsur utama dalam pemroduksian sastra modern. Jika kita perhatikan dan bandingkan sastra-sastra modern dengan sastra klasik sangat jauh kualitasnya. Aspek utile

menjadi tidak begitu terasa akibat kebutuhan estetis yang menuntut keterbacaan yang mudah bagi para pendengar atau pembaca. Lalu, apakah pantun dengan aturan yang begitu mengikat, dengan sedikitnya wilayah permainan kata masih relevan dikembangkan di jaman informasi saat ini? Jawabannya YA. Sesuatu yang berbeda akan lebih menarik.

Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa ikatan puisi lama itu jarang atau lambat untuk berubah, disebabkan dalam masyarakat lama banyak cabang kebudayaan bersatu, bertali-tali, berseluk-beluk, tidak berpisah-pisah seperti masyarakat moderen.5 Kebanyakan puisi saat itu dinyanyikan, atau dibawakan dengan tarian. Penyair sastra lama selalu menekankan prinsip dulce et utile dengan serius untuk membangun tali jiwa sebuah sastra. Hal-hal yang menjadi isi atau pesan dalam karya sastra tidak lain adalah ruh kehidupan manusia sendiri. Manusia dan karya sastra saling menghidupi. Selama manusia hidup dan mengarungi kehidupan, karya sastra akan terus lahir sebagai jawaban, produk kontemplasi dan internalisasi diri melalui bahasa sebagai urat nadi manusia. Pantun dapat dikembangkan sebagai alat atau media pendidikan karakter (salah satu fungsi susastra). Namun, perlu adanya revitalisasi serta inovasi-inovasi baru dalam pantun agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Mengenai sastra modern saat ini yang memang tidak semuanya memiliki kualitas sebagus dan sehandal sastra klasik, perlu diluruskan dan dipilah sesuai kebutuhan. Seperti kata Sutan Takdir Ali Sjahbana, ada dua jenis puisi: puisi kebanyakan dan puisi seni sejati. Pantun yang akan terus hidup ialah pantun yang bermakna dan berkualitas. Pantun seperti itulah yang harus dikembangkan dan dilestarikan. Pantun seperti itulah pusaka. Kita tidak mungkin mendapatkan siraman ruhani atau nilai-nilai moral dari pantun-pantun profan yang terkesan hanya sebatas bumbu-bumbu parodi. Maka, pilihlah pantun-pantun berkualitas

seperti kumpulan Pantun Melayu di antaranya “Sembahyang”, “Syair Cik Tunggal”, “Tjeritera Si Umbut Muda”, “Awang Sulung Merah Muda”, dan masih banyak lagi.

Saya tutup esai ini dengan mengutip kata-kata Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anak -anakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakkan kebenaran. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar

jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan keberanian.” Kita akan berhasil. *** (13-5-14)

5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan gerak dasar lompat melalui pendekatan bermain pada siswa Kelas IV SD N Pajang IV Surakarta Tahun Ajaran

The accuracy of classification obtained using TFPC is, however, relatively sensitive to the choice of support and confidence thresholds used when mining the classification rules.. We

vitamin C terhadap peningkatan kadar haemoglobin dan kesegaran jasmani pada anak sekolah dasar di Kecamatan Ilir Barat II Kota Palembang.. Manfaat

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data atau informasi serta sebagai bahan pertimbangan bagi pelaku usaha restoran dalam upaya peningkatan

This happens because Sprouts make breathing by involving oxygen gas (O2) as an ingredient is absorbed/required and generate carbon dioxide gas (CO2), water (H2O) and a number of

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah (1) Untuk mendiskripsikan penggunaan alat peraga Puzzle Magic Mathematics dapat meningkatkan pemahaman

Contoh jenisnya antara lain meranti tembaga ( Shorea leprosula ), meranti layang (Shorea pinanga) yang memiliki pohon besar, tepi daun rata, corola merah muda, sayap buah tiga