• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut

Rumput laut memiliki morfologi yang tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini mempunyai struktur tubuh yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yang disebut sebagai thallus. Ciri morfologi Gracilaria sp. adalah thallus yang menyerupai silinder, licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak beraturan memusat di bagian pangkal dan bercabang lateral memanjang

menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar 15-30 cm (Ditjen perikanan, 2004). Berikut Gambar 1 Gracilaria verrucosa :

Gambar 1. Gracilaria verrucosa

Sinulingga (2006) mengklasifikasikan Gracilaria verrucosa dalam taksonomi sebagai berikut :

Divisi : Rhodophyta

Class : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales

Familia : Gracilariaceae Genus : Gracilaria

Spesies : Gracilaria verrucosa 4

(2)

2.2 Ekologi Gracilaria verrucosa

Rumput laut (Gracilaria verrucosa) umumnya terdapat di daerah dengan kondisi tertentu. Kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang molusca. Umumnya genus Gracilaria sp. tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Hal ini dikarenakan pada tempat tersebut beberapa persyaratan untuk pertumbuhan rumput laut dapat terpenuhi, diantaranya adalah faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat dan pergerakan air. Habitat khas rumput laut adalah daerah yang memperoleh aliran air laut tetap. Gracilaria sp. lebih menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang yang mati. Rumput laut ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya.

Berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, salinitas, pH, gerakan air (arus), zat hara dan faktor biologis, berpengaruh penting pada laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup rumput laut. Uraian di bawah ini menjelaskan betapa pentingnya faktor lingkungan bagi rumput laut yang erat hubungannya dengan laju pertumbuhan rumput laut Gracilaria verrucosa.

2.2.1 Suhu

Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempelajari gejala-gejala fisika air laut pada perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada suatu perairan. Kemampuan adaptasi rumput laut Gracilaria sp. terhadap suhu bervariasi, tergantung dimana rumput laut tersebut hidup sehingga dimungkinkan akan tumbuh subur pada daerah yang

(3)

sesuai dengan suhu pertumbuhannya. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut Gracilaria verrucosa adalah berkisar antara 20-28°C (Zatnika, 2009).

2.2.2 Salinitas

Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Kondisi salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut yaitu berkisar antara 15-34 ppt (Zatnika, 2009). Dahuri (2002) menjelaskan bahwa secara umum salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar antara 32– 34 ppt. Selanjutnya ditambahkan oleh Sutika (1989) bahwa salinitas air laut pada umumnya berkisar antara 33 ppt sampai 37 ppt dan dapat berubah berdasarkan waktu dan ruang. Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suplai air tawar ke air laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan evaporasi (Nybakken, 2000). Selain itu Nontji (1993) juga menyatakan bahwa sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.

2.2.3 Derajat Keasaman (pH)

Pemilihan lokasi untuk budidaya Gracillaria verrucosa, harus

memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi. Salah satu faktor kimiawi tersebut adalah pH. Pertumbuhan rumput laut memerlukan pH air laut optimal yang berkisar antara 6-9 (Zatnika, 2009). Chapman (1962 in Supit 1989) menyatakan bahwa hampir seluruh rumput laut menyukai kisaran pH 6,8-9,6 sehingga variasi pH yang tidak terlalu besar tidak akan menjadi masalah bagi pertumbuhan rumput laut.

(4)

2.2.4 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi organisme air. DO biasanya dijumpai dalam konsentrasi tinggi pada lapisan permukaan karena adanya proses difusi oksigen dari udara ke dalam air.

Organisme fotosintetik seperti fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Kelarutan oksigen di perairan sangat penting dalam mempengaruhi

kesetimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Selain itu oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air termasuk mikroorganisme untuk proses respirasinya.

Effendi (2003) menjelaskan bahwa hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dengan suhu berbanding terbalik, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas. Sehingga kadar oksigen terlarut di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar. Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1˚C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%.

Sutika (1989) juga mengatakan bahwa pada dasarnya proses penurunan oksigen dalam air disebabkan oleh proses kimia, fisika dan biologi. Proses-proses tersebut antara lain proses respirasi baik oleh hewan maupun tanaman serta proses penguraian (dekomposisi) bahan organik dan proses penguapan. Kelarutan oksigen ke dalam air terutama dipengaruhi oleh faktor suhu, oleh karena itu kelarutan gas oksigen pada suhu rendah relative lebih tinggi jika dibandingkan pada suhu tinggi. Hal ini didukung oleh Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa

(5)

kejenuhan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, dimana semakin tinggi suhu maka konsentrasi oksigen terlarut semakin turun. Konsentrasi dan distribusi oksigen di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air dan proses

biologis yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen. Sulistijo dan Atmadja (1996) menyatakan bahan baku mutu DO untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l. Hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal. Buesa (1977 in Iksan 2005) menyatakan perubahan oksigen harian dapat terjadi di perairan dan bisa berakibat nyata terhadap pertumbuhan rumput laut. Namun kadar oksigen biasanya selalu cukup untuk proses metabolisme rumput laut (Chapman 1962 in Iksan 2005).

2.2.5 Kecerahan

Cahaya matahari adalah merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan. Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa cahaya menyediakan energi bagi terlaksananya fotosintesis, sehingga kemampuan penetrasi cahaya pada kedalaman tertentu sangat

menentukan distribusi vertikal organisme perairan. Hal yang berhubungan erat dengan penetrasi cahaya adalah kecerahan perairan.

Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Hal ini akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Ditjen perikanan, 1997).

(6)

2.2.6 Intensitas Cahaya

Radiasi matahari menentukan intensitas cahaya pada suatu kedalaman tertentu dan juga sangat mempengaruhi suhu perairan. Cahaya sinar matahari yang menembus permukaan air berperan penting dalam produktivitas perairan. Cahaya mempunyai pengaruh besar terhadap biota laut yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Hutabarat dan Evans (2001) mengatakan bahwa penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan makin tingginya kedalaman perairan. Adanya bahan-bahan yang melayang dan tingginya nilai kekeruhan di perairan dekat pantai akan menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya di tempat tersebut. Intensitas cahaya yang diterima sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis yang menentukan tingkat pertumbuhan rumput laut. Penetrasi cahaya lebih optimal bila menggunakan metode terapung dalam pembudidayaan rumput laut.

2.2.7 Kedalaman

Direktorat jenderal perikanan 1997 mengatakan bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut terendah di lokasi yang berarus kencang. Sementara kedalaman perairan yang baik untuk budidaya dengan metode lepas dasar antara 2-15 m dan metode rakit apung antara 5-20 m. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Ditjen perikanan, 1997).

(7)

2.2.8 Faktor Biologi

Faktor biologi yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah organisme penempel dan hewan herbivora. Hasil penelitian Sulistijo (1985) menyatakan bahwa tanaman penempel yang terdapat pada rak percobaan baik yang terapung ataupun yang didasar pada umumnya hampir sama dan juga ditemukan menempel pada tanaman yang dibudidayakan. Tanaman penempel tersebut antara lain : Acanthopora sp.; Hypnea sp.; Amphiroa sp.; Padina sp.; Valonia sp.; Laurencia sp.; Gelidiopsis sp.; Caulerpa sp.; Sargassum sp.; Polysiphonia sp. dan Chaetomorpha sp.

Kehadiran tanaman ini sudah terjadi sejak semula karena terbawa oleh bibit dari alam berupa spora dan terbawa arus. Sedangkan hewan herbivora adalah ikan yang memanfaatkan alga yang dikultur sebagai makanannya seperti famili Pomancetridae, Platacidae, dan Aluteridae. Contoh ikan-ikan herbivora tersebut adalah ikan Bandeng (Chanos chanos), ikan Beronang (Siganus sp.), bulu babi (Diadema setosum) dan penyu (Chelonia mydas) (Soegiarto et al 1977).

2.3 Perkembangbiakan Rumput Laut

Perkembangbiakan rumput laut pada dasarnya terbagi 2 yaitu secara seksual dan aseksual. Pada perkembangbiakan secara seksual, gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi spermatangia. Sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial. Perkembangbiakan secara aseksual terdiri dari penyebaran tetraspora, vegetatif dan konjugatif. Sporofit dewasa menghasilkan spora yang disebut tetraspora yang sesudah proses

(8)

germinasi (berkecambah) tumbuh menjadi tanaman beralat kelamin, yaitu gametofit jantan dan gametofit betina.

Perkembangan secara vegetatif adalah dengan cara stek. Potongan seluruh bagian dari thallus akan membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman dewasa (Poncomulyo, 2006). Berikut gambar 2 daur hidup rumput laut Gracilaria verrucosa

Gambar 2. Daur hidup rumput laut (Mubarak, 1990)

(Sumber : http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/03520013-abdul-hamid.ps) 2.4 Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, thallus (bibit) dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain lingkungan atau oseanografi, bobot bibit, jarak tanam dan teknik penanaman (Kamlasi, 2008).

Pertumbuhan rumput laut menunjukkan adanya pertumbuhan besar, panjang serta cabang. Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan dari sel-sel yang

(9)

menyusun rumput laut tersebut. Perbanyakan sel-sel dapat terjadi karena

pembelahan pada sel-sel yang menyusun rumput laut. Proses pembelahan sel ini dimulai dengan pembelahan intinya yang selanjutnya terjadi pembelahan plasma atau pembelahan sel. Dalam pembelahan sel ada tiga cara yaitu amitosis, mitosis dan miosis.

Budidaya rumput laut yang dilakukan oleh para petani atau nelayan kebanyakan menggunakan dengan cara stek, karena pemilihan metode ini bersifat mudah dan lebih murah dari pada cara seksual. Thallus atau cabang yang diambil untuk metode ini adalah cabang yang masih muda (Sutrian, 2004). Laju

pertumbuhan rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah 3% pertambahan berat per hari.

2.5 Habitat dan Penyebaran Rumput Laut di Indonesia

Gracilaria sp hidup di alam dengan cara menempel pada substrat dasar perairan atau benda lainnya di daerah pasang surut. Bahkan di daerah Sulawesi pada musim-musim tertentu rumput laut jenis Gracilaria sp. banyak terdampar di pantai karena hempasan gelombang dalam jumlah yang sangat besar dan berakibat over produksi. Anggadiredja (2007) mengatakan Gracilaria sp. tersebar luas di sepanjang pantai daerah tropis dan umumnya tumbuh di perairan yang

mempunyai rataan terumbu karang, melekat pada substrat karang mati atau kulit kerang dan batu gamping di daerah intertidal dan subtidal.

Rumput laut yang umumnya dibudidayakan di tambak di Indonesia adalah jenis Gracilaria verrucosa dan Gracilaria gigas. Jenis ini berkembang di

perairan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai, Bulukumba, Wajo, Paloppo, Bone, Maros), Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi,

(10)

Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan) dan Lombok Barat. Rumput laut Gracilaria sp. umumnya dipanen dari hasil budidaya dan juga dari alam. Namun hasil dari alam memiliki kualitas budidaya kurang baik karena tercampur dengan jenis lain (Anonymous, 2005).

Pengetahuan tentang penyebaran tiap-tiap spesies di wilayah Indonesia akan membantu dalam menentukan spesies yang akan ditanam dan yang akan diteliti pada daerah tersebut. Perairan pantai yang potensial di Indonesia menyebabkan hampir seluruh perairan pantai di tiap propinsi dapat ditumbuhi rumput laut. Beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang dimanfaatkan untuk ekspor yaitu dari marga Eucheuma sp.; Glacilaria sp.; Gelidium sp. dan Hypnea sp. Berikut ini dalah jenis-jenis rumput laut di Indonesia (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis-jenis rumput laut di Indonesia Daerah Jenis Rumput Laut

Sumatra Utara Eucheuma spinosum, Eucheuma edule.

Sumatra Barat Gracilaria intricate, Gracilaria coronopifolia, Gracilaria salikornia, Gracilaria arcuata, Gelidium sp.

Riau

Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Gracilaria confervoides, Gracilaria cuchemioides, Gracilaria cylindrical, Gelidium amansii, Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Hypnea spp. Bali Gracilaria spp, Gelidium spp, Eucheuma spp.

Nusa Tenggara Barat

Gelidium spp, Gracilaria spp, Hypnea spp, Eucheuma spinosum, Eucheuma cottonii.

Nusa Tenggara Timur

Eucheuma spinosum, Eucheuma muricatum, Eucheuma edule, Eucheuma serra, Gracilaria rigida, Gracilaria confervoides, Gracilaria lichenoides, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria verrucosa, Gelidium rigida, Gelidium letifolium, Hypnea choroides, Hypnea cornata, Hypnea musciformis.

Maluku

Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Eucheuma cottonii, Gracilaria blodgetti, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria aruata, Hypnea cornata, Hypnea musciformis, Hypnea nidulans.

Jawa

Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, Gracilaria verrucosa, Gracilaria confervoides, Gracilaria lichenoides, Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Sargassum aquifolium, Sargassum polycstum, Turbinaria ornata, Turbinaria conoides.

(11)

2.6 Penyakit Rumput Laut

Penyakit yang terjadi pada rumput laut pertama kali diketahui pada tahun 1974 di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang terinfeksi dan selanjutnya berubah warna dan mati kemudian hancur. Penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut Gracilaria sp. adalah Ice-ice. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak pada sebagian thallus yang lama-kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya thallus tersebut putus. Penyakit ini timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman rumput laut yang lemah. Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk (Direktorat Jenderal Perikanan, 2004).

Trono (1974) menjelaskan adanya perubahan lingkungan (seperti arus, suhu dan kecerahan) di lokasi budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya terjadi dalam waktu yang cukup lama. Selain itu

korelasi positif terjadinya penyakit ice-ice dikarenakan keadaan lingkungan yang kurang mendukung, diantaranya air yang tenang atau pergerakan arusnya lemah. Bercak putih (ice-ice) pada rumput laut merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat merusak areal tanaman sampai mencapai 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo 2002).

Direktorat Jenderal Perikanan (2004) menjelaskan terjadinya penyakit ice-ice dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang menempel atau epifit. Hal ini didahului dengan rendahnya unsur hara di perairan karena dengan

(12)

berkembangnya rumput laut jenis lain akan mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice-ice tetapi untuk mengurangi

kerugian. Untuk mengatasi hal tersebut maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin jika telah terjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan. Selain itu dapat dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari.

Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada rumput laut ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O-LIPI dan hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri tersebut yang menimbulkan penyakit ice-ice, ke-8 jenis bakteri tersebut adalah Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis, Bacillus megaterium, Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens, namun tingkat patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima bakteri tersebut adalah Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium tidak menyebabkan gejala penyakit ice ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan ditemukan yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio agarliquefaciens (Nasution 2005). Cara membasmi penyakit ice-ice sampai saat ini belum diketahui, namun upaya yang dilakukan untuk menghindari penyakit

(13)

tersebut adalah dengan menghentikan proses pembudidayaan rumput laut saat penyakit mulai ada.

2.7 Agar dan Kandungan Agar

Agar merupakan senyawa poligalaktosa yang diperoleh dari pengolahan rumput laut jenis agarophyte. Agar-agar disebut sebagai gelosa atau gelosa bersulfat, dengan rumus molekul ( ) atau ( )n . Selain mengandung polisakarida sebagai senyawa utama, agar-agar juga mengandung kalsium dan mineral lainnya. Kandungan kalsium ini cukup tinggi dibandingkan dengan mineral-mineral lain (Angka dan Suhartono, 2000).

Menurut Glicksman (1983) agar-agar merupakan kompleks polisakarida linier yang mempunyai berat molekul 120 000 dan tersusun dari beberapa jenis polisakarida seperti 3,6-anhidro-L-galaktosa, D-galaktopiranosa dan sejumlah kecil metil D-galaktosa. Kandungan agar Gracilaria beragam menurut jenis dan lokasi penanamannya. Umumnya kandungan agar Gracilaria sp. berkisar antara 16-45%. Kandungan agar Gracilaria sp. di Indonesia mencapai 47,34% (Kadi dan Atmadja, 1988 in Ritawati, 1990). Khususnya G. Lichenoides mengandung agar 28,0-36,6% (Nelson, S.G., S.S. Yang, C.Y. Wang dan Y.M.Ciang, 1983 in Ritawati, 1990).

Ren (1985) in Ritawati (1990) menyatakan bahwa sebagian besar agar digunakan dalam industri makanan terutama sebagai stabilisator dan pengental. Dalam bidang farmasi agar yang tekandung dalam rumput laut dapat digunakan sebagai obat, pelarut air dan cetakan gigi. Selain itu pemakaian agar juga dapat digunakan untuk keperluan laboratorium seperti elektroforesa, immunologi, kromatografi, sistem immobilisasi dan media kultur bagi mikro-organisme.

(14)

Pengolahan agar-agar dari Gracilaria verrucosa masih jarang dilakukan, padahal sangat mudah dilakukan secara sederhana yaitu secara skala rumah tangga dan skala industri. Proses ekstraksi agar dapat dilakukan melaui tahapan yaitu pencucian dan pembersihan, disortasi, pemucatan, pemasakan (ekstraksi), penghancuran, pemucatan, penyaringan, pendinginan, pencetakan, pengepresan, pengeringan, pemanasan dan perhitungan rendemen agar (Ayuningtyas, 2011).

2.8 Budidaya Rumput Laut

2.8.1 Pengadaan, Pemilihan dan Pemeliharaan Bibit

Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah monospesies, muda, bersih dan segar. Zatnika (2009) menyatakan bibit yang baik dicirikan dengan thallus yang baik (muda, keras dan segar), warna agak gelap (coklat-kecoklatan), usia minimal 2 minggu. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lain (Kolang, 1996). Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, sehingga kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan.

Syahputra (2005) menjelaskan bahwa pemilihan bibit dalam budidaya rumput laut merupakan hal yang sangat penting. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Bibit yang berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas budidaya. Selain itu, bibit harus baru dan masih muda.

(15)

3. Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya.

4. Pengangkutan bibit harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, dimana bibit harus tetap dalam keadaan basah ataupun terendam air.

5. Sebelum ditanam, bibit dikumpulkan pada tempat tertentu seperti dikeranjang atau jaring yang bermata kecil.

Sulistijo (2002) menyatakan bahwa rumput yang baik adalah bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan ditempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga pencemaran (terutama minyak) dan tidak boleh direndam air laut dalam wadah. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan bahwa bibit yang diperoleh dari bagian ujung tanaman (muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil panen mengandung kandungan agar yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua.

Zatnika (2009) menyatakan saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam. Tahap pemeliharaan dilakukan seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Zatnika, 2009).

(16)

2.8.2 Teknik Penanaman

Sunarto (1985) in Hamid (2009) menyatakan bahwa seiring kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan luar negeri, sekaligus memperbesar devisa Negara dari sektor

nonmigas, maka perlu teknik penanaman rumput laut yang sesuai dengan kondisi lingkungan untuk meningkatkan hasil budidaya rumput laut yang banyak dan berkualitas ekspor.

Teknik yang dipakai oleh para nelayan di perairan tambak BLUPPB adalah teknik rakit apung (floating monoline method). Teknik ini menggunakan bambu atau pelampung plastik sebagai pelampung. Bambu dibingkai seperti rakit yang terdiri dari 2 potong bambu yang panjangnya tiap potong 5 meter dan 2 potong bambu yang masing-masing panjangnya 2,5 meter. Bila menggunakan pelampung plastik, bingkai rakit semuanya terbuat dari kayu atau bambu.

Potongan bambu yang sudah disiapkan dibuat rakit persegi empat dengan mengikat keempat sudutnya. Agar rakit lebih kuat dan ikatan tidak mudah bergeser, maka tiap-tiap sudut dari rakit ini diberi pasak. Ukuran rakit dapat berkisar antara 2,5 × 5 m atau 2,5 × 5 . Bila rakit lebih panjang dari ukuran itu, maka tali nilon monofilament kurang teregang dengan baik.

Rakit dapat dibuat dari dua potongan kayu dan dua potongan bambu, atau dapat juga rakit dibuat dari 4 potong kayu dan digunakan pelampung plastik. Ukuran memilih model-model ini, kita harus memperhitungkan harga dan daya tahan bahan tersebut. Berikut gambar 3 metode penanaman Gracilaria sp. di tambak.

(17)

Gambar 3. Metode penanaman Gracilaria sp. di tambak

Agar produksi tiap satuan luas areal tinggi, maka beberapa rakit digabung untuk dijadikan satu modul. Makin banyak jumlah rakit persatuan modul,

produksi tiap satuan areal makin tinggi, akan tetapi ada satu titik atau jumlah optimal yang ditentukan oleh faktor pergerakan air atau ombak tidak dapat mencapai rakit yang berada pada posisi di tengah dari kumpulan atau modul rakit tersebut, maka tanaman yang ada pada rakit tersebut (rakit bagian tengah) tidak dapat tumbuh dengan baik, bahkan sering mengalami kerusakan.

Kamlasi (2008) menyatakan bahwa hasil percobaan memperlihatkan bahwa tanaman yang ditanam dengan menggunakan metode rakit apung memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding dengan metode lepas dasar.

Keuntungan yang diperoleh dengan metode rakit apung adalah tanaman bebas dari serangan biota penganggu (bulu babi), pertumbuhan tanaman lebih baik, bisa digunakan pada dasar perairan yang keras, di mana sukar untuk menancapkan pancang, seperti pada metode lepas dasar. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah diperlukan lebih banyak waktu untuk pembuatan

Gambar

Gambar 2.  Daur hidup rumput laut (Mubarak, 1990)
Gambar 3.  Metode penanaman Gracilaria sp. di tambak

Referensi

Dokumen terkait