• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Lembaga Independen Dengan Sektor Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Lembaga Independen Dengan Sektor Perbankan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

28

HUBUNGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) SEBAGAI LEMBAGA INDEPENDEN DENGAN

SEKTOR PERBANKAN1 Oleh : Javier Inkiriwang2

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen dengan sektor perbankan dan bagaimana Implementasi Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: 1. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen dengan sektor perbankan meliputi: Pertama, pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank. Kedua, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank. Ketiga, pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank. Keempat pemeriksaan bank. 2. Implemantasi hukum OJK sebagai lembaga independen, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 secara organisatoris-struktural telah menyebar hingga ke daerah-daerah mengingat jangkauan kegiatan berbagai usaha di sektor jasa keuangan yang juga ada di daerah-daerah. Tataran implementasinya, ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan berpengaruh besar, luas, dan kompleks terhadap sejumlah peraturan perundangan yang mengatur berbagai kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut. Implementasi Hukum OJK membuka peluang munculnya gugatan hak uji di Mahkamah Konstitusi antara lain salah satu dari beberpa ketentuannya inkonstitusional, seperti Otoritas Jasa Keuangan tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kata kunci: Otoritas Jasa Keuangan, Independen, Perbankan.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

1

Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Engelien R. Palandeng, SH, MH; Meiske Tineke Sondakh, SH, MH 2

Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 13071201726

(OJK) memperlihatkan bahwa Indonesia akan bergeser dalam menerapkan model pengawasan terhadap industri keuangannya. Pembentukan OJK juga dipicu oleh kasus Bank Century yang membuktikan lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.3 Meskipun pada awalnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan mendapat pro dan kontra, namun banyak kalangan yang menanti kehadiran lembaga OJK ini. Tak hanya kalangan perbankan yang berharap OJK akan lebih baik dalam pengawasan namun juga kalangan terkait lainnya. Lembaga ini sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang disahkan pada November 2011. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka seluruh fungsi peraturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di Bank Indonesia dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam Otoritas Jasa Keuangan.

Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas di atur dalam undang-undang ini. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas independensi, asas kepatian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas profesionalitas, asas integrasi, dan asas akuntabilitas. Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang bertugas mengawasi dan menjaga stabilitas keuangan yang pada masa-masa sekarang ini sangat rawan dan berisiko tinggi.

Otoritas Jasa Keuangan mempunyai beberapa kewenangan, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,

3

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan,

(2)

29 perlindungan konsumen, dan

tindakan-tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kenyataannya, walaupun telah dinyatakan secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, independensi Otoritas Jasa keuangan sendiri masih diragukan dan diperdebatkan.

Isu utama mengenai Otoritas Jasa Keuangan sendiri terkait mengenai pimpinan atau Dewan Komisioner Jasa Keuangan baik dari segi komposisi maupun proses pemilihannya. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengatur dan pengawas bank bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: ^Hubungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Lembaga Independen Dengan Sektor Perbankan_X

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah hubungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen dengan sektor perbankan? 2. Bagaimanakah Implementasi Hukum

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen?

C. METODE PENELITIAN

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (normative legal research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, majalah-majalah hukum serta dokumen tertulis lainnya.

PEMBAHASAN

A. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Lembaga Independen Dengan Sektor Perbankan

Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,

pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia sebagai bank sentral di negara kita dialihkan pada Otoritas Jasa Keuangan. Pembentukan undang-undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Pengawasan yang dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.4

Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laopran kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam melaksanakan tugasnya lembaga OJK melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam undnag-undang pembentukan lembaga pengawasan yang dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dnegan pelaksanakan tugas pengawasan bank berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.

Keindependenan OJK berkaitan dengan beberapa hal yang pertama, independen yang berkaitan dengan pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan lembaga yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya administrative agencies yang dapat sewaktu-waktu oleh Presiden karena jelas merupakan bagian dari eksekutif.5

Independensi dan sistem pengawasan terintegrasi merupakan dua fitur penting yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas pengawasan lembaga jasa keuangan membutuhkan independensi, baik dari Pemerintah maupun Industri yang diawasi.

4

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 322. 5

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan,

(3)

30

Dengan begitu, tujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk memastikan keseluruhan kegiatan di dalam sector jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, trasparan, dan akuntabel dapat tercapai. Otoritas Jasa Keuangan juga diharapkan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Itu sebabnya Pasal 2 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga sulit untuk dicapai tanpa pengaturan yang jelas tentang independensi institusi dan anggaran.

Independensi regulasi dimaksudkan sebagai kemampuan dari lembaga pengawas memperoleh suatu tingkatan otonomi dalam menetapkan peraturan teknis yang mengatur industry yang diawasinya sesuai Undang-Undang yang berlaku. Dalam kaitan ini, Undang-Undang yang mengatur industri keuangan sebaiknya hanya mengatur hal-hal prinsip.6 Lembaga pengawas dapat leluasa menerbitkan dan mengamandemen regulasi teknis tanpa perlu melibatkan atau melalui proses politik. Hanya saja perlu diwaspadai bahaya independen regulasi, yaitu pengawas dapat saja menjadi curiga yang berlebihan sehingga terjadi pengaturan yang berlebihan (ever regulated) tanpa mempertimbangakan biaya regulasi terhadap industry yang diawasi.

B. Implementasi Hukum Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) Sebagai Lembaga

Independen

Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan telah melahirkan kelembagaan baru yang telah mulai beroperasional, namun terdapat beberapa aspek penting sehubungan dengan implementasinya. Sebagai jenis peraturan perundang-undangan berbentuk Undang-Undang, Otoritas Jasa Keuangan hanya memuat ketentuan-ketentuan pokok saja, dan membutuhkan banyak ketentuan labih lanjut peraturan pelaksanaannya.7

6

Ibid, hal. 76. 7

Abdurrahman Konoras, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Teori dan Praktek di Indonesia, Pustaka Pena Press, Makassar, 2015, hal. 161.

Visi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum. Artinya cita-cita OJK utamanya adalah menginginkan jasa keuangan yang dijalankan oleh lembga keuangan mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.

Misi yang diemban oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rangka mencapai visinya adalah:

1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; 3. Melindungi kepentingan konsumen dan

masyarakat.8

Terdapat dua bentuk peraturan pelaksanaan dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan, yakni yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengingat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Pasal 1 Angka 11, dan yang dirumuskan bahwa peraturan Dewan Komisioner adalah peratuan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner dan mengingat di lingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 Angka 12.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengingat dan berlaku secara umum, pada dasarnya bersifat peraturan yang berlaku dan mengikat ke luar, baik terhadap kegiatan perbankan, kegiatan perasuransian, kegiatan pasar modal, dan lain-lainnya, sedangkan Peraturan Dewan Komisioner hanya mengikat secara kedalam atau Internal Otoritas Jasa Keuangan.

Kedua jenis peraturan pelaksanaan dari Otoritas Jasa Keuangan tersebut telah

8

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 321.

(4)

31 menambah jumlah, jenis dan bentuk peraturan

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang hanya mengatur antara lain peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa:

Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Peraturan atas Perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.9

Ketentuan tersebut di atas tidak memuat aturan bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagai salah satu bagian peraturan yang dimaksudkan, namun dengan berlakunya ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka kedudukan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sejajar dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang banyak mengatur serta merupakan peraturan-peraturan pelaksanaan tentang ketentuan Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tidak hanya dikenal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Dewan Komisioner, melainkan juga ada Keputusan Dewan Komisional. Justru merujuk pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, terjadi suatu penyesuaian berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sehubungan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 memuat sejumlah ketentuan yang telah dengan jelas dan tegas mengambil alih fungsi, tugas, dan wewenang yang semula ada pada lembaga lainnya dan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut ditempatkan pada

9

Abdurrahman Konoras, Op-cit, hal. 161.

ketentuan peralihannya, maka hal tersebut merupakan hukum tradisional yang memerlukan waktu untuk penyesuaiannya.

Terkait erat dengan hukum tradisional ini, memiliki implikasi hukum yang luas terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Sebagai hukum tradisional dan ditempatkan dalam ketentuan peralihannya, mengandung makna sebagai proses penyesuaian pengaturan tindakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang lama yang sudah terlebih dahulu berlaku dengan peraturan perundangan yang baru sehingga diharapkan tidak terjadi kekosongan hukum maupun dapat menjamin kepastian hak, sekaligus juga bersifat sementara.

Menjamin agar tidak terjadi kekosongan hukum oleh karena hukum tradisional dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 mengatur proses pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Semula ada pada Menteri Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal 31 Desember 2012, serta proses pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013.10

Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan menjadi satu-satunya pemegang otoritas dan menghidari terjadinya dualisme pemegang otoritas sebagaimana yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Sebagaimana lembaga baru, maka Otoritas Jasa Keuangan telah beroperasi secara resmi di Indonesia dengan bertumpu pada 2 aspek hukum utamanya yakni:

a) Melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun,

10

(5)

32

Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; dan

b) Melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.11

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 mengatur tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan mulai dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 yang bertumpu pada dua aspek hukum yakni pengaturan dan pengawasan, bahkan berhak pula menjatuhkan sanksi pidana sesuai Ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 54.

Ancaman pidana penjara dan denda dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 adalah bagian dari upaya penegak hukum agar tidak terjadi pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Justru akan lebih lengkap manakala sanksi tersebut dilengkapi pula dengan sanksi yang bersifat administratif baik yang ditujukan secara internal. Contohnya, sanksi administratif berupa teguran tulisan atau pengenaan sanksi disiplin bagi Pegawai Otoritas Jasa Keuangan, maupun sanksi administratif yang bersifat eksternal seperti adanya kekeliruan atau kelalaian perusahaan-perusahaan di berbagai sektor jasa keuangan.

Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 secara organisatoris-struktural telah menyebar hingga ke daerah-daerah mengingat jangkauan kegiatan berbagai usaha di sektor jasa keuangan yang juga ada di daerah-daerah. Secara organisatoris-struktural Otoritas Jasa Keuangan seharusnya pula diikuti dengan kemandirian dalam pembiayaan (penganggarannya), sehingga ada waktu tertentu yang relatif singkat. Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi mengandalkan sumber anggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam kurun waktu yang singkat, Otoritas Jasa Keuangan dapat mewujudkan kemandiriannya dalam pembiayaan operasionalnya jika telah menetapkan besaran pungutan seperti biaya

11

Ibid, hal. 166.

perizinan, biaya pendaftaran, biaya pengesahan dan lain-lainnya.12

Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya adalah iuran atas suatu premi yang dibebankan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di berbagai sektor jasa keuangan. Serupa dengan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009, menjadi bahan pertanyaan apakah tidak membebani perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di berbagai sektor jasa keuangan.

Pungutan yang dimaksudkan dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan tidak bersifat tetap, melainkan hanya diberlakukan untuk satu atau beberapa kali kegiatan tertentu misalnya pungutan yang dubebankan dalam rangka perizinan pendirian atau pembentukan kantor cabang bank yang baru, pungutan untuk perizinan pembukaan kantor cabang perusahaan pembiayaan multifinance, dan lain-lainnya. Penanaman sebagai pungutan, membedakannya dari bentuk yang mirip yaitu premi atau iuran yang umumnya bersifat tetap, seperti premi yang dibedakan pada perusahaan-perusahaan perasuransian, perusahaan-perusahaan perbankan dalam rangka implementasi LPS terhadap dana simpanan nasabah bank. Premi yang dimaksudkan tersebut tidak memandang apakah bank itu digolongkan sebagai bank yang sehat atau kurang sehat, besaran preminya ditentukan sama. Pada sisi lain, kondisi kesehatan perbankan seharusnya ditentukan besaran premi yang tidak sama semakin kurang sehat kondisi kesehatan bank, semakin besar pula premi yang harus dibebankan oleh LPS terhadap simpanan dana nasabah bank.13

Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan sendiri memberikan rumusannya tentang apakah yang dimaksudkan sebagai pungutan, bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan,

12

Ibid, hal 167. 13

(6)

33 pemeriksaan, serta penilitian dan transaksi

perdagangan efek.14

Pungutan tersebut merupakan sember pemasukan dan pendanaan bagi kegiatan anggaran Otoritas Jasa Keuangan yang tidak dibiayai dengan beban APBN. Seiring dengan bergulirnya waktu dan kemandirian Otoritas Jasa Keuangan semakin membaik, tentunya sangat diharapkan agar kegiatan operasional termasuk sistem penggajian personel Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi mengandalkan sumber dana dari APBN.

Implementasi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan membutuhkan banyak peraturan sebagai peraturan-peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 menentukan perlunya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan pungutan, tentunya diperlukan pula suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur berbagai aspek tentang pungutan sebagai ketentuan implementatifnya.

Ketika Bank Indonesia menjadi pemegang otoritas moneter dahulu, diatur berbagai Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai landasan hukum dalam implementasi berbagai ketentuan tentang Bank Indonesia yang pada saat itu lebih ditujukan kepada kalangan dunia usaha perbankan. Sudah seharusnya diterbitkan berbagai POJK sebagai pengganti PBI bahkan menambahkan berbagai POJK mengingat ruang lingkup ketentuan OJK tidak hanya semata-mata menjangkau kalangan dunia usaha perbankan, melainkan juga di sektor Pasal Modal, Dana Pensiun, Perasuransian, dan lain-lainnya.

Penting dan perlunya sejumlah POJK, terkait erat antara lain dengan belaum lengkapnya tata aturan lama yang berdasarkan PBI maupun dalam praktik-praktik bisnis seperti yang melibatkan penasihat keuangan (perencanaan keuangan). Jika penasehat keuangan sekaligus sebagai perencanaan keuangan itu melakukan praktik pengumpulan dan kliennya untuk kegiatan investasi, maka diperlukan tata aturan yang jelas dan lengkap termasuk pertanggunjawaban, standarisasi, sertifikasinya, dan lain-laninya. Status perencanaan keuangan

14

Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

sekaligus penasihat keuangan sebenarnya kurang jelas, apakah hanya sebagai memberikan nasihat dan mengusulkan perencanaan investasi kepada kliennya, atau sebagai pelaksanaannya sekaligus. Ketidakjelasan ini menjadikan status perencana keuangan itu berperan pula sebagai menajer investasi dan rentan terhadap tuntutan hukum dari kliennya jika menderi kerugian.15

Berlakunya ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan membutuhkan diterbitkannya sejumlah Peraturan Pemerintah maupun POJK dan Peraturan Dewan Komisioner OJK dan lain-lainnya, sehingga implementasi ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan menjadi lebih jelas dan memiliki landasan hukum yang kuat. Pelaku bisnis di berbagai sektor jasa keuangan membutuhkan kesejalan tata aturan, tarnsparansi tata aturan, dan pemahaman yang lebih mendalam bahwa ketentuan-ketentuan dalam Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia diberlakukan tidak diskrimitatif dan berorientasi pada pencapaian tujuan yakni terselenggaranya kegiatan di berbagai sektor jasa keuangan yang teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan memiliki implikasi hukum yang luas, mengingat sebelumnya, kegiatan di berbagai sektor jasa keuangan di Indonesia di atur pula dalam peraturan perundang-undangan tersendiri yakni dalam jenis dan hierarki Undang-Undang.

Kedudukannya sama dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, namun dalam tataran implementasinya, ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan berpengaruh besar, luas, dan kompleks terhadap sejumlah peraturan perundangan yang mengatur berbagai kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut. Undang-Undang terntang Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan suatu politik hukum dalam rangka mewujudkan sinkronisasi dan harmonisasi sejumlah peraturan perundangan tersebut, untuk menyesuaikan dan pendekatan

15

(7)

34

format tata aturan sebagaimana yang dikehendaki dan yang diamanatkan dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.16

Ketentuan tentang perbankan, baik perbankan konvensional menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 maupun Perbankan Syariah berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, masih memberlakukan ketentuan yang menegaskan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia, termasuk pula dalam hal perizinan dan lain-lainnya, yang tentu saja ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.

Ketentuan tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai ketentuan hukum terbaru, sudah tentu harus diperhatikan pula salah satu asas atau prinsip hukum yakni aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan aturan hukum yang lama Lex posterior derogat legi priori.

Ditinjau dari kedudukan dan garis hukumnya, bahwa ketentuan perbankan baik Perbankan Konvensional maupun Perbankan Syariah yang telah disebutkan sebelumnya dengan ketentuan Bank Indonesia dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan adalah bersifat horizontal, yakni sama-sama mengatur bidang hukum utama yang sama yakni tentang perbankan. Prinsip utama dan pertama dalam rangka penerapan asas atau prinsip bahwa aturan hukum baru dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama, didasarkan pada semua ketentuan tersebut berbentuk Undang-Undang, juga semuanya mengatur materi yang sama, yakni mengenai perbankan.17 Kedudukan dan status hukum konstitusionalisme dari Otoritas Jasa Keuangan juga dihadapkan pada peluang munculnya gugatan berbagai pihak ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan ketentuan-ketentuan tersebut inkonstitusional. Padahal, tidak semua yang diatur dalam bentuk Undang-Undang cantolannya dengan ketentuan konstitusi berdasarkan UUD Tahun 1945, seperti adanya beberapa Undang-Undang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi baik dalam bentuk Undang-Undang.

16

Ibid, hal. 170. 17

Ibid, hal. 171.

Independensi telah menjadi salah satu asas atau prinsip penting dalam berbagai peraturan perundangan yang sebenarnya diletakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen, dimaksudkan agar lembaga ini tidak dicampuri oleh pihak-pihak lain atau kekuatan-kekuatan lain yang turut mempengaruhi arah dan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. Asas atau prinsip independensi Otoritas Jasa Keuangan merujuk pula pada ketentuan Bank Indonesia yang menegaskan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pihak Pemerintah. Independensi Otoritas Jasa Keuangan mencantol pada independensi Bank Indonesia, karena Otoritas Jasa Keuangan lahir dari rahim Bank Indonesia. Sebagaimana kecenderungan berlakunya peraturan perundangan baru, senantiasa memancing minat dan hasrat elemen-elemen masyarakat tertentu untuk melakukan hak uji terhadap satu atau beberapa ketentuan perundangan baru tersebut. Hal yang sama dapat terjadi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang sewaktu-waktu dapat dimintakan pengujiannya oleh elemen-elemen masyarakat tertentu, termasuk beberapa aspek tersebut di atas baik aspek konstitusionalisme Otoritas Jasa Keuangan maupun independensinya.18

PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga independen dengan sektor perbankan meliputi: Pertama, pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank. Kedua, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank. Ketiga, pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank. Keempat pemeriksaan bank. 2. Implemantasi hukum OJK sebagai lembaga independen, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 secara organisatoris-struktural telah menyebar hingga ke daerah-daerah mengingat jangkauan kegiatan berbagai usaha di sektor jasa keuangan yang juga ada di

daerah-daerah. Tataran

18

(8)

35 implementasinya, ketentuan tentang

Otoritas Jasa Keuangan berpengaruh besar, luas, dan kompleks terhadap sejumlah peraturan perundangan yang mengatur berbagai kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut. Implementasi Hukum OJK membuka peluang munculnya gugatan hak uji di Mahkamah Konstitusi antara lain salah satu dari beberpa ketentuannya inkonstitusional, seperti Otoritas Jasa Keuangan tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. SARAN

1. Pengawasan dan pengaturan dalam sektor perbankan setelah adanya Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat lebih baik lagi sehingga kasus seperti Bank Century tidak terulang lagi, kedepannya Otoritas Jasa Keuangan harus lebih aktif lagi dalam melakukan sosialisasi yang luas sehingga Otoritas Jasa Keuangan bisa dikenal secara lebih luas bukan hanya di kalangan tertentu saja.

2. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang baru masih butuh penyesuaian terhadap kinerja terutama di daerah-daerah tertentu, mengingat Otoritas Jasa Keuangan ini berpengaruh besar, luas dan kompleks terhadap sektor jasa keuangan. Payung hukum Otoritas Jasa Keuangan perlu diangkat ke konstitusi agar Otoritas Jasa Keuangan tidak mendapat gangguan, pengangkatan Otoritas Jasa Keuangan dari Undang-Undang ke UUD akan membuat Otoritas Jasa Keuangan lebih aman dari gangguan. Beberapa negara modern memiliki konstitusi yang tidak lagi memuat tentang lembaga-lembaga trias politica saja tetapi juga lembaga-lembaga independen.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah dan Francis Tantri, Thamrin, Bank dan Lembaga Keuangan, Cetakan III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Gazali dan Rachmadi Usman, Djoni S., Hukum Perbankan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Hendro dan Conny Tjandra Rahardja, Tri ,Bank dan Institusi Keuangan Non Bank di Indonesia, Cetakan I, UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2014.

Hermasyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Kencana, Jakarta, 2011.

________, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan IV, Kencana, Jakarta, 2008.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.

Konoras, Abdurrahman, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Teori dan Praktek di Indonesia, Pustaka Pena Press, Makassar, 2015.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perbankan, Cv. Mandar Maju, Bandung, 2008.

Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Cetakan I, Jakarta, 2014.

Sulistyandari, Lembaga dan Fungsi Pengawas Perbankan di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 24 Nomor 2, Juni 2012.

Zaini, Zulfi Diane, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Cv. Keni Media, Bandung, 2012.

Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars Nomor 02/Th.VII/12-18, 2004.

SUMBER-SUMBER LAIN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia jo Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.

(9)

36

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Bank Indonesia (berkaitan dengan penyediaan fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi bank-bank bermasalah).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Referensi

Dokumen terkait

Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Produk Puyuh melalui Supplementasi dalam Ransum serta Potensi Telur Puyuh sebagai Bahan Pembuat Juice Telur

Untuk meningkatkan nilai rasio yang diperoleh petani, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas susu yang diproduksi, sehingga harga yang diterima

Walaupun dalam fikih terdapat empat mazhab besar, tetapi dalam penelitian ini penulis membagi mazhab tersebut menjadi dua, dengan alasan adalah ulama Mazhab

Hasil penelitian ini di harapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi oleh tenaga pendidik di Madrasah Aliyah Al-Ma’arif Pondok Pesantren Panggung Tulungagung

Jenis dokumen yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan kegiatan pengawasan antara lain: 1) Dokumen AMDAL atau UKL-UPL. 3) Laporan RKL-RPL atau UKL-UPL dari

Indikator ini didukung oleh 2 sub output, yaitu (1) Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Paket C, yang telah merealisasikan anggaran Rp. Jumlah desa

Bolabasket adalah permainan olahraga yang dilakukan secara berkelompok, terdiri atas 2 tim yang beranggotakan masing-masing 5 orang yang saling bertanding dengan

UPAYA PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM ATAS DASAR VISUM ET REPERTUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri