• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini mempelajari efektivitas pembelajaran kesebangunan dalam. teori yang relevan antara lain belajar dan pembelajaran matematika, pemecahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penelitian ini mempelajari efektivitas pembelajaran kesebangunan dalam. teori yang relevan antara lain belajar dan pembelajaran matematika, pemecahan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori

Penelitian ini mempelajari efektivitas pembelajaran kesebangunan dalam goal free problems secara kolaboratif ditinjau dari kemampuan transfer. Beberapa teori yang relevan antara lain belajar dan pembelajaran matematika, pemecahan masalah dalam matematika, pembelajaran kolaboratif, desain pembelajaran berdasarkan Cognitive Load Theory, goal free problems, geometri (kesebangunan) dan kemampuan transfer. Deskripsi teori-teori tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1. Belajar dan Pembelajaran Matematika

Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas seperti kecakapan, pengetahuan, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, dan kemampuan lainnya (Hakim, 2005). Menurut pandangan teori konstruktivisme, belajar adalah proses aktif yang dilakukan siswa untuk mengonstruk pengetahuan yang telah didapat dan mengonstruksi pengetahuan baru meliputi teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain.

Pembelajaran didefinisikan oleh Sudjana (2004) sebagai upaya yang sistematis dan sengaja untuk menciptakan kegiatan interaksi antara siswa dan guru. Menurut Sugihartono, Fathiyah, Setiawati, Harahap, & Nurhayati (2012: 126) pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar siswa belajar.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran bermakna yang mampu memberikan pemahaman lebih dalam. Pembelajaran bermakna adalah

(2)

9

pembelajaran yang memfasilitasi untuk dapat mentransfer kembali apa yang telah dipelajari (Mayer, 2002: 227). Dengan kata lain, pembelajaran bermakna dapat memfasilitasi kemampuan transfer. Mayer berpendapat bahwa pembelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat kognitif yang dimiliki siswa. Sugihartono, et al. (2012: 111-112) menyatakan bahwa tanpa penyesuaian proses pembelajaran dengan tingkat kognitif, guru maupun siswa akan mendapatkan kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

Pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme didesain lebih berpusat pada siswa, bersifat analitis, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran. Sugihartono, et al. (2012: 127) berpendapat bahwa proses pembelajaran atau pemerolehan pengetahuan adalah melalui perstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh, sehingga pengetahuan baru itu dapat diadaptasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai proses interaksi antara guru dan siswa yang dilakukan secara berulang -ulang untuk pemerolehan pengetahuan. Dalam proses pembelajaran konstruktivis, pengetahuan tidak ditransfer dari guru kepada siswa, melainkan guru memfasilitasi siswa untuk mengonstruksi/ membangun pengetahuan dan mentransfer pengetahuan yang didapat pada pembelajaran berikutnya.

2. Pemecahan Masalah dalam Matematika

Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan yang penting untuk dikuasai siswa dalam pembelajaran. Schmidt, Loyens, Van Gog, & Paas (2007)

(3)

10

menyimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah proses penting pada pembelajaran karena dapat memfasilitasi siswa dalam memberikan alasan dan kemampuan untuk menjelaskan fakta dari hasil pengamatan.

Pembelajaran matematika berisi kegiatan kegiatan pemecahan masalah (BSNP: 2006). Retnowati (2016: 47) memiliki pendapat yang serupa yaitu pemecahan masalah dalam matematika merupakan aktivitas rutin untuk mengetahui bagaimana cara kerja dari objek-objek matematika.

Pemecahan masalah minimal harus memiliki 2 komponen: proses dan hasil. Proses dalam pemecahan masalah adalah aktivitas kegiatan sedangkan hasil adalah solusi dari masalah tersebut (Bruning, Scraw, & Norby, 2011). Pemecahan masalah berdasarkan proses dan hasil dapat dibedakan menjadi well-defined problem dan ill-defined problem.

Well-defined problem adalah masalah dengan tujuan yang jelas, semua informasi yang dibutuhkan tersedia, dan hanya terdapat satu jawaban yang benar. Berikut adalah contoh dari well-defined problem:Andi menghabiskan 20000 rupiah untuk membeli 20 pensil. Berapakah harga dari satu pensil?

Ill-defined problem adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan, dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga memiliki cara sistematik untuk menemukan solusi (Bruning, et al., 2011). Berikut adalah contoh dari ill-defined problem: Hasil suatu bilangan genap dan suatu bilangan ganjil adalah 840. Tentukan bilangan ganjil terbesar yang memenuhi syarat tersebut!

(4)

11

Pemecahan masalah membutuhkan strategi. Brunning, et al., (2011) mengasumsikan terdapat lima langkah dalam menyelesaikan masalah secara umum, yaitu:

(a) identifikasi masalah, (b) menggambarkan masalah, (c) menyeleksi strategi, (d) implementasi strategi, (e) evaluasi hasil.

Sebagai contoh: harga tiga pensil dan dua penghapus adalah 8000 rupiah, harga 2 pensil dan empat penghapus adalah 6000 rupiah. Berapakah harga dari tiga pensil dan tiga penghapus?

Untuk menyelesaikan masalah tersebut secara general atau heuristics, langkah pertama adalah identifikasi masalah. Identifikasi masalah dari soal tersebut yaitu soal harus dipahami dengan hati-hati agar tidak salah mengambil informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah.

Langkah selanjutnya adalah menggambarkan masalah. Hal ini dapat berupa mengonversi masalah menjadi simbol. Misal merepresentasikan banyaknya pensil dan y merepresentasikan banyaknya penghapus. Masalah tersebut dapat

dikonversi dalam bentuk simbol menjadi ; ;

Langkah ketiga adalah menyeleksi strategi. Soal di atas dapat diselesaikan menggunakan strategi eliminasi atau substitusi. Kedua strategi tersebut juga dapat dikombinasikan untuk menyelesaikan masalah di atas.

(5)

12

Langkah selanjutnya adalah implementasi strategi, setelah dilakukan eliminasi dan atau substitusi, didapat nilai = 2500, dan = 1500. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai 3 + 3 = 7500 + 4500 = 12000. Langkah terakhir adalah evaluasi dari hasil yang telah diperoleh.

Masalah dalam matematika tidak selalu sederhana seperti soal di atas. Strategi khusus dibutuhkan guna menyelesaikan masalah yang kompleks dalam matematika. Strategi-strategi tersebut dapat dikembangkan menggunakan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya. Retnowati (2016: 66-68) memberikan lima strategi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah matematika:

a. Memetakan pemecahan masalah yang diberikan menggunakan solusi dari masalah yang telah diberikan sebelumnya. Proses ini juga disebut sebagai analogi, yaitu mengintegrasikan dua masalah dengan konteks yang berbeda namun memiliki struktur yang sama.

b. Menyusun atau membangun pohon penyelesaian. Strategi ini sangat berguna untuk menyelesaikan masalah yang memiliki banyak langkah untuk menemukan solusi.

c. Mengubah data/ masalah menjadi diagram atau grafik atau model. Strategi ini berfungsi untuk menyederhanakan masalah yang kompleks agar dapat terlihat sederhana namun tidak mengurangi informasi yang diberikan dalam soal. d. Menggunakan pendekatan linguistik. Pendekatan linguistik adalah pendekatan

yang mengganti kata-kata dalam masalah sesuai dengan kategori problem solver. Sebagai contoh, perkalian dapat juga disebut sebagai penjumlahan yang

(6)

13

berulang. Dengan menggunakan kalimat penjumlahan berulang, siswa yang baru mempelajari perkalian akan dimudahkan dalam membangun pengetahuan tentang perkalian.

e. Menggunakan kontrapositif atau kontradiksi. Kontrapositif adalah metode pembuktian pernyataan implikasi. Contohnya dalam premis jika A bernilai maka dengan menggunakan kontrapositif kita dapat membuktikan pernyataan tersebut sama dengan ika B salah maka nilai A pasti salah . Kontradiksi adalah metode pembuktian dengan cara pembuktian terbalik. Sebagai contoh, apabila kita ingin membuktikan bahwa pernyataan A adalah benar, maka kita harus membuktikan pernyataan negasi A itu adalah salah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan yang harus dikuasai siswa. Masalah dalam matematika adalah masalah yang kompleks dan berisi banyak kegiatan pemecahan masalah (Retnowati, 2016: 47). Strategi umum tidak selalu dapat digunakan, oleh karena itu dibutuhkan strategi khusus untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dalam matematika.

3. Pembelajaran Kolaboratif

Pembelajaran kolaboratif berbeda dengan pembelajaran kooperatif. pembelajaran kolaboratif lebih menekankan proses dalam kerja sama, sedangkan pembelajaran kooperatif lebih mementingkan hasil. Rachmawati (2012) menjabarkan perbedaan dari kedua konsep pembelajaran ini dalam Tabel 1 berikut.

(7)

14

Tabel 1. Perbedaan Strategi Pembelajaran Kooperatif dengan Kolaboratif

Aspek Pembelajaran

Kooperatif

Pembelajaran Kolaboratif

Tujuan Mengutamakan hasil

dalam pembelajaran

Mengutamakan proses dalam pembelajaran Keterampilan sosial Siswa menerima latihan

keterampilan sosial.

Keterampilan sosial diyakini telah dimiliki oleh para siswa.

Aktivitas Pembelajaran

Siswa memiliki peran khusus dalam pembelajaran.

Siswa mengatur dan menegosiasikan usahanya sendiri.

Peran Guru Guru mengamati serta mendengarkan dan melakukan interferensi atau campur tangan dalam kelompok.

Guru membimbing untuk menemukan informasi yang diperlukannya.

Pembelajaran kolaboratif menurut Gokhale (1995: 6) adalah pembelajaran yang mampu mendorong dan meningkatkan pengembangan kemampuan berpikir kritis melalui diskusi berkelompok, klarifikasi ide, serta evaluasi ide dari orang lain. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa membentuk kelompok kelompok kecil yang bekerja untuk menyelesaikan masalah bersama (Slavin, 2011).

Pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kolaboratif selain memiliki perbedaan juga memiliki persamaan. Rachmawati (2012) menjabarkan persamaan kedua pembelajaran itu sebagai berikut. (1) Pembelajaran aktif sangat ditekankan dalam proses pembelajaran. (2) Guru berperan sebagai fasilitator bagi siswa bukan hanya sekedar transfer pengetahuan. Peran sebagai fasilitator akan memberikan siswa kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri. (3) Keterampilan kognitif tingkat tinggi akan ditingkatkan pada kedua pembelajaran ini. (4) Pembelajaran kooperatif dan kolaboratif menganggap bahwa pembelajaran adalah pengalaman bersama antara siswa dan guru. (5) Tanggung jawab lebih banyak ditekankan dalam proses belajar. (6) Siswa mengonfirmasi idenya dalam kelompok kecil.

(8)

15

Pembelajaran kolaboratif memungkinkan siswa-siswa saling memberikan bantuan untuk dapat mengerjakan tugas-tugas yang lebih kompleks dan sulit tercapai apabila dilakukan secara individual (Mahmudi, 2006). Mahmudi (2006: 62) menjabarkan karakteristik dari pembelajaran kolaboratif yaitu: (1) ketergantungan positif, (2) adanya interaksi (tatap muka), (3) pertanggungjawaban individu dan kelompok, (4) pengembangan keterampilan interpersonal, (5) pembentukan kelompok yang heterogen, (6) berbagi pengetahuan antar guru dan siswa, (7) berbagi otoritas atau peran antara guru dan siswa, dan (8) guru berperan sebagai mediator.

Inti yang terkandung dalam pembelajaran kolaboratif adalah pentingnya interaksi di antara para siswa dalam kelompok untuk meningkatkan pemahaman masing-masing siswa. Dari inti tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya pembelajaran kolaboratif didasarkan pada filsafat konstruktivisme, khususnya konstruktivisme sosial dari Vygotsky, yaitu bahwa interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif anak (Izzaty, et al., 2008: 36).

Salah satu konsep yang penting dari teori Vygotsky adalah zone of proximal development (ZPD), yaitu daerah dari pengetahuan baru yang sulit dikuasai siswa tanpa bantuan/ interaksi pendidik atau siswa yang lebih terampil. Interaksi dapat memberikan manfaat tersendiri bagi siswa dalam memahami sebuah konsep (Santrock, 1995).

Dari uraian di atas, pembelajaran kolaboratif menekankan adanya interaksi dari kelompok yang heterogen untuk menyelesaikan masalah yang kompleks. Selain itu, jelas bahwa dasar atau landasan teoritik dari model pembelajaran

(9)

16

kolaboratif adalah teori konstruktivisme, khususnya pada konsep tentang ZPD yang menekankan pentingnya interaksi sosial guna membantu siswa memperoleh tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

4. Desain Pembelajaran Berdasarkan Cognitive Load Theory

Cognitive load theory (CLT) adalah teori desain pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan sistem kognitif manusia. Cognitive load theory dirintis awal tahun 80-an oleh seorang ahli psikologi pembelajaran, John Sweller, dari Australia. Cognitive load theory mengasumsikan bahwa (1) working memory pada manusia mempunyai kapasitas dan durasi yang terbatas dalam mengolah informasi baru/ kompleks; (2) memori jangka panjang memiliki kapasitas yang tidak terbatas, dan; (3) belajar adalah membangun pengetahuan melalui skema acquisition (proses konstruksi pengetahuan) dan automation (proses memperoleh skema baru yang dapat diproses dengan sedikit kesadaran atau otomatis) (Sweller, et al., 2011).

Siswa yang telah mempelajari penjumlahan dan sedang mempelajari materi perkalian akan mengorganisasikan dan mengonstruksi perkalian menjadi penjumlahan yang berulang untuk menemukan solusi dari soal yang diberikan. Untuk menghitung , siswa akan mengubahnya menjadi . Sehingga akan ditemukan solusi Proses konstruksi pengetahuan tahap awal ini disebut skema acquisition. Dengan berlatih maka siswa dapat menghitung nilai tanpa menggunakan penjumlahan dan hanya menggunakan sedikit kesadaran. Proses ini adalah upaya untuk melatih skema yang disebut sebagai skema automation.

(10)

17

Struktur model proses kognitif manusia yang terdiri dari sensory memory, working memory, dan long term memory tergambar dalam Gambar 1 (diadaptasi dari Retnowati, 20015: 15).

Gambar 1. Struktur Model Proses Kognitif

Informasi yang masuk melalui alat indra akan di proses dan diberi makna oleh working memory dengan menghadirkan pengetahuan yang relevan yang tersimpan dalam long term memory (memori jangka panjang) sehingga membuat informasi yang baru dan yang lama saling berintegrasi. Informasi yang telah diolah dalam working memory akan disimpan kembali menuju memori jangka panjang. Working memory merupakan bagian dari sistem kognitif manusia yang digunakan sebagai tempat untuk memroses informasi yang diterima manusia sebelum diteruskan menuju memori jangka panjang. Memori jangka panjang adalah memori dalam sistem kognitif manusia yang memiliki kapasitas tidak terbatas (Sweller, et al., 2011).

Working memory memiliki kapasitas dan durasi yang terbatas. Miller (1956) menyimpulkan bahwa elemen yang dapat diproses dalam working memory pada waktu yang bersamaan hanya sekitar lima hingga sembilan. Selain itu, informasi

(11)

18

baru hanya dapat bertahan dalam working memory sekitar 20 detik (Peterson & Peterson, 1959). Untuk memaksimalkan kapasitas working memory, maka informasi yang diterima harus memiliki muatan kognitif yang rendah. Muatan kognitif (cognitive load) menggambarkan proses kognitif yang terjadi di working memory. Sweller, et al., (2011: 67) menjelaskan bahwa jika muatan kognitif berbanding terbalik dengan kemampuan transfer. Muatan kognitif yang rendah pada instruksi mengakibatkan kemampuan siswa dalam menerima pembelajaran akan semakin meningkat. Cognitive load theory membagi dua hal dari muatan kognitif yang harus dikelola dalam working memory, yaitu intrinsic cognitive load dan extraneous cognitive load (Sweller, 2011: 57).

Intrinsic cognitive load dalam pembelajaran adalah tingkat kompleksitas pada bahan ajar yang diberikan. Intrinsic cognitive load pada dasarnya adalah unik untuk setiap materi pembelajaran. Intrinsic cognitive load pada pembelajaran disusun sesuai dengan prior knowledge yang diberikan dan sudah tercantum dalam kurikulum pendidikan. Besar kecilnya muatan kognitif intrinsic cognitive load juga bergantung pada prior knowledge (tingkat kognitif siswa). Sebagai contoh, membuktikan teorema pythagoras akan menjadi materi yang sangat sulit dan memiliki intrinsic cognitive load tinggi jika diberikan kepada siswa SMP yang baru mempelajarinya, namun akan memiliki intrinsic cognitive load yang rendah jika diberikan untuk mahasiswa jurusan matematika, karena mahasiswa ini telah berulang-ulang mempelajari materi teorema pythagoras.

(12)

19

Extraneous cognitive load berkaitan dengan penyampaian serta penyajian dari sebuah materi. Extraneous cognitive load dapat diubah agar muatan kognitif yang terjadi dalam proses pembelajaran tidak terlalu besar. Materi yang disajikan dengan rumit akan mengakibatkan tingginya extraneous cognitive load sekalipun materi tersebut mudah. Sebaliknya, penyajian yang baik dan mudah dapat menjadikan extraneous cognitive load pada materi yang kompleks memiliki muatan kognitif yang kecil.

Kapasitas working memory untuk membangun pengetahuan baru dapat ditentukan oleh germane cognitive load, yang diakibatkan oleh kemampuan siswa untuk meminimalkan efek dari intrinsic dan extraneous cognitive load. Keberhasilan working memory untuk membangun pengetahuan baru dapat dikatakan bersumber pada germane cognitive load (Sweller, et al., 2011: 57).

Germane cognitive load lebih dikenal sebagai germane resources . Germane resource memberikan ruang proses kognitif yang relevan dengan pemahaman materi yang sedang dipelajari dan proses konstruksi (akuisisi skema) pengetahuan (Retnowati, 2015: 18). Dengan kata lain, germane cognitive load sangat berpengaruh pada kapasitas working memory dalam mengolah informasi. Jika pengetahuan yang relevan tidak terkait dengan materi baru, maka working memory tidak dapat mengintegrasikan materi atau informasi yang sedang dipelajari. Informasi yang tersimpan tanpa diorganisasikan dengan baik akan sulit dipanggil kembali dan akan mengakibatkan lambatnya proses pembelajaran yang terkait pada masa mendatang (Retnowati, 2008: 7).

(13)

20

Retnowati (2015: 19) menjelaskan bahwa cognitive load theory memiliki implikasi dalam mendesain pembelajaran seperti dijelaskan sebagai berikut. a. Guru perlu memahami tingkat kompleksitas materi dan banyaknya informasi

yang akan dipelajari.

b. Guru perlu mengetahui tingkat pengetahuan awal siswa yang akan mempelajari materi yang diberikan.

c. Desain pembelajaran meminimalkan intrinsic cognitive load dan extraneous cognitive load.

d. Guru memfasilitasi proses yang mendorong siswa mengelola intrinsic cognitive load sehingga memungkinkan germane cognitive load yaitu proses kognitif untuk konstruksi skema pengetahuan.

e. Membangun susunan skema yang baik dan memfasilitasi otomatisasi skema melalui rehearsal (proses pengulangan informasi).

CLT menekankan bahwa pembelajaran akan mudah dipahami lebih dalam apabila desain pembelajaran memiliki muatan kognitif yang tidak melebihi kapasitas working memory. Prinsip pembelajaran berdasarkan CLT menurut Sweller, et al. (2011: 217) dibagi menjadi dua, yaitu: (1) mengurangi extraneous cognitive load, dan (2) menyesuaikan intrinsic cognitive load.

Prinsip pembelajaran yang pertama adalah mengurangi extraneous cognitive load. Strategi yang mungkin untuk mengurangi extraneous cognitive load adalah dengan mendesain pembelajaran menggunakan goal free problems, worked example dan problem completion.

(14)

21

Goal free problems adalah strategi yang tidak menentukan tujuan akhir dalam masalah yang diberikan sehingga siswa dapat menggunakan kapasitas working memory yang memiliki kapasitas dan durasi terbatas untuk membangun pengetahuan lebih maksimal. Goal free problems akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab berikutnya.

Worked example, strategi ini menyajikan soal yang memiliki struktur mirip dengan contoh soal dan pembahasan yang diberikan kepada siswa dalam pembelajaran. Mempelajari pemecahan masalah dengan worked example lebih menguntungkan daripada memecahkan masalah secara konvensional, karena siswa dapat lebih fokus pada masalah yang ada dan dapat menentukan langkah-langkah solusi yang efisien. Atkinson & Renkl (2007: 376) berpendapat bahwa siswa mampu memahami lebih mendalam pada materi baru yang diberikan jika siswa diberikan worked example pada saat proses pembelajaran. Dalam menyusun strategi worked example, perlu diperhatikan strategi yang lain yaitu split attention, modality effect, dan redundancy.

a. Split-attention menunjukkan bahwa berbagai sumber informasi visual harus disajikan secara terpadu jika sumber informasi tersebut merupakan prasyarat untuk pemahaman. Apabila sumber yang ada disajikan secara terpisah, itu akan menjadikan working memory memiliki muatan yang berlebih.

b. Modality effect, efek ini terjadi ketika memberikan pemahaman kepada siswa diperlukan lebih dari satu sumber informasi. Muatan extraneous yang mengacu pada penyampaian informasi secara visual dapat dikurangi dengan menyampaikan informasi menggunakan kata-kata (verbal) daripada menyampaikan dalam bentuk tulisan. Hal tersebut akan menggunakan

(15)

22

pengolah audio dalam memori bekerja siswa sehingga working memory dapat bekerja lebih maksimal dalam membangun pengetahuan.

c. Redundancy, adalah pengulangan informasi yang sama dalam bentuk yang berbeda. Pemberian informasi seharusnya menghindari penyajian berbagai sumber informasi yang mengulangi informasi yang sama dalam bentuk yang berbeda.

Contoh penerapan strategi worked example dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Contoh Strategi Worked Example

Strategi untuk mengurangi extraneous cognitive load yang ketiga adalah problem completion, yaitu strategi yang menuntun siswa untuk membangun pengetahuan dengan cara memberikan soal yang rumpang untuk dilengkapi. Strategi ini lebih ditujukan untuk siswa yang sudah memiliki pengetahuan awal namun belum mampu untuk membangun pengetahuan menggunakan sedikit kesadaran. Dengan kata lain, strategi problem completion bertujuan untuk menggapai skema automation.

(16)

23

Prinsip pembelajaran berdasarkan CLT yang kedua adalah menyesuaikan intrinsic cognitive load. Intrinsic cognitive load adalah muatan kognitif yang terjadi karena materi sulit untuk dipelajari atau beberapa masalah yang sulit untuk dipecahkan. Masalah tersebut mengharuskan melibatkan beberapa elemen yang secara bersamaan berinteraksi satu sama lainnya. Informasi atau materi yang asing dapat diproses secara bertahap dan berurutan pada langkah pertama. Pada langkah kedua, semua elemen informasi akan ditampilkan dalam satu waktu, termasuk penghubung antar elemen. Pendekatan ini akan lebih menguntungkan untuk hasil pembelajaran dibandingkan dengan menyajikan kedua step dalam satu waktu.

Muatan kognitif pada proses pembelajaran dapat diukur menggunakan rating question (Sweller, et al., 2011). Rating question berisi pertanyaan untuk mengetahui muatan kognitif yang terjadi pada siswa. Misalnya memberikan pertanyaan

seberapa sulit .

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan CLT harus mengelola extraneous cognitive load dan intrinsic cognitive load untuk mengurangi muatan kognitif yang terjadi dalam proses pembelajaran. Intrinsic cogntive load pada dasarnya tidak dapat diubah sedangkan extraneous cognitive load dapat dikurangi dengan menggunakan beberapa strategi seperti goal free problems, worked example, dan problem completion. Muatan kognitif dapat diukur melalui rating question tentang tingkat kesulitan soal yang diberikan. 5. Goal FreeProblems

Goal free problems adalah desain pembelajaran problem solving yang menghilangkan tujuan akhir dari masalah tersebut. Tujuan akhir yang tidak

(17)

24

dimunculkan memungkinkan siswa untuk membangun serta mengembangkan penyelesaian dalam problem solving menggunakan informasi yang diketahui (Sweller, et al., 2011: 89). Goal free problems adalah salah satu metode yang dapat meminimalkan extraneous cognitive load sehingga working memory lebih maksimal dalam membangun pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Dalam penelitiannya, Ayres (1993) menjelaskan bahwa goal free problems efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah.

Penelitian tentang goal free problems berawal dari eksperimen Sweller & Levine (1982) menggunakan masalah teka-teki dan labirin. Penelitian itu menunjukkan bahwa siswa akan belajar lebih maksimal apabila tujuan (goal) dari masalah dihilangkan daripada tujuan masalah diberikan. Dalam eksperimen tersebut, labirin sejatinya dapat diselesaikan dengan langkah yang sederhana, namun siswa yang sadar akan tujuan atau diberikan tujuan dari masalah akan mendapati lebih banyak langkah yang keliru dibandingkan siswa yang tidak mengetahui tujuan.

Siswa pemula (novice learner) lebih memilih menggunakan strategi means-ends analysis atau menyelesaikan problem solving dari belakang. Sweller, et al. (2011: 90) berpendapat bahwa strategi means-ends analysis efektif untuk diberikan kepada novice learner namun strategi ini menghasilkan muatan kognitif yang tinggi. Melalui means-ends analysis siswa dipengaruhi oleh tujuan akhir dari problem solving, sehingga siswa akan berusaha membuat beberapa sub-goal (sub - tujuan) menuju informasi yang diketahui dalam masalah yang diberikan. selain itu,

(18)

25

siswa harus mengintegrasikan masalah yang diberikan, operator, dan tujuan secara bersamaan.

Metode goal free problems berkebalikan dengan means-ends analysis. Means ends analysis menjadikan muatan kognitif siswa menjadi besar sehingga working memory tidak bekerja maksimal dalam membangun pengetahuan melainkan kapasitas working memory juga digunakan untuk menganalisis. Sedangkan masalah yang diselesaikan menggunakan goal free memiliki muatan kognitif yang lebih kecil sehingga kapasitas working memory dapat bekerja lebih maksimal. Gambar 3 dan 4 merupakan diagram dari goal free problems dan diagram dari means-ends analysis (diadaptasi dari Sweller, (1988: 269-271)).

Gambar 3. Diagram Proses Goal Free Problems

Mulai

Pertanyaan (soal) dan persamaan dalam working memory

Persamaan dengan yang belum diketahui hanya satu informasi?

Selesaikan persamaan dan ubah informasi yang belum diketahui menjadi informasi yang diketahui

Berhenti mencari

Ya

(19)

26

Gambar 4. Diagram Proses Means-Ends Analysis Production

Gambar diagram diatas memperlihatkan bahwasanya proses goal free problems memiliki langkah yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses means-ends analysis. Dengan kata lain, kapasitas working memory yang melalui proses

Mulai Ya Ya Ya Tidak Persamaan dengan yang belum diketahui adalah goal dan beberapa informasi? Menambahkan sub-goal(s) dalam working memory Persamaan dengan yang belum diketahui adalah sub-goal(s) dan beberapa informasi? Persamaan dengan yang belum diketahui hanya sub-goal? Selesaikan persamaan dan menambahkan informasi yang telah diketahui ke dalam working memory Solusi ditemukan Persamaan dengan yang belum diketahui hanya tujuan akhir (goal)? Pertanyaan (soal) dan persamaan dalam working memory Ya Tidak Tidak Tidak Selesai

(20)

27

goal free problems lebih dapat bekerja secara maksimal untuk membangun pengetahuan yang diberikan.

Means-ends analysis biasa digunakan sebagai penyelesaian goal given problems, yaitu masalah yang memiliki tujuan akhir (goal). Gambar 5 merupakan contoh dari goal given problems yang menuntut siswa untuk menentukan nilai pada soal yang diberikan.

Gambar 5. Contoh Goal Given Problems

Working memory bekerja kurang maksimal dalam membangun pengetahuan pada goal given problems. Untuk menentukan nilai , siswa harus menyelesaikan dengan cara jalan mundur (means-ends analysis) atau mencari beberapa sub-goal yang dapat membantu siswa menyelesaikan masalah. Hal tersebut akan memberatkan working memory siswa.

(21)

28

Gambar 5 memiliki langkah penyelesaian sebagai berikut. Berikan nama setiap titik sudut pada gambar jika belum ada, hal itu akan membantu dalam mengidentifikasi langkah selanjutnya. Langkah kedua adalah menentukan sub-goal dan sub-sub goal. Nilai garis dibutuhkan sebagai sub-goal pertama. Ketika menentukan panjang garis juga dibutuhkan sub-goal garis , dengan kata lain garis adalah sub-sub-goal.

Berdasarkan teorema kesebangunan, dapat dikatakan bahwa saling sebangun sehingga perbandingan sisi yang bersesuaian dapat ditentukan. Langkah ketiga dan selanjutnya adalah substitusi informasi ke dalam persamaan dan eksekusi. Secara ringkas, langkah-langkah menyelesaikan goalgiven problems dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Contoh Langkah Penyelesaian Goal Given Problems 1) Beri nama setiap titik sudut jika belum ada

2) Tentukan sub-goal dari soal yang diberikan. Sub goalnya adalah

3) Tentukan sub-sub goal dari soal yang diberikan. Sub-sub goalnya adalah

4) 6)

5) 7)

8)

Berbeda dengan goal given problems, goal free problems tidak memberikan informasi mengenai tujuan akhir dari masalah. Gambar 6 merupakan contoh soal tanpa tujuan (goal free problems).

(22)

29

Gambar 6. Contoh Goal Free Problems

Goal free problems adalah pemecahan masalah yang memberikan kesempatan siswa untuk bebas mencari nilai yang siswa suka menggunakan informasi yang ada. Tanpa perlu menentukan sub-goal, siswa dapat mengerjakan soal langsung menuju langkah ketiga pada penyelesaian goal given problems. Contoh langkah penyelesaian goal free problems dijabarkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh Langkah Penyelesaian Goal Free Problems

1) Beri nama setiap titik sudut jika belum untuk memudahkan dalam menentukan solusi.

2) 4)

3) 5)

(23)

30

6.Geometri(Kesebangunan)

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geometri dengan sub-materi kesebangunan. Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu geo yang artinya bumi dan metro yang artinya mengukur. Geometri adalah cabang ilmu matematika yang pertama kali diperkenalkan oleh Thales (624-547 SM) yang berkenaan dengan relasi ruang. Geometri (kesebangunan) merupakan salah satu materi pembelajaran di jenjang Sekolah Menengah Pertama yang memiliki tingkat kompleksitas cukup tinggi. Kesebangunan adalah kesamaan perbandingan panjang sisi dan besar sudut antara dua bangun datar atau lebih. Pemahaman konsep yang mendalam serta kemampuan pemecahan masalah sangat dibutuhkan dalam mempelajari materi kesebangunan.

Penelitian ini memilih Standar Kompetensi memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah yang tercantum dalam Permendiknas No 23 Tahun 2006 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTS. KD 1.3 dipilih dari Standar Kompetensi pada pembelajaran matematika materi Geometri yaitu menggunakan konsep kesebangunan dalam pemecahan masalah. Ringkasan materi kesebangunan terlampir pada lampiran 1.2.

Indikator pencapaian kompetensi siswa diturunkan dari kompetensi dasar yang selanjutnya dijabarkan dengan konsep-konsep yang terkait. Konsep-konsep tersebut dijabarkan pada Tabel 4 sebagai berikut.

(24)

31

Tabel 4. Indikator Pembelajaran dan Contoh Soalnya

Indikator Kompetensi Dasar Contoh Soal 1.3.1. Menghitung sisi yang

belum diketahui dari segitiga-segitiga yang sebangun

Tentukan nilai pada gambar berikut!

1.3.2. Mengaplikasikan konsep kesebangunan untuk menghitung luas segitiga

Tentukan nilai pada gambar berikut!

1.3.3. Menghitung panjang sisi trapesium menggunakan konsep kesebangunan.

Tentukan nilai pada gambar berikut!

(25)

32 7.Kemampuan Transfer

Transfer adalah akibat yang dihasilkan setelah mempelajari materi pemecahan masalah yang baru. MenurutMayer(2002: 226),kemampuan transfer merupakan kemampuan untuk menggunakan atau memanggil kembali materi yang telah dipelajariuntukmenyelesaikan masalah baru.

Kemampuan transfer dapat dipahami dengan menghubungkan tingkat

kognitifdenganTaksonomi Bloom(Mayer, 2002: 228).Taksonomi Bloom adalah struktur hierarki yang berbentuk segitiga dari kemampuan berpikir dari tingkat yang rendah hingga tingkat yang tinggi. Taksonomi Bloom menurut Krathwohl (2002: 213) terdiri darienam level yang tergambar pada Gambar7.

Gambar 7. Tingkatan Taksonomi Bloom

Mayer (2002: 227) menjelaskan bahwa tujuan utama dari pembelajaran bermakna adalah untuk meningkatkan kemampuan transfer. Kemampuan transfer dibagi menjadi dua yaitu near transfer dan far transfer.

Near transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat rendah) merupakan kemampuan transfer untuk mengingat materi yang telah dipelajari dalam proses pembelajaran. Proses kognitif dalam near transfer test adalah mengenali (recognizing) serta mengingat/ memanggil kembali (recalling). Sebagai contoh,

(26)

33

siswa

Far transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi) merupakan kemampuan transfer yang menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang baru. Berbeda dengan near transfer yang hanya melibatkan tingkat terbawah dari Taksonomi Bloom, far transfer melibatkan seluruh komponen dari Taksonomi Bloom. Sebagai contoh, siswa mampu menggunakan teorema penjumlahan untuk mengerjakan soal perkalian, karena perkalian adalah penjumlahan yang berulang.

Segitiga mengindikasikan bahwa level paling bawah yaitu mengingat dianggap paling mudah dan level paling atas yaitu mencipta dianggap paling susah untuk dikuasai oleh siswa. Selain itu, untuk menguasai kemampuan tertinggi (puncak dari segitiga), siswa harus mulai dari bawah dan menguasainya.

Proses kognitif kemampuan berpikir memiliki beberapa dimensi. Krathwohl (2002: 215) menjabarkan dimensi dari proses kognitif sebagai berikut. Pada tingkat mengingat proses kognitif yang terjadi adalah mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling). Tingkat memahami (understanding) memiliki enam dimensi proses kognitif yaitu menafsirkan (interpreting), memberi contoh (exampliying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (infering), membandingkan (compairing), dan menjelaskan (explaining).

Tingkat mengaplikasikan (apply) memiliki dua proses kognitif yaitu menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing). Terdapat tiga proses kognitif dalam tingkat menganalisis (analyze) yaitu menguraikan

(27)

34

(differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan makna tersirat (attributing).

Proses kognitif yang terjadi pada tingkat evaluasi (evaluate) adalah memeriksa (checking) dan mengkritik (critiquing). Tingkat paling tinggi pada Taksonomi Bloom yaitu menciptakan (create) memiliki proses kognitif merumuskan (generating), merencanakan (planing), dan memproduksi (producing).

Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat diukur menggunakan tipe soal yang dikembangkan dalam bentuk tes uraian. Fraenkel & Wallen (1993: 124) menyatakan bahwa tes berbentuk uraian sangat cocok untuk mengukur higher level learning outcomes. Tes berbentuk uraian mampu memberikan kebebasan siswa untuk lebih mengekspresikan daya nalarnya, sehingga hasil tes akan menunjukkan kemampuan berpikir siswa secara kompleks Susongko (2010).

Tes uraian yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah harus kompleks. Menurut Reeff, Zabal, & Blech (2006: 12) tes yang dibuat untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah harus memfasilitasi siswa dalam:

a. mencari informasi dan mengintegrasikan masalah yang diberikan, b. memberikan alasan yang sesuai dengan masalah,

c. merencanakan langkah untuk menemukan solusi, d. mengeksekusi rencana yang telah dibuat, dan e. mengoreksi/ mengecek kembali solusi.

Tes uraian memiliki keunggulan dan kekurangan dibandingkan tes objektif (Sudjana, 2009). Keunggulan tes uraian adalah sebagai berikut. (1) Lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatakan gagasan. (2) Penyusunan soal lebih cepat. (3) Hasil tes dapat menunjukkan kemampuan berpikir

(28)

35

siswa secara kompleks. Kekurangan dari tes uraian adalah sebagai berikut. (1) Jawaban yang heterogen. (2) Penilaian subjektif. (3) Koreksi memerlukan waktu dan ketelitian.

Dari uraian di atas, maka kemampuan transfer dapat dibagi menjadi dua yaitu near transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat rendah) dan far transfer (kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi). Kemampuan transfer dapat diukur menggunakan tes uraian. Tes uraian dalam near transfer berupa pertanyaan yang memiliki struktur sama dengan fase pembelajaran karena proses kognitif pada near transfer adalah mengingat. Tes uraian dalam far transfer berupa pertanyaan yang strukturnya berbeda dalam fase pembelajaran dan menggunakan tingkatan yang lebih tinggi dari sekedar mengingat dalam Taksonomi Bloom.

B. Penelitian yang Relevan

Hasil dari penelitian yang relevan seluruhnya telah dijabarkan dan menjadi rujukan dalam kajian teori. Penelitian yang relevan dalam penelitian ini dapat diringkas menjadi tiga, yaitu tentang goal free, pembelajaran kolaboratif, dan kemampuan transfer.

Penelitian yang relevan dalam penelitian ini dilakukan oleh Endah Retnowati pada tahun 2015 yang berjudul Goal Free Problems Dalam Pembelajaran Matematika Kolaboratif Ditinjau dari Muatan Kognitif dan

Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa siswa yang belajar dengan pendekatan goal free problems pada materi sudut memiliki skor kemampuan transfer tingkat tinggi yang lebih baik secara signifikan.

(29)

36

Penelitian yang dilakukan oleh Anurada A. Gokhale pada tahun 1995 yang Collaborative Learning Enhances Critical Thinking dijadikan sebagai salah satu penelitian yang relevan. Gokhale menyimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah.

Jurnal yang dibuat oleh Richard E. Mayer pada tahun 2002 dengan judul Rote Versus Meaningful Learning juga menjadi salah satu penelitian yang relevan. Dalam jurnal tersebut, dikatakan bahwa pembelajaran yang bermakna dapat memberikan siswa pemahaman yang lebih mendalam. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memfasilitasi untuk dapat mentransfer kembali apa yang telah dipelajari. Dengan kata lain pembelajaran yang bermakna dapat memfasilitasi kemampuan transfer.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan terutama di bidang pendidikan matematika. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum di dalam Standar Isi kurikulum pendidikan di Indonesia. Kemampuan pemecahan masalah siswa dapat ditingkatkan melalui strategi goal free problems yaitu strategi yang dapat meminimalkan muatan kognitif pada proses pembelajaran. Minimalnya muatan kognitif dalam proses pembelajaran menjadikan kapasitas berpikir siswa dapat

(30)

37

lebih difokuskan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Dengan kata lain, goal free problems diduga sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut juga merupakan kesimpulan dari jurnal yang di hasilkan oleh Ayres & Sweller pada awal tahun 1990-an.

Strategi pembelajaran berkelompok atau kolaboratif dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Pembelajaran kolaboratif mampu merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.

Goal free problems diduga efektif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah jika dipelajari secara kolaboratif. Oleh karena itu, goal free problems yang dipelajari secara kolaboratif masih perlu diuji efektivitasnya terutama dalam materi kesebangunan. Kesebangunan adalah materi yang memiliki tingkat kompleksitas cukup tinggi. Efektivitas dari goal free problems yang dipelajari secara kolaboratif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat ditinjau menggunakan instrumen tes uraian tertulis. Instrumen tersebut dibagi menjadi dua fase yakni fase tes kemampuan pemecahan masalah tingkat rendah atau near transfer dan fase tes kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi atau far transfer. Kemampuan transfer dipilih karena transfer mampu menginterpretasikan materi-materi yang telah dipelajari menggunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

(31)

38

Fase near transfer test digunakan untuk menguji siswa dalam mengingat materi yang telah dipelajari. Oleh sebab itu, soal pada near transfer test akan dibuat memiliki kesamaan struktur dengan soal-soal yang telah dipelajari pada fase belajar.

Berbeda dengan near transfer test, far transfer test menuntun siswa untuk berupaya menganalisis soal yang ada dan mengaplikasikan materi yang telah dipelajari. Soal pada far transfer test tidak memiliki kesamaan struktur dengan soal-soal yang telah dipelajari. Untuk menemukan jawaban pada far transfer test siswa harus melalui seluruh tingkatan Taksonomi Bloom yaitu remember, understand, apply, analyze, evaluate, dan create sehingga siswa dapat menentukan langkah atau strategi yang tepat.

Selain menguji menggunakan tes tertulis, penelitian ini juga mengukur muatan kognitif siswa menggunakan skala likert . Muatan kognitif diuji dengan skala 1-9 dengan satu merepresentasikan sangat-sangat mudah dan sembilan merepresentasikan sangat-sangat sulit.

Berdasarkan uraian di atas, kemampuan pemecahan masalah dapat ditingkatkan dengan menyajikan pembelajaran menggunakan goal free problems dan menggunakan strategi pembelajaran kolaboratif. Oleh karena itu muncul ide penelitian guna menguji efektivitas goal free problems dalam strategi pembelajaran berkelompok yang tergambar pada Gambar 8.

(32)

39

Gambar 8. Diagram Kerangka Berpikir D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Goal free problems efektif untuk materi kesebangunan ditinjau dari kemampuan transfer dan muatan kognitif.

2. Strategi kolaboratif efektif untuk materi kesebangunan ditinjau dari kemampuan transfer dan muatan kognitif.

3. Goal free problems yang dipelajari secara kolaboratif efektif untuk materi kesebangunan ditinjau dari kemampuan transfer dan muatan kognitif.

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Strategi Pembelajaran Kooperatif dengan Kolaboratif
Gambar 1. Struktur Model Proses Kognitif
Gambar 2. Contoh Strategi Worked Example
Gambar 4. Diagram Proses Means-Ends Analysis Production
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Turnover karyawan, rasio manajer dan on stream factor telah sesuai dengan hasil penelitian bahwa peubah tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap kinerja keuangan PT pupuk

DD DP DJ Unit Dasar Modul Dasar Unit Fungsi Modul Fungsi Cross Joint/ Bongkar Pasang Modul Perancangan Modul Struktur Modul Material Multi Modul Terpakai Sistem

Adalah struktur dimana ruang yang ada terbentuk dengan memanfaatkan tekanan udara lengkungan kubah adalah bentuk yang cocok untuk struktur ini, karena dapat menutupi ruang dan

Demikian juga dengan hasil penelitian dari Miler dan kawan-kawan (2007 dalam Farikoh dan Suseno, 2015) tentang karaketristik pelaku kecurangan akademik, dan menghasilkan

Penelitian ini ber- tujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat lokal terhadap program pembangunan trans- migrasi di Pulau Enggano, mengetahui keinginan masyarakat

Sistem Informasi Akuntansi Pengeluaran Kas yang dikembangkan dapat diakses oleh tiga user, yaitu asisten administrasi umum, manager dan operasional yang memiliki