• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BUDAYA ORGANISASI PESANTREN DALAM BERWIRAUSAHA PADA PONDOK PESANTREN MODERN AL HIDAYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN BUDAYA ORGANISASI PESANTREN DALAM BERWIRAUSAHA PADA PONDOK PESANTREN MODERN AL HIDAYAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Diterima 01 Februari 2017; Revisi 22 Februari 2017; Disetujui 15 Maret, 2017

KAJIAN BUDAYA ORGANISASI PESANTREN DALAM

BERWIRAUSAHA PADA PONDOK PESANTREN

MODERN AL HIDAYAH

Fahmi Kamal

ASM BSI Jakarta Email : fahmi.fmk@bsi.ac.id

Abstrak

Pondok pesantren merupakan wadah para santri dalam menimba ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Di Indonesia pondok pesantren banyak berdiri diberbagai daerah dan perkotaan. Pondok pesantren modern Al Hidayah yang berlokasi di Bekasi memberikan warna lain dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pondok pesantren ini memberikan materi pelajaran tidak hanya ilmu agama saja tetapi juga ilmu pengetahuan lainnya seperti teknologi, dan ilmu kewirausahaan yang bertujuan agar para santri yang menimba ilmu di pondok pesantren tersebut menguasai berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kewirausahaan. Sehingga para lulusan pondok pesantren disamping menguasai ilmu agama dapat juga membuka usaha sendiri sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Budaya organisasi pada pondok pesantren ini adalah sama dengan pondok pesantren lainnya hanya saja pada pondok pesantren modern Al Hidayah dibangun budaya kemandirian dalam berwirausaha sehingga diharapkan para santri mempunyai jiwa berwirausaha tanpa mengharapkan pekerjaan dari instansi lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana budaya organisasi pada pondok pesantren Al Hidayah dan materi pelajaran yang diberikan kepada para santri pada pondok pesantren tersebut sehingga para santri memiliki jiwa kemandirian yang Islami untuk berwirausaha.

Kata Kunci : Budaya Organisasi, Pesantren, Berwirausaha

1. Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu aktifitas pengembangan kemampuan seseorang secara keseluruhan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dirinya, baik pengetahuan yang dimiliki, sifat maupun tingkah laku. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pendidikan diartikan sebagai usaha manusia yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar mencapai dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Hasbullah, 2008). Pendidikan mempunyai fungsi strategis bagi seseorang untuk menjadi pribadi yang paripurna. Untuk itu peranan keluarga,

sekolah dan masyarakat sebagai pendukung institusi pendidikan menjadi suatu kepastian untuk membangun kebudayaan suatu bangsa menuju masa depan yang lebih cerah. Hal itu sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwasannya, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan pengetahuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Pesantren sebagaimana sebuah organisasi yang terdiri dari perkumpulan orang yang mempunyai misi yang sama dan berupaya untuk mewujudkannya. Setiap organisasi memiliki keunikan tersendiri yang membedakan organisasi yang satu dengan yang lainnya. Sementara itu, memperkuat

(2)

KNiST, 30 Maret 2017 486 mental dan mempertajam minat serta

kemampuan kewirausahaan perlu dilakukan melalui proses pembiasaan dan pembelajaran. Terkait dengan pembangunan mental, maka perlu adanya revolusi adanya keteladaan, kebiasaan sikap yang menjadi budaya serta adanya pembelajaran secara aktif pada santri. Menurut Murtadho (2012) Pesantren berfungsi sebagai lembaga yang menyebarkan agama Islam dan mengadakan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Pesantren juga menjadi wahana yang melahirkan sumber daya manusia handal dengan sejumlah predikat yang menyertainya seperti, ikhlas, mandiri, sederhana, persaudaraan, penuh perjuangan dan heroik, tabah serta mendahulukan kepentingan masyarakat yang ada disekitarnya. Pondok pesantren merupakan tempat untuk pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam, selain itu pondok pesantren memiliki nilai lebih tertentu yang membedakan pondok pesantren satu dengan pondok pesantren lainnya, misalnya dengan menambahkan keunikan dalam keahlian ilmu tertentu seperti keunggulan keahlian dalam kajian hadits, atau disiplin ilmu agama tertentu, atau bisa juga dalam bentuk keahlian praktis lain misalnya keahlian bahasa, keahlian teknologi, keahlian kewirausahaan dan keahlian praktis lainnya.

Yusuf & Suwito, (2010) menjelaskan Pondok pesantren telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang mempunyai keunggulan, baik dalam tradisi keilmuannya dinilai sebagai salah satu tradisi yang agung (great tradition), maupun pada sisi transmisi dan internalisasi moralitasnya. Di sisi lain pesantren juga merupakan pendidikan yang dapat memainkan peran pemberdayaan (empowerment) dan transformasi civil society secara efektif. Dalam konteks inilah, pondok pesantren modern yang mempunyai keunggulan wirausaha dapat dijadikan sebagai pondok pesantren model pendidikan yang memadukan pendidikan Islam dan pelatihan kewirausahaan/bisnis. Oleh karena itulah, penelitian ini menjadi penting dilakukan, di satu sisi pesantren memiliki fungsi pendidikan yang berbasis keislaman, di sisi lain penguatan keterampilan santri-santri dengan kapasitas wirausaha menjadi perluasan bidang dalam diri pesantren. Meski demikian, sistem pendidikan Islam

yang diemban pondok pesantren tidak mengalami penurunan. Akan tetapi perluasan bidang pada keterampilan dan wirausaha ini justru dapat memberikan instrumen pembelajaran yang positif dan dapat menjadi bekal santri dalam menempuh kehidupan selanjutnya di dunia. 2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan prosedur dan metode riset deskriptif kualitatif. Metode ini secara teknis berupaya menginvestigasi dan memahami fenomena seperti apa yang terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana terjadinya, sekaligus memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi dan kelompok. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan tiga prosedur, yaitu wawancara mendalam, mencari data yang diperlukan, dan studi dokumentasi.

Sedangkan Supriyanto (2011) menyebutkan bahwa elemen dasar dan tradisi pesantren tergantung pada pola pesantrennya, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I adalah pesantren yang terdiri dari hanya masjid dan rumah kiai; Pola II adalah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, dan pondok. Pola III pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah. Pola IV terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan. Pola V ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.

Setiap organisasi memiliki cara, kebiasaan, dan aturan dalam mencapai tujuan dan misi organisasi, termasuk cara individu hidup berinteraksi satu sama lain (bermasyarakat), dan cara individu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam organisasi. Kehidupan tersebut didasarkan pada keyakinan yang dimiliki, didasarkan pada falsafah hidup yang didasarkan dari hubungan manusia dengan lingkungannya. (Dhofier, 2011). Menurut Schein, E.H. (2010). Mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya untuk membedakan organisasi itu dengan organisasi lainnya. Schein menjelaskan unsur-unsur budaya organisasi menyangkut; ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat

(3)

KNiST, 30 Maret 2017 487 istiadat, perilaku/kebiasaan (norma)

masyarakat, asumsi dasar, sistem nilai, pembelajaran/pewarisan dan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek sekelompok orang untuk bertahan hidup dan berada bersama. Menurut Soekanto, (2009) Budaya organisasi itu didasarkan pada suatu konsep bangunan pada tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan Asumsi Dasar (Basic Assumption), kemudian Tingkatan Nilai (Value), dan Tingkatan Artifact yaitu sesuatu yang ditinggalkan. Tingkatan asumsi dasar itu merupakan hubungan manusia dengan apa yang ada dilingkungannya, alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, hubungan itu sendiri, dalam hal ini, asumsi dasar bisa diartikan suatu philosophy, keyakinan, yaitu suatu yang tidak bisa dilihat oleh mata tetapi itu ada.

Robbins dan Judge, (2008) menjelaskan bahwa budaya organisasi itu merupakan suatu sistem nilai yang dipegang dan dilakukan oleh anggota organisasi, sehingga hal yang demikian tersebut bisa membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem nilai tersebut dibangun oleh tujuh karakteristik sebagai sari (essence) dari budaya organisasi yaitu: 1. Inovasi dan pengambilan risiko (Innovation and risk taking). Tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk berinovasi dan mengambil risiko. 2. Perhatian yang rinci (Attention to detail).

Suatu tingkatan dimana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis dan perhatian kepada rincian.

3. Orientasi hasil (Outcome orientation). Tingkatan dimana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil. 4. Orientasi pada manusia (People

orientation). Suatu tingkatan dimana

keputusan manajemen

memperhitungkan efek hasil – hasil pada orang–orang anggota organisasi itu.

5. Orientasi tim (Team orientation). Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di sekitar tim – tim, bukannya individu – individu.

6. Keagresifan (Aggressiveness). Suatu tingkatan dimana orang – orang

(anggota organisasi) itu memiliki sifat agresif dan kompetitif dan bukannya santai – santai.

7. Stabilitas (Stability). Suatu tingkatan dimana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo daripada pertumbuhan.

Aminudin Aziz (2014) mengaitkan budaya organisasi dengan efektifitas organisasi. Efektifitas organisasi tersebut dipengaruhi oleh empat faktor di dalam budaya organisasi yaitu keterlibatan (Involvement), konsistensi (consistency), adaptasi (Adadptation), Misi (Mision).

3. Pembahasan

3.1. Pondok Pesantren Modern Al Hidayah; mendidik santri menjadi seorang wirausahawan

Pendirian pondok pesantren modern Al Hidayah adalah berawal dari pemikiran pendiri pondok pesantren bahwa saat ini pendidikan di Indonesia dihadapkan kepada problem yang belum bisa mengintegrasikan skill, kemandirian, dan kepribadian Islam. Bahkan, pendidikan sekarang ini lebih cenderung kepada kapitalisme pendidikan. Hal yang demikian, lebih banyak disebabkan oleh karena sistem pendidikan yang belum kondusif, sehingga amanat UUD 1945 belum dapat berjalan maksimal. Karena itu, perlu adanya solusi yang tepat, untuk melahirkan generasi muslim yang berakhlak dan beraqidah Islam, yang memahami ilmu secara komprehensif dan sehat jasmani maupun rohani. Dengan bimbingan serta dukungan para ulama dan tokoh dirintislah Pondok Pesantren modern Al Hidayah yang berlokasi di Bekasi.

Pondok Pesantren modern Al Hidayah berdiri dibawah naungan Yayasan Perguruan Islam Al Hidayah berdiri sejak tahun 1993. Pada tahap awal yayasan ini mengelola pendidikan mulai jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Ketiga jenjang ini menggunakan kurikulum yang mengacu pada Kementerian Agama.

Pemberian ilmu pendidikan ekonomi dengan mengajarkan wirausaha ini sebagai wujud keterlibatan pondok pesantren untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial dalam menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Pondok Pesantren modern Al Hidayah memberikan strategi perpaduan antara pemberian atau

(4)

KNiST, 30 Maret 2017 488 penanaman ilmu pengetahuan agama dan

umum, serta memberikan keterampilan-keterampilan (life skill) bagi para santri yang mengacu kepada akhlak Rasulullah SAW. Pondok pesantren modern Al Hidayah mengajarkan beberapa keterampilan (life skill) dan pendidikan usaha kepada para santrinya sebagai bekal untuk melanjutkan kehidupan di masyarakat setelah selesai menempuh pendidikan dari pondok pesantren, berupa keterampilan teknologi komputer, kewirausahaan, keterampilan bela diri, dan keterampilan jasa yang disesuaikan dengan potensi dari masing-masing santri sebagai bekal untuk mereka ketika mereka kembali ke tempat asal masing-masing.

Pemberian keterampilan (life skill) secara langsung diterapkan dan dipraktekkan oleh para santri. Pondok pesantren telah menyediakan lahan dan segala fasilitas untuk mengasah dan melatih keterampilan tersebut. Pemberian keterampilan tersebut disesuikan dengan jam sekolah dan mengaji santri agar tidak mengganggu jadwal belajar para santri. Pengelolaan berbagai wirausaha sebagian besar dikelola oleh para kyai dibantu oleh santri senior yang sudah lulus pendidikan Madrasah Aliyah. Salah satu faktor pendukung pemberian keterampilan (life

skill) wirausaha di pondok pesantren Al

Hidayah adalah tersedianya lahan yang cukup dan berbagai jenis pilihan keterampilan yang akan dipelajari.

Pondok pesantren Al Hidayah mencontoh sifat teladan Rasulullah SAW dalam menjalankan wirausahanya. Hal ini terlihat dari konsep pemberdayaan ekonomi yang dipercayakan kepada santri, baik dari pengelolaan, pengembangan, pemasaran hingga laporan keuangan. Santri juga memiliki manajemen waktu yang baik sehingga antara berlatih berwirausaha dan belajar agama (mengaji) bisa berjalan dengan baik dan lancar.

Pada tahun pelajaran 2000/2001, Yayasan Perguruan Islam Al Hidayah menyempurnakan kurikulum dengan memadukan kurikulum Syar’i (Agama) dan Kurikulum Pendidikan Nasional. Perubahan tersebut berdampak pada beberapa kebijakan, di antaranya mengubah Madrasah Ibtidaiyah (MI) menjadi SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), Madrasah Tsanawiyah (MTs) menjadi SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu), dan Madrasah Aliyah (MA)

menjadi SMAIT (Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu), serta membuka program TKIT (Taman Kanak-kanak Islam Terpadu). Pondok Pesantren modern Al Hidayah memiliki visi “Menjadikan Pondok Pesantren Wirausaha Islam terkemuka, yang mampu mengantarkan Wirausahawan Muslim Profesional dan Mandiri”. Sementara itu, misi yang dimilikinya yaitu menyelenggarakan Pendidikan Pesantren dan Pelatihan Entrepreneur yang mengintegrasikan skill, knowledge, attitude, cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual. Visi dan misi yang dimilikinya ini pada dasarnya bertujuan : 1. Menyiapkan para santri menjadi calon

wirausahawan Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT;

2. Meningkatkan kemampuan para santri dalam berwirausaha yang siap berkompetisi secara sehat;

3. Meningkatkan kemampuan para santri dengan membuat hubungan relasi yang kuat antara santri dan alumni pondok pesantren modern Al Hidayah dengan para pengusaha lain sehingga para santri sukses dalam berwirausaha. Pondok Pesantren modern Al Hidayah lahir dari semangat keikutsertaan membangun kecerdasan dan kemandirian bangsa melalui kegiatan pendidikan pesantren yang tidak hanya membekali para santri dengan ilmu pengetahuan dan pengamalan keagamaan saja, akan tetapi juga membekali mereka dengan berbagai keterampilan wirausaha. Diharapkan alumni yang telah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren ini menjadi seorang da’i tetapi juga menguasai wirausaha. Hasil yang diharapkan adalah berupa alumni yang diharapkan menjadi pengusaha muslim, mandiri, profesional dan menguasai dunia usaha.

3.2. Budaya Organisasi Pondok Pesantren Modern Al Hidayah Dalam Berwirausaha

Budaya pesantren tetap menjadi ciri khas pada Pondok Pesantren modern Al Hidayah seperti keikhlasan, kemandirian, kedisiplinan, dan keuletan. Tidak hanya itu, kultur organisasi modern (kepercayaan, keterbukaan, dorongan berprestasi, berwirausaha, penggunaan teknologi, dan sebagainya) sudah tumbuh dan berkembang di pondok pesantren ini. Suatu budaya organisasi yang akan menggerakkan para santri untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai

(5)

KNiST, 30 Maret 2017 489 kebersamaan secara sadar untuk mencapai

tujuan.

Budaya organisasi yang terbentuk pada pesantren terkait dengan pendiri pondok pesantren modern Al Hidayah yang mengembangkan kewirausahaan untuk para santrinya, secara tradisional memiliki dampak utama pada budaya awal pondok pesantren ini berdiri. Para kyai di Pondok Pesantren modern Al Hidayah selalu memberikan motivasi kepada para santri dengan menceritakan kesuksesan seorang pengusaha muslim kepada para santri saat kegiatan pengajian Dhuha. Cerita ini selalu disampaikan dengan tujuan agar semangat kewirausahaan para santri dapat terbentuk. Menurut para santri ada sesuatu perkataan dari kyai mereka yang selalu memotivasi para santri yaitu “kalian jangan malas! Kalau kalian malas maka tidak berhasil!”. Sebagai sebuah organisasi, Pondok Pesantren modern Al Hidayah memiliki nilai-nilai dasar budaya yang menjadi landasan, sumber acuan dan bingkai segala kegiatan yang dilakukannya. Nilai-nilai dasar budaya tersebut seperti : 1. Nilai dasar agama Islam

Adapun pendidikan yang diajarkan dan dikembangkan di pondok pesantren modern Al Hidayah selalu bersumber dari nilai-nilai dasar agama Islam yaitu Aqidah, Syari’ah dan Akhlak Islam. Pada dasarnya, pondok pesantren adalah sebuah lembaga keIslaman yang timbul atas dasar dan untuk tujuan keIslaman. Motivasi utama para kyai dalam mendirikan pondok pesantren, tidak lain karena rasa keterpanggilan mereka untuk melanjutkan risalah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Para kyai itu menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris Rasulullah yang tidak saja harus mewarisi sifat-sifat dan akhlaknya, tetapi juga tugas dan kewajibannya dalam menyampaikan risalah Allah kepada ummat manusia. Karena itu keberadaan pondok pesantren modern Al Hidayah tidak bisa dilepaskan dari konteks dakwah Islamiyah.

2. Nilai pendidikan

Sejak pondok pesantren Al Hidayah didirikan untuk memberikan pendidikan dan pengajaran tentang agama Islam kepada para masyarakat, agar masyarakat menjadi ummat yang berkualitas lahir dan batin, yang berkualitas iman, akhlak, ilmu dan

amalnya. Selain itu pesantren juga mengemban misi untuk mencetak ulama dan kader-kader penerus Da’wah Islamiyah di tengah-tengah masyarakat. Para kyai pengasuh pondok pesantren modern Al Hidayah menyadari bahwa untuk mencapai maksud tersebut hanyalah bisa dilakukan lewat pendidikan. Karena itu, nilai-nilai dasar pendidikan senantiasa menjadi landasan dan sumber acuan bagi seluruh kegiatan sehari-hari di pondok pesantren.

3. Nilai budaya bangsa

Sesuai dengan latar belakang sejarahnya, nilai-nilai dasar Islam yang dikembangkan di pondok pesantren modern Al Hidayah, realisasinya selalu disesuaikan secara harmonis dan akomodatif dengan budaya asli bangsa Indonesia, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip yang menjadi landasan utamanya.

Sosialisasi budaya organisasi yang dijalankan pondok pesantren modern Al Hidayah bersifat formal, dan inovatif. Sosialisasi formal terlihat dari berbagai program orientasi dan pelatihan yang sifatnya spesifik selama tiga bulan. Selanjutnya mereka akan ditempatkan pada unit-unit bisnis yang berada dalam

business networking pesantren secara

bergiliran dan dilakukan bergantian setiap waktu yang telah ditentukan oleh para kyai. Pimpinan Pondok Pesantren modern Al Hidayah berupaya secara efektif memberdayakan sumber daya manusia yang ada termasuk para santri dalam membangun organisasi pondok pesantren, dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di semua tingkatan. Didalam tubuh organisasi Pondok Pesantren Al Hidayah ada bagian Administrasi, bagian Personalia, bagian Pemasaran yang bertugas mencari dan menjaring calon santri dari berbagai tempat, bagian Security, dan bagian-bagian lainnya. Semua sumber daya manusia yang ada berkomitmen untuk belajar, bekerja, berwirausaha, dan merasa memiliki pondok pesantren. Pondok Pesantren ini juga memiliki budaya kuat yang sangat konsisten, seperti shalat 5 (lima) waktu secara berjamaah di masjid, pengajian dhuha, dan pelatihan kewirausahaan yang terkoordinasi dengan baik, dan terintegrasi. Jenis konsistensi merupakan komitmen dari semua sumber daya manusia yang ada dalam tubuh organisasi pondok pesantren

(6)

KNiST, 30 Maret 2017 490 modern Al Hidayah. Oleh karena itu pondok

pesantren modern Al Hidayah dalam model budaya organisasi memiliki ciri-ciri sebagai pondok pesantren yang memiliki budaya organisasi yang menekankan pada keterlibatan dan konsistensi semua sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam mengembangkan keterampilan para santri dalam menimba ilmu pengetahuan umum dan agama serta belajar berwirausaha.

4. Simpulan

Setelah dilakukan pembahasan pada paparan sebelumnya, kajian ini melahirkan beberapa kesimpulan, antara lain:

Membangun budaya organisasi pondok pesantren Al Hidayah didasarkan pada suatu keyakinan dasar yang kuat, yaitu setiap diri anggota pondok pesantren modern Al Hidayah terdapat suatu keyakinan dasar bahwa jika mau berusaha sungguh-sungguh maka akan sukses, tentunya dengan mengikuti ajaran Islam dalam hal etos kerja menurut petunjuk Al-Quran dan Hadits. Nilai-nilai budaya organisasi pada pondok pesantren modern Al Hidayah juga dipengaruhi oleh para pendiri/pimpinan pondok pesantren yang secara tidak langsung menjadi suri tauladan bagi semua santri. Nilai-nilai tersebut disampaikan secara lisan dan melalui sikap dan tingkah laku, namun belum diwujudkan dalam bentuk tertulis. Karakteristik budaya organisasi pada pondok pesantren Al Hidayah yang cukup kuat terbukti dengan adanya suasana kebersamaan, pimpinan pondok sangat memberikan perhatian besar pada pengembangan para santri serta sangat mementingkan kebersamaan dan semangat kerja. Budaya organisasi pondok pesantren menumbuhkan jiwa entrepreneur dan memiliki kreatifitas. Mengutamakan pendidikan dan teknologi para santri dan mengembangkan kemampuan para santri dalam berwirausaha.

Referensi

Aminudin Aziz, Fathul. 2014. Manajemen Pesantren: Paradigma Baru Mengembangkan Pesantren. Purwokerto: STAIN Press, 55 Hasbullah. 2008. “Dasar-dasar Ilmu

Pendidikan”. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 1

Murtadho, 2012. Pesantren dan pemberdayaan ekonomi (Studi Kasus Pesantren Baitul Hamdi dan Pesantren Turus di Pandeglang), 36

Robbins, S.P. and Judge. 2008. Organizational Behavior, 12 Edition, Singapore: Prentice Hall, 76-90

Schein, E.H. 2010. Organitational Culture And Leadhership 4th edition. Published byJossey-Bass A Wiley Imprint989 Market Street, San Fransisco, 22-56

Soekanto, Soerjono 2009, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Press, 89 Supriyanto, 2011. Pemberdayaan ekonomi

komunitas pesantren dalam perspektif pendidikan ekonomi (studi multi situs di Pesantren Sidogiri Pasuruan dan Pesantren Parasgempal Banyuwangi Jawa Timur), Digital Library, Universitas Negeri Semarang, 78

Yusuf & Suwito, 2010. Model Ekonomi Pesantren, STAIN Press Purwokerto, 121

Zamakhsyari, Dhofier, 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 18-28

Referensi

Dokumen terkait

Ada tujuh pertanyaan untuk menentukan status suatu hadits berdasarkan kredibilitas perawinya, diantaranya adalah apakah perawi tersebut bertaqwa, apakah perawi tersebut jauh

Sign system Taman Wisata yang dipunyai saat ini masih kurang mendukung navigasi pengunjung, sign system di Mekarsari juga mempunyai desain kurang terpadu

dan 8 jam dari kisaran konsentrasi esktrak akar tuba yang telah ditentukan ini menunjukkan bahwa konsentrasi esktrak akar tuba yang telah diaplikasikan dengan hewan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Numbered Heads Together dapat meningkatkan prestasi belajar siswa: (1) Prestasi belajar siswa pada pra siklus dengan rata-rata kelas

perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam

Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap menunjukkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi

Pola lagu kalimat terdiri dari tiga nada suara dalam BMU yang terdapat dalam tiap unit jeda dengan satu tekanan kalimat. Satu kalimat dapat ter- diri dari

[r]