• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan antara warga bina sosial dan pegawai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan antara warga bina sosial dan pegawai."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2. Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan antara warga bina sosial dan pegawai.

1.4 Manfaat penelitian

Adapun yang menjadi manfaat peneliti ini adalah:

1. Secara akademis, diharapkan dapat menambah atau memperluas bidang komunikasi, khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Secara teoritis, peneliti ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan peneliti mengenai proses komunikasi antarpribadi dam pembentukan prilaku.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang positif bagi UPT Panti Pelayanan Sosial Wanita Tunasusila.

   

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu bagian dan hubungannya atau bagian-bagian berfungsi. Paradigma pada riset penelitian sebenenarnya merupakan cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian serta bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Pada hakekatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu yang harus dikerjakan, dipilih dan diproritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberitahukan apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut Harmon (1970) (J.Moleong, 2009:49) mendefenisikan paradigma sebagai cara mendasar untuk mempersepsikan, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.

Menurut Baker (1992) (J.Moleong, 2009:49), paradigma melakukan dua hal : 1. Membangun atau mendefenisikan batas-batas.

2. Menceritakan kepada Anda bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar berhasil.

Dalam penelitian ini peneliti dapat memahami bagaimana proses komunikasi antarpribadi PSK dalam pembentukan perilaku. Untuk memahami bagaimana proses

(2)

komunikasi antarpribadi, peneliti menggunakan paradigma interpretatif serta pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interpretatif. Paradigma interpretatif digunakan karena paradigma interpretatif menyatakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan infomasi akurat yang diperoleh dari lapangan.

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio, yang bersumber dari kata communis yang berati sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Jadi komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai sutau pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2000:9).

Jadi, jika dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna, sehingga komunikasi yang dilakukan kedua orang tersebut bersifat komunikatif. Akan tetapi, pengertian komunikasi diatas sifatnya masih dasar, dalam arti bahwa komunikasi minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komuunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan, dan lain-lain.

D. Lawrence Kincaid (Cangara, 2000:19), komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam. Menurut Carl I Hovland, ilmu komunikasi adalah suatu usaha yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap. (Onong, 2004:10).

Definisi Hovland diatas menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum dan sikap publik yang dalam kehidupan sosial. Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang- perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku (komunikate) seseorang. Akan tetapi, seseorang akan dapat merubah sikap, pendapat, atau perilaku orang lain apabila komunikasinya itu memang komunikatif.

(3)

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dipergunakan secara efektif, maka para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What

Effect? Akhrinya Harold Lasswell (Mulyana, 2005 : 62), menerangkan cara terbaik untuk

menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ? (Siapa Mengapa Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa ? ).

Jika diperhatikan defenisi diatas, maka komunikasi itu merupakan proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain agar dimengerti, memperkuat atau mempengaruhi sikap, pendapat atau perilaku seseorang.

2.2.2 Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan bentuk komunikasi yang dasarnya bersifat dua arah atau timbal balik, artinya kedudukan komunikasi dan komunikan sama-sama sebagai penyampaian pesan atau gagasan, saling membagi informasi dan sekaligus sebagai penerima informasi.

Saat akitivitas komunikasi antarpribadi berlangsung, media yang digunakan berupa kontak langsung secara tatap muka (face to face) atau juga melalui telepon maupun surat. Dalam situasi ini diketahui reaksi yang timbul mengenai isi pembicaraan. Masing-masing pihak dapat menilai kemampuan atau keterampilan pada saat memberikan tanggapan dari isi komunikasi tersebut.

Rogers (Depari,1988:16) mengemukan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Apabila dihubungkan dengan penelitian ini maka komunikasi antarpribadi adalah proses komunikasi sesama warga bina sosial di UPT Pelayanan Sosial. Saluran dari mulut ke mulut meliputi verbal dan non verbal pada saat warga bina sosial berinteraksi atau memberi informasi dengan warga bina sosial yang lainnya dan saling timbal balik.

Liliweri (1991 : 12), Devito menjelaskan komunikasi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan telah diterima oleh orang lain atau sekelompok orang lain dengan efek dan efek umpan balik yang berlangsung. Untuk memperjelaskan pengertian komunikasi antarpribadi Devito memberikan beberapa ciri komunikasi antarpribadi :

(4)

1. Keterbukaan (openness)

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bahwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut malu, keduanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.

2. Empati (Emphaty)

Kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada orang lain. 3. Dukungan (suporotiveness)

Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi.Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada memotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan 4. Rasa positif (Positiveness)

Setiap pembicaraan yang disampaikan dapat tanggapan yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka yang mengganggu jalinan interaksi.

5. Kesamaan (Equity)

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun lebih kuat apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan,sikap usia, ideologi dan sebagainya.

2.2.3 Teori Pengurangan Ketidakpastian

Ketika kita bertemu dan terlibat dalam percakapan dengan orang yang belum kita kenal maka biasanya banyak pertanyaan yang muncul di kepala kita mengenai orang tersebut, serta kita tidak memiliki jawaban pasti atas berbagai pertanyaan tersebut. Kita mengalami ketidakpastian, dan kita mencoba untuk mengurangi ketidakpastian tersebut melalui interaksi komunikasi.

Menurut Berger orang mengalami periode yang sulit ketika menerima ketidakpastian sehingga orang cenderung membuat perkiraan terhadap perilaku orang lain dan ia akan termotivasi untuk mencari informasi mengenai orang tersebut. Untuk mengurangi ketidakpastian komunikasi sangat penting dalam membangun hubungan (relationship)

dengan orang lain.

Ketika berkomunikasi, menurut Berger (Morrison, 2010:87-89) kita membuat rencana untuk mencapai tujuan kita. Kita merumuskan recana bagi komunikasi yang akan kita lakukan dengan orang lain berdasarkan tujuan dan informasi yang telah kita miliki. Semakin besar ketidakpastian maka kita akan semakin berhati-hati, kita akan semakin mengandalkan

(5)

data yang kita miliki. Jika ketidakpastian itu semakin besar maka kita akan semakin cermat dalam merencanakan apa yang akan kita lakukan. Saat kita merasa tidak pasti mengenai orang lain maka kita mulai mengalam krisis kepercayaan terhadap rencana kita sendiri dan mulai membuat berbagai rencana cadangan atau rencana alternative lainnya dalam hal memberikan respon pada orang lain.

Daya tarik dan keinginan berafiliasi yang ada pada diri individu memiliki hubungan positif dengan upaya mengurangi ketidakpastian. Misalnya, ungkapan nonverbal seseorang dapat mengurangi ketidakpastian orang lain dan pengurangan ketidakpastian dapat meningkatkan ungkapan nonverbal. Tingkat ketidakpastian yang tinggi akan menciptakan jarak, sebaliknya ketidakpastian yang rendah akan cenderung bersifat menyatukan. Ketika komunikator menemukan kesamaan dengan lawan bicaranya, maka ketertarikkan di antara mereka akan meningkat dan kebutuhan mereka untuk mendapatkan lebih banyak informasi justru berkurang.

Seringkali, perilaku orang lain dapat mengurangi ketidakpastian yang kita rasakan, dan kita tidak merasakan kebutuhan untuk mendapatkan informasi tambahan. Dalam hal keterlibatan kita hanya pada situasi tertentu serta sudah memiliki seluruh informasi yang dibutuhkan untuk memahami perilaku orang lain pada situasi itu. Namun pada situasi yang berbeda, kita merasakan kebutuhan yang semakin besar untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai orang bersangkutan, misalnya, situasi yang menunjukkan orang lain itu memiliki perilaku yang tidak normal, adanya harapan kita akan bertemu lagi dengan orang lain pada waktu yang akan datang, atau adanya harapan pertemuan itu akan menimbulkan keuntungan atau kerugian. Tiga kondisi inilah yang akan mendorong orang untuk berupaya mendapatkan lebih banyak informasi mengenai orang lain.

Morrison (2010:86) mengutip Littlejohn dan Foss sebagai berikut. Misalnya, anda mempekerjakan seorang tukang batu untuk memperbaiki rumah anda yang rusak. Anda mungkin tidak memiliki kebutuhan besar untuk mengetahui mengenai orang yang anda pekerjakan itu karena hubungan anda dan dia bersifat sementara dan akan segera berakhir setelah pekerjaannya selesai. Anda tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Sebaliknya, jika si tukang batu melihat anda memasang papan reklame bertuliskan “rumah dikontrakan” di depan rumah anda dan ia mengatakan mengenal seseorang sedang mencari rumah untuk disewa maka anda secara tiba-tiba termotivasi untuk mengetahui lebih banyak mengenai si tukang batu dan juga orang yang akan menyewa rumah anda itu. Secara khusus anda akan tertarik untuk mengurangi dua ketidakpastian yaitu :

(6)

a. Ketidakpastian perkiraan (predictive uncertainty) yaitu agar anda memiliki ide lebih baik mengenai apa yang anda harapkan dari perilaku seseorang, dalam hal ini tukang batu dan orang yang akan menyewa rumah anda itu.

b. Ketidakpastian penjelasan (explanatory uncertainty) agar anda dapat memahami lebih baik kemungkinan perilaku seseorang. Dalam hal ini, misalnya, anda dapat memahami perilaku orang yang akan menjadi penyewa rumah anda.

Berger dan Calabrese percaya bahwa orang yang terlibat dalam percakapan untuk pertama kalinya akan membuat perkiraan terhadap lawan bicara dalam upaya untuk memahami pengalaman komunikasi mereka. Dalam percakapan antara orang yang belum saling kenal para pihak yang berinteraksi termotivasi untuk memperkirakan dan mencari penjelasan apa yang terjadi pada pertemuan awal mereka. Dalam hal ini, Richard West dan Lynn H.Turner dalam buku Introducing Communication Theory mendefinisikan perkiraan (prediction) sebagai kemampuan untuk memperkirakan pilihan perilaku yang akan dipilih dari sejumlah pilihan yang ada pada diri seseorang atau rekan bicara. (the ability to forecast the behavioral options likely to be chosen from a range of possible option available to onseself or to a relational partner). Penjelasan (explanation) adalah serangkaian upaya untuk melakukan interpretasi makna tindakan yang telah lalu dalam suatu hubungan. (to interpret the meaning of past actions in a relationship). Kedua konsep ini, yakni prediksi dan penjelasan, menjadi dua komponen utama dalam proses pengurangan ketidakpastian. (Morrisan, 2010:87) Berger dan Calabrese menyatakan bahwa komunikasi adalah instrumen untuk mengurangi ketidakpastian terhadap lawan bicara yang baru dikenal. Pada gilirannya, ketidakpastian yang berkurang akan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berkembangnya hubungan interpersonal. Dalam hal ini, percakapan pertama dengan orang yang tidak dikenal akan menghasilkan dua kategori ketidakpastian:

1. ketidakpastian kognitif (cognitive uncertainty) mengacu pada derajat ketidakpastian mengenai kepercayaan atau sikap seseorang. Komentar yang diberikan lawan bicara yang tidak dikenal mengenai diri kita atau mengenai apa yang kita kenakan akan menimbulkan interpretasi; apa maksud ucapan orang itu yang sebenarnya? Apakah saya harus peduli dengan ucapannya? Pertanyaan ini merupakan bentuk ketidakpastian kognitif.

2.

ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainty) berkenaan dengan seberapa jauh perilaku dapat diperkirakan pada situasi tertentu. Pada umumnya orang mengetahui bagaimana berbicara dan berperilaku dengan orang yang belum dikenal seperti

(7)

bersikap basa-basi, namun jika lawan bicara mengungkapkan hal-hal yang sifatnya personal mengenai dirinya (self disclosure) pada pertemuan pertama atau sebaliknya menunjukkan sifat tidak peduli dengan lawan bicara maka terjadilah ketidakpastian perilaku. Orang akan mengalami ketidakpastian kognitif atau ketidakpastian perilaku atau keduanya baik sebelum, selama, dan setelah berinteraksi. (Morrisan, 2010: 88) Teori pada umumnya dibangun diatas asumsi yang menggambarkan pandangan para pendirinya, tidak terkecuali teori pengurangan ketidakpastian yang memiliki sejumlah asumsi yaitu :

1. Individu mengalami ketidakpastian dalam komunikasi antarpribadi dengan orang yang belum dikenalnya. Asumsi ini menyatakan bahwa individu sering kali menghadapi ketidakpastian dalam hubungannya dengan orang lain karena harapan yang muncul selalu berbeda dalam setiap komunikasi antarpribadi.

2. Ketidakpastian merupakan situasi yang disukai yang dapat menimbulkan stress secara kognitif. Asumsi ini menyatakan bahwa ketidakpastian merupakan keadaan yang tidak disukai, dengan kata lain butuh energy yang cukup besar yang melibatkan emosi dan psikis untuk tetap berada dalam kondisi yang tidak pasti.

3. Ketika dua orang yang tidak saling kenal terlibat percakapan, maka mereka berupaya untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan prediktabilitas yaitu kemampuan untuk membuat perkiraan terhadap pihak lainnya. Asusmsi ini menyatakan ketika orang bertemu dengan orang lain yang tidak dikenalnya maka muncul perhatian terhadap dua hal : mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan prediktabilitas. Untuk meningkatkan prediktabilitas orang perlu mencari informasi dengan menyampaikan pertanyaan kepada orang yang baru dikenalnya itu. Ketidakpastian berkurang dengan semakin banyaknya waktu yang tersedia untuk melakukan interaksi. Orang mulai membuka dirinya ketika berbagai pertanyaan yang diajukan telah berhasil mengurangi ketidakpastian secara signifikan.

4. Komunikasi antarpribadi merupakan proses perkembangan yang terjadi melalui sejumlah tahapan perkembangan, yakni :

a. Tahap masukan. Menurut berger dan calabrese, secara umum, kebanyakan orang memulai interaksi pada tahap masukan yang didefenisikan sebagai tahap permulaan interaksi dengan orang asing.

b. Tahap personal. Setelah tahap masukan. Individu akan pindah ke tahap personal yakni tahap dimana para peserta yang melakukan interaksi berkomunikasi secara lebih spontan dan mulai mengungkapkan informasi

(8)

yang sifat lebih individual. Tahap personal dapat saja terjadi pada awal perkenalan, tetapi kemungkinan lebih besar terjadi setelah beberapa kali interaksi.

c. Tahap keluaran, yaitu tahap dimana individu mengambil keputusan apakah mereka akan melanjutkan interaksi pada masa yang akan datang atau tidak. 5. Komunikasi antarpribadi merupakan alat utama dalam pengurangan ketidakpastian.

Kita menyadari bahwa komunikasi antarpribadi merupakan fokus dari Uncertainty Theory (URT) dan karenanya asumsi ini sebagai sesuatu yang sudah jelas. Komunikasi antarpribadi dapat terjadi jika terpenuhinya sejumlah prakondisi yaitu keterampilan mendengarkan, tanggapan nonverbal yang mendukung, dan bahasa yang sama.

6. Jumlah dan sifat informasi yang dimiliki seseorang berubah sepanjang waktu. Asumsi ini menekankan pada waktu, sekaligus fokus pada fakta bahwa komunikasi antarpribadi berkembang secara bertahap. Interaksi awal merupakan elemen penting dalam proses perkembangan hubungan antarpribadi.

7. Perilaku orang dapat diperkirakan sebagaimana ketentuan hukum alam perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal sebagaimana aturan hukum alam. Walaupun terdapat beberapa pengecualian, namum pada umumnya orang berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip yang bersifat umum itu. (Morrisan, 2010:89-91)

Dalam membangun teorinya,Berger dan Calabrese menggunakan sejumlah aksioma sehingga teori pengurangan ketidakpastian ini sering disebut teori yang dibangun berdasarkan aksioma yang disimpulkan dari hasil riset atau penelitian yang pernah dilakukan sebelumnmya atau berdasarkan logika akal sehat (common sense). Berger dan Calabrese melalui teorinya mengajukan sejumlah aksioma atau sering juga disebut dengan istilah preposisi. Suatu aksioma tidak memerlukan pembuktian karena pernyataan itu sendiri merupakan bukti. Pernyataan atau aksioma yang dikemukakan Berger dan Calabrese masing-masing menunjukkan adanya hubungan antara ketidakpastian yang merupakan konsep sentral teori dengan sejumlah konsep lainnya. Hubungan itu dapat bersikap positif atau negatif. Dalam hal ini terdapat tujuh aksioma sebagai berikut:

1.

Ketidakpastian yang tinggi pada tahap masukan mendorong peningkatan komunikasi verbal di antara orang yang tidak saling mengenal. Peningkatan komunikasi verbal pada akhirnya akan mengurangi tingkat ketidakpastian, dan manakala ketidakpastian

(9)

terus menurun jumlah komunikasi verbal meningkat. Dua orang yang tidak saling mengenal perlu berbicara lebih banyak agar mereka menjadi lebih pasti satu sama lainnya. Ketika mereka sudah saling mengetahui mereka akan lebih banyak berbicara satu sama lainnya. Dalam hal ini, terdapat hubungan negatif antara ketidakpastian dan komunikasi verbal.

2. Pada tahap awal interaksi, ketika ungkapan nonverbal meningkat maka tingkat ketidakpastian menurun. Penurunan ketidakpastian akan mendorong peningkatan ungkapan nonverbal. Jika dua orang yang tidak saling mengenal menunjukkan komunikasi nonverbal yang baik maka mereka akan semakin pasti satu sama lainnya. Kepastian yang lebih besar akan mendorong peningkatan komunikasi nonverbal satu sama lainnya. Dalam hal ini terdapat hubungan antara ketidakpastian dan komunikasi nonverbal.

3. Ketidakpastian yang tinggi akan meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku orang lain. Ketika tingkat ketidakpastian menurun maka pencarian informasi perilaku menurun. Pernyataan ini menunjukkan adanya hubungan positif antara ketidakpastian dan pencarian informasi.

4. Tingkat ketidakpastian tinggi dalam suatu hubungan menyebabkan turunnya tingkat keakraban isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keakraban yang tinggi. Tingkat keakraban tinggi ditandai dengan keterbukaan para pihak untuk mengungkapkan informasi. Pernyataan ini menunjukkan hubungan negatif antara ketidakpastian dan tingkat keakraban.

5. Tingkat ketidakpastian tinggi menghasilkan tingkat resiprositas tingggi. Tingkat ketidakpastian rendah menghasilkan tingkat resiprositas rendah. Kedua pernyataan menunjukkan hubungan positif. Dua orang yang baru pertama kali terlibat dalam percakapan akan cenderung meniru satu sama lainnya. Adapun yang dimakasud dengan resiprositas adalah jika salah satu pihak hanya menyediakan sedikit informasi mengenai dirinya maka pihak lainnya akan melakukan hal serupa. Semakin banyak orang berbicara satu sama lainnya semakin besar kepercayaan mereka untuk membuka informasi dirinya kepada orang lain.

6. Kesamaan akan mengurangi ketidakpastian sedangkan perbedaan akan meningkatkan ketidakpastian. Pernyataan ini menunjukkan hubungan negatif. Dua orang yang belum saling kenal tetapi sama-sama menjadi anggota suatu organisasi menunjukkan adanya kesamaan, namun keduanya mungkin memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap tingkat ketidakpastian.

(10)

7. Ketidakpastian yang meningkat akan mengurangi perasaan tertarik dalam berinteraksi sebaliknya penurunan ketidakpastian menghasilkan peningkatan ketertarikan. Pernyataan menunjukkan hubungan negatif antara ketidakpastian dengan rasa suka atau tidak suka. (Morrisan, 2010: 92)

2.2.4 Teori Penilaian Sosial

Teori penilian sosial memberikan penjelasan bagaimana orang memberikan penilaian mengenai segala informasi atau pernyataan yang didengarnya. Dengan kata lain teori ini juga dapat menjelaskan bagaimana seseorang memberi opini terhadap sesuatu hal. Tiga hal yang mempengaruhi seseorang dalam memberi penilaian yaitu:

1. Keterlibatan ego

Menurut Sherif keterlibatan ego mengacu pada seberapa penting suatu isu dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, jika suatu isu berdampak atau berakibat secara langsung pada seseorang maka orang tersebut akan menganggap isu itu sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebaliknya, jika suatu isu tidak berdampak secara langsung bagi seseorang maka isu tersebut tidaklah penting bagi dirinya

2. Jangkar sikap

Sherif mengatakan orang cenderung menggunakan acuan atau jangkar sikap sebagai pembanding ketika menerima sejumlah pesan yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan. Dalam kehidupan sosial, acuan yang seseorang gunakan saat menduga sesuatu (memberikan penilaian) tanpa alat ukur pasti adalah referensi serta pengalaman yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain seseorang cenderung memberikan penilaian dengan acuan internal yang dimilikinya.

3. Efek kontras

Dengan berdasar pada pemahaman yang Sherif kemukakan maka dapat diketahui bahwa seseorang memberikan penilaian untuk menerima atau menolak pesan berdasarkan dua hal yaitu keterlibatan ego dan acuan internal. Namun demikian, proses penilaian ini tetap dapat menimbulkan distorsi (penyimpangan). Distorsi ini terjadi jika seseorang menilai suatu pesan menjadi lebih jauh atau bertentangan dengan pandangannya sendiri dari pada yang seharusnya, penilaian yang menjadi lebih jauh dari yang seharusnya ini di sebut sebagai efek kontras. Sebaliknya, distorsi juga terjadi ketika seseorang memberi penilaian terhadap suatu pesan menjadi lebih

(11)

dekat dengan pandangannya sendiri dari pada yang seharusnya, penilaian ini disebut dengan efek asimilasi.

2.2.5 Self Disclosure

Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Luft (1969) yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya, maupun orang lain. Untuk hal itu dapat dikelompokkan kedalam empat macam bidang pengenalan yang ditunjukkan dalam suatu gambar yang disebutnya dengan jendela Johan (Johari window).

Tabel 1

Jendela Johari (Johari Window)

Diketahui orang lain Tidak diketahui orang lain

Gambar yang disebut jendela Johari tersebut melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar seseorang dengan yang lainnya terdapat empat kemungkinan sebagaimana terwakili melalui suasana keempat bidang (jendela) itu.

Bidang 1, melukiskan suatu kondisi dimana antara seseorang dengan yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka.

Bidang, 2 melukiskan bidang buta, masalah hubungan antara kedua belah pihak hanya diketahui orang lain namun tidak diketahui oleh diri sendiri.

Bidang, 3 disebut bidang tersembunyi, yakni masalah hubungan antarakedua belah pihak diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.

Bidang 4, bidang tidak dikenal, dimana kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan diantara mereka yang dikehendaki dalam hubungan sebenarnya adalah dalam suatu komunikasi antar pribadi di masa lalu dapat menimbulkan perasaan intim untuk sesaat. Hubungan sejati terbina dengan menggunakan reaksi-reaksi kita terhadap aneka kejadian yang kita alami bersama atau terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan oleh lawan kita. Orang lain mengenal diri kita bukan dengan menyelidiki masa lalu kita, melainkan dengan mengetahui cara kita beraksi. Masa lalu hanya mampu menjelaskan perilaku kita dimasa kini.

1. Terbuka 2. Buta 3. Tersembunyi 4. Tertutup

(12)

2.2.6 Pembentukan Perilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor saling berinteraksi.Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut.

Skinner membeda kan jenis perilaku menjadi : a. Perilaku alami (innate behavior)

Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan yaitu yang berupa refleksi dan insting.

b. Perilaku operan (operant behavior)

Perilaku operan behavior yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi sebagai rekasi secara spontan terhadap stimulus mengenai organisme yang bersangkutan (Walgito, 2003 : 18)

Perilaku manusia sebagian besar ialah berupa perilaku yang dibentuk, perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut maka salah satu persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku itu sesuai dengan yang diharapkan (Walgito 2003:16-17). Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berprilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight (kasih artinya).

Ada tiga efek komunikasi dalam komunikasi (Rakhmat, 2004:30) :

a) Kognitif

Kognitif adalah yang ditimbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya. Disini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan lain perkataan, tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan.

b) Afektif

Afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Disini tujuan komunikator bukan hanya sekadar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan

(13)

perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya.

c) Behavioral

Behavioral, yaitu dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

Pembentukan perilaku juga dapat terjadi karena pengalaman pribadi, pengalaman dari orang lain, atau karena rasa takut pada norma masyarakat. Pada hal ini perubahan perilaku terjadi karena pengalaman pribadi. Bagi individu yang bertanggung jawab penuh, serta tahu apa yang terbaik bagi dirinya, seharusnya individu mampu merencanakan perilaku yang lebih baik dan kemudian mewujudkannya selama berada di dalam panti.

2.2.7 Pengertian Pekerja Seks komersial (PSK)

Pekerja seks komersial adalah wanita yang kelakuannya tidak pantas dan bisa mendatangkan malapetaka/celaka dan penyakit, baik kepada diri sendiri ataupun orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada dirinya sendiri. Pekerja seks komersial merupakan profesi yang berupa tingkah laku bebas lepas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan (Kartono, 2009).

Menurut Fieldman dan Mac Cullah (Koentjoro, 2004) pekerja seks komersial adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Mukherji dan Hantrakul (Koentjoro 2004) mendefinisikan seorang pekerja seks komersial sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks pada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memilih pria mana yang menjadi langganannya. Definisi tersebut sejalan dengan Koentjoro (2004) yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Pengertian pekerja seks komersial yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja seks komersial yang dikemukakan oleh Koentjoro (2004) yaitu bahwa pekerja seks komersial adalah bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria, dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Menurut Koentjoro (2004) menjelaskan ada lima faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial, yaitu:

(14)

a. Materialisme

Materialisme yaitu aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

b. Modeling

Modeling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas modeling yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.

c. Dukungan orangtua

Dalam beberapa kasus, orangtua atau suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.

d. Lingkungan yang permisif

Jika sebuah lingkungan sosial bersikap permisif terhadap pelacuran berarti kontrol tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya dan jika suatu komunitas sudah lemah kontrol lingkungannya maka pelacuran akan berkembang dalam komunitas tersebut. e. Faktor ekonomi

Lebih menekankan pada uang dan uang memotivasi seseorang menjadi pekerja seks komersial. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, adanya pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahakan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.

Menurut penelitiannya, Hutabarat dkk (Koentjoro, 2004) menambahkan dua faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial yaitu:

a. Faktor pendorong internal

Faktor yang berasal dari individu, seperti rasa sakit hati, marah, dikhianati atau dikecewakan pasangan.

b. Faktor pendorong eksternal

Faktor yang berasal dari luar individu, seperti faktor ekonomi, dan ajakan teman

Referensi

Dokumen terkait