PENINGKATAN KADAR BIKARBONAT (HCO
3-) SALIVA AKIBAT
STIMULASI MEKANIS DAN KIMIA
Hervina
Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati, Denpasar E-mail: hervina_dentist@yahoo.com
ABSTRACT
Salivary buffer capacity is a defense gingival mechanism against acid, mainly determined by the concentration of salivary bicarbonate. Acid formed from glycolysis can cause dental caries. The prevalence of dental caries in Bali are 37.6% with 68.2% of caries experience. DMF-T index Bali is still high at 4.73, where the index DMF-T that can be tolerated by the WHO is 3. Increased levels of salivary bicarbonate can prevent dental caries, influenced by the stimulation of the oral cavity either mechanical or chemical. Salivary buffer capacity will also be effective in oral conditions that are stimulated. The purpose of this study to determine salivary bicarbonate levels due to mechanical and chemical stimulation. This research type is experimental randomized pretest-posttest control group design. Experimental subject were 22 students of the Faculty of Dentistry, University Mahasaraswati Denpasar fulfilled the inclusion criteria, divided into 2 groups. Group I as a control with mechanical stimulation gargling with sterile distilled water, and group II as a treatment by mechanical and chemical stimulation that gargling with 3% of green tea extract. The mean of bicarbonate levels after treatment were analyzed using independent t test, the mean levels of bicarbonate were significantly different between groups I and II (p = 0.000), mean group I 4.86 +0.61 mmol / L and Group II of 6.39 + 0.28 mmol / L. The conclution of this study, salivary bicarbonate levels increased due to mechanical and chemical stimulation. Key words: bicarbonate levels, saliva, mechanical stimulation, chemical stimulation
PENDAHULUAN
Penyakit karies gigi merupakan permasalahan yang sering dijumpai di rongga mulut. Karies gigi menjadi permasalahan tinggi dan paling umum di negara berkembang. Hampir seluruh penduduk di dunia pernah mengalami karies, dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Karies gigi yang tidak ditangani dengan baik dapat menurunkan produktifitas dan menjadi sumber infeksi lokal maupun sistemik. Prevalensi karies gigi di Provinsi Bali sebesar 37,6% dengan pengalaman karies sebesar 68,2%. Indeks DMF-T provinsi bali masih tinggi
yaitu sebesar 4,73, dimana indeks DMF-T yang masih dapat ditoleransi oleh WHO adalah 31.
Karies gigi merupakan demineralisasi jaringan keras gigi akibat pembentukan asam dari proses glikolisis. Asam yang terbentuk pada proses glikolisis dapat menyebabkan penurunan pH saliva sehingga terjadi demineralisasi gigi. Demineralisasi terjadi sebagai akibat ketidak
seimbangan suasana rongga mulut yang terdeteksi melalu pemeriksaan parameter saliva2.
Kapasitas buffer saliva merupakan mekanisme pertahanan gingiva terhadap asam, terutama ditentukan oleh 85% konsentrasi kadar bikarbonat, 14% fosfat, dan 1% protein saliva. Bikarbonat merupakan komponen organik utama dalam saliva yang mempengaruhi
kapasitas buffer saliva3. Kapasitas buffer saliva dipengaruhi oleh banyaknya sekresi dan aliran
saliva. Kapasitas buffer akan efektif dalam kondisi rongga mulut yang terstimulasi dimana dalam keadaan terstimulasi, sekresi dan aliran saliva akan meningkat. Salah satu mekanisme
sekresi saliva merupakan kegiatan reflex tidak bersyaraf yang stimulasinya berasal dari
rongga mulut. Stimulus tersebut terdiri dari dari stimulus mekanik dan kimiawi4. Stimulasi
mekanik dalam bentuk kegiatan pada rongga mulut meliputi berbicara, mengunyah, dan
berkumur, sedangkan stimulus kimiawi dalam bentuk kesan pengecapan5.
Teh hijau dipilih sebagai stimulus kimia karena mengandung polifenol yang terdiri dari tanin dan flavonoid. Tanin merupakan subkelas polifenol menyebabkan rasa pahit dan sepat pada teh hijau sehingga merangsang sistem saraf sentral untuk meningkatkan laju aliran saliva
yang berdampak pada peningkatan kadar bikarbonat saliva6. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan kadar bikarbonat saliva akibat stimulasi mekanis dan kimia.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat diagnosis steril sebanyak 11 set, penampung saliva, gelas kumur, stopwatch, alat pengukur bikarbonat meliputi; peralatan destilasi dengan pendingin liebig, pipet, buret digital merk Brand buatan Jerman, tabung
erlenmeyer, pemanas dan pengaduk digital merk Cimarec.
Bahan yang digunakan antara lain 10 ml larutan ekstrak teh hijau (ETH) 3%, larutan
Ba(OH)2 0,05M, larutan HCl 0,5 M, indikator metil oranye, akuades steril, sabun cuci dan
alkohol 90% untuk sterilisasi, roti tawar, kapas, tissue, sarung tangan, lap dada, masker.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimental Randomized pretest-posttest
control group design7. Sampel yang digunakan adalah mahasiswa FKG UNMAS yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu penderita karies, berjenis kelamin laki-laki,umur 18-23 tahun, tidak memiliki penyakit sistemik, tidak menggunakan alat ortodonsi, gigi tiruan maupun protesa lainnya, dan bersedia ikut dalam penelitian. Kriteria drop out adalah apabila sampel tidak hadir saat pengambilan data. Sampel diperoleh dengan rumus Pocock (2008), berjumlah 22 orang terbagi menjadi dua kelompok dengan teknik simple random sampling yaitu Kelompok I sebagai kontrol yaitu kelompok yang hanya mendapat stimulasi mekanis dengan berkumur 10 ml akuades selama tiga menit, dan Kelompok II sebagai kelompok perlakuan yang mendapat stimulasi mekanis dan kimia berupa berkumur dengan 10 ml ETH 3% selama tiga menit.
Protokol Penelitian
Protokol penelitian pada ke dua kelompok sebagai berikut: sebelum penelitian akan dilakukan, sampel tidak diperkenankan untuk makan, minum, maupun membersihkan rongga mulutnya, selama kurun waktu 60 menit, dan selama pengumpulan saliva sampel tidak diperkenankan untuk berbicara, menggerakkan lidah, mengunyah, dan melakukan gerakan penelanan. Setelah memasuki ruangan preklinik FKG UNMAS Denpasar, sampel disilakan untuk duduk dikursi yang telah tersedia. Sampel diberikan selembar roti tawar untuk dimakan dan dihabiskan dalam waktu dua menit. Segera setelah sampel selesai makan, sampel duduk yang nyaman dengan sandaran tegak, kemudian dilakukan pengumpulan saliva menggunakan
metode spitting. Saliva dibiarkan mengumpul di dalam rongga mulut dan setiap menit saliva
yang sudah terkumpul dikeluarkan ke dalam pot saliva8.
Pengumpulan saliva dilakukan selama 10 menit. Jumlah saliva yang terkumpul dalam pot saliva, kemudian dilakukan pengukuran kadar bikarbonat saliva awal (pre). Setelah saliva terkumpul, sampel diminta berkumur dengan larutan 10 ml akuades selama tiga menit (Kelompok I) dan 10 ml ETH 3% selama tiga menit (Kelompok II). Lima menit kemudian sampel kembali disilakan untuk mengumpulkan salivanya dengan menggunakan metode
spitting agar diperoleh kadar bikarbonat saliva setelah perlakuan.
Pembuatan Ektrak Teh Hijau
Daun teh hijau kering sebanyak satu kg diblender untuk mendapatkan serbuk daun teh. Serbuk daun teh dimasukkan ke dalam botol tertutup berwarna gelap dan direndam (maserasi) dengan 1,5 liter etanol 95%. Maserasi dilakukan pada suhu kamar selama tiga hari kemudian dilakukan pengadukan setiap hari. Setelah tiga hari perendaman dilakukan penyaringan. Etanol kemudian dihilangkan dengan cara diuapkan atau evaporasi. Ekstrak teh hijau 100% di lakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ekstrak teh hijau 3% diperoleh dengan melarutkan tiga gram ekstrak teh hijau 100% dengan akuades sampai mencapai 100 ml.
Tes fitokimia dilakukan setelah pembuatan ekstraks teh hijau diperoleh hasil pada ekstrak teh hijau mengandung steroid (+), Flavonoid (+), Alkaloid (+), Fenolat (+), tanin (+), dan Saponin (+).
Pengukuran Kadar Bikarbonat Saliva2
1. Disiapkan satu set peralatan destilasi dengan pendingin liebig.
2. Larutan sampel saliva tiga ml diencerkan dengan tiga ml akuades (perbandingan 1:1) kemudian dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer.
3. Pada bagian penampang destilat diberikan 20 ml [Ba(OH)2] 0,05M.
4. Tabung erlenmeyer yang berisi sampel dipanaskan sehingga semua gas CO2 dari
sampel akan bergerak masuk ke larutan [Ba(OH)2], terjadi reaksi. Pemanasan dilakukan
dengan suhu 1500C selama 15 menit.
5. [Ba(OH)2] dititrasi kembali dengan larutan HCl 0,5M menggunakan indikator metil
oranye. Titrasi dihentikan jika warna larutan menjadi oranye.
6. Kadar bikarbonat dihitung berdasarkan jumlah larutan HCl 0,5M yang dibutuhkan untuk menghasilkan warna oranye.
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Normalitas dan Homogenitas
Uji normalitas dengan shapiro-Wilk diperoleh hasil data kadar bikarbonat saliva ke dua kelompok, sebelum dan sesudah perlakuan terdistribusi normal (p > 0,05). Uji homogenitas dengan Uji Levene data kadar bikarbonat saliva sebelum (pre) dan sesudah (post) perlakuan dari ke dua kelompok adalah homogen (p > 0,05)
Analisis Efek Perlakuan Terhadap Kadar Bikarbonat Saliva Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Analisis peningkatan kadar bikarbonat saliva diuji berdasarkan rerata selisih kadar bikarbonat saliva antara sesudah dengan sebelum perlakuan. Terdapat peningkatan rerata kadar bikarbonat saliva antara sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok. Analisis kemaknaan dengan Uji t-paired pada ke dua kelompok menunjukkan bahwa nilai p < 0,05 (Tabel 1). Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan kadar bikarbonat saliva secara bermakna pada ke dua kelompok setelah perlakuan.
Tabel 1
Perbedaan Rerata Kadar Bikarbonat Saliva Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Peningkatan kadar bikarbonat saliva dipengaruhi oleh susunan ion-ion dalam saliva,
dimana susunan ion-ion dalam saliva dipengaruhi oleh banyaknya sekresi saliva9. Pada ke dua
kelompok, baik yang hanya mendapatkan stimulasi mekanis maupun yang mendapat stimulasi mekanis dan kimia mengalami peningkatan kadar bikarbonat saliva. Hal tersebut berhubungan dengan stimulus mekanis yang diberikan pada ke dua kelompok.
Stimulasi mekanis secara langsung dalam rongga mulut baik berupa sentuhan pada lidah, dan mukosa mulut serta rangsangan proprioseptif dari otot-otot pengunyahan akan merangsang pusat saliva di otak untuk mensekresikan saliva. Reseptor-reseptor dalam rongga mulut baik kemoreseptor dan reseptor tekan akan merespon adanya stimulasi dalam rongga mulut. Reseptor-reseptor ini kemudian menghasilkan impuls serat-serat saraf aferen membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva selanjutnya mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva10.
Pada Kelompok kontrol yang hanya mendapat stimulasi mekanis berupa akuades dikumur selama tiga menit juga mengalami peningkatan kadar bikarbonat saliva yang signifikan karena adanya stimulasi pada rongga mulut yang merangsang reseptor tekan pada rongga mulut yang akan meneruskan rangsangan ke pusat saliva di otak sehingga menstimulasi kelenjar saliva untuk mensekresikan saliva.
Peningkatan sekresi saliva dapat mempengaruhi susunan ion-ion dalam saliva. Ion-ion banyak dikeluarkan menuju muara kelenjar saliva. Selama salivasi maksimal, konsentrasi ion saliva sangat berubah karena kecepatan pembentukan sekresi primer oleh sel asini dapat meningkat duapuluh kali lipat. Ion-ion bikarbonat disekresi oleh epitel duktus ke dalam lumen
Kelompok Pre mmol /L Post mmol /L Beda Rerata T p Kelompok I Kelompok II 3,57 3,47 4,86 6,39 1,29 2,92 -9,860 -20,09 4 0,0 00 0,0 00
duktus. Sekresi ion-ion bikarbonat ini disebabkan oleh pertukaran pasif ion bikarbonat dengan
ion klorida dan juga sebagai hasil dari proses sekresi saliva aktif9.
Besarnya kadar bikarbonat saliva pada penelitian ini dengan memanaskan saliva
yang telah diencerkan dengan akuades sehingga gas CO2 yang diperoleh dari hasil pemanasan
tersebut akan bereaksi dengan larutan Ba(OH)2 menjadi air barit. Hasil titrasi HCl dan air
barit dengan indikator metil oranye dicatat sebagai kadar bikarbonat dalam saliva. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa cara yang paling penting untuk
mengangkut CO2 adalah sebagai bikarbonat (HCO3-), dengan 60% CO2 diubah menjadi
bikarbonat dengan reaksi kimia sebagai berikut:
CO2 + H2O H2CO3 HCO3- + H+.
Pada reaksi pertama, CO2 berikatan dengan H2O untuk membentuk asam karbonat
(H2CO3). Sesuai sifat asam, sebagian dari molekul asam karbonat secara spontan terurai
menjadi ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3-)11.
Perbandingan Rerata Kadar Bikarbonat Saliva Antar Kelompok Sebelum Perlakuan
Hasil uji komparabilitas dengan uji Independent t-test rerata kadar bikarbonat saliva sebelum perlakuan masing-masing diperoleh nilai p>0,05 artinya tidak terdapat perbedaan rerata kadar bikarbonat saliva antar ke dua kelompok sebelum perlakuan (Tabel 2).
Tabel 2
Uji Komparabilitas Kadar Bikarbonat Saliva Sebelum Perlakuan
Tidak terdapat perbedaan kadar bikarbonat antar ke dua kelompok sebelum perlakuan disebabkan karena sampel pada ke dua kelompok sesuai kriteria inklusi dan dikelompokkan secara random. Selain itu semua sampel pada ke dua kelompok sebelum perlakuan mendapat tindakan yang sama yaitu mengunyah roti tawar selama dua menit untuk merangsang sekresi saliva dan menurunkan pH saliva yang akan mempengaruhi kadar bikarbonat saliva sebelum perlakuan.
Perbandingan Rerata Kadar Bikarbonat Saliva Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Hasil uji efek perlakuan dengan Uji Independent t-test rerata kadar bikarbonat saliva sesudah perlakuan antar kelompok diperoleh nilai p<0,05 artinya terdapat perbedaan rerata bikarbonat saliva antar ke dua kelompok sesudah perlakuan (Tabel 3).
Kelompok n Rerata (mmol/ L) S B U p Kelompok I Kelompok II 1 1 1 1 3,57 3,47 0, 34 0, 47 0,5 63 0,5 80
Tabel 3
Analisis Rerata Kadar Bikarbonat Saliva Sesudah Perlakuan
Terdapat perbedaan kadar bikarbonat saliva antar ke dua kelompok setelah perlakuan, dimana kadar bikarbonat saliva lebih meningkat pada kelompok perlakuan disebabkan karena pada kelompok perlakuan diberikan stimulus mekanis dan kimia berupa ekstrak teh hijau 3%.
Peningkatan kecepatan sekresi saliva setelah diberikan stimulus mekanis maupun kimiawi telah banyak dilaporkan. Pada stimulus kimiawi memiliki rerata peningkatan sekresi
saliva lebih tinggi daripada stimulus mekanis5. Pada penelitian ini stimulus diberikan dalam
bentuk berkumur dengan ekstrak teh hijau. Subjek mendapat stimulus kimiawi dari rasa sepat teh hijau dan stimulus mekanis dari proses berkumur.
Tanin memiliki rasa sepat atau pahit akan merangsang taste bud pada lidah, selanjutnya taste bud akan membentuk impuls saraf. Impuls pengecap dari dua pertiga anterior lidah mula-mula akan diteruskan ke saraf lingualis, kemudian melalui korda timpani menuju nervus fasialis, dan akhirnya ke traktus solitarius di batang otak. Sensasi pengecap dari papila sirkumvalata di bagian belakang lidah dan dari daerah posterior rongga mulut dan tenggorokan akan ditransmisikan melalui nervus glosofaringeus juga ke traktus solitarius. Begitu pula sinyal pengecap dari dasar lidah dan bagian-bagian lain di daerah faring akan
ditransmisi ke traktus solitarius melalui nervus vagus9.
Semua serabut pengecap bersinaps di batang otang bagian posterior di dalam nukleus traktus solitarius. Sejumlah besar impuls pengecapan dari traktus solitarius ditransmisikan ke dalam batang otak itu sendiri langsung ke nukleus salivatorius inferior dan superior. Area ini kemudian akan mentransmisikan sinyal ke kelenjar submandibularis, sublingualis, dan parotis untuk membantu mensekresikan saliva. Penjalaran sinyal ke sistem saraf dan pengaturan sekresi saliva9.
Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa stimulasi mekanis dan kimia lebih meningkatkan kadar bikarbonat saliva dibanding hanya stimulasi mekanis saja. Hal ini berhubungan dengan proses pembentukan impuls saraf oleh taste bud dimana sinyal akan
terus dihantarkan selama taste bud tetap terpajan dengan rangsangan kecap9. Selama rongga
mulut masih melakukan aktivitas berkumur maka stimulasi mekanis dan kimia akan tetap dihantarkan oleh taste bud ke pusat saliva, sehingga saliva akan lebih banyak disekresikan.
Penggunaan ekstrak teh hijau untuk berkumur sebagai stimulasi kimia menjadi lebih efektif dan efisien, mudah diadopsi masyarakat sehingga dapat meningkatkan kadar bikarbonat saliva yang berfungsi sebagai remineralisasi gigi sehingga dapat mencegah terjadinya karies gigi. Meningkatnya kadar bikarbonat saliva dapat meningkatkan pertahanan rongga mulut dan gigi terhadap pemaparan asam oleh bakteri sehingga dapat mencegah terjadinya demineralisasi gigi dan meningkatkan sistem pertahanan terhadap terjadinya karies.
Kelompok n Rerata (mmol/ L) S B U p Kelompok I Kelompok II 1 1 1 1 4,86 6,39 0, 61 0, 28 -7,47 5 0,0 00
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Riset Kesehatan Dasar Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Guyton, A. C., Hall,J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta. EGC: 835-836.
Indriana, T. 2011. Perbedaan Laju Aliran Saliva dan pH Karena Pengaruh Stimulus Kimiawi dan Mekanis. J Kedokt Meditek; 17 (44): 1-5.
Miletic,I., Baraba, A. 2011. Aetiological Factors for Susceptibility: Saliva (Roles, pH Scoring) and Bacteria. Journal of Minimum Intervention in Dentistry; 4(2): 17-19. Permatasari, N., Cahyati, M., Alexander, F. 2013. Efektifitas Berkumur Infusum Teh Hijau
Pada Perubahan pH Saliva Pada Anak SD Berusia 9-11 Tahun di SDN Dinoyo II
Malang. [cited 2013 Nov. 10]. Available from: URL:
http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/gigi/MajalahFELIX%20ALEXANDER% 20KHUSUMA.pdf.
Pocock, S. J. 2008. Clinical Trials, A Practical Approach. Cichestes, John Wiley&Sons Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC: 650-652. Shetty, C., Hedge, M. N., Devadiga, D. 2013. Correlation Between Dental Caries With
Salivary Flow, pH, and Buffering Capacity in Adult South Indian Population: An In-Vitro Study. Int. J. Res Ayurveda Pharm; 4 (2): 219-223.
Suryadinata, A. 2012. Kadar Bikarbonat Penderita Karies dan Bebas Karies. Sainstis; 1 (1): 35-42.
Tumilasci, O.R., Cardoso,E.M.L., Contreras, L.N., Belforte, B., Arregger, A.L., Ostuni,M.A. 2006. Standardization of Simple Method to Study Whole Saliva: Clinical Use in Different Pathologies. Acta Odontol Latinoam; 19(2): 47-51.
Walsh, L. J. 2007. Clinical Aspects of Salivary Biology for the Dental Clinician. International Dentistry South Africa (Australasian Edition); 2 (3): 16-20.