DAMPAK RENCANA PEMBANGUNAN JALAN MELINTASI KAWASAN LINDUNG
TERHADAP KESEIMBANGAN EKOSISTEM DAN HABITAT
1Oleh:
Hendra Gunawan2
Email : hendragunawan1964@yahoo.com
Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor
ABSTRAK
Hutan hujan tropis Sumatera yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia, kini
sedang menghadapi ancaman fragmentasi, degradasi dan penyusutan yang dapat
mengancam kelestarian keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Tujuh
provinsi di Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Riau, Jambi, Aceh, Bengkulu, Sumatera Barat
dan Sumatera Selatan) mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan
dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Perubahan fungsi dan peruntukan
kawasan hutan tersebut antara lain untuk pembuatan jalan provinsi dan kabupaten guna
memnbuka isolasi dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil‐hasilnya serta
meningkatkan perekonomian daerah. Fragmentasi hutan menjadi issue utama dalam
proyek pembangunan jalan melintasi kawasan hutan. Hal ini dikarenakan fragmentasi
merupakan salah satu penyebab kepunahan keanekaragaman hayati melalui kehilangan
habitat, degradasi habitat dan isolasi habitat. Pembangunan koridor bagi satwaliar dalam
setiap pembuatan jalan perlu dilakukan untuk mengurangi dampak fragmentasi sehingga
daya hidup populasi satwa yang terfagmentasi dapat terjaga. Pengelolaan metapopulasi
yang terbentuk akibat fragmentasi perlu dilakukan guna menjaga keseimbangan pertukaran genetik antar sub populasi. Kata kunci : jalan, hutan hujan tropis, fragmentasi, koridor, metappopulasi. I. PENDAHULUAN
Hutan Hujan Tropis adalah hutan yang terdapat di sekitar katulistiwa dan selalu basah atau lembab karena curah hujan yang tinggi. Hutan hujan tropis di dunia terdapat di Afrika, Asia, Australia dan Amerika Tengah dan Selatan. Dengan luas hutan sekitar 109 juta hektar
(2003), Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke‐3 di dunia, setelah Brasil dan
Kongo (http://www.wwf.or.id/), tapi hampir setengahnya telah terdegradasi. Sejak tahun
1970 penggundulan hutan mulai marak di Indonesia dan pada periode 1997‐2000, laju
kehilangan dan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun. Saat ini
diperkirakan luas hutan alam yang tersisa hanya 28% (http://www.wwf.or.id/).
Hutan hujan tropis Indonesia terutama tersebar di pulau‐pulau Sumatera, Kalimantan,
Jawa, Sulawesi dan Papua. Pulau Sumatera, merupakan pulau keenam terbesar di dunia dan
pulau kedua terbesar di Indonesia dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah. Pulau ini memiliki lebih dari 10.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang banyak tumbuh di
1
Makalah disampaikan pada National Inception Workshop dengan tema “Membangun Ketahanan Hutan Hujan Tropis Sumatera
untuk Mitigasi Perubahan Iklim and Keanekaragaman Hayati”, Di Hotel Santika Dyandra, Medan, Tanggal 23‐24 September 2014. 2
hutan dataran rendah. Dari segi fauna, pulau ini paling kaya di Indonesia karena memiliki 210 spesies mamalia, (9 spesies endemik), 580 spesies burung (19 endemik), 194 spesies reptilia, 62 spesies amfibi dan 272 spesies ikan air tawar (30 spesies endemik) (BAPPENAS, 1993).
Pulau Sumatera juga menempati rangking tertinggi dalam hal kerusakan hutan, bukan
hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia,akibat konversi dan eksploitasi. Antara 1985 sampai
2001, pulau Sumatera kehilangan 12 juta hektar hutan alam atau kehilangan 48% dalam 22
tahun terakhir. Pada tahun 2007, Pulau Sumatera hanya mempunyai 30% tutupan hutan (13
juta hektar). Dataran rendah di sebelah timur pegunungan Sumatera terutama yang memiliki
resiko besar akan kepunahan. Beberapa wilayah di sana telah kehilangan 70% tutupan hutan
alamnya dan hampir hilang untuk selamanya. (WWF‐Indonesia: Savesumatra).
Hutan hujan tropis Sumatera harus senantiasa dijaga kelestariannya, terutama dari
ancaman penggundulan hutan, perambahan hutan, konversi untuk pertanian, perkebunan,
pembuatan jalan, pemukiman dan kebutuhan lahan pembangunan lainnya. Apabila kawasan
ini tidak dilindungi, maka keanekaragaman hayati yang hidup di sana terancam punah. Selain
itu, hutan hujan tropis Sumatera berperan penting dalam stabilitas suplai air, ekologi,
dan ekonomi, serta menekan pengaruh kekeringan dan kebakaran Untuk itulah pada bulan
Juli 2004, Hutan Hujan Tropis Sumatera ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO (http://whc.unesco.org).
Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera adalah tempat pelestarian bagi Hutan Hujan
Tropis di Sumatera dan habitat dari beberapa spesies yang hampir punah seperti, Harimau
Sumatera, Gajah Sumatera, dan Badak. Luas dari Hutan Hujan Tropis Sumatera seluruhnya
adalah 2,5 juta hektar yang meliputi dari 3 Taman Nasional di Sumatera, yaituTN Gunung
Leuser (TNGL), TN Kerinci Seblat (TNKS), dan TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tempat ini juga
tempat berbagai jenis tumbuhan endemik seperti, kantong semar, Rafflesia Arnoldi, dan
Amorphophallus titanum. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, hutan hujan
tropis Sumatera juga merupakan sumber mata pencarian bagi masyarakat yang tinggal di sana.
Beberapa suku tinggal di hutan hujan tropis Sumatera, seperti suku Mentawai dan suku Anak
Dalam (http://whc.unesco.org).
Hutan hujan tropis Sumatera sedang dan akan terus menghadapi ancaman kerusakan
dan kepunahan akibat dari berbagai aktifitas manusia dan pembangunan seperti eksploitasi
hasil hutan maupun sumberdaya alam lain di dalam hutan, konversi untuk perkebunan,
pemukiman, perkotaan dan jalan raya. Pembangunan jalan raya melintasi hutan lindung atau
hutan kawasan konservasi, akhir‐akhir ini menjadi issue nasional yang mengemuka karena pro‐
dan kontra. Sebagai contoh rencana pembangunan jalan yang melintasi TNKS dengan alasan
sebagai jalan evakuasi jika Gunung Kerinci dan Gunung Kunyit meletus, ditolak oleh banyak pihak karena dinilaiakan mengancam kelestarian TNKS.
Jauh sebelumnya, tahun 2002, rencana pembangunan jalan LADIA GALASKA (Lautan
Hindia, Gayo Alas, dan Selat Malaka) menuai kontroversial berbagai pihak dan menjadi issue
nasional. Proyek yang menghubungkan antara lintas timur dan lintas barat Aceh sepanjang
470 kilometer dengan menembus kawasan dataran tinggi Leuser dikhawatirkan akan
merupakan proyek pembangunan jalan untuk membuka isolasi dan mendistribusikan
pembangunan dengan membuat akses jalan yang menghubungkan Meulaboh, Jeuram,
Takengon, Blangkejeren, Panaron, sampai ke Perlak di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
(NAD). Dengan terbukanya isolasi isolasi masyarakat Aceh di pantai barat terhadap kehidupan
ekonomi di pantai timur (Selat Malaka) maka diharapkan pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi akan meningkat. Di sisi lain, pembangunan jalan dengan memotong suatu ekosistem
kawasan yang dilindungi akan mengakibatkan fragmentasi habitat dan menciptakan isolasi
bagi hidupan liar dalam ekosistem tersebut yang berakibat pada kepunahan.
II. TINJAUAN TEORITIS TENTANG FRAGMENTASI HUTAN3
Membahas tentang dampak pembangunan terhadao ekosistem hutan, tidak bisa lepas
dari pemahaman dan aplikasi pengetahuan tentang ekologi lanskap. Di dalam ekoologi
lanskap, dijelaskan tentang penyebab, proses terjadinya dan dampak yang terjadi akibat
perubahan sturuktur dan konfigurasi lanskap. Fragmentasi, efek tepi, isolasi, metapopulasi
dan koridor adalah sebagian aspek yang dijelaskan dalam ekologi lanskap. Oleh karena itu,
sebelum membicarakan perihal dampak pembangunan jalan terhadap ekosistem hutan, ada
baiknya kita memahami hal‐hal sebagai berikut.
Ekologi Lanskap
Mempelajari fragmentasi merupakan bagian dari ilmu ekologi lanskap. Ekologi lanskap
merupakan bagian ilmu ekologi yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh
kelimpahan dan distribusi organisme. Ekologi lanskap merupakan sub disiplin ekologi dan
geografi yang khusus mempelajari variasi spasial dalam lanskap yang mempengaruhi proses‐
proses ekologi seperti distribusi, aliran materi dan energi, serta individu dalam lingkungannya.
Ekologi lanskap bertujuan mempelajari sebab dan akibat dari heterogenitas spasial
dengan melihat bagaimana struktur spasial mempengaruhi kelimpahan organisme pada skala
lanskap, serta perilaku dan fungsi lanskap secara keseluruhan. Hal ini berarti juga mempelajari
pola, atau keteraturan internal lanskap, proses atau operasi kontinu dari fungsi organisme
(Turner 1989). Dalam ekologi lanskap juga dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat
mempengaruhi daya hidup suatu populasi (population viability).
Matrix
Matrix merupakan background sistem ekologi dari suatu lanskap dengan derajat
konektifitas yang tinggi. Konektivitas adalah ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan
(network) atau matrix terhubung atau berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh,
suatu lanskap berhutan (matrix) yang memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan hutannya
berarti memiliki konektifitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi penting sebagai jalur
penghubung antara suatu tipe tutupan lahan yang berbeda dengan tetangga di kedua sisinya
3
Isi dari bab ini diambil dari buku karya Gunawan, H. dan L.B. Prasetyo dengan judul Fragmentasi Hutan: Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan (2013)
(Forman, 1995). Suatu jaringan (network) merupakan suatu sistem hubungan antar koridor,
sementara mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan matrix yang
membentuk suatu lanskap dalam suatu kesatuan (Forman 1995).
Patch
Patch didefinisikan sebagai suatu area yang relatif homogen yang berbeda dengan
sekelilingnya (Forman 1995). Patch merupakan unit dasar dari lanskap yang berubah dan
berfluktuasi. Proses perubahan dan fluktuasi ini disebut sebagai dinamika patch. Patch
memiliki bentuk tertentu dan konfigurasi spasial, dan dapat digambarkan dalam komposisi
variabel‐variabel internalnya seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi pohon, atau
variabel lainnya (Forman 1995).
Boundary dan Edge
Patch bisa memiliki batas (boundary) yang jelas atau tidak jelas (kabur) (Sanderson &
Harris 2000). Suatu zona yang tersusun atas ekosistem edge di perbatasan disebut boundary
(Forman 1995). Edge (tepi) berarti bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis
kelilingnya (perimeter), dimana pengaruh‐pengaruh dari patch yang berdekatan dapat
menyebabkan perbedaan lingkungan antara interior suatu patch dengan tepiannya (edge)
(Turner and Gardner 1991).
Koridor
Koridor merupakan komponen lanskap berbentuk strip atau jalur lahan yang berbeda
dengan matrix di sekitarnya. Koridor merupakan areal yang menghubungkan antar patch‐
patch sehingga berperan sebagai lintasan atau saluran bagi organisme untuk bertukar atau
berpindah dari suatu patch ke patch lain. Koridor dapat menjadi saluran untuk perpindahan
atau penghalang (barrier) atau penyaring (filter), misalnya untuk aliran gen. Bentuk lain
konektivitas habitat adalah batu loncatan (stepping stone) yaitu satu atau lebih kantong
habitat (habitat patches) yang secara ekologis terisolasi yang memberikan sumberdaya dan
tempat pengungsian bagi satwa dalam perpindahan menjelajahi suatu lanskap.
Koridor satwaliar menjadi pertimbangan dalam konservasi di populasi‐populasi kecil
yang terfragmentasi karena merupakan sarana untuk menghubungkan populasi‐populasi
tersebut. Dengan memberikan lintasan untuk perpindahan antar populasi tersebut melalui
koridor maka dapat meningkatkan peluangnya untuk survival. Koridor satwaliar dapat
berbentuk seperti tanaman pagar, kanal, selokan, pinggiran jalan dan rel, serta sungai (Meret
2007).
Fragmentasi Habitat
Habitat adalah suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan,
cover dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan normal hidup
dan berkembang (Helms, 1998). Definisi habitat terbaru yang relevan untuk pengelola satwa
yang memberikan tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi suatu
organisme. Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah sumberdaya spesifik yang
dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al. 1997).
Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau (MacArthur &
Wilson 1967), yakni jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila
2002). Fragmentasi penting mendapat perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies
dari komunitas, trend populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati ekosistem secara
keseluruhan (Morrison et al. 1992).
Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe landuse
menjadi bidang‐bidang lahan yang lebih kecil dan fragmentasi juga merupakan sebuah hasil
dimana proses fragmentasi mengubah atribut‐atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap
yang ada. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat
patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong‐kantong (patches) habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak
sesuai bagi spesies yang ada (Wiens 1990).
Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat
menyebabkan kepunahan lokal :
1. Spesies dapat mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi;
2. Kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya
heterogenitas internal;
3. Fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko
lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau
disfungsi sosial;
4. Fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat
menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh
merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).
Metapopulasi
Konsekuensi lebih lanjut dari fragmentasi adalah terbentuknya metapopulasi. Levins
(1970) adalah orang pertama yang menggunakan istilah metapopulasi dan memperkenalkan
konsep metapopulasi sebagai suatu populasi yang tersusun atas populasi‐populasi lokal yang
dianggap akan mati dan dikolonisasi lagi secara lokal. Metapopulasi model Levins sangat
sederhana karena ia memberikan setiap patch nilai yang sama sebagai sumber individu yang
menyebar dan memiliki peluang kepunahan yang sama, dan peluang keberhasilan dispersal
adalah sama di semua patch (Burel dan Baudry, 2003). Model dan konsep Levins kemudian
disebut metapopulasi klasik.
Hanski dan Simberloff (1997) mendefinisikan metapopulasi sebagai sekumpulan
populasi‐populasi lokal di dalam beberapa area dan ditandai adanya migrasi dari satu populasi
lokal ke beberapa patch lain yang memungkinkan. Metapopulasi umumnya terjadi ketika
kondisi lingkungan dan karakteristik spesies memberikan pertukaran yang kurang sempurna
berada pada kondisi heterogen pada suatu wilayah atau lansekap yang menyebabkan isolasi
parsial individu (Morrison et al., 1992).
Berdasarkan teori yang dibangun oleh Hanski & Simberloff (1997) serta Harrison &
Taylor (1997) maka metapopulasi dibagi menjadi empat tipe yaitu :
1. Classic metapopulation: suatu jaringan besar dari patches kecil yang serupa, dengan
dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dinamika
metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana semua populasi lokal,
meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu resiko kepunahan
yang signifikan.
2. Mainland‐island: sistem dari habitat patches (islands) berlokasi di dalam jarak sebaran
dari suatu habitat yang sangat besar (mainland) di mana populasi lokal tidak akan
pernah punah.
3. Nonequilibrium metapopulation: metapopulasi di mana laju kepunahan (jangka
panjang) melampaui laju kolonisasi atau sebaliknya; suatu kasus ekstrim di mana
populasi‐populasi lokal berlokasi sangat berjauhan satu sama lain sampai tidak ada
migrasi di antara mereka sehingga tidak ada peluang rekolonisasi. Sesungguhnya,
mereka mungkin tidak mengambarkan metapopulasi sama sekali, tetapi lebih sebagai
kumpulan populasi terisolasi yang tidak saling berinteraksi
4. Patchy population: suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar sub populasi
sangat tinggi sehingga dapat dikatakan secara efektif merupakan satu populasi. Dalam
patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari lebih satu sub
populasi sepanjang hidupnya.
I
Gambar 1. Tipe‐tipe metapopulasi.
Isolasi Patch
Isolasi habitat patches (kantong‐kantong habitat) terjadi seiring lanskap yang terus
terfragmentasi. Areal‐areal dari tipe yang sama menjadi terisolasi, tidak hanya oleh jarak
tetapi juga oleh ketidakcocokan karena gangguan lingkungan, memposisikan tumbuhan dan
satwa tanpa adaptasi untuk perpindahan jarak panjang pada situasi yang tidak
“Classic” (Levins) metapopulation
Mainland – Island metapopulation
Nonequilibrium
metapopulation Patchy Population
Keterangan:
Patch hitam berpenghuni, patch
putih kosong
Sumber: Hanski & Simberloff
menguntungkan. Ketidakmampuan spesies untuk berpindah antar kantong habitat
menyebabkan hilangnya variasi genetik dan keanekaragaman yang akhirnya dapat
mengakibatkan hilangnya spesies tersebut di dalam habitat yang tefragmentasi itu. Seiring
dengan lingkungan yang terganggu menjadi meningkat ketidakcocokannya, bahkan spesies
yang lebih mobile pun dapat terhambat dalam perpindahan antar pulau habitat.
Saat ini banyak komunitas dan fragment‐fragment ekosistem yang terpisah jauh dan
sangat berkurang luasnya sehingga banyak satwa gagal mempertahankan populasinya.
Komunitas‐komunitas tersebut menjadi sistem tertutup sehingga rawan menghadapi
perubahan katastropik dari kejadian‐kejadian seperti penyakit, kekeringan, angin topan atau
banjir. Tanpa koridor penghubung atau stepping stones, spesies‐spesies tersebut menghadapi
ancaman inbreeding dan kehilangan keanekaragaman genetik yang berlanjut pada penurunan
jumlah dan bahkan kepunahan.
Efek Tepi (Edge Effect)
Edge adalah bagian luar dari batas (boundary) suatu kantong habitat (habitat patch).
Efek tepi (Edge effect) adalah suatu kondisi dimana habitat yang sesuai menjadi kurang sesuai
atau sebaliknya bagi suatu spesies karena bersebelahan dengan lahan bukan habitat (non
habitat). Edge effect terjadi di dekat perbatasan dua atau lebih tipe habitat yang berbeda. Edge effect menguntungkan bagi banyak spesies tumbuhan dan satwa karena edge
memberikan mereka manfaat dari dua atau lebih tipe habitat untuk survival mereka. Tetapi
banyak spesies lain yang mendapatkan pengaruh negatif akibat terlalu banyaknya edge.
Konsentrasi banyak spesies dekat edge menyebabkan meningkatnya kompetisi, pemangsaan
dan parasitisme. Invasi spesies eksotis sangat berkaitan dengan edge. Banyak spesies eksotik
masuk ke interior, bermula dari zona tergangu yang ditimbulkan oleh manusia.
III. KEGIATAN PEMBANGUNAN DI KAWASAN HUTAN DAN DAMPAKNYA
A. Kegiatan Sumber Dampak
Kegiatan pembangunan merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari guna
memajukan kesejahteraan bangsa dan meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Pembangunan membutuhkan lahan yang luas dan kawasan hutan merupakan cadangan lahan
yang tersedia hingga saat ini. Banyak kegiatan pembangunan yang harus dilakukan dengan
mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Otonomi daerah semakin mempercepat
proses perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
Sejak UU No. 26 Tahun 2007 ditetapkan, ada 22 provinsi yang mengajukan perubahan
fungsi dan kawasan hutan dalam Revisi RTRWP. Sementara 11 provinsi lainnya tidak
mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan dalam Revisi RTRWP nya4.
Penulis terlibat dalam Tim Revisi RTRW di 10 provinsi. Ke 22 provinsi yang mengusulkan
perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan adalah:
4
• Tahun 2007 (1 provinsi): Kalteng
• Tahun 2008 (3 provinsi ): Kalsel, Kalbar, Kaltim
• Tahun 2009 (7 provinsi): Sumut, Riau, Kepri, Jambi, Babel, Sultra, Gorontalo
• Tahun 2010 (8 provinsi): Aceh, Bengkulu, Sumbar, Sulut, Sulteng, Sulbar, Maluku,
Papua.
• Tahun 2011 (3 provinsi): Sumsel, Malut, Papua Barat
Provinsi‐provinsi yang mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan
umumnya untuk memenuhi kebutuhan lahan dalam rangka pembangunan sebagai berikut:
1. Jalan provinsi dan jalan kabupaten untuk membuka isolasi dan meratakan
pembangunan serta meningkatkan perekonomian daerah.
2. Perkantoran pemerintahan antara lain : kantor gubernur dan DPRD I, kantor bupati
dan DPRD II, kantor polisi, militer, kantor kecamatan dan desa.
3. Pelabuhan dan sarana pergudangan
4. Lapangan terbang dan sarana jalan akses serta perkantorannya.
5. Perkebunan besar 6. Pertanian rakyat
7. Pertambangan (seperti batubara, nikel dan emas)
8. Bendungan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air
9. Kawasan Industri dan kawasan pengembangan ekonomi lainnya
10. Pemukiman dan Perkotaan.
11. Jaringan irigasi
12. Jaringan listrik Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)
13. Transmigrasi (lokal dan nasional)
Dalam beberapa kasus, perubahan fungsi dan peruntukan tersebut merupakan
keterlanjuran. Artinya dalam kondisi nyatanya kawasan hutan telah berubah fungsi dan
peruntukan seperti telah menjadi pemukiman, partanian rakyat, transmigrasi, jalan dan
bahkan kantor pemerintahan. Dengan demikian kegiatan penempatan lokasi‐lokasi
pembangunan tersebut tidak direncanakan secara terpadu dengan mempertimbangkan aspek‐
aspek ekologi seperti integritas ekosistem, kekompakan habitat dan keseimbangan serta
keselarasan dengan fungsi ekosistem secara keseluruhan, tetapi hanya mempetimbangkan
aspek ekonomi dan sosial. Sebagai contoh dalam pembangunan jalan, tentunya dipilih rute
yang terpendek walaupun harus menembus kawasan konservasi. Contoh lain adalah
pemukiman yang dari awalnya merupakan pondok kerja di ladang kemudian berkembang
menjadi pemukiman yang berada di dalam atau di tepi kawasan konservasi. Membiarkan dan
memindahkan pemukiman tersebut sama sama menjadi dilema.
B. Dampak pada Ekosistem Hutan
Kegiatan pembangunan yang telah diuraikan di atas, menimbulkan dampak permanen
pembangunannya telah selesai. Dampak sesaat hanya dirasakan pada saat kegiatan
pembangunan berlangsung. Dampak permanen umumnya disebabkan oleh perubahan
struktur dan konfigurasi lanskap yang terjadi seiring perubahan fungsi dan peruntukan.
Dampak permanen yang akan terus berlangsung meskipun kegiatan pembangunan telah
selesai antara lain :
1. Fragmentasi habitat (Habitat fragmentation)
2. Kehilangan habitat (Habitat loss)
3. Penyusutan habitat (Habitat shrinkage)
4. Penurunan kualitas habitat (Habitat degradation)
5. Efek tepi (Edge effect)
6. Isolasi habitat
7. Penurunan/penambahan ragam habitat (Habitat diversity)
Dampak sesaat dan langsung diterima oleh satwaliar ketika ada kegiatan
pembangunan di kawasan hutan antara lain adalah :
1. Kebisingan suara alat berat, mobil proyek dan mesin‐mesin seperti generator dan
mesin tiang pancang.
2. Pencemaran air sumber minum satwa akibat limbah domestik dan operasional mesin‐
mesin.
3. Gangguan aktifitas manusia dan sorot lampu penerangan
4. Perburuan atau pembunuhan akibat tertimpa pohon, tertabrak kendaraan atau telur
pecah akibat sarang jatuh.
5. Penebangan pohon yang menyebabkan hilangnya pohon pakan, pohon sarang dan
tempat berlindung.
Disamping berdampak pada habitat, kegiatan pembangunan di kawasan hutan juga
berdampak pada individu spesies, populasi dan komunitas satwaliar, baik secara langsung
(primer) maupun tidak langsung (sekunder dan tersier). Semua dampak pada akahirnya akan
dirasakan oleh individu spesies, populasi dan komunitas. Dampak kegiatan pembangunan di
kawasan hutan terhadap individu, populasi dan komunitas satwa liar antara lain adalah :
1. Penurunan populasi : mati, kurang pakan, pindah
2. Terganggunya reproduksi : semakin jauh/sulit bertemu pasangan, hilangnya pohon
sarang; tempat melahirkan dan memelihara anak
3. Terganggunya kenyamanan akibat kebisingan, gangguan
4. Terganggunya keamanan akibat meningkatnya predasi, perburuan
5. Perubahan perilaku : agresif atau sebaliknya menjadi jinak; pemangsaan ternak dan
manusia; perubahan jenis pakan atau jenis pohon sarang
6. Terganggunya rantai makanan pada komunitas dalam ekosistem akibat ada satu atau
beberapa mata rantai yang hilang atau tidak berimbang.
Gunawan (2014) dalam bukunya ”Mengintegrasikan Keanekaragaman Hayati Dalam
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan” (dalam persiapan penerbitan)
mencontohkan
beberapa kegiatan pembangunan yang berdampak penting terhadap ekosistem hutan, habitat
dan keanekaragaman hayati satwaliar, baik pada tingkat individu, populasi maupun komunitas
merupakan komponen lingkungan yang paling banyak menerima dampak (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Kegiatan pembangunan dan dampaknya terhadap habitat keanekaragaman hayati*.
Kegiatan Pembangunan Dampak Terhadap Habitat Keanekaragaman Hayati
Fragmentasi Hilang/ Menyusut Kualitas Efek Tepi Ragam Habitat Penambangan batubara, nikel, andesit atau emas sistem
terbuka di kawasan hutah
Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Tidak
Pambangunan jalan tol, jalan provinsi, jalan kabupaten yang
membelah kawasan hutan
Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Tidak
Pembangunan perkebunan Teh di tengah kawasan hutan Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐/+) Ya (‐) Ya (+)
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan mengkonversi
kawasan hutan
Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (+)
Penyiapan lahan perkebunan dengan cara tebas bakar Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Tidak
Pembangunan saluran irigasi yang melewati kawasan hutan Ya (‐) Ya (‐/+) Ya (‐/+) Ya (‐) Ya (+)
Pembangunan SUTET melewati kawasan hutan Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (+)
Pembangunan jalan eksploitasi hutan atau jalan perkebunan Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐)
Aktifitas alat berat dan kendaraan berat di dalam dan sekitar
hutan
Tidak Tidak Ya (‐) Ya (‐) Tidak
Penggunaan pestisida dan herbisida di perkebunan besar Tidak Tidak Ya (‐) Tidak Tidak
Pembangunan dermaga/ pelabuhan dan aktifitas
operasionalnya
Tidak Tidak Ya (‐) Tidak Tidak
Pembangunan lapangan golf di tengah kaawasan hutan Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐) Ya (‐
/+)
Ya (+)
Penyimpanan minyak (BBM) secara sembarangan dalam
kegiatan perkebunan atau eksploitasi hutan
Tidak Tidak Ya (‐) Tidak Tidak
Pembangunan kanal‐kanal dalam pembangunan perkebunan di
lahan gambut
Ya (‐) Ya (‐) Tidak Ya (‐) Tidak
Pembangunan hutan tanaman industri di lahan savana Tidak Tidak Ya (+) Tidak Ya (+)
Pembangunan hutan tanaman industri dengan mengkonversi
hutan alam
Tidak Tidak Ya (‐) Tudak Ya (‐)
* Sumber : Gunawan (2014)
Keterangan : (‐) = dampak negatif (+) = dampak positif
(‐/+) = kemungkinan dampak positif dan negatif bersamaan atau bergantian
Tabel 2. Kegiatan pembangunan dan dampaknya terhadap individu, populasi dan komunitas
keanekaragaman hayati satwaliar
Kegiatan Pembangunan Dampak Terhadap Individu, Populasi atau Komunitas Fauna
Kelimpahan Reproduksi Kenyamanan Keamanan Perubahan
Perilaku
Penambangan Batubara, Nikel,
Andesit atau Emas sistem
terbuka di kawasan hutah
TL (‐) Mengurangi daya tampung/daya dukung TL (‐) Menghalangi perjumpaan untuk kawin L (‐) Kebisingan alat berat L (‐) Meningkat kan resiko perburuan L (‐) Stress
Pambangunan jalan tol, jalan
provinsi, jalan kabupaten yang
membelah kawasan hutan
TL (‐) Mengurangi daya tampung/daya dukung Tl (‐) Menghalangi perjumpaan untuk kawin L (‐) Kebisingan lalu lintas L (‐) Mati tertabrak kendaraan Tidak Stress
Pembangunan perkebunan Teh
di tengah kawasan hutan
L (‐/+) Mengurangi tempat Tl (‐) Menghalangi L (‐/+) Aktifitas L (‐) Meningkat L (‐) Stress,
Kegiatan Pembangunan Dampak Terhadap Individu, Populasi atau Komunitas Fauna
Kelimpahan Reproduksi Kenyamanan Keamanan Perubahan
Perilaku berlindung; menambah ruang mencari pakan perjumpaan untuk kawin manusia/Temp at mencari makan kan resiko perburuan perubahan diet pakan Pembangunan Perkebunan
Kelapa Sawit dengan
mengkonversi kawasan hutan
L (‐/+) Mengurangi daya tampung; menambah ragam pakan Tl (‐) Menghalangi perjumpaan untuk kawin L (‐) Aktifitas manusia/Temp at mencari makan L (‐) Meningkat kan resiko perburuan L (‐) Stress, perubahan diet pakan
Penyiapan lahan perkebunan
dengan cara tebas bakar
L (‐) Mengurangi daya dukung/daya tampung Tl (‐) Menghalangi perjumpaan untuk kawin L (‐) Aktifitas manusia/temp at mencari makan, tidur, bermain L (‐) Membunuh, membakar sarang, tempat tidur L (‐) Stress
Pembangunan saluran irigasi
yang melewati kawasan hutan
TL (+)
Menyediakan
tempat minum dan
pakan) Tl (‐/+) Menghalangi perjumpaan pasangan kawin L (‐/+) Menambah ragam habitat; aktifitas manusia mengganggu L (‐/+) Memingkatk an resiko perburuan; menjadi penghalang predator/ pemburu Tidak
Pembangunan SUTET melewati
kawsan hutan TL (‐) Mengurangi daya tampung Tl (‐) Menghalangi perjumpaan pasangan kawin L (‐) Gangguan aktifitas manusia L (‐) Meningkat kan resiko pemangsa an dan perburuan Tidak
Pembangunan jalan eksploitasi
hutan atau jalan perkebunan
TL (‐) Mengurangi daya tampung/daya dukung Tl (‐) Menghalangi perjumpaan pasangan kawin L (‐) Kebisingan; Gangguan aktifitas manusia L (‐) Meningkat kan resiko pemangsa an dan perburuan Tidak
Aktifitas alat berat dan
kendaraan berat di dalam dan
sekitar hutan Tl (‐) Mengurangi daya tampung Tl (‐) Mengganggu proses perkawinan L (‐) Kebisingan; Gangguan aktifitas manusia L (‐) Meningkat kan resiko perburuan dan kecelakaan L (‐) Stress
Penggunaan pestisida dan
herbisida di perkebunan besar
L (‐) Mematikan langsung individu Tl (‐) Mengurangi kesuburan L (‐) Pakan menjadi tidak available L (‐) Pakan tidak enak, menimbul kan sakit Tidak Pembangunan dermaga/
pelabuhan dan aktifitas
operasionalnya L (‐) Mengurangi daya tampung/daya dukung fauna perairan Tl (‐) Mengganggu proses reproduksi seperti pemijahan L (‐) Perairan tercemar mematikan sumber pakan L (‐) Perairan tidak sehat dan tidak aman untuk hidup Tidak
Pembangunan lapangan golf di
tengah kaawasan hutan
L (‐/+) Mengurangi daya tampung, menciptakan habitat baru Tl (‐) Menjadi penghalang pertemuan pasangan L (‐/+) Gangguan aktifitas manusia L (‐) Meningkat kan resiko perburuan Tidak Penyimpanan minyak (BBM)
secara sembarangan dalam
kegiatan perkebunan atau
eksploitasi hutan
L (‐)
Menyebabkan
kematian langsung
fauna tanah dan
perairan Tidak L (‐) Habitat tercemar menjadi tidak nyaman L (‐) Meningkat kan resiko kematian akibat terkontamin asi Tidak
Pembangunan kanal‐kanal dalam
pembangunan perkebunan di
lahan gambut
L (‐)
Mengurangi daya
tampung dan daya
dukung Tl (‐) Menjadi penghalang pertemuan pasangan L (‐) Menghalangi pergerakan; perairan tercemar L (‐/+) Meningkat kan resiko perburuan Tidak
Pembangunan Hutan Tanaman
Industri di lahan savana
TL (+/‐) Meningkat kan Tl (+) Menjadi tempat L (+) Menyediakan L (+) Menjadi Tidak
Kegiatan Pembangunan Dampak Terhadap Individu, Populasi atau Komunitas Fauna
Kelimpahan Reproduksi Kenyamanan Keamanan Perubahan
Perilaku ragam habitat; mengurangi graziing area aman bersarang, memelihara anak tenpat berlindung dari panas matahari tempat bersembu nyi/berlin dung
Pembangunan Hutan Tanaman
Industri dengan mengkonversi
hutan alam L (‐) Mengurangi daya tampung/daya dukung Tidak L (‐) Gangguan aktifitas manusia dan bising kendaraan L (‐) Meningkatka n resiko2 perburuan dan kecelakaan Tidak * Sumber : Gunawan (2014) Keterangan :
L = Langsung; TL = Tidak Langsung (‐) = dampak negatif; (+) = dampak positif
C. Proses Terjadinya Dampak
Kegiatan pembangunan di kawasan hutan menimbulkan dampak melalui beberapa
tahapan atau proses hingga akhirnya mengubah struktur dan pola lanskap. Menurut Forman
(1995), lanskap berubah melalui lima proses spasial dengan berbagai derajat overlap
sepanjang periode perubahan lahan, yaitu:
1. Perforasi (perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam habitat.
2. Pemotongan (dissection) adalah pemotongan atau pembagian area menjadi habitat
berbeda dengan lebar yang relatif sama.
3. Fragmentasi (fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan‐potongan
yang lebih kecil.
4. Penyusutan (shrinkage) terjadi seiring potongan habitat berlanjut dengan penurunan
luas.
5. Erosi habitat (attrition) adalah proses dimana fragment habitat yang tersisa berangsur
hilang, karena degradasi habitat atau suksesi.
Kadang‐kadang proses‐proses tersebut bisa merupakan proses yang direncanakan dan
telah diprediksi dampaknya, namun dapat juga merupakan dampak ikutan yang tidak
diprediksi. Sebagai coontoh, ketika membuat jalan tembus melintasi suatu kawasan
konservasi maka dampak yang sudah terprediksi adalah proses pemotongan (dissection) yang
menyebabkan fragmentasi, namun seringkali kemudian diikuti oleh kegiatan illegal berupa
tumbuhnya pemukiman liar di tepi jalan yang berdampak pada penurunan luas habitat
(shrinkage) atau perambahan di dalam kawasan yang menyebabkan terjadinya Perforasi (perforation). Erosi habitat akan terjadi seiring dengan waktu karena populasi penghuni
pemukiman bertambah dan kebutuhan lahan meningkat.
Oleh karena itu dalam pembangunan jalan melintasi kawasan hutan atau pembangunan
lain di dalam kawasan hutan harus direncanakan dengan matang dan mempertimbangkan
aspek ekologi, disamping aspek sosial dan ekonomi. Pembangunan tak dapaat dihentikan
karena menyangkut pemenuhan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia, namun dampak
negatif setidaknya dapat diminimalisir jika tidak dapat dihindari sama sekali. Segala upaya
ditujukan untuk menghindari atau memperkecil proses‐proses : perforasi, pemotongan,
fragmentasi, penyusutan dan erosi habitat.
D. Fragmentasi
Menurut Kupfer et al. (2004) ada empat cara primer fragmentasi hutan dapat
mempengaruhi keanekaragaman hayati, yaitu: (1) keterwakilan (sample effect); (2) luas area
(area effect); (3) isolasi (isolation effect) dan (4) pengaruh tepi (edge effect). Masing‐masing
pada gilirannya akan berpengaruh pada sebaran populasi, komunitas dan proses ekosistem.
Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe pengaruh: (1) ukuran patch;
(2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3) pengaruh isolasi (Fahrig, 2003). Ahli satwa harus
memperhatikan semua karena ketiganya terjadi pada fragmentasi habitat dan masing‐masing
memerlukan penanganan yang berbeda (Franklin et al. 2002; Fahrig 2003).
Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya
adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat,
dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwaliar generalis. Fragmentasi memberikan
pengaruh negatif ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih kecil
yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat‐habitat tidak lagi
bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan (4)
jumlah edge meningkat sehingga fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes 2000).
IV. IMPLIKASI MANAJEMEN
Pembangunan jalan melintasi kawasan hutan merupakan kebutuhan yang datak dapat
dihindarkan. Hal ini terbukti dari usulan revisi RTRWP 33 provinsi di Indonesia, 22 provinsi
diantaranya mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Di antara banyak
tujuan dan kepentingan, pembangunan jalan tampaknya merupakan kebutuhan mendasar
yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pembangunan lainnya. Hal ini dikarenakan jalan
merupakan akses distribusi barang dan pergerakan manusia serta merupakan sarana
pendistribusian pembangunan dan hasil‐hasilnya yang sangat penting bagi pertumbuhan
ekonomi suatu daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Disamping fungsinya yang sangat penting bagi manusia, pembangunan jalan juga
berdampak penting bagi ekosistem hutan dan dampaknya dapat berlangsung permanen serta
cenderung semakin memburuk. Kepentingan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya
di satu sisi, dan kepentingan konservasi untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan
ekosistem di sisi yang lain dapat berjalan berdampingan secara optimum dengan aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Di anatara banyak dampak kegiatan pembangunan di kawasan hutan, fragmentasi
merupakan issue sentral yang menjadi perhatian banyak pihak terutama pemerhati dan
penggiat konservasi. Fragmentasi terjadi terutama ketika suatu lanskap hutan dipotong oleh
fitur linear berupa jalan yang semakin lama akan membentuk jaringan jalan yang bukan saja
juga menyebabkan pengurangan luas dan menyebabkan isolasi habitat. Jaringan jalan ini
bukan saja dibuat untuk kepentingan akses provinsi, kabupaten hingga jalan desa, tetapi juga
dibangun oleh kegiatan pembangunan lainnya seperti penambangan, eksploitasi hutan,
perkebunan dan hutan tanaman. Oleh karena itu, pembangunan jaringan jalan tersebut
menjadi ancaman bagi kekompakan lanskap hutan yang pada akhirnya berdampak pada
kepunahan keanekaragaman hayati.
Untuk memperkecil dampak yang disebabkan oleh fragmentasi, maka pembangunan
jalan diusahakan agar`(1) sekecil mungkin menyebabkan kehilangan habitat, (2) sedekat
mungkin memisahkan habitat, (3) sesedikit mungkin mengakibatkan efek tepi, dan (4) masih
menyisakan habitat interior di masing‐masing fragment habitat. Oleh karena itu, setiap
pembangunan jalan melewati kawasan hutan, terutama yang berfungsi konservasi agar
dirancang secara terintegrasi dan menyeluruh dengan melibatkan semua stakeholder (ahli
satwaliar, ahli ekologi, ahli teknik sipil jalan,dan ahli lain yang relevan). Gambar berikut ini
memberikan bentuk‐bentuk dan pola fragmen habitat dengan kebaikan dan keburukannya.
Apabila pemecahan habitat besar menjadi patch‐patch habitat lebih kecil tak dapat
dihindari maka patch‐patch habitat kecil tersebut harus dihubungkan oleh koridor‐koridor
yang memungkinkan terjadinya pergerakan dan pertukaran individu dan genetik sehingga
meningkatkan daya survival sub populasi‐sub populasi dalam patch‐patch habitat tersebut.
Sayangnya di Indonesia, konsep koridor bagi satwa yang habitatnya terpotong oleh jalan
belum menjadi perhatian perencana dan pelaksana pembangunan jalan. Koridor lintasan
satwa masih dianggap tidak penting karena tidak berdampak langsung pada manusia dan
bukan kepentingan manusia. Berbeda dengan koridor atau jembatan penyeberangan orang
Gambar 2. Bentuk, ukuran dan
konfigurasi patch serta kebaikan dan
keburukannya (www.ca.uky.edu).
Gambar 3. Bentuk dan ukuran serta
kelebihan dan kekuranganya
yang sudah menjadi kebutuhan mendasar manusia sehinga menjadi kewajiban bagi perencana
dan pelaksana pembangunan jalan untuk menyediakannya.
Ke depan, seharusnya kepada semua penanggung jawab perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan jalan diwajibkan membuat koridor lintasan bagi satwa yang habitatnya
dipotong oleh jalan tersebut. Pembuatan kooridor lintasan satwa dari patch habitat yang
terpisah oleh jalan raya, sangat penting bagi kelestarian berbagai jenis satwa khususnya dan
keseimbangan ekosistem pada umumnya.
Koridor memiliki peranan yang sangat strategis terutama jika antar patch habitat
dipisahkan oleh bukan saja jalan raya tetapi juga oleh penggunaan lahan lainnya seperti
pemukiman, lahan pertanian, jaringan irigasi dan lain‐lain sehingga jarak antar patch habitat
cukup jauh. Menurut Meret (2007) koridor perlu dibuat karena memberikan manfaat:
1. Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman,
meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan
menghindarkan inbreeding.
2. Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas.
3. Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan
gangguan lainnya.
Di sisi lain, koridor juga memiliki kerugian, seperti meningkatnya predasi terhadap
spesies asli terutama jenis‐jens satwa kecil serta meningkatnya perburuan atau perusakan oleh
manusia karena lebih mudah dilakukan terutama di koridor yang sempit. Koridor juga dapat
menjadi saluran bagi alien species yang bersifat invasif, penyakit dan patogen. Prinsipnya
semakin lebar koridor adalah semakin baik karena menurunkan peluang predator menemukan
mangsanya, memberikan habitat bagi jenis‐jenis interior dan memberikan fungsi yang lebih
baik bagi pergerakan satwa.
Potensi merugikan lainnya dari koridor adalah (Meret 2007):
1. Meningkatkan imigrasi dapat menyebarkan penyakit, hama, spesies asing, menurunkan
tingkat keragaman genetik dan tekanan outbreeding.
2. Memfasilitasi penyebaran kebakaran dan meningkatkan keterbukaan terhadap
predator, pemburu dan pencuri.
3. Memerlukan biaya tidak sedikit.
Pengelolaan metapopulasi yang terbentuk akibat fragmentasi perlu direncanakan
melalui studi yang holistik dengan mengidentifikasi tipe‐tipe metapopulasi untuk kemudian
merancang tindakan apa yang diperlukan agar sub populasi‐sub populasi dapat bertahan dan
terhindar dari kepunahan. Tindakan tersebut dapat berbentuk membuat koridor antar sub
populasi atau membantu pertukaran genetik melalui program translokasi atau reintroduksi.
Translokasi dan reintroduksi perlu didahului penelitian untuk mengkaji kesesuaian habitat
tujuan untuk satwa yang akan dipindahkan. Translokasi atau reintroduksi diperlukan jika
pembuatan koridor sudah tidak memungkinkan karena terlalu jauh, terlalu mahal atau terlalu
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Fakta menunjukkan bahwa pembangunan jalan melewati kawasan hutan bukanlah
pilihan yang dapat ditolak atau disetujui, tetapi merupakan kebutuhan yang harus diwujudkan
dalam rangka membuka isolasi untuk memperlancar pemerataan kegiatan pembangunan dan
hasil‐hasilnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Setidaknya ada 22 provinsi akan membangun jalan melalui kawasan hutan.
Konsekuensinya, dampaknya pasti akan terjadi, baik langsung maupun tidak langsung, baik
permanen maupun sesaat. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah membuat
perencanaan yang baik dan melakukan mitigasi dampak dari sumbernya.
Fragmentasi habitat yang berujung pada kepunahan spesies merupakan issue sentral
yang mendapat perhatian berbagai kalangan dalam pembangunan jalan melewati kawasan
hutan. Oleh karena itu, pihak yang bertanggungjawab melaksanakan pembangunan jalan
harus dapat menjamin bahwa fragmentasi akan dicegah atau diminimalisir secara ketat antara
lain dengan cara menyediakan koridor dan mencegah terjadinya dampak lanjutan yang dapat
menyebabkan kehilangan habitat, degradasi habitat dan isolasi habitat.
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman hayati Indonesia 2003‐2020.
BAPPENAS. Jakarta.
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Government of Indonesia.
Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative Extension
Services, University of Kentucky, College of Agriculture, UK. http://www.ca.uky.edu.
Diakses tangal 24 Februari 2007.
Burel, F., dan J. Baudry. 2003. Landscape Ecology : Consepts, Methods and Application.
Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA.
Fahrig, L. 2003. Effects of habitat fragmentation on biodiversity. Annual Reviews of Ecology
and Systematics 34:487–515.
Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000‐2009.
Forest Watch Indonesia. Bogor.
Forman, R. T. T. 1995. Some general principles of landscape and regional ecology. Landscape
Ecology 10:133–142.
Franklin, A.B., B.R. Noon, and T. L.George. 2002. What Is Habitat Fragmentation? Studies in
Avian Biology No. 25:20‐29. http://www. humboldt. edu/‐tlg2/publications/whatis
habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007.
Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas
Cuvier, 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Gunawan, H. 2014. Mengintegrasikan Keanekaragaman Hayati Dalam Analisis Mengenai
Gunawan, H. dan L.B. Prasetyo. 2013. Fragmentasi Hutan: Teori yang mendasari penataan
ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Gunawan, H., L.B. Prasetyo, A. Mardiastuti and A.P. Kartono. 2013. Analisis Metapopulasi Dan
Prediksi Kepunahan Lokal Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di
Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Biologi ke XXII “Peran biologi dalam
pendayagunaan bioresources Indonesia untuk meningkatkan daya saing bangsa”, 30
Agustus – 1 September 2013.
Gunawan, H., L.B. Prasetyo, A. Mardiatuti dan A.P. Kartono. 2010. Fragmentasi Hutan Alam
Lahan kering di Provinsi Jawa tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.
VII (1): 75 – 91.
Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island biogeography to
landscape ecology. Ecological Applications 12:321–334.
Hall, L. S., P. R. Krausman, And M. L.Morrison. 1997. The habitat concept and a plea for
standard terminology. Wildlife Society Bulletin 25:173–182.
Hanski, I., and D. Simberloff. 1997. The metapopulation approach, its history, conceptual
domain, and application to conservation. pp. 5–26. In I. A. Hanski and M. E. Gilpin (eds.),
Metapopulation Biology. Academic Press, San Diego, Californina.
Harrison, S. and Taylor, A.D. 1997. Empirical Evidence for Metapopulation Dynamics. In:
Hanski, I. and Gilpin, M.E. (eds). Metapopulation Biology: Ecology, Genetic, and
Evolution. Academic Press, San Diego. Pp. 27‐42.
Helms, J.a. (ed). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American Forestry and CABI
Publishing. Bethesda, MD and Oxon, UK.
http://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Hutan_Hujan_Tropis_Sumatera. Diunduh 12 September
2014.
http://marwa89.wordpress.com/2010/03/19/proyek‐pembangunan‐jalan‐ladia‐galaska‐antara‐kontroversi‐
dan‐solusi/. Diunduh 12 September 2014.
http://regional.kompas.com/read/2011/04/01/21235634/Walhi.Ajukan.Bukti.Baru.Ladia.Galas
ka. Diunduh 12 September 2014.
http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/16/bakal‐bencana‐kolosal‐aceh‐itu‐bernama‐ladia‐
galaska‐479832.html
http://www.mongabay.co.id/2014/03/07/dinilai‐berpotensi‐bencana‐jalan‐menembus‐tn‐
kerinci‐seblat‐ditolak/
http://www.tfcasumatera.org/politik‐menarik‐suara‐dengan‐rencana‐membelah‐tnks/.
Diunduh 12 September 2014.
Kupfer, J.A., G.P. Malanson and S.B. Franklin. 2004. Identifying the Biodiversity Research
Needs Related to Forest Fragmentation. A report prepared for the National Commission
on Science for Sustainable Forestry (NCSSF) and funded by the National Council for
Science and the Environment (NCSE).
Levins, R. 1970. Extinction. Lectures on Mathematics in the Life Sciences 2:75‐107.
MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island biogeography. Princeton
University Press, Princeton, New Jersey, USA.
Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors.
http://www.science.memaster.ca..htm. Diakses Tanggal 02‐11‐2007.
Morrison, M.L., B.G. Marcot & R.W. Mannan. 1992. Wildlife‐Habitat Relationships. The
Sanderson, J. and L. D. Harris (eds.). 2000. Landscape Ecology: A Top‐Down Approach. Lewis
Publishers, Boca Raton, Florida, USA.
Turner, M.G. 1989. Landscape ecology: the effect of pattern on process. Annual Review of
Ecological Systems 20: 171‐197.
Turner, M.G. and R. H. Gardner (eds.). 1991. Quantitative Methods in Landscape Ecology.
Springer‐Verlag, New York, NY, USA.
