• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFISIENSI PENULARAN VIRUS MOSAIK BENGKUANG. (Bean common mosaic virus-bcmv isolat Iybn) dengan Aphis. craccivora Koch. dan A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFISIENSI PENULARAN VIRUS MOSAIK BENGKUANG. (Bean common mosaic virus-bcmv isolat Iybn) dengan Aphis. craccivora Koch. dan A."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

(Bean common mosaic virus-BCMV isolat Iybn) dengan Aphis

craccivora Koch. dan A. gossypii Glover

ENDAH MULIARTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

ABSTRAK

ENDAH MULIARTI. Efisiensi Penularan Virus Mosaik Bengkuang (Bean common mosaic virus – BCMV isolat Iybn) dengan Aphis craccivora Koch. dan A. gossypii Glover. Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI DAN DEWI SARTIAMI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2009 di rumah kaca Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efisiensi penularan virus mosaik bengkuang (VMB) oleh Aphis craccivora Koch. dan A. gossypii Glover. Efisiensi penularan VMB dengan A. craccivora dan A. gossypii dilakukan dengan cara menularkan virus ke tanaman bengkuang sehat dengan jumlah kutudaun masing-masing 1, 3, 5, 7, dan 10 ekor secara non-persisten. Inokulasi dilakukan pada saat umur tanaman 2 minggu setelah tanam (MST). Periode makan akuisisi selama dua jam dan periode makan inokulasi selama 24 jam. Kontrol hanya diinokulasi oleh kutudaun yang tidak mengandung virus. Percobaan diulang sebanyak 10 kali pada setiap perlakuan jumlah kutudaun. Peubah yang diamati adalah masa inkubasi, tipe gejala, dan kejadian penyakit. Deteksi virus dengan uji serologi ELISA dilakukan hanya pada tanaman bengkuang yang tidak menampakkan gejala untuk mengkonfirmasi kejadian penyakit. Data dianalisis dengan ANOVA dan uji selang berganda Duncan pada taraf 95%. Hasil penularan virus dengan kedua spesies kutudaun pada perlakuan jumlah kutudaun satu ekor sudah cukup efisien untuk menularkan VMB. Pada penularan dengan A. craccivora ada perbedaan masa inkubasi antara satu ekor dengan 3, 5, 7, dan 10 ekor, sedangkan masa inkubasi penularan dengan A. gossypii menunjukkan masa inkubasi yang lebih panjang untuk tiap perlakuan dibandingkan penularan dengan A. craccivora. Selain itu perlakuan dengan A. gossypii tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa A. craccivora lebih efisien sebagai vektor virus VMB dibandingkan dengan A. gossypii. Tipe gejala VMB hasil penularan dengan A. craccivora dan A. gossypii ada tiga yaitu mosaik, malformasi daun, dan vein banding. Tipe gejala yang ditimbulkan oleh A. craccivora adalah mosaik dan malformasi daun yang parah dengan bentuk daun mengecil dan memanjang menyerupai tali, sedangkan tipe gejala hasil penularan dengan A. gossypii adalah malformasi daun dengan permukaan daun berkerut dan bergelembung. Kejadian penyakit pada A. gossypii dan A. craccivora berturut-turut sebesar 70-100% dan 90-100%.

(3)

common mosaic virus-BCMV Isolat Iybn) dengan

Aphis craccivora Koch. dan A. gossypii Glover

ENDAH MULIARTI

A34050500

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Departemen Proteksi tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(4)

Judul Skripsi : Efisiensi Penularan Virus Mosaik Bengkuang (Bean common mosaic virus – BCMV isolat Iybn) dengan Aphis craccivora Koch. dan A. gossypii Glover. Nama : Endah Muliarti

NIM : A34050500

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr. Dra. Dewi Sartiami, MSi NIP. 19681017 199302 2001 NIP. 19641204 199103 2001 Mengetahui: Ketua Departemen Dr. Ir. Dadang, M.Sc NIP : 19640204 199002 1002 Tanggal lulus :

(5)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Rabb semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efisiensi Penularan Virus Mosaik Bengkuang (Bean common mosaic virus – BCMV isolat Iybn) dengan Aphis craccivora Koch. dan A. gossypii Glover” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, khususnya kepada :

1. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr. yang telah memberikan bimbingan, bantuan, arahan, nasehat, dan motivasi kepada penulis.

2. Dra. Dewi Sartiami, MSi yang telah memberikan bimbingan, bantuan, arahan, nasehat, dan motivasi kepada penulis.

3. Dr. Ir. Giyanto, MSi selaku pembimbing akademik penulis yang telah memberikan arahan, masukan, dan nasehat selama menjalani pendidikan di Departemen Proteksi Tanaman.

4. Ibu dan Bapak tercinta yang telah dengan ikhlas berjuang dan berkorban demi tercapainya cita-cita penulis untuk menjadi seorang sarjana.

5. Kakak-kakakku, paman, dan bibi tercinta yang juga telah memberikan dukungan moral dan materiil, doa, dan kasih sayang pada penulis.

6. Suamiku tersayang yang telah dengan tulus memberikan dukungan moral dan materiil, serta doa restu kepada penulis.

7. Bapak Edi Supardi, Bapak Saefudin, Bapak Saodik, Bapak Yusuf, Bapak Dadang, Ibu Is, Mbak Sinta, Mbak Ersa, Mbak Tuti, serta teman-teman PTN angkatan 42, khususnya Ade, Amri, Dede, Lulu, Aryo, Putri, dan Mira.

Bogor, Juni 2010

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 7 November 1986 sebagai anak ke-6 dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Adis dan Ibu Fatimah.

Tahun 2005 penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah penulis mengikuti beberapa organisasi diantaranya sebagai anggota BEM KM IPB (2005) dan Lembaga Struktural Bina Desa BEM KM IPB (2006). Ketua pelaksana motivasi training LS Bina Desa BEM KM IPB (2006) dan ketua Departemen Kominfo LS Bina Desa BEM KM IPB (2007). Pengurus dan anggota Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman Indonesia (HMPTI) (2006). Penulis pernah menjadi juara I lomba penentuan judul karya tulis ilmiah pada seminar Gelar Ikan 2005. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Patogen Tumbuhan pada tahun 2007 dan Dasar-dasar Proteksi Tanaman (Dasprotan) pada tahun 2008. Penulis pernah mendapatkan beasiswa LAZ Al-Hurriyyah, beasiswa PIJAR, dan terakhir mendapatkan beasiswa dari Goodwill International Scholarship Programme.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 Hipotesis ... 2 TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Bengkuang ... 3

Taksonomi dan Morfologi Tanaman Bengkuang ... 3

Hama dan Penyakit Bengkuang ... 4

BCMV ... 4

Kutudaun Sebagai Vektor Virus. ... 5

Aphis craccivora Koch. ... 7

Aphis gossypii Glover. ... 7

ELISA.. ... 8

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 9

Bahan dan Alat ... 9

Sumber Inokulum ... 9

Identifikasi dan Pembiakkan Kutudaun ... 9

Pembuatan Preparat Mikroskopis ... 10

Pembebasan Kutudaun dari Virus dan Perbanyakkan Vektor ... 11

Penularan Virus oleh Vektor Kutudaun ... 11

Pengamatan... 12

ELISA... 12

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Serangga Vektor ... 13 Hubungan Antara Jumlah Kutudaun

dan Masa Inkubasi VMB... ... 15 Pengaruh Inokulasi VMB terhadap Kejadian Penyakit

dan Tipe Gejala... 18 Uji ELISA Tanaman Bengkuang yang Tidak Bergejala... 21

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 25 Saran ... 25 DAFTAR PUSTAKA ... 26

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Hubungan antara jumlah vektor dan

masa inkubasi VMB………... 16 2. Kejadian penyakit (KP)1) dan tipe gejala2) hasil penularan VMB

dengan A. craccivora dan A. gossypii ……..………. 18 3. NAE tanaman bengkuang yang tidak menunjukkan gejala... 23

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Preparat kutudaun A. craccivora Koch. ... 14 2. Preparat kutudaun A. gossypii Glover . ... 15 3. Variasi gejala BCMV pada bengkuang. ... 22

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi analisis sidik ragam  

A. craccivora………... 28 2. Rekapitulasi analisis sidik ragam A. gossypii... 28

(12)

 

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bengkuang (Pachyrrhizus erosus L.) merupakan tanaman pertanian yang umbinya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan bahan kosmetik, sedangkan biji bengkuang sebagai bahan pestisida nabati untuk mengendalikan hama tanaman. Bengkuang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tetapi perhatian terhadap tanaman ini masih rendah, padahal dalam membudidayakan bengkuang bila dilakukan dengan optimal akan memberikan keuntungan yang tidak kecil bagi petani.

Pembudidayaan bengkuang tidak terlepas dari adanya berbagai hambatan, baik faktor abiotik maupun biotik. Faktor abiotik diantaranya kondisi lahan, suhu, kelembaban udara, kesuburan tanah, dan ketersediaan air. Faktor biotik salah satunya adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Penyakit yang menyerang bengkuang umumnya adalah mosaik. Menurut Damayanti et al. (2007) virus mosaik bengkuang sudah menyebar tidak hanya di pertanaman bengkuang di Jawa Barat, tetapi juga di Jawa Tengah (Prembun) yang merupakan sentra produksi bengkuang.

Virus mosaik bengkuang (VMB) disebabkan oleh BCMV (Bean common mosaic virus isolat Iybn) (Damayanti et al. 2008). Tingginya intensitas serangan di lapang kemungkinan karena VMB dapat ditularkan melalui benih. Selain itu, bengkuang diperbanyak sendiri oleh petani tanpa memperhatikan tanaman yang akan diambil bijinya sehat atau tidak dan menganggap gejala mosaik merupakan hal yang umum (Damayanti et al 2007). Sorensen (1996) melaporkan bahwa di Negara Tonga, Costa Rica, Ekuador, dan Thailand lima spesies tanaman bengkuang dan satu spesies bengkuang liar dapat diinfeksi oleh BCMV.

BCMV dapat ditularkan melalui benih, jika tanaman induk terinfeksi pada saat tanaman masih muda, dengan efisiensi mencapai 83%. BCMV juga dapat ditularkan oleh beberapa spesies kutudaun (Agrios 2005). Menurut Nurlaelah (2006), VMB dapat ditularkan oleh 3 spesies kutudaun (A. craccivora, A.

(13)

 

 

gossypii, A. glycines), namun demikian belum diketahui efisiensi penularan dengan kutudaun ini.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penularan virus mosaik bengkuang (VMB) oleh dua spesies kutudaun yaitu Aphis craccivora dan Aphis gossypii.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan adalah untuk mengetahui jumlah kutudaun yang mampu menularkan VMB secara efisien sebagai informasi dasar penentuan waktu pengendalian dan informasi yang bermanfaat dalam penelitian yang berkaitan dengan virus ini.

Hipotesis

1. Jumlah kutudaun mempengaruhi efisiensi penularan VMB. Semakin banyak jumlah kutudaun yang digunakan menularkan virus ke tanaman bengkuang, maka semakin cepat masa inkubasi dan kejadian penyakit semakin tinggi. 2. Ada perbedaan efisiensi penularan virus diantara kedua spesies kutudaun.

   

(14)

   

TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Tanaman Bengkuang

Bengkuang merupakan tanaman asli dari Amerika Tengah dan ditanam menggunakan benih. Umbi bengkuang mengandung 80-90% air, 10-17% karbohidrat, 1-2,5% protein; 0,5-1% serat; 0,1-0,2% lemak, dan vitamin C. Umbi yang masih muda mengandung 86% air, 10% karbohidrat; 2,6% protein; 0,9% serat; 0,3% lemak, dan vitamin C. Benih yang sudah masak mengandung 30% minyak lemak, asam pachyrrizonic, 0,5-1% rotenon, dan 0,5-1% rotenoid. Daun bengkuang mengandung kurang lebih 0,01% rotenon dan rotenoid, sedangkan umbi bengkuang tidak memiliki senyawa ini. Bengkuang dapat dipanen setelah umur tanaman 4-7 bulan. Biasanya, petani menggunting bunga bengkuang agar umbi yang berkembang lebih besar (Sorensen 1996).

Taksonomi dan Morfologi Tanaman Bengkuang

Bengkuang merupakan tanaman tahunan yang dapat mencapai panjang 4-5 m, sedangkan akarnya dapat mencapai 2 m. Batangnya menjalar dan membelit, dengan rambut-rambut halus yang mengarah ke bawah. Bengkuang masuk Indonesia sekitar tahun 1800an. Tanaman ini dapat hidup di berbagai jenis tanah. Bengkuang akan menghasilkan umbi yang besar-besar bila ditanam di lingkungan tanah yang cukup remah atau gembur, baik tanah vulkanis yang hitam keabuan maupun tanah liat yang kemerah-merahan (Lingga 1989).

Daun bengkuang berbentuk majemuk menyirip beranak daun 3; bertangkai 8,5-16 cm; anak daun bundar telur melebar, dengan ujung runcing dan bergigi besar, berambut di kedua belah sisinya; anak daun ujung paling besar, bentuk belah ketupat, 7-21 × 6-20 cm. Bunga berkumpul dalam tandan di ujung atau di ketiak daun, sendiri atau berkelompok 2-4 tandan, panjang hingga 60 cm dan berambut coklat. Tabung kelopak berbentuk lonceng, kecoklatan, panjang sekitar 0,5 cm, bertajuk hingga 0,5 cm. Mahkota berwarna putih ungu kebiru-biruan dan gundul. Tangkai sari pipih dengan ujung sedikit menggulung, kepala putik berbentuk bola berada di bawah ujung tangkai putik, dan tangkai putik berada di

(15)

 

bawah kepala putik berjanggut. Buah berpolong berbentuk garis, pipih, panjang 8-13 cm, berambut, berbiji 4-9 butir (Lingga, 1989).

Hama dan Penyakit Bengkuang

Hama yang menyerang tanaman bengkuang terdiri dari beberapa ordo serangga diantaranya rayap (termitidae) yang menyebabkan batang muda bengkuang berlubang, Andrector spp. (Lepidoptera: Gelerucidae) dan Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae), menyebabkan kerusakan parah pada daun. Penyakit yang ditemukan pada bengkuang adalah antraknosa (Colletotrichum sp.), puru akar (Meloidogyne spp.) menyebabkan kerusakan pada umbi, dan virus mosaik (Sorensen 1996).

Bean common mosaic potyvirus (BCMV)

  BCMV adalah virus yang termasuk kedalam anggota genus Potyvirus (Agrios 2005). Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini. Partikel virus ini berbentuk batang panjang lentur, dan panjangnya berkisar antara 720-770 nm dan lebarnya 11-12 nm. Kriptogram Potyvirus yaitu R/1: 2,3.3/5: E/E: V/AP. Tipe asam nukleatnya adalah ssRNA (single-stranded RNA) atau RNA utas tunggal. Berat molekul asam nukleatnya yaitu 2,3-4,3 juta kDa. Kandungan asam nukleat dalam partikel virus sebesar 5% dan kandungan protein dalam mantelnya sebesar 95%. Nukleokapsid merupakan subunit protein yang membentuk mantel protein yang menyelubungi asam nukleat. Asam nukleat yang diselubungi oleh mantel protein menyebabkan virus bersifat virulen atau mampu menimbulkan penyakit (Shukla et al.1994).

VMB dilaporkan menginfeksi bengkuang di Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Damayanti et al. (2008) melaporkan bahwa VMB disebabkan oleh BCMV dengan homologi yang mendekati BCMV isolat VN/BB2-5 asal Vietnam yang menginfeksi Black bean. Partikel VMB mempunyai morfologi batang lentur dengan panjang sekitar 700 nm dan selubung protein berukuran 30 kDa.

(16)

5   

BCMV merupakan salah satu virus tanaman yang menginfeksi kacang-kacangan dan penting secara ekonomi pada tanaman Phaseolus vulgaris. Nama aslinya adalah Bean mosaic virus telah diubah pada tahun 1934 menjadi Bean common mosaic virus (BCMV) untuk membedakannya dari Bean yellow mosaic virus (BYMV). Gejala daun yang terinfeksi BCMV yaitu mosaik dengan area berwarna gelap dan hijau terang yang tegas, vein banding dan adanya malformasi daun (keriting atau mengerut) pada jaringan sepanjang tulang daun. Tanaman yang terinfeksi dapat menjadi kerdil dan menghasilkan hanya sedikit polong dan masak lebih lambat dibandingkan dengan polong yang tidak terinfeksi. BCMV dapat ditularkan melalui benih, kutudaun, dan secara mekanik oleh sap tanaman sakit (Shukla et al. 1994).   

  Ada lebih dari tujuh strain BCMV berinteraksi dengan gen resesif pada beberapa genotip kacang-kacangan. BCMV dapat ditularkan mealui benih, namun pada legum dengan gen dominan, BCMV tidak tular benih. BCMV mempunyai kisaran inang terbatas selain P. vulgaris. Sehingga penanaman legum secara monokultur yang mempunyai gen ketahanan monogenik dominan dapat menekan kejadian penyakit ini (Pamela et al. 2004).

Banyak kultivar kacang-kacangan yang ada di Amerika Tengah dan Karibia membawa gen I dominan yang memiliki ketahanan terhadap BCMV. Sumber kultivar gen ini efektif dalam pengendalian BCMV di wilayah tersebut (Beaver et al. 2003).

Kutudaun Sebagai Vektor Virus

Sebagian besar virus tanaman yang ditularkan oleh serangga vektor bergantung pada kelangsungan hidup dan persebaran vektor tersebut dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Serangga vektor virus tanaman terdiri dari beberapa ordo yaitu Hemiptera dan Thysanoptera. Hemiptera adalah kelompok vektor virus tanaman yang lebih penting. Serangga yang termasuk ordo Hemiptera diantaranya kutudaun, kutu kebul, dan wereng daun yang merupakan vektor utama virus dan menjadi vektor hampir 400 spesies virus oleh 39 spesies serangga yang berbeda (Fareres & Moreno 2009). Walkey (1991) menyatakan terdapat 381 spesies hewan yang dilaporkan menularkan virus tanaman, dan diperkirakan 94%

(17)

 

termasuk dalam filum Arthropoda dan 6% adalah filum Nematoda, dan vektor yang berasal dari filum Arthropoda diperkirakan 99% adalah serangga.

Menurut Kalshoven (1981), kutudaun berperan penting dalam penularan virus baik secara persisten maupun non-persisten. Banyak penyakit disebabkan virus yang ditularkan oleh kutudaun secara non-persisten di lapang. Kutudaun adalah serangga penusuk dan penghisap sap tanaman. Kutudaun memperoleh makanan dari jaringan tanaman. Bagian mulut kutudaun mengalami modifikasi untuk menusuk dan menghisap ke dalam jaringan tanaman. Kutudaun mempunyai otot pemompa makanan pada pangkal faring dan dapat menghisap makanan jika dibutuhkan, sehingga mengakibatkan tanaman inang layu. Kutudaun mencerna makanan dalam jumlah besar untuk mendapatkan protein yang penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. Sap yang berasal dari floem kaya akan gula dan mengandung 20% sukrosa, salah satu gula utama. Sebagian besar gula yang tidak digunakan disekresikan sebagai embun madu (Dixon 1975).

Penularan virus tular stilet oleh kutudaun adalah proses mekanik yang melibatkan virus dalam proses penularan sebagai kontaminan pasif pada stilet. Virus berada di bagian mulut kutudaun dan tidak melipatgandakan diri dalam tubuh kutudaun. Hampir semua virus tular stilet dapat juga ditularkan dengan inokulasi secara manual, kecuali Tobacco mosaic virus (TMV) yang tidak dapat ditularkan oleh kutudaun (Pirone 1971).

Menurut Walkey (1991) virus yang ditularkan secara non-persisten memiliki nilai ekonomi yang sangat penting dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan penularan kutudaun secara semipersisten dan persisten. Penularan secara non-persisten memiliki ciri-ciri diantaranya virus diperoleh dengan sangat cepat setelah kutudaun menghisap sap tanaman yang terinfeksi virus dalam jangka waktu yang singkat (hanya dalam beberapa detik atau menit). Virus ditularkan segera oleh kutudaun dari tanaman terinfeksi ke tanaman sehat melalui stiletnya ke dalam jaringan tanaman. Hal ini mengindikasikan bahwa virus tersebut diambil dan diinokulasikan ke dalam sel epidermis daun. Kutudaun kehilangan kemampuan untuk menularkan virus dalam waktu kurang lebih empat jam setelah makan inokulasi.

(18)

7   

Aphis craccivora Koch.

Aphis craccivora adalah hama utama pada kacang tunggak (Vigna unguiculata). Kutudaun ini bersifat polifag pada beberapa tanaman tetapi inang utamanya adalah tanaman Leguminosae (kacang-kacangan). A. craccivora menyebabkan kerusakan yang serius karena mampu menularkan virus yang berbeda diantaranya Groundnut rosette virus (GRV), Cowpea aphid borne mosaic virus (CAbMV), dan 13 virus lainnya. Virus ditularkan ke dalam jaringan tanaman oleh kutudaun yang tidak bersayap maupun yang bersayap (Hill 1975). Imago A. craccivora berwarna hitam mengkilat, sedangkan pradewasanya berwarna abu-abu diliputi lilin. Koloni pradewasa berkumpul pada titik tumbuh tanaman inang, dan biasanya dikerumuni oleh semut. Kutudaun ini berperan sebagai vektor pada 30 penyakit virus tanaman termasuk virus non-persisten pada polong-polongan, kacang tanah, kacang kapri, bit, kelompok mentimun, dan kubis-kubisan, dan virus persisten pada Peanut mottle virus (PMV) dan GRV. Penyebaran kutudaun berawal dari daerah temperatur hangat dan sekarang telah menyebar hampir di seluruh dunia, sebagian tersebar di daerah tropis (Blackman & Eastop 2000).

Ada beberapa cara untuk mengendalikan A. craccivora diantaranya pengendalian kimiawi, penanaman awal dan jarak tanam yang terjaga kerapatannya, serta menanam tanaman inang yang resisten terhadap kutudaun (Hill 1975).

Aphis gossypii Glover.

Menurut Kocourek (1994) Cotton aphid, Aphis gossypii bersifat polifag dengan persebaran yang luas di dunia. Kutudaun ini adalah hama utama pada tanaman budidaya kelompok Cucurbitaceae (mentimun, labu, dan melon), Rutaceae (jeruk, anggur, dan lemon), dan Malvaceae (kapas)

A. gossypii merupakan salah satu hama paling penting pada rumah kaca di beberapa negara. Kutudaun ini bersifat polimorfik, tidak hanya pada morfologinya (warna dan bentuk tubuh) tetapi juga pada siklus hidupnya (anholosiklik, holosiklik, dan populasi campuran), dan sifat ekologinya (spesialisasi tanaman

(19)

 

inang, kondisi lingkungan yang sesuai, kesuburan, ketahanan terhadap insektisida). Selain itu kutudaun ini tidak hanya efisien dalam menularkan Citrus tristeza virus (CTV) pada Rutaceae, tetapi juga sebagai vektor penting pada Cucumber mosaic virus (CMV) dan Watermelon mosaic virus 2 (WMV-2) pada Cucurbitaceae. Infeksi virus yang ditularkan vektor A. gossypii dapat menurunkan hasil panen dan kualitas buah (Kocourek 1994).

ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)

Sejak tahun 1971, enzyme linked immunoassays (ELISA) telah dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi reaksi antigen-antibodi. ELISA bekerja dengan cara menjerap komplek antigen-antibodi ke dalam well (sumuran) pada plat mikrotiter. Untuk mendeteksi virus dalam skala besar, double antibody sandwich ELISA (DAS-ELISA) masih memuaskan dan umum digunakan (Djikstra & Jager 1998).

Untuk meningkatkan hasil deteksi virus dengan konsentrasi sangat rendah, seperti pada benih dan vektor serangga dapat dicapai dengan menggunakan “cocktail” ELISA dengan cara sampel virus dan konjugat ditambahkan bersamaan ke dalam sumuran plat mikrotiter dan dengan amplifikasi reaksi enzim (Djikstra & Jager 1998).

(20)

   

 

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Laboratorium Biosistematika dan Taksonomi Serangga Departemen Proteksi Tanaman, dan rumah kaca Cikabayan Institut Pertanian Bogor dari bulan Oktober sampai Desember 2009.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah tanah, pupuk kandang, benih bengkuang varietas lokal Cipondoh, kurungan serangga, sungkup plastik, cawan petri, kuas, kapas, daun talas, kutudaun Aphis craccivora dan Aphis gossypii, tanaman cabai, tanaman kacang panjang, alkohol 50%, 70%, 80%, 95%, 100%, KOH 10%, minyak cengkeh, balsem kanada, cawan sirakus, jarum mikro, pinset, tabung reaksi, tungku listrik, gelas piala, kaca preparat, kaca penutup, plate ELISA, ELISA reader, mikroskop stereo, mikroskop compound, dan kamera digital.

Metode Penelitian Sumber Inokulum

Sumber inokulum tanaman sakit diambil dari pertanaman bengkuang di Bubulak, Bogor. Inokulum diperbanyak dengan cara menularkan virus ke tanaman sehat menggunakan kutudaun A. craccivora. Selanjutnya tanaman dipelihara di rumah kaca sebagai sumber inokulum.

Identifikasi dan Pembiakkan Kutudaun

Kutudaun yang digunakan adalah A. craccivora dan A. gossypii stadia imago. Sebelum dibiakkan pada masing-masing tanaman inang (kacang panjang dan cabai), kutudaun diidentifikasi menurut metode Blackman & Eastop (2000). Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi kutudaun yang tidak bersayap

(21)

       

dengan karakter yang diamati antara lain kepala, abdomen, sifunkuli, kauda, dan jumlah rambut pada kauda.

Kedua imago kutudaun tersebut diperbanyak pada masing-masing tanaman inangnya yang ditanam pada polibag berukuran 15x15 cm dengan media tanah, dan dimasukkan ke dalam kurungan serangga berukuran 2x1 m.

Pembuatan Preparat Mikroskopis

Pembuatan preparat mikroskopis dilakukan dengan metode Blackman & Eastop (2000) yaitu dengan mematikan kutudaun dalam alkohol 95%. Kutudaun dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi alkohol 95%, kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit. Alkohol yang berisi kutudaun dituang ke dalam cawan sirakus, kemudian kutudaun ditusuk abdomen bagian atasnya dengan jarum mikro. Selanjutnya kutudaun dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%, dan dipanaskan kembali sampai kutudaun dalam tabung reaksi terlihat transparan.

Tabung reaksi yang berisi kutudaun dikeluarkan dari penangas air dan kutudaun yang sudah diberi KOH 10% dituang ke dalam cawan sirakus. Selanjutnya kutudaun dicuci dengan air destilata sebanyak dua kali. Perlakuan selanjutnya adalah dehidrasi kutudaun, dengan cara merendam kutudaun yang telah dibersihkan isi tubuhnya dalam alkohol secara berurutan dari kepekatan 50%, 70%, 80%, 95%, dan 100% masing-masing selama 10 menit.

Kutudaun diletakkan di atas gelas objek yang sebelumnya telah ditetesi dengan minyak cengkeh. Kemudian diserap hingga bersih menggunakan kertas saring atau tisu. Posisi kutudaun diatur dan minyak cengkeh yang tersisa diserap menggunakan tisu. Kutudaun yang telah diserap minyak cengkehnya, kemudian ditetesi balsam kanada. Penyerapan minyak cengkeh dilakukan di bawah mikroskop stereo. Selanjutnya preparat ditutup dengan gelas penutup dan diamati di bawah mikroskop compound.

(22)

    11      

Pembebasan Kutudaun dari Virus dan Perbanyakkan Vektor

Imago kedua spesies kutudaun A. craccivora dan A. gossypii sebelum digunakan dibebasviruskan pada daun talas yang sehat. Daun talas dicuci, kemudian tangkainya dibalut kapas basah dan diletakkan pada cawan petri.

Satu cawan petri berisi satu spesies kutudaun, lalu kutudaun dipindahkan dengan kuas gambar yang telah dibasahi sedikit air pada permukaan daun talas bagian bawah yang berada dalam cawan petri. Cawan petri ditutup dan dibiarkan imago tersebut berkembangbiak.

Kutudaun baru lahir (nimfa) berasal dari imago yang dibebasviruskan pada daun talas kemudian dipindahkan ke daun tanaman inang sehat dan dibiarkan berkembangbiak. Kutudaun ini yang digunakan sebagai vektor.

Penularan Virus dengan Vektor Kutudaun

Benih bengkuang berasal dari daerah Bojong Tengah, Bogor kultivar lokal Cipondoh ditanam dalam polibag berukuran 20 x 20 cm pada media tumbuh terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Tiap polibag ditanami empat benih bengkuang dan setelah berumur 1 minggu, dipilih satu bibit yang baik untuk dipakai dalam pengujian.

Imago kutudaun A. craccivora dan A. gossypii dipuasakan selama 1 jam, kemudian dipindahkan pada tanaman bengkuang sakit (periode makan akuisisi) selama 2 jam. Efisiensi penularan virus non-persisten oleh kutudaun meningkat, jika kutudaun dilaparkan beberapa saat sebelum periode makan akuisisi pada tanaman yang terinfeksi virus. Kutudaun yang dipuasakan terlebih dulu dapat dengan cepat mengenal daun dibandingkan kutudaun yang tidak dipuasakan sebelumnya (Matthews 1970; Walkey 1991). Selanjutnya kutudaun dipindahkan pada tanaman bengkuang sehat. Adapun perlakuan jumlah kutudaun yang digunakan masing-masing sebanyak 1, 3, 5, 7, dan 10 ekor. Tiap tanaman disungkup dengan sungkup plastik dan kutudaun dibiarkan pada tanaman uji tersebut selama 24 jam (periode makan inokulasi). Setelah 24 jam kutudaun dimatikan dengan cara mekanis.

(23)

       

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada hari ke-1 sampai hari ke-30 setelah inokulasi. Parameter pengamatan adalah waktu inkubasi, tipe gejala, dan kejadian penyakit. Waktu inkubasi dihitung dari waktu inokulasi sampai munculnya gejala pada daun diketahui dengan pengamatan gejala setiap hari. Kejadian penyakit dihitung menggunakan rumus :

KP = n/N

Keterangan: n : jumlah tanaman yang bergejala N : jumlah tanaman yang diamati

ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

ELISA dilakukan terhadap tanaman hasil penularan yang tidak menunjukkan gejala untuk konfirmasi kejadian penyakit. ELISA menggunakan metode ACP ELISA (Antigen Coated Plate ELISA) menggunakan antiserum universal untuk Potyvirus dengan prosedur sesuai manual yang direkomendasikan pembuatnya (DSMZ).

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan satu faktor. Data yang diperoleh dianalisis dengan program SAS versi 6.12. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji perbandingan berganda Duncan pada selang kepercayaan 95%.

(24)

   

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Serangga Vektor

Kutudaun Aphis craccivora yang dipelihara dan diidentifikasi berasal dari pertanaman kacang panjang, sedangkan A. gossypii berasal dari pertanaman cabai. Kedua spesies kutudaun tersebut diperoleh di daerah Dramaga, Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil pengamatan, kutudaun A. craccivora mempunyai ciri-ciri serangga dewasa (imago) berwarna hitam mengkilat, dan pradewasanya berwarna hitam kusam. Kutudaun ini hidup berkoloni biasanya banyak ditemukan di pucuk tanaman, bunga, polong, dan permukaan bawah daun kacang panjang. Hal ini sesuai dengan Blackman & Eastop (2000) yang menyatakan bahwa ciri-ciri A. craccivora adalah imago hidup mempunyai tubuh berwarna hitam mengkilat, sedangkan tubuh pradewasanya berwarna abu-abu berlilin, koloni pradewasa berkumpul pada titik tumbuh (pucuk) tanaman inang, dan biasanya diikuti oleh semut.

Hasil identifikasi berdasarkan imago yang telah diawetkan dalam preparat mikroskopik A. craccivora Koch.menunjukkan bahwa kutudaun ini adalah imago aptera dengan panjang tubuh 2,1 mm (Gambar 1A), kepala tempat antena melekat tidak berkembang (weakly developed) (Gambar 1B), panjang sifunkuli 0,52 mm, panjang kauda 0,26 mm dan jumlah rambut pada kauda 5 helai (Gambar 1C). Ukuran menurut Blackman & Eastop (2000) panjang tubuh aptera berkisar antara 1,4-2,2 mm sedangkan alatae 1,4-2,1 mm, sifunkuli pada A. craccivora terlihat jelas tanpa alat bantu (perbesaran), kepala tempat antena melekat (antennal tubercle) tidak berkembang, jumlah rambut pada kauda 4-7 helai, dan abdomen bagian atas memiliki bercak hitam yang kompak dan hampir menutupi semua permukaan abdomen bagian dorsal.

(25)

 

 

Gambar 1 Preparat kutudaun A. craccivora Koch. Kutudaun tidak bersayap (aptera) (A) terdiri dari Antena (a), Abdomen (b), Sifunkuli (c), Kauda (d), Tungkai (e). Preparat kepala tempat antena melekat tidak berkembang (B). Preparat kauda dan sifunkuli (C).

Berdasarkan hasil pengamatan, ciri-ciri kutudaun A. gossypii adalah imago mempunyai tubuh berwarna kuning, hijau, hijau kekuningan, dan merah bercampur kuning. Imago yang berwarna hijau dan berukuran besar adalah imago yang memperoleh sumber makanan yang melimpah. Kutudaun ini memiliki variasi warna, hidup berkoloni dan biasanya banyak ditemukan pada pucuk daun, tangkai daun, permukaan daun bagian bawah, dan buah cabai. Menurut Blackman & Eastop (2000) ciri-ciri A. gossypii mempunyai warna yang lebih bervariasi, sebagian besar berwarna hijau gelap, hampir mendekati hitam, tetapi imago dalam koloni yang padat dan suhu yang tinggi kemungkinan panjangnya tidak lebih dari 1 mm dan berwarna kuning pucat sampai hampir berwarna putih. Sifunkuli berwarna gelap dan kauda berwarna pucat atau kehitaman. Seringkali diikuti dengan koloni semut.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kutudaun ini adalah imago A. gossypii Glover. aptera (tidak bersayap), memiliki panjang tubuh 1,4 mm (Gambar 2A), kepala tempat antena melekat tidak berkembang (weakly developed) (Gambar 2B), panjang sifunkuli 0,24 mm, panjang kauda 0,12 mm dan jumlah rambut pada kauda 6 helai (Gambar 2C). Menurut Blackman & Eastop (2000) panjang aptera 0,9-1,8 mm, sedangkan alatae 1,1-1,8 mm, kepala

(B)  e d  c  a b  (C)  Skala : 1 mm  (A) 

(26)

15   

 

tempat antena melekat (antennal tubercle) tidak berkembang, jumlah rambut pada kauda 4-7 helai.

Gambar 2 Preparat kutudaun A. gossypii Glover. Kutudaun tidak bersayap (aptera) (A) terdiri dari Antena (a), Tungkai (b), Abdomen (c), Sifunkuli (d), Kauda (e). Preparat kepala tempat antena melekat tidak berkembang (B). Preparat kauda dan sifunkuli (C).

Hubungan Antara Jumlah Kutudaun dan Masa Inkubasi VMB

Berdasarkan hasil penelitian pada tanaman bengkuang, gejala awal yang muncul terlihat jelas pada daun yaitu daun menjadi melengkung keatas atau ke bawah, semakin hari lekukannya semakin jelas, akhirnya daun mengerut dan keriting pada bagian tengahnya. Tanaman bengkuang belum menghasilkan bunga dan polong hingga 4 minggu pengamatan.

Menurut Agrios (2005) gejala awal daun yang terinfeksi BCMV adalah daun menjadi bergelombang dan selanjutnya warna daun menjadi berubah dan tidak merata, seiring dengan berjalannya waktu daun melengkung kebawah dan keatas, selanjutnya daun terlihat mengerut dan tahap selanjutnya terjadi mosaik, malformasi daun, dan green vein banding (penebalan di sekitar pertulangan daun berwarna hijau tua)

a  c  b  d  e d c  a b  (A)  (C)  Skala :  0,5 mm  (B)

(27)

 

 

Efisiensi penularan VMB dengan jenis dan jumlah vektor yang berbeda dapat dilihat dari masa inkubasinya. Adapun data pengamatan masa inkubasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Hubungan Antara Jumlah Vektor dan Masa Inkubasi VMB.

Jumlah Vektor (ekor) Masa inkubasi VMB (hari) Aphis craccivora Aphis gossypii 1 24.5 + 6.5 a* 27.1 + 2.3 a 3 18.7 + 7.0 b 23.7 + 5.8 a 5 14.4 + 1.1 bcd 20.0 + 7.5 a 7 17.1 + 5.1 bc 21.8 + 5.9 a 10 14.9 + 6.3 bcd 17.9 + 7.3 a K -

-

*Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%.

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan patogen untuk memperbanyak diri dalam tanaman sejak patogen tersebut diinokulasikan hingga gejala pada tanaman muncul (Bos 1990). Penularan VMB dengan A. craccivora satu ekor memberikan masa inkubasi lebih panjang secara nyata dibandingkan dengan perlakuan jumlah kutudaun lainnya, sedangkan penularan dengan jumlah kutudaun 3, 5, 7 dan 10 ekor tidak menunjukkan masa inkubasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan konsentrasi virus mencapai optimal setelah jumlah kutudaun bertambah menjadi 3 ekor, dan peningkatan jumlah kutudaun menjadi 5, 7, dan 10 ekor tidak berpengaruh terhadap percepatan masa inkubasi (Tabel 1).

Sebagian besar virus membutuhkan 2 sampai 5 hari atau lebih untuk mengekspresikan gejala dari daun yang diinokulasi. Sekali virus masuk ke dalam floem, maka akan sangat cepat virus tersebut menuju daerah pertumbuhan (meristem apikal) atau bagian penting lainnya. Dalam floem, virus menyebar ke seluruh tanaman secara sistemik dan masuk ke sel parenkim yang berbatasan

(28)

17   

 

dengan floem melalui plasmodesmata (Agrios 2005). Berdasarkan analisis data, penularan VMB dengan A.craccivora memiliki rata-rata masa inkubasi lebih singkat dibandingkan penularan dengan A. gossypii. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurlaelah (2006) yang menyatakan bahwa pada penularan VMB, gejala yang muncul pertama kali terlihat pada A. craccivora, A. glycines, dan terakhir pada A. gossypii pada perlakuan jumlah kutudaun 10 ekor. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara virus dengan jenis vektornya.

Penularan VMB dengan A. gossypii dengan jumlah 1, 3, 5, 7 dan 10 menunjukkan masa inkubasi yang lebih panjang dibandingkan dengan A. craccivora (Tabel 1). Penularan VMB dengan jumlah kutudaun yang semakin sedikit berkolerasi dengan waktu inkubasi yang lebih panjang, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kutudaun A. gossypii dari 1 sampai 10 ekor tidak berpengaruh pada masa inkubasi VMB. Jumlah kutudaun sebagai vektor berhubungan dengan konsentrasi virus yang ditularkan. Konsentrasi virus yang terdapat pada stilet satu ekor kutudaun A. gossypii lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrasi virus pada 3, 5, dan 10 ekor kutudaun, dengan asumsi setiap stilet mempunyai ukuran dan kapasitas yang sama untuk menyimpan virus (Kusnadi 1991).

Pada penelitian ini konsentrasi virus dari satu ekor kutudaun A. gossypii diduga merupakan konsentrasi optimal dalam pengaruhnya terhadap masa inkubasi VMB sehingga peningkatan konsentrasi virus yang dibawa vektor tidak mempercepat masa inkubasinya. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Fatmawati (2003) yang menyatakan bahwa masa inkubasi penularan virus mosaik kuning pada tanaman kabocha dengan satu ekor A. gossypii relatif lebih lama dibandingkan dengan penularan yang menggunakan 3, 5, dan 10 ekor kutudaun. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena perbedaan jenis virus dan spesies tanaman yang digunakan. Matthews (1970) mengatakan bahwa tanaman akan menunjukkan perbedaan respon kerentanannya terhadap infeksi virus yang ditularkan satu spesies vektor kutudaun.

Hubungan antara jumlah kutudaun sebagai vektor untuk menularkan virus mempunyai hubungan yang cukup erat dengan masa inkubasi (Fatmawati 2003; Nurlaelah 2006). Tetapi ada kalanya hal itu tidak terjadi karena kemungkinan

(29)

 

 

adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Hadidi et al. (1998) interaksi antara tanaman inang, virus, vektor, dan lingkungannya sangat rumit. Lingkungan berpengaruh terhadap vektor dan virus. Sebagai contoh, temperatur tidak hanya mempengaruhi kebiasaan vektor secara langsung tetapi juga mempengaruhi penggandaan virus dan translokasinya dalam tanaman. Pada penelitian ini telah diupayakan kondisi lingkungan yang seragam sehingga setiap tanaman (inang) mendapatkan temperatur yang sama (homogen) di rumah kaca.

Pengaruh Inokulasi VMB terhadap Kejadian Penyakit dan Tipe Gejala Hasil pengamatan terhadap kejadian penyakit dan tipe gejala pada tanaman bengkuang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Kejadian penyakit (KP)1) dan tipe gejala2) hasil penularan VMB dengan A. craccivora dan A. gossypii

Perlakuan (ekor)

A. craccivora Tipe gejala A. gossypii Tipe gejala

1 9/10 Mo, Md 8/10 Mo 3 9/10 Mo, Md 9/10 Mo 5 9/10 Mo, Md 7/10 Mo, Md 7 9/10 Mo, Md, Vb 10/10 Mo, Vb 10 10/10 Mo, Md, Vb 10/10 Mo, Md, Vb K 0/10 - 0/10 - 1) KP = n/N (∑ tanaman bergejala/∑tanaman uji), berdasarkan gejala & ELISA untuk yang tidak

bergejala

2) Mo: mosaik, Md: malformasi daun, Vb: vein banding

Kejadian penyakit pada bengkuang dengan perlakuan vektor A. craccivora sebanyak 1 sampai 7 ekor menunjukkan hasil yang sama yaitu sebesar 90%, dan pada perlakuan 10 ekor kejadian penyakitnya mencapai 100%. Kejadian penyakit dengan perlakuan A. gossypii lebih bervariasi yaitu pada perlakuan satu ekor sebesar 80%, kemudian pada perlakuan 3 ekor kejadian penyakit mencapai 90%, tetapi pada perlakuan 5 ekor hanya mencapai 70%, dan pada perlakuan 7 dan

(30)

19   

 

10 ekor mencapai 100%. Adanya variasi kejadian penyakit ini diduga disebabkan adanya ketahanan individu tanaman yang berbeda.

Matthews (1991) menyatakan bahwa ada beberapa tipe ketahanan dan imunitas terhadap virus tertentu dengan berdasar pada kekomplekkan populasi inang diantaranya kekebalan yang melibatkan setiap individu dari suatu spesies. Selain itu, pada perlakuan A. gossypii dengan jumlah kutudaun 5 ekor diduga mempengaruhi kejadian tersebut; (1) kondisi kutudaun yang berbeda, dan (2) saat periode makan akuisisi, pada perlakuan jumlah 5 ekor terdapat kutudaun yang tidak menusukkan stiletnya pada daun yang mengandung virus atau menusukkan stiletnya pada bagian daun yang mempunyai konsentrasi virus yang rendah. Menurut Astier et al. (2007) vektor virus memiliki keragaman dan spesifitas dalam menularkan virus. Secara umum penularan virus dengan vektor serangga melibatkan interaksi molekuler yang sangat spesifik untuk tiap kombinasi virus-vektor. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum suatu virus hanya ditularkan oleh satu spesies vektor atau spesies yang secara taksonomi berdekatan. Adanya variasi kejadian penyakit dan masa inkubasi yang panjang dari VMB yang ditularkan A. gossypii kemungkinan karena interaksi virus-vektor yang kurang spesifik dibandingkan interaksi VMB-A. craccivora.

Matthews (1970) menyatakan bahwa konsentrasi virus pada infeksi tanaman secara sistemik kemungkinan berbeda pada seluruh bagian jaringan tanaman bahkan pada jaringan yang berdekatan. Hal ini dapat mempengaruhi efisiensi kutudaun memperoleh virus. Djikstra & Jager (1998) juga menyatakan bahwa ketidakberhasilan proses penularan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya kemungkinan kutudaun tidak menghisap jaringan tanaman dan beberapa kutudaun jatuh ke tanah dan hilang. Adapun Agrios (2005) menyatakan bahwa dalam penularan virus tular stilet, virus akan mudah hilang melalui gesekan yang terjadi selama kutudaun melakukan proses pengenalan pada sel tanaman inang.

Kejadian penyakit VMB yang ditularkan oleh vektor A. craccivora cenderung lebih tinggi dibanding kejadian penyakit yang ditularkan oleh A. gossypii. Selain itu waktu inkubasi penularan dengan A. craccivora lebih singkat dibandingkan dengan penularan A. gossypii. Hal ini menunjukkan bahwa

(31)

 

 

A. craccivora lebih efisien dan efektif sebagai vektor virus tersebut. Walaupun penularan dengan A. gossypii menyebabkan masa inkubasi lebih panjang, namun satu ekor kutudaun A. gossypii atau A. craccivora sudah efisien menularkan VMB pada bengkuang. Uji efisiensi penularan virus penyebab penyakit mosaik kuning menunjukkan bahwa satu ekor A. gossypii mampu menularkan virus-virus penyebab penyakit mosaik kuning pada tanaman kabocha walaupun efisiensinya relatif rendah (Fatmawati 2003). Efisiensi penularan oleh kutudaun dapat memberikan informasi dalam rangka mencari strategi pengendalian yang tepat untuk pengendalian VMB. Dengan mengetahui jumlah minimal kutudaun yang efisien untuk menularkan VMB, maka populasi kutudaun dapat dikendalikan pada saat yang tepat, atau waktu penanaman bengkuang dapat diatur agar saat tanaman rentan terhadap serangan kutudaun bertepatan dengan saat populasi vektor kutudaun rendah atau tidak ada.

Pada tabel 2 dan gambar 3 terlihat bahwa tipe gejala VMB pada bengkuang yang ditularkan A. craccivora dan A. gossypii menunjukkan gejala yang hampir sama yaitu mosaik, malformasi daun, dan vein banding. Pada A. craccivora perlakuan 1, 3, dan 5 ekor gejala yang muncul didominasi oleh tipe mosaik dan malformasi daun, dan pada perlakuan kutudaun 7 dan 10 ekor tipe gejala yang muncul adalah mosaik, malformasi daun, dan vein banding. Pada penularan VMB dengan A. gossypii 1 dan 3 ekor, tipe gejala yang ditimbulkan adalah mosaik. Perlakuan dengan jumlah 5 ekor tipe gejalanya adalah mosaik dan malformasi daun, dan dengan jumlah vektor 7 ekor didominasi oleh mosaik dan vein banding. Pada perlakuan jumlah 10 ekor gejala yang muncul adalah mosaik, malformasi daun, dan vein banding.

Penularan VMB dengan A. craccivora menunjukkan gejala yang lebih parah dibandingkan penularan dengan A. gossypii (Gambar 3). Jika dibandingkan dengan penularan VMB secara mekanis, penularan dengan kutudaun menunjukkan gejala yang lebih parah dan efisiensinya lebih tinggi (Desmiarti 2006).

Menurut Matthews (1991) gejala yang berkembang pada tanaman yang tidak resisten maupun toleran akan dipengaruhi oleh genotipe inang dengan berbagai cara. Kemunculan dan keparahan gejala tergantung pada strain virus,

(32)

21   

 

varietas tanaman, waktu infeksi, dan kondisi lingkungan. Strain yang berbeda pada virus yang sama memiliki perbedaan efisiensi dalam proses penularan yang hanya ditularkan oleh sebagian spesies kutudaun dan setiap varietas tanaman yang berbeda mempunyai ketahanan yang berbeda pula.

Waktu infeksi mempengaruhi keberhasilan proses infeksi virus pada jaringan tanaman. Biasanya waktu yang tepat untuk inokulasi adalah pagi atau sore hari. Kondisi lingkungan diantaranya temperatur, kelembaban, dan angin dapat mempengaruhi pergerakan dan aktivitas makan kutudaun (Matthews 1991).

VMB dapat ditularkan ke tanaman kacang panjang, buncis, dan kapri. Umumnya di lapang bengkuang ditanam tumpang sari dengan tanaman kacang panjang. Mengingat BCMV menginfeksi kacang-kacangan, maka penanaman tumpang sari seperti ini sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan penularan virus antar jenis tanaman dapat terjadi via kutudaun (Desmiarti 2006; Damayanti et al. 2008).

Uji ELISA Tanaman Bengkuang yang Tidak Bergejala

Selain terdapat tipe gejala seperti pada tabel 2, terdapat juga daun yang tidak menampakkan gejala pada tanaman uji setelah diinokulasi oleh vektor A. craccivora dan A. gossypii. Pada perlakuan jumlah A. craccivora 1, 3, 5, dan 7 ekor sebanyak 8 tanaman tidak menampakkan gejala, sedangkan pada perlakuan jumlah A. gossypii 1, 3, 5 dan 10 ekor sebanyak 11 tanaman tidak menampakkan gejala (Tabel 3). Agrios (2005) menyatakan bahwa virus laten adalah virus yang menginfeksi inang tertentu tanpa menyebabkan perkembangan gejala visual, sedangkan inangnya disebut symptomless carier. Untuk konfirmasi kejadian penyakit, virus pada tanaman tidak bergejala diuji menggunakan ELISA. Hasil uji ELISA menunjukkan sebagian sampel tanaman mengandung virus dengan konsentrasi tinggi, padahal gejala visual tidak terlihat. Menurut Agrios (2005) virus menginduksi sintesis protein baru yang dilakukan oleh inang, beberapa diantaranya adalah bahan-bahan aktif secara biologi (enzim, dll.) dan mungkin bertentangan dengan metabolisme normal inang. Hal ini diduga menyebabkan inang melakukan metabolisme normal seperti biasanya sehingga inang tidak

(33)

 

 

bereaksi terhadap benda asing yaitu virus dan akhirnya inang tidak menunjukkan ekspresi gejala yang seharusnya.

(B3) (C3)

Gambar 3 Variasi gejala VMB pada bengkuang. Daun sehat (A), hasil penularan A. craccivora: malformasi daun parah, malformasi daun, dan mosaik (B1-B3) dan hasil penularan A. gossypii: malformasi daun, mosaik,

green vein banding (C1-C3)

(C1) (C2) (B3) (B2) (C3) (B1) (A) 

(34)

23   

 

Menurut Bos (1990) infeksi yang benar-benar laten tidak dikenal untuk virus tumbuhan, tanaman sesungguhnya hanya tidak menunjukkan gejala, meskipun konsentrasi virus mungkin tinggi. Pengujian menggunakan ELISA sangat penting karena dapat mendeteksi virus tanaman yang tidak menampakkan gejala visual pada konsentrasi rendah. ELISA dapat mendeteksi konsentrasi terendah virus yaitu 1-10 ng/ml (Djikstra & Jager 1998). Sebagian kecil virus menyerang seluruh jaringan meristem baru, namun sebagian besar lainnya meninggalkan titik tumbuh batang atau akar yang mengakibatkan tanaman terlihat bebas virus (Agrios 2005).

Tabel 3 NAE Tanaman Bengkuang yang Tidak Menunjukkan Gejala

1) C= A. craccivora, G= A. gossypii, angka pertama yang menyertai huruf menunjukkan perlakuan jumlah kutudaun dan angka kedua setelah koma menunjukkan ulangan ke- n.

2) NAE; Nilai Absorbansi ELISA. Uji dinyatakan positif jika NAE sampel uji nilainya 2x NAE kontrol negatif

Perlakuan1) Rata-rata NAE2) Hasil Perlakuan Rata-rata NAE Hasil

Buffer 0,104 (-) Buffer 0,104 (-) Kontrol (+) 3,059 (+) Kontrol (+) 3,059 (+) Kontrol (-) 0,111 (-) Kontrol (-) 0,111 (-) C1,1 0,125 (-) G1,2 0,142 (-) C1,7 0,297 (+) G1,8 3,123 (+) C3,1 0,153 (-) G1,9 0,130 (-) C5,2 0,123 (-) G3,1 0,118 (-) C5,8 3,092 (+) G3,3 3,072 (+) C7,1 0,426 (+) G3,6 0,558 (+) C7,8 3,103 (+) G5,1 0,162 (-) C7,9 0,140 (-) G5,7 0,147 (-) G5,8 0,200 (-) G10,7 3,106 (+) G10,8 0,244 (+)

(35)

 

 

Pada tabel 3, perlakuan jumlah A. craccivora C1,7; C5,8; C7,1 dan C7,8 menunjukkan hasil uji ELISA positif, sedangkan pada perlakuan C1,1; C3,1; C5,2; dan C7,9 menunjukkan hasil negatif. Sementara dapat dilihat pada hasil uji ELISA perlakuan A. gossypii G1,8; G3,3; G3,6; G10,7 dan G10,8 menunjukkan hasil positif, sedangkan pada G1,2; G1,9; G3,1; G5,1; G5,7 menunjukkan hasil negatif. Hasil uji ELISA mengkonfirmasi KP dan menunjukkan bahwa kemunculan gejala dipengaruhi oleh faktor ketahanan individu tanaman yang berbeda. Pada tanaman-tanaman yang tidak bergejala dan ELISAnya negatif, jumlah kutudaun tidak berkolerasi dengan kemunculan gejala. Dugaan lainnya adalah adanya perbedaan konsentrasi virus yang dibawa kutudaun pada stiletnya saat menularkan VMB saat makan akuisisi, sehingga virus yang terbawa stilet kutudaun yang ditularkan ke dalam jaringan tanaman sehat konsentrasinya rendah. Sehingga, walaupun jumlah kutudaun yang digunakan lebih dari satu, namun tidak cukup untuk menginfeksi bengkuang. Matthews (1970) menyatakan bahwa konsentrasi virus pada infeksi tanaman secara sistemik kemungkinan berbeda pada seluruh bagian jaringan tanaman bahkan pada jaringan yang berdekatan. Hal ini dapat mempengaruhi efisiensi kutudaun memperoleh virus. Menurut Djikstra & Jager (1998) efisiensi penularan virus dengan kutudaun tidaklah sama antar spesies.

(36)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan masa inkubasi dan kejadian penyakit, kutudaun A. craccivora lebih efisien sebagai vektor VMB dibanding A. gossypii. Kedua spesies kutudaun pada perlakuan satu ekor sudah cukup efisien untuk menularkan VMB. Peningkatan jumlah kutudaun A. craccivora yang digunakan untuk menularkan VMB mempersingkat masa inkubasi, namun penularan dengan A. gossypii tidak berpengaruh pada masa inkubasi. Kejadian penyakit pada A. gossypii dan A. craccivora berturut-turut sebesar 70-100% dan 90-100%.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan upaya pengendalian kutudaun A. gossypii dan A. craccivora karena kedua spesies kutudaun ini sangat efisien dan efektif sebagai vektor VMB.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh interaksi antara tanaman inang, virus, vektor, dan lingkungannya.

(37)

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed.ke-5. New York : Academic Press.

Astier S, Albouy J, Maury Y, Robaglia C, Lecoq H. 2007. Principles of Plant Virology, Science Publisher.

Beaver JS, Rosas JC, Myers J, Acosta J, Kelly JD, Nchimbi MS, Misangu R., Bokosi J, Temple S, Arnaud SE, Coyne DP. 2003. Contributions of the Bean/Cowpea CRSP to cultivar and germplasm development in common bean. Field Crops Research 82 (2003) 87–102.

Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the world’s crops : an identification and information guide. Ed. ke-2. John Wiley & Sons. Chicester, New York, Toronto. Weinhem . Brisbane and Singapore.

Bos L. 1990. Pengantar Virologi Tumbuhan. Triharso, Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant Virology.

Bradley RHE. 1964. Aphid Transmission of Stilet Borne Viruses. In Corbett MK and Sisler HD (Editors). Plant Virology. Gainesville: University of Florida Press.

Damayanti TA, Desmiarti, Nurlaelah S. 2007. Kajian Sifat Ekologi dan Bio-Molekuler Virus Mosaik Bengkuang di Indonesia [Laporan hasil penelitian]. Departemen Proteksi Tanaman IPB.

Damayanti TA, Desmiarti, Nurlaelah S, Dewi S, Tetsuro O, Kazuyuki M. 2008. First Report of Bean common mosaic virus in yam bean [Pachyrrizus erosus (L.) Urban] in Indonesia. J Gen Plant Pathol (2008) 74:438-442.

Desmiarti. 2006. Uji Kisaran Inang dan Deteksi Virus Penyebab Mosaik pada Tanaman Bengkuang (Pachyrrhizus erosus L. Urban) [Skripsi]. DPT IPB. Dixon AFG. 1975. Aphids and translocation. In Transport in plants. I. Phloem

transport (Ed. by M.H. Zimmerman and J.A. Milburn), pp. 154-170. Springer Verlag. Berlin.

Djikstra J, Jagger D. 1998. Practical Plant Virology: Protocol and Exercise. Boston: Springer.

Fareres A, Moreno A. 2009. Behavioural aspects influencing plant virus transmission by homopteran insects. Virus Research 141; 158–168.

Fatmawati D. 2003. Penularan Virus Penyebab Penyakit Mosaik Kuning pada Tanaman Kabocha (Cucurbita maxima Duch.) dengan Vektor Aphis. gossypii Glov. (Homoptera: Aphididae) [Skripsi]. Program studi HPT IPB.

(38)

27   

Hadidi A, Khetarphal RK, Koganezawa H. 1998. Plant Virus Diseases Control. Amerika: APS Press.

Hill, DS 1975. Agricultural insect pests of the tropics and their control. Cambridge University Press, Cambridge.

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crop In Indonesia. Dr. Van der Lan D. A. Revisi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Kocourek F, Havelka J, Berfinkovfi J, Jarogik V. 1994. Effect of temperature on development rate and intrinsic rate of increase of Aphis gossypii reared on greenhouse cucumbers. Entomol. exp. appl. 71: 59-64.

Kusnadi D. 1991. Pengaruh Jumlah Aphis craccivora Koch. terhadap Keberhasilan Penularan Cowpea aphid-borne mosaic virus pada Kacang Panjang (Vigna sinensis Endl.) [Skripsi]. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, IPB.

Lingga P. 1989. Bertanam ubi-ubian. Jakarta: Penebar Swadaya.

Matthews REF. 1970. Student Edition Plant Virology. London: Academic Press. . 1991. Plant Virology. Ed ke-3. London: Academic Press.

Nurlaelah S. 2006. Deteksi Benih dan Penularan Virus Mosaik Bengkuang oleh Tiga Spesies Kutudaun [Skripsi]. Program studi HPT IPB.

Pamela KA, Andrew A, Cunningham, Nikkita G, Patel, Francisco JM, Paul R, Epstein, Peter D. 2004. Emerging infectious diseases of plants: pathogen pollution, climate change and agrotechnology drivers. Elsevier.

Pirone TP. 1971. Ability of Stylet-Borne and Non-Aphid-Transmissible Viruses to Infect Plants through Wounds Produced by Aphid Stylets. Virology 45, 374-380.

Shukla DD, Ward CW, Brunt AA. 1994. The Potyviridae. CAB INTERNATIONAL. United Kingdom.

Sorensen M. 1996. Yam bean (Pachyrrizus DC). Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. 2. Institute of Plant Genetic and Crop Plant Research, Gatersleben/ International Plant Genetic Resource Institute, Rome.

Walkey DGA. 1991. Applied Plant Virology. Ed ke-2. London: Chapman and Hall.

(39)

 

Lampiran 1 Rekapitulasi analisis sidik ragam masa inkubasi virus hasil penularan Aphis craccivora

Aphis craccivora

Sumber keragaman db JK KT Fhitung F 0,05 (4,37) Perlakuan 4 546,84 136,71 4,19 3,89 Galat 37 1207,63 32,64

Total 41 1754,48

Uji Duncan Aphis craccivora Jumlah Kutudaun Rata-rata

1 24,5 a

3 18,7 b 5 14,4 bcd 7 17,1 bc 10 14,9 bcd

Lampiran 2 Rekapitulasi analisis sidik ragam masa inkubasi virus hasil penularan Aphis gossypii

A. gossypii

Sumber keragaman db JK KT Fhitung F 0,05 (4,34) Perlakuan 4 370,213 92,553 2,61 3,94 Galat 34 1206,76 56,49

Gambar

Gambar 1  Preparat kutudaun A. craccivora Koch. Kutudaun tidak bersayap  (aptera) (A) terdiri dari Antena (a), Abdomen (b), Sifunkuli (c),  Kauda (d), Tungkai (e)
Gambar 2  Preparat kutudaun A. gossypii Glover. Kutudaun tidak bersayap  (aptera) (A) terdiri dari Antena (a), Tungkai (b), Abdomen (c),  Sifunkuli (d), Kauda (e)
Tabel 1  Hubungan Antara Jumlah Vektor dan Masa Inkubasi VMB.
Gambar 3  Variasi gejala VMB pada bengkuang. Daun sehat (A), hasil penularan  A. craccivora: malformasi daun parah, malformasi daun, dan mosaik  (B 1 -B 3 ) dan hasil penularan A
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adalah koefisien determinasi (R²) dari 32.97%, dapat diartikan bahwa tingkat kejadian mastitis dipengaruhi oleh ukuran puting diameter

Dari beberpa konsep tersebut di atas, maka dapat disimpuklan bahwa model Citizen’s Charter adalah suatu model pendekatan yang memuat kesepakatan berdasarkan masukan dari pelanggan

Abasa (80):3, tidak diketahui artinya oleh Umar Ibn Khattab, sehingga ayat itu pada mulanya buat beliau adalah mutasyabih. Termasuk dalam bagian ini menurut banyak

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini dengan judul “ IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 DALAM PENINGKATAN MUTU LAYANAN (Studi Kasus:

Tokoh utamanya adalah Rapingun (RM.. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 24 Sutanta), tokoh tambahannya: Raden Ajeng Tien

Menurut Edward K Morlok, Pemilihan moda itu adalah apabila jumlah dari total masing-masing tempat asal ke setiap tujuan telah diperkirakan untuk setiap maksud perjalanan,

Grafis adalah unsur-unsur yang menjadi ciri dan disertakan pada setiap bentuk materi iklan yang dibuat. Sehingga keseluruhan desain akan terangkum dalam satu nuansa

Salah satu data yang diperlukan dalam perencanaan tersebut adalah debit, dimana debit tersebut akan diperoleh dari pengolahan data lapangan berupa lebar penampang