• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada. digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada. digunakan untuk membayar pengeluaran umum."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Pajak

Menurut Rochmat Soemitro (1988), “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Pemahaman tersebut menyatakan bahwa pajak merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menimbulkan kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara. Di sisi lain, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan uang dari pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan roda pemerintahan. Pemungutan pajak tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang sehingga menciptakan terjadinya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun Wajib Pajak sebagai pembayar pajak.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, "Pajak

(2)

adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.''

2.1.2 Fungsi Pajak

Fungsi pajak seperti dikemukakan Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2004) adalah sebagai berikut.

1) Fungsi budgetair

Fungsi budgetair, disebut juga fungsi fiskal, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-undang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

2) Fungsi regulerend

Fungsi regulerend, merupakan fungsi di mana pajak akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Pajak juga digunakan sebagai alat kebijaksanaan.

3) Fungsi demokrasi

Fungsi demokrasi, yaitu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah apabila ia telah melakukan kewajibannya membayar pajak. Bila pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint).

4) Fungsi distribusi

Fungsi distribusi, yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

2.1.3 Sistem Perpajakan

Sistem perpajakan suatu negara terdiri atas tiga unsur, yakni tax policy (kebijakan perpajakan), tax law (hukum perpajakan), dan tax administration (administrasi perpajakan). Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau

(3)

cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke kas negara. Empat sistem pemungutan pajak menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2004) yakni:

1) official assessment system, yakni sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang;

2) semi self assessment system, yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya utang pajak;

3) self assessment system, yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak;

4) witholding system, yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang.

2.1.4 Definisi Wajib Pajak

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Pasal 2 ayat 1 berbunyi, “Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,

(4)

wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.”

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,

yang menjadi Subjek Pajak adalah: 1. orang pribadi;

2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

3. badan;

4. bentuk usaha tetap.

Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:

a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Menurut Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

(5)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,

yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

(6)

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s. surplus Bank Indonesia.

Dengan demikian, jika orang pribadi, warisan, badan, atau bentuk usaha tetap telah memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak dan objek pajak, maka dapat disebut sebagai Wajib Pajak dan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak.

2.1.5 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Dalam rangka memberikan keadilan di bidang perpajakan, yaitu keseimbangan antara hak negara dan hak Wajib Pajak, maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang mengakomodir hak dan kewajiban Wajib Pajak.

(7)

Sesuai dengan sistem self assessment, maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Di samping melalui Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak melalui media elektronik on-line (internet).

2.1.5.2 Kewajiban Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan, dan Pelaporan Pajak Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.

2.1.5.3 Kewajiban Dalam Hal Diperiksa

Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah:

1. memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;

(8)

2. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; 3. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang

perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;

4. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;

5. meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik, khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;

6. memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.

2.1.5.4 Kewajiban Memberi Data

Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat

(9)

Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

2.1.5.5 Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak

Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk Wajib Pajak yang termasuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai sejak permohonan diterima dan dilakukan tanpa pemeriksaan.

2.1.5.6 Hak Dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan

Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak:

1. meminta Surat Perintah Pemeriksaan; 2. melihat Tanda Pengenal Pemeriksa;

3. mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan;

(10)

5. hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

2.1.5.7 Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat, maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutnya, apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut, maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

2.1.5.8 Hak-Hak Wajib Pajak Lainnya 1. Hak kerahasiaan bagi Wajib Pajak

Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Di samping itu, pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.

(11)

Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran pajak.

3. Hak untuk penundaan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan baik Pajak Penghasilan Badan maupun Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

4. Hak untuk pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25.

5. Hak untuk pembebasan pajak

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.

6. Hak untuk menerima pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai dan 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan sejak tanggal permohonan.

7. Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah

Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan, dan supplyer utama ditanggung oleh pemerintah.

(12)

Di bidang Pajak Pertambahan Nilai, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut. Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai antara lain kereta api, pesawat udara, kapal laut, buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

2.1.6 Sejarah Administrasi Perpajakan

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, Indonesia menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban dan hak kenegaraan bagi para warganya. Pada masa awal kemerdekaan, pembaharuan sistem perpajakan dilakukan karena sistem perpajakan yang berlaku tidak sesuai dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku sejak masa penjajahan sebagian besar merupakan warisan kolonial yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi pemerintah penjajah dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya. Oleh karena itu, pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak, maupun tata cara pemungutannya

(13)

dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan atas hak asasi rakyat. Pajak di saat itu hanya merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat dengan patuh.

Sesuai dengan Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain:

Aturan Bea Meterai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944.

Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sisa-sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, tetapi karena berbeda falsafah yang melatarbelakanginya serta sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan perundang-undangan tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita bangsa dan pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan.

Memasuki alam kemerdekaan, sejak proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya Namun, perubahan-perubahan tersebut di masa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan yang kemudian pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan "sistem MPS dan MPO". Sistem tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi Indonesia. Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan untuk mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan

(14)

sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang antara lain berbunyi,

"Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih."

Oleh karena itu, undang-undang ini sebagai suatu undang-undang di bidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman kolonial.

Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak yang tidak dianggap sebagai objek, tetapi merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksana kewajiban kenegaraan.

Di segi lain, tuntutan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini.

Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia karena kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi ketentuan umum bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain.

Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah: a. bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian

kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

b. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya, berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;

c. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat.

Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan

(15)

perundang-undangan perpajakan sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain daripada itu, Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan.

Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan zaman kolonial yang antara lain:

a. tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan; b. pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung

dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan yang mengakibatkan anggota masyarakat sebagai Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakan dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.

Jelaslah bahwa sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang-undang ini memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu, jaminan dan kepastian hukum mengenai kewajiban dan hak perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan sehingga dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat.

Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau di mana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi.

Pembinaan Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.

Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan, sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan tersirat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan di Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya pemerataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan objek pajak, dan peningkatan penerimaan negara

(16)

sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sistem perpajakan yang berlaku memberikan kepercayaan kepada subjek pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat.

2.1.7 Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak

Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu, dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, serta perubahan lingkungan strategis, birokrasi pemerintahan dituntut untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat.

Sistem administrasi perpajakan modern diawali oleh reformasi birokrasi yang telah dimulai sejak tahun 2002, dimotori oleh Departemen Keuangan dan

(17)

Direktorat Jenderal Pajak dipilih sebagai lokomotifnya mengingat kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang sangat vital untuk stabilitas ekonomi dan pembangunan nasional. Semangat reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak meliputi penguatan pada tiga pilar, yaitu:

1. penataan organisasi;

2. perbaikan proses bisnis; dan

3. pengembangan manajemen sumber daya manusia.

Oleh karena adanya program ini, terhitung pada tanggal 24 November 2008 secara resmi kantor pajak di seluruh Indonesia telah menerapkan sistem administrasi perpajakan modern.

Sebagai tahap pertama (pilot project) penataan organisasi Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu implementasi reformasi birokrasi, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 65/KMK.01/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, dibentuk dua Kantor Pelayanan Pajak Large Taxpayers Office yang kemudian disebut Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar yang berlokasi di Jakarta dengan wilayah kerja seluruh Indonesia dengan jumlah masing-masing Wajib Pajak sebanyak tiga ratus Wajib Pajak Badan terbesar secara nasional yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 9 September 2002. Keberhasilan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dalam mengamankan penerimaan pajak dan mendapatkan kepercayaan masyarakat menjadi titik awal dimulainya modernisasi pajak secara luas di tubuh Direktorat Jenderal Pajak dan selanjutnya, pelaksanaan program

(18)

modernisasi ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak

Waktu Kantor/Wilayah Jumlah Kantor

Juli 2002 KPP Wajib Pajak Besar 2

Desember 2003 KPP BUMN 1

Desember 2004 s.d. Juni 2005

KPP Penanaman Modal Asing KPP Badan dan Orang Asing KPP Perusahaan Masuk Bursa KPP Madya Jakarta Pusat

6 2 1 1

Desember 2005 KPP Madya Batam 1

Mei 2006 KPP Madya Denpasar KPP Madya Tangerang KPP Madya Bekasi KPP Madya Pekanbaru 1 1 1 1 Desember 2006 Kantor Pusat

KPP Madya di wilayah potensial

1 13

2007 KPP Pratama di Jawa dan Bali 156

2008 KPP Pratama di Luar Jawa dan Bali 129

Sumber: Surat Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-644/PJ.09/2012 tentang Peringatan Satu Dekade Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak

(19)

Perbedaan utama dalam struktur yang telah modern ini adalah perubahan struktur organisasi Kantor Pelayanan Pajak pra-modern berdasarkan jenis pajak menjadi Kantor Pelayanan Pajak pasca-modern berdasarkan fungsi pelayanan. Pelayanan perpajakan menjadi satu atap (one stop service) karena semua jenis pelayanan perpajakan, baik jenis Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama, sedangkan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Pelayanan Pajak Madya hanya melayani jenis pajak Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai sehingga menyebabkan terjadi peleburan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di Kantor Wilayah mengingat Kantor Wilayah tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak pasca-modern yang menyebabkan Kantor Pemeriksaan Pajak dilebur ke Kantor Pelayanan Pajak.

Struktur organisasi Kantor Pelayanan Pajak disusun berdasarkan fungsi, yang meliputi fungsi tata usaha dan rumah tangga, pengolahan data dan informasi, pelayanan, penagihan, pemeriksaan, ekstensifikasi dan penyuluhan, serta pengawasan dan konsultasi. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan konsultasi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang disebut Account Representative bertanggungjawab melayani dan mengawasi seluruh hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak akan mendapat kemudahan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya.

(20)

2.1.8 Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative

Salah satu bentuk dari perubahan reformasi birokrasi dalam perpajakan yang merupakan perwujudan dari modernisasi perpajakan adalah dibentuknya Account Representative. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 178/PJ/2004 tentang Cetak Biru (Blue Print) Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2010 yang menjelaskan tentang bagaimana penyusunan strategi dan sasaran yang ingin dicapai dari tahun 2001 hingga tahun 2010 untuk dapat memodernisasi sistem perpajakan nasional, maka sebagai penunjang keputusan tersebut dibentuklah Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan organisasi modern pada tahun 2006. Dasar hukumnya adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98/KMK.01/2006 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern, Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Account Representative adalah pegawai yang diangkat pada setiap Seksi Pengawasan dan Konsultasi di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan Organisasi Modern.”

Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98/KMK.01/2006 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern disebutkan bahwa “persyaratan pegawai yang dapat diangkat sebagai Account Representative meliputi:

(21)

d. pangkat paling rendah pada saat diusulkan adalah Pengatur Tingkat I (Golongan II/d).”

Pasal 2 menyebutkan bahwa

Account Representative mempunyai tugas:

6. melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak;

7. bimbingan/himbauan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak;

8. penyusunan profil Wajib Pajak;

9. analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi; dan

10. melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Tugas melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak berarti bahwa Account Representative adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan untuk mengawasi Wajib Pajak dalam memenuhi kepatuhan kewajiban perpajakannya. Pengawasan ini dapat berupa pengawasan untuk memastikan apakah Wajib Pajak sudah menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajak sesuai dengan yang seharusnya; menentukan apakah Wajib Pajak sudah tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; mengawasi apakah Wajib Pajak membayar tunggakan pajaknya bila ada, dsb. Tugas konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib Pajak berarti bahwa Account Representative adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan menjadi konsultan internal Direktorat Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak, dengan kata lain Account Representative adalah mitra bagi Wajib Pajak dalam pemberian bimbingan/himbauan berupa informasi dan pengetahuan perpajakan. Tugas pengawasan dan konsultasi ini menimbulkan kerancuan tugas pokok dan fungsi Account Representative karena sangat kontradiktif. Akibatnya, petugas

(22)

Account Representative di lapangan seringkali kehilangan orientasi. Ketika sedang memberikan konsultasi, tetapi sekaligus malah melakukan pengawasan, begitu juga sebaliknya.

Untuk meningkatkan kinerja Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan berdasarkan hasil evaluasi dalam rapat kerja nasional Direktorat Jenderal Pajak tahun 2014, Direktur Jenderal Pajak memandang perlu dilaksanakan uji coba penataan tugas dan fungsi Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama sehingga ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-13/PJ/2014 tentang Penunjukan Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam Rangka Uji Coba Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Uji coba penataan tugas dan fungsi Account Representative adalah serangkaian kegiatan menguji alternatif penataan tugas dan fungsi Account Representative yang berbeda dari pelaksanaan tugas dan fungsi Account Representative saat ini untuk mendapat hasil atau kinerja yang lebih baik pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Uji coba tersebut dilaksanakan mulai tanggal 17 Februari 2014 sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 melalui pemisahan Account Representative yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pemberian konsultasi dan penyelesaian permohonan pelayanan Wajib Pajak dan Account Representative yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pengawasan dan penggalian potensi Wajib Pajak pada masing-masing Seksi Pengawasan dan Konsultasi. Kantor Pelayanan Pajak Pratama berikut ditunjuk untuk melaksanakan uji coba penataan tugas dan fungsi Account Representative.

(23)

11. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur; 12. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bukittinggi; 13. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jambi; 14. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong;

15. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan; 16. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kudus;

17. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu; 18. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bontang; 19. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado; 20. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ambon.

2.1.9 Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Pasal 2, untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, yang dapat disebut sebagai Wajib Pajak Patuh, Wajib Pajak harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan,

b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut;

d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

(24)

Yang dimaksud dengan tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi: a. penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun

Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;

b. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;

c. seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah disampaikan; dan

d. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.

Yang dimaksud dengan tidak mempunyai tunggakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah keadaan Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu.

Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah laporan keuangan yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu.

2.2 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran penulis, sampai dengan saat penelitian ini dilakukan, tidak ditemukan penelitian terdahulu.

2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, maka dijelaskan hubungan antarvariabel dalam kerangka konseptual berikut.

(25)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual, maka dinyatakan hubungan antarvariabel secara terukur dalam hipotesis berikut.

H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan pada kepatuhan Wajib Pajak yang diidentifikasikan oleh jumlah Wajib Pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai secara tepat waktu antara sebelum dengan sesudah uji coba penataan tugas dan fungsi Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur.

H2 : Terdapat perbedaan yang signifikan pada penerimaan pajak antara sebelum dengan sesudah uji coba penataan tugas dan fungsi Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur. Sebelum uji coba penataan

tugas dan fungsi Account Representative (Juli 2012 s.d. Januari 2014) Kepatuhan Wajib Pajak yang diidentifikasikan oleh jumlah Wajib Pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai secara tepat waktu dan penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur

Sesudah uji coba penataan tugas dan fungsi Account Representative (Februari 2014 s.d. Agustus 2015) Kepatuhan Wajib Pajak yang diidentifikasikan oleh jumlah Wajib Pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai secara tepat waktu dan penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur

17 Februari

2014

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh etika perilaku Customer service terhadap kepuasan nasabah pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk KLN Bumi Seroja

[r]

To get an idea of these use cases behind this CR imagine a layer of traffic signs in roads, or a layer of points of interest (POIs) with different symbols for different kinds of

Pembangunan Desa. **) Pencapaian target belum dapat diidentifikasi mengingat data yang diperlukan menggunakan data Potensi Desa yang dikeluarkan BPS setiap 3 tahun sekali. ***)

Beberapa komponen yang sangat erat dalam kehidupan kita ialah udara yang kita.. hirup setiap saat dan dan air yang kita minum setiap

5) Apakah keluarga mengetahui akibat masalah kesehatan yang dialami anggota dalam keluarganya bila tidak diobati/dirawat : Ya Tidak 6) Pada siapa keluarga biasa

contoh soal-soal terkait dengan laju reaksi Penutup Memberikan rangkuman materi, memberikan soal untuk tugas di rumah 15 menit Diskusi, tanya jawab Papan tulis

Tujuan dari penyusunan Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (LP3A) ini adalah untuk mengungkapkan serta merumuskan hal-hal yang berkaitan