• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG,

JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG,

BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

B A A K D TI SA H U

(2)

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG,

JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG,

BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

Ketua Pelaksana:

Dr. Fonny J Silfanus, MSc Sub Direktorat AIDS&PMS

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia

Peneliti Utama:

Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PH

Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan Indonesia Pemantau Teknis:

Prof. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK (K) Departemen Kulit dan Kelamin

Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Peneliti:

Dr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TM Dr. Flora Kioen Tanudyaya, MSc Dr. Kemmy Ampera Purnamawati Aang Sutrisna, MPH

Siswadi

Dr. Leny Senduk Hari Purnomo Vita Ayu

Family Health International, Indonesia / Aksi Stop AIDS (ASA) Program Nurjannah, SKM

Sub Direktorat AIDS&PMS

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia

Drs. Eko Rahardjo Drs. Syahrial Harun Dr. Roselinda, MEpid

Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

(3)

ii Tim Lokal ! " # # $ %& # ' ( ) " * # + ",* ! # * - % # ! * * % # * . # % . $ # % ' * / ! # 0 * # 1 2 # 3# 4 1 2 # 3# * # # * # 5 ! # % # 3* 1 ! / 60# ! # 1 / # 7 # 2 # $ " ' * ", 0 # ( ", # ) ! # + * # * " % ! 8 4 " * % # # $ * ' 8 ( * % # #. ) * 1 0 + 5 * # # 8 , ! 1 ! 1 1 5 ! 1 4 # + 1 8 , !1 ! . % 4 # 0 . % * 0 3* # 8 , !1 !

(4)

8 * # / 1 5 # 5 # # $ * ' ", 6 4 ( - " ) # + 5 % 7 # . 2 -# * * $ # ' * * . # * # 1 2 # # 4 # # * # # * % 9 1 # # # * # # 1 ! ! : ,% 1 4 1 ! 5 # ! . % / # 0 # 2 $ - ! ' % 4 ( ) 5 + * ,, 1 , #1 ;; < 2# 8 -$ ' = # ( * 8 %" ) * , 8 ## * # 1 2 * 5 % * # # 5 # 4 # 41 1 2 * 5 % * 1 # # 5 # 4 # 1 !! 4 1 8 . % 4 < 0# ! * . ; 4 * / # 6 * 3 !* % # $ * - ! 01 ' * ", # ( ) , 1 4 # + ! 6 * 4 ! #1 # * # 1 2 5 4 # 41 1 2 5 4 # * # 4 ! * 1 # # 4 ! * # 4 ! 1 4 5 4 #

(5)

iv - %1 # #5 % 4 = 1 , $ 5 # ' 8 " ( < # # 6 % ! ) #%/ , # + #0 * < # = # # * = # . 8 $ < # 1 ' #% ( # ) * / # # + . % = 6 * # ## 0 * # 1 2 5 8 ! 4 ! 1 # * # ! 4 1 2 5 8 ! * # # ! * 1 # 9 % # ! 1 1 ! ! . % : % 1 4 # ! 3* # ! " # 4 6 * * " # ! 0 > ? * : 0 8 # $ ' / ; ( % ) % # + & - # " " % #% # * $ ' * ", !! ( * ", # * # 1 2 5 8 * # @ % 3 4 ! @ 4 % ! 4 1 2 5 8 * # 0 # 4 % ! 1 ! ! # % # 4 #" 0 , 4 # 1 ! , 1 8 , " # 4 6 * * " # ! 0 8 # * # # * # 1 2 5 8 3 * # @ % 4 1 2 5 8 * # # %

(6)

* ## 7 % 3 / % ! % * * # * - 1 # $ - % ##% 0 ' -( < ) = % + * / 7 - 8 1 % # ! " % 0 ! * ! # 8 $ #A ' # / ( * # # 0 ) * 5 , * # 1 2 3# 4 3# * # # 4 # ! * # 4 # ! 1 4 # !4 # . % 1 ! . % 4 ! " 0 # 3 1 < * , 1" * % 6 % 1 = * # 6 = $ * . # ' * #% # 0 ( . 05 ! ) A # + 7 #2 % #. 2 # % 0 4 - ! $ ! # ' * 0 ! * # 1 2 1 0 4 5 % 0 1 0 1 = * 5 % 0 * " 0 1 4 5 % 0 . % " 0

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Dengan semakin meningkatnya prevalensi HIV/AIDS saat ini, diharapkan

penanganan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) juga harus semakin ditingkatkan,

karena Infeksi Menular Seksual merupakan salah satu

Entry Point

(Pintu Masuk)

infeksi HIV.

Sedangkan perhatian terhadap IMS pada saat ini seakan terabaikan, karena lebih

tertuju kepada penanggulangan HIV, terbukti dengan kurangnya data - data yang

berhubungan dengan IMS tersebut.

Dari beberapa sumber data yang ada, disebutkan bahwa sifilis, ulcus molle

( Canchroid ) dan herpes genitalis meningkatkan resiko penularan HIV 2 - 9 kali.

Sedangkan IMS tanpa gejala ulkus menyebabkan peningkatan risiko penularan HIV

3 - 5 kali. Sebaliknya HIV juga mempengaruhi progresifitas perjalanan penyakit IMS

akibat penurunan daya tahan tubuh dan resistensi terhadap obat. Karena itu upaya

yang komprehensif dalam penanggulangan HIV maupun IMS sangat diperlukan

sehingga dapat memberikan dampak untuk menurunkan prevalensi kedua penyakit

tersebut.

Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Badan

Penelitian & Pengembangan Kesehatan dan Program ASA-FHI melaksanakan

Penelitian tentang Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks

yang dilakukan di tujuh kota ( Jayapura, Bitung, Semarang, Banyuwangi, Medan,

Palembang dan Tanjung Pinang ) dan pada tahun 2005 dilakukan penelitian yang

kedua pada 10 ( sepuluh ) kota dengan penambahan di tiga kota dari penelitian

pertama ( DKI Jakarta, Bandung, Surabaya ).

(9)

viii

Hasil penelitian ini menggambarkan data prevalensi IMS yang dapat digabungkan

dengan perbandingan hasil penelitian yang pertama dan sebagian data dasar

surveilans generasi kedua yang dilanjutkan ditahun mendatang. Data ini juga bisa

memberikan informasi mengenai beberapa hal yang perlu untuk makin

menyempurnakan upaya pencegahan yang telah dilaksanakan di tiap kabupaten/

kota dari propinsi yang diteliti.

Sepatutnyalah kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

segenap pihak baik perorangan maupun lembaga yang telah berperan serta dalam

penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi di sepuluh kota tersebut.

Semoga laporan hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi yang kedua

ini akan bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi acuan dalam perencanaan

penatalaksanaan IMS di Indonesia.

Jakarta, Desember 2005

Direktur Jenderal PP & PL

Dr. I Nyoman Kandun,MPH

NIP: 140 066 762

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xiii

RINGKASAN EKSEKUTIF xv

I . PENDAHULUAN 1

II . TUJUAN 5

III. METODE 7

III.1. Rancangan penelitian dan populasi yandg diteliti 7 III.2. Strategi penghitunga dan pengambilan sampel 7

III.3. Waktu dan tempat 8

III.4. Tim pengumpul data 9

III.5. Alur proses pengambilan data 9

III.6. Diagnosis dan pengobatan 10

III.7. Pemeriksaan laboratorium 11

IV. HASIL 13

IV.1. Rekrutment 13

IV.2. Karakteristik populasi yang diteliti 14

IV.2.1 Umur 14

IV.2.2 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 15

IV.2.3 Tingkat Pendidikan 15

IV.2.4 Status pernikahan 16

IV.2.5 Alat Kontrasepsi 16

IV.2.6 Lama Bekerja sebagai WPS 17

IV.2.7 Provinsi Asal WPS 17

(11)

x

IV.3. Pemeriksaan fisik 21

IV.4. Prevalensi ISR 21

IV.5. IMS Tanpa Tanda 29

IV.6. Perilaku Berisiko 31

IV.6.1 Pemakaian kondom 31

IV.6.2 Perilaku Pecegahan yang keliru 32

IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS 34

IV.7. Cakupan Program 34

V. PERBANDINGAN HASIL SURVEI 2005 DENGAN SURVEI 2003 21 V.1 Karakteristik Populasi yang dituju 35

V.2 Prevalensi ISR 36

V.3 Faktor Resiko 37

VI DISKUSI 41

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 53

VII.1. Kesimpulan 53

VII.2. Saran 53

Referensi 55

Lampiran 59

Lampiran 1 Distribusi Umur WPS 59

Lampiran 2 Distribusi Umur Pertama Kali Berhubungan Seks WPS 60

Lampiran 3 Tingkat Pendidikan WPS 61

Lampiran 4 Pasangan Tetap dan Status Pernikahan WPS 62 Lampiran 5 Pemakaian Alat Kontrasepsi oleh WPS 63

Lampiran 6 Lama Kerja WPS 64

Lampiran 7 Lama Kerja WPS di Lokasi Sekarang 65 Lampiran 8 Provinsi dan Kabupaten Tempat Asal WPS 66 Lampiran 9 Cakupan Program Penjangkauan dan Klinik IMS bagi WPS 67 Lampiran 10 Perbandingan Prevalensi ISR Pada Setiap Sub Populasi 69 Lampiran 11 Perbandingan Umur Hubungan Seks Pertama 70 Lampiran 12 Perbandingan Lama Kerja Sebagai WPS 71

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Indonesia, 2003 2

Tabel 2. Prevalensi Infeksi Gonore dan Klamidia pada WPS di

Beberapa Lokasi di Indonesia, 1998 - 2000 3

Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian, Penelitian

Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, 2005 8

Tabel 4. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*,

Indonesia, 2005 10

Tabel 5. Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran Prevalensi ISR pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di

10 Kota*, Indonesia, 2005 11

Tabel 6. Realisasi Sampel, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 13

Tabel 7. Provinsi Tempat Asal WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 18

Tabel 8. Pelanggan Terbanyak WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005 20

Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Fisik, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 21

Tabel 10. Proporsi WPS yang Minum Antibiotik Dosis Tidak Tepat untuk Mencegah ISR, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi

Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 33

Tabel 11. Proporsi WPS yang Cuci Vagina Sendiri untuk Mencegah ISR, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja

(13)

xii

Tabel 12. Proporsi WPS yang Mencari Pengobatan yang Benar Ketika Terkena IMS dalam 3 Bulan Terakhir, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota

di Indonesia, 2005 34

Tabel 13. Perbandingan Prevalensi Gonore, Klamidia, dan Trikomoniasis antara Beberapa Metode Berbeda, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 7 Kota

di Indonesia, 2005 36

Tabel 14. Prevalensi 4 IMS Pada WPS di Beberapa Negara di Sekitar

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 14 Gambar 2. Distribusi Umur Pertama Kali Berhubungan Seks, Penelitian

Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks

di 10 Kota di Indonesia, 2005 15

Gambar 3. Tingkat Pendidikan WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 16 Gambar 4. Median Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir,

Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita

Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 19 Gambar 5. Korelasi Antara Umur dan Median Jumlah Pelanggan Dalam

Seminggu Terakhir WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 19 Gambar 6. Prevalensi Gonore, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 22 Gambar 7. Prevalensi Infeksi Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 22 Gambar 8. Prevalensi Infeksi Ganda Gonore dan Klamidia, Penelitian

Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

Gambar 9. Prevalensi Trikomoniasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota

di Indonesia, 2005 24

Gambar 10. Prevalensi Bakterial Vaginosis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota

di Indonesia, 2005 25

Gambar 11. Prevalensi Kandidiasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota

(15)

xiv

Gambar 12. Prevalensi Sifilis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005 27 Gambar 13. Prevalensi Serologi Positif HSV tipe 2, Penelitian Prevalensi

Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota

di Indonesia, 2005 28

Gambar 14. Proporsi WPS yang Sedang Terinfeksi Satu atau Lebih IMS yang diteliti kecuali HSV, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 29 Gambar 15. Proporsi Kasus IMS Tanpa Tanda Pada WPS, Penelitian

Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks

di 10 Kota di Indonesia, 2005 30

Gambar 16. Proporsi Kasus IMS Tanpa Gejala Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di

10 Kota di Indonesia, 2005 30

Gambar 17. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Pada WPS Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran

Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005 31 Gambar 18. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir

Pada WPS Tidak Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005 32 Gambar 19. Perbandingan Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi

Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 7 Kota di Indonesia

2003 dan 2005 35

Gambar 20. Perbandingan Prevalensi Berbagai ISR WPS di 7 Kota

tahun 2003 dan 2005 37

Gambar 21. Perbandingan Umur Pertama Kali Berhubungan Seks WPS

di 7 Kota tahun 2003 dan 2005 38

(16)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) mempermudah penularan HIV sehingga prevalensi IMS dan ISR dapat menunjukkan risiko penyebaran HIV. Di Indonesia, epidemi HIV sudah terkonsentrasi dengan prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat >5%, bahkan 26,5% di Merauke (Papua). Di samping itu, prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS-HIV/AIDS.

Penelitian Prevalensi ISR pada WPS tahun 2003 melaporkan di 7 kota yang diteliti terdapat 28% - 62% WPS lokalisasi, 30% - 60% WPS tempat hiburan, dan 47% - 81% WPS jalanan yang sedang terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian di tahun 2003, dengan penambahan lokasi menjadi 10 kota/ kabupaten, yaitu di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Surabaya, Banyuwangi, Manado, dan Jayapura.

Tujuan

Tujuan utama adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe 2, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis dan kandidiasis vaginal pada WPS di 10 kota/kabupaten di Indonesia. Penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku berisiko tinggi WPS; membandingkan prevalensi ISR, beberapa karakteristik demografis dan perilaku risiko tinggi dengan hasil penelitian tahun 2003; serta mendeskripsikan cakupan program penanggulangan IMS dari sudut pandang WPS.

(17)

xvi Metoda

Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara cross-sectional. Populasi yang diteliti adalah WPS langsung dan tidak langsung berumur 15-50 tahun, sedang tidak menstruasi dan tidak hamil. Jumlah yang diperlukan 237 per lokasi; dengan memperhitungkan ketidakhadiran maka diundang 333 WPS per lokasi. Penelitian dilaksanakan tanggal 18 Februari – 15 Juli 2005 oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal.

Hasil

Median umur WPS langsung berkisar antara 22-29 tahun, WPS tidak langsung 23-30 tahun. Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung berkisar antara 15-17 tahun, tidak langsung 15-17-19 tahun. Lebih dari 50% WPS tidak langsung berpendidikan SD ke bawah, sedangkan WPS tidak langsung SD ke atas. Sekitar sepertiga dari WPS tidak memakai alat kontrasepsi apapun. Di antara yang memakai konstrasepsi, sebagian besar dengan metode hormonal. Median lama kerja WPS langsung 12 bulan, dan tidak langsung 15 bulan. Sekitar 60% WPS langsung dan 52% WPS tidak langsung baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun. Sebagian besar WPS berasal dari Jawa Barat (31%), Jawa Timur (25%) dan Jawa Tengah (16%). Kabupaten/kota tempat asal sebagian besar WPS adalah Indramayu 15%, Bandung 5%, Banyuwangi 5%, Semarang 4%, dan Medan 4%.

Median jumlah pelanggan WPS dalam satu minggu terakhir berkisar antara 1-14 orang; 44% WPS menyatakan tidak mengetahui pekerjaan pelanggan terbanyak mereka. Pola latar belakang pelanggan terbanyak WPS di tiap kota/kabupaten berbeda-beda.

Prevalensi gonore berkisar antara 8%-51%, secara keseluruhan pada WPS langsung 37% dan tidak langsung 16%. Prevalensi infeksi klamidia berkisar antara 33%-62%, secara keseluruhan pada WPS langsung 45% dan tidak langsung 42%. Prevalensi infeksi ganda gonore dan klamidia berkisar antara 5%-30%, secara keseluruhan pada WPS langsung 21% dan tidak langsung 10%. Prevalensi trikomoniasis vaginalis berkisar antara 3%-33%, secara total pada WPS langsung maupun tidak langsung 15%. Prevalensi bakterial vaginosis berkisar antara 33%-84%, secara total pada WPS langsung 53% dan tidak langsung 56%. Prevalensi kandidiasis vaginalis berkisar antara 2%-27%, secara total pada WPS langsung 10% dan tidak langsung 9%. Prevalensi sifilis berkisar antara 1%-41%, secara total pada WPS langsung maupun tidak langsung 6%. Prevalensi serologis positif (IgG) HSV tipe 2 berkisar antara 84%-98%, secara total pada WPS langsung 95% dan tidak langsung 93%.

Ditemukan 26% kasus gonore, 28% kasus klamidia, 19% kasus trikomoniasis vaginalis, 99% kasus sifilis, dan 99,5% kasus HSV tidak menunjukkan tanda IMS pada pemeriksaan fisik.

(18)

Seminggu terakhir, 11%-72% WPS selalu menggunakan kondom dengan pelanggannya, 5%-65% WPS sama sekali tidak pernah menggunakan kondom. Terdapat 27%-94% WPS yang minum antibitotik dengan dosis yang tidak tepat untuk mencegah IMS dan HIV, dan 72%-100% WPS yang melakukan cuci vagina. Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, 7%-57% WPS melakukan pengobatan yang benar (berobat ke dokter praktek, berobat ke klinik swasta, berobat ke puskesmas).

Dalam satu tahun terakhir 64% WPS langsung, dan 51% tidak langsung pernah terpapar program penjangkauan komunikasi perubahan perilaku untuk pencegahan IMS-HIV. Hanya 53% WPS langsung dan 31% WPS tidak langsung pernah mengikuti skrining IMS dalam 3 bulan terakhir.

Distribusi umur WPS, umur pertama kali berhubungan seks, median jumlah pelanggan seminggu terakhir, tidak berbeda dengan hasil survei 2003. Prevalensi hampir semua ISR tidak berbeda dengan hasil survei 2003, kecuali prevalensi bakterial vaginosis yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Prevalensi IMS/ISR yang diteliti masih tinggi. Sebagian besar kasus tidak menunjukkan tanda dan gejala. Konsistensi pemakaian kondom masih rendah, bahkan perilaku sama sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi. Proporsi perilaku pencegahan yang salah yaitu pemakaian antibiotik dan cuci vagina sangat tinggi. Begitu juga proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah. Latar belakang pelanggan WPS dari berbagai kelompok dan bervariasi untuk tiap kota/kabupaten. Cakupan program penanggulangan IMS-HIV/AIDS masih terbatas.

Saran

Program penanggulangan IMS perlu diperkuat dengan strategi dan rencana program jangka panjang yang bersifat komprehensif, meliputi pencegahan primer, sekunder, penguatan komponen pendukung, surveilans prevalensi dan surveilans resistensi mikroba terhadap antibiotik, dengan pendekatan kesehatan masyarakat yang tepat bagi tiap kelompok. Program pencegahan primer IMS perlu diperkuat dan diperluas untuk meningkatkan cakupan (minimal 80%), termasuk kelompok laki-laki yang berpotensi

(19)

xviii

menjadi pelanggan WPS. Program pencegahan sekunder IMS berupa tatalaksana klinis IMS perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya. Kombinasi PPT dan skrining, dalam kerangka program penanggulangan yang komprehensif, dapat menjadi pendekatan pro-gram bagi pekerja seks. Institusi penyedia layanan IMS perlu dilengkapi dnegan fasilitas laboratorium, sekurang-kurangnya laboratorium sederhana, untuk mendiagnosis IMS. Program penguatan komponen pendukung, terutama peningkatan kualitas layanan, ketersediaan obat IMS secara berkesinambungan, revisi pedoman nasional IMS perlu dilaksanakan untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan sekunder yang sudah ada. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui berbagai cara dan sluran di sekolah maupun luar sekolah. Pengukuran prevalensi ISR perlu terus dilakukan secara periodik (surveilans) agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya penanggulangan IMS-HIV/AIDS selanjutnya.

(20)

I

PENDAHULUAN

I

nfeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahui mempermudah penularan HIV1. Selain itu, IMS juga merupakan petunjuk adanya perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di suatu tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV, walaupun prevalensi HIV masih rendah. Di Indonesia, epidemi HIV sudah bersifat terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat yang lebih dari 5%, bahkan mencapai 26,5% di Merauke (Papua).2,3 Dengan prevalensi IMS pada WPS yang tinggi sebagaimana dilaporkan di beberapa tempat, dikhawatirkan penyebaran HIV di In-donesia akan makin meluas. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS- HIV/AIDS.

Di samping menunjukkan risiko penyebaran HIV, prevalensi IMS dapat memvalidasi data perilaku penggunaan kondom yang didapat dari surveilans perilaku. Kurangnya perilaku penggunaan kondom akan tergambar dengan tetap tingginya prevalensi IMS. Di lain pihak, peningkatan penggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan prevalensi IMS daripada penurunan prevalensi HIV. Penurunan prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS.4 Data dari surveilans IMS yang dianalisis secara terintegrasi dengan data dari surveilans perilaku dan HIV dalam sistem surveilans generasi kedua, sebagaimana direkomendasikan WHO pada tahun 2000, akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai kecenderungan (trend) perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, serta menjadi alat manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitor, evaluasi, memperbaiki perencanaan) program penanggulangan IMS/HIV/AIDS.5

(21)

2

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

iKoreksi laporan Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Pada Wanita Penjaja Seks di Bitung, Indonesia, 2003: Prevalensi Bakterial Vaginosis pada WPS Langsung 66% dan Tidak langsung 53%

Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) pada WPS, yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat AIDS & PMS, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Program ASA pada tahun 2003, melaporkan bahwa di 7 kota yang diteliti terdapat 28% - 62% WPS lokalisasi, 30% - 60% WPS tempat hiburan, dan 47% - 81% WPS jalanan yang sedang terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti.6 Prevalensi tiap jenis ISR pada WPS di 7 kota di Indonesia pada tahun 2003 dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Indonesia, 2003

Laporan-laporan lain dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 dan 2001 menunjukkan prevalensi gonore dan klamidia yang tinggi pula (tabel 2), dan prevalensi serologi sifilis positif pada WPS di beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1994 sampai 2004 dilaporkan berkisar antara 0 hingga 22,2%.7,8,9

,10,11,12 Angka-angka prevalensi yang dilaporkan dari pengamatan dan pengukuran yang

masih bersifat sporadis tersebut di atas tergolong tinggi.

! " # $ % $ % " & " ' " ' % '

(22)

Tabel 2. Prevalensi Infeksi Gonore dan Klamidia pada WPS di Beberapa Lokasi di Indonesia, 1998 - 2000

Penelitian ini dilaksanakan di 10 kota/kabupaten di Indonesia, yaitu di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, dan Jayapura. Di sepuluh kota/kabupaten tersebut, upaya penanggulangan HIV/AIDS mencakup surveilans oleh Departemen Kesehatan yang terdiri dari surveilans serologis HIV dan survei surveilans perilaku yang antara lain didukung oleh program ASA-FHI/USAID. Di tiga kota/kabupaten (Jakarta Barat, Bandung, Surabaya) penelitian ini merupakan penelitian yang pertama, sedangkan di tujuh kota/kabupaten yang lainnya merupakan penelitian yang kedua, ulangan dari penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2003. Kedua penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan sistem surveilans IMS, sebagai bagian dari surveilans generasi kedua dengan menggabungkan data dari surveilans perilaku dan HIV. Dalam jangka pendek, data prevalensi dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi program IMS sejak tahun 2003, advokasi, dan perencanaan program oleh Dinas Kesehatan, KPAD Provinsi, Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten, LSM, serta program lembaga donor.

( $ ) * % ) * % +, -))) .. # " + / +# ! + + ! 0" + 1 + +-)). --1

(23)

4

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

(24)

TUJUAN

T

ujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe dua, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis, dan kandidiasis vaginal pada WPS di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, Jayapura.

Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk:

- Mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku berisiko tinggi para WPS yang diteliti.

- Membandingkan prevalensi ISR, beberapa karakteristik demografis dan perilaku risiko tinggi dengan hasil penelitian tahun 2003.

- Mendeskripsikan cakupan program penanggulangan IMS dari sudut pandang WPS.

(25)

6

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

(26)

III

METODE

III.1 Rancangan Penelitian dan Populasi yang Diteliti

Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara cross-sectional. Populasi yang diteliti adalah WPS berusia 15 hingga 50 tahun, sedang tidak menstruasi, dan tidak hamil. Para WPS tersebut termasuk:

WPS langsung, yang secara langsung menjajakan seks baik di jalanan maupundi lokalisasi atau eks lokalisasi

WPS tidak langsung, yang mempunyai pekerjaan utama lain tetapi juga secara tidak langsung menjajakan seks di tempat-tempat hiburan seperti pramupijat, pramuria bar / karaoke

III.2 Strategi Penghitungan dan Pengambilan Sampel

Perhitungan besar sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan praduga proporsi dalam satu sampel.1 Rata-rata proporsi praduga, yang dihitung dari rata-rata prevalensi beberapa ISR pada penelitian sebelumnya (Gonore 27,12%, infeksi Klamidiosis 24,71%, Trikomoniasis 9,50%, Sifilis 4,12%, Bakterial vaginosis 27,35%) adalah 19 %. 5

Penghitungan besar sampel dengan rumus ii dengan batas kepercayaan (CI) 95% dan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya 5%. Didapatkan besar sampel 237 per lokasi.

n = Jumlah sampel

Z = Nilai uji – t statistik pada batas kepercayaan 95% atau setara dengan 1.96 P = Proporsi praduga ISR yang akan diteliti

d = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarya (True Prevalence) yang

besarnyadisesuaikan dengan prevalensi. Secara umum nilai D yang sering dianggap bermakna adalah 5%.

(27)

8

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Untuk menjaga agar perkiraan penyimpangan tidak terlalu jauh dari 5% pada prevalensi ISR yang lebih tinggi dari proporsi praduga yang digunakan dan mempertimbangkan aspek pembiayaan maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dinaikkan menjadi 250.

Diperkirakan 25% dari WPS yang diundang tidak hadir atau ternyata tidak memenuhi kriteria, maka sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi. Rasio sampel WPS langsung dan tidak langsung ditetapkan secara proporsional sesuai dengan besarnya populasi.

Pemetaan populasi yang akan diteliti dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka sampel. Berdasarkan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung, ditetapkan jumlah masing-masing populasi yang akan diundang untuk berpartisipasi. Selanjutnya dilakukan proses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan pengambilan sampel kluster secara probability proportional to size (pps). Pada tahap kedua dilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster terpilih. Kedua tahap tersebut dilakukan berdasarkan kerangka sampel dan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya.

III.3 Waktu dan Tempat

Waktu dan tempat pelaksanaan penelitian dirinci dalam tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, 2005

2

"

"

-.3 4 3 # " " 1 "4-- " 5 "4/6 ! -16 4 6 " )6 47 & -/ 4 5 4/# # - # 4-5# 1 # 4- # .# 4- #

(28)

III.4 Tim Pengumpul Data

Data dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Tim inti terdiri dari ketua pelaksana dan peneliti utama yang dibantu oleh 5 dari 8 peneliti penyerta yang berasal dari Ditjen PP&PL, Badan Litbangkes, dan Program ASA/FHI. Tim keliling terdiri dari staf Badan Litbangkes dan staf dari beberapa LSM yang selama ini bekerja sama dengan Program ASA/FHI di Semarang, dan Bitung. Tim lokal diatur oleh Provinsi masing-masing, yang di tiap kota/kabupaten biasanya terdiri dari staf Dinas Kesehatan dan Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi, staf Dinas Sosial dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi, staf Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Puskesmas terkait/terdekat, wakil dari Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota, dan LSM setempat. Kualitas teknis proses pengambilan data dipantau oleh pemantau teknis dari Departemen Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

III.5 Alur Proses Pengambilan Data

WPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian diminta menukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Tujuan, prosedur penelitian serta keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efek samping dijelaskan. Setelah memperoleh penjelasan, apabila WPS tersebut bersedia ikut dalam penelitian, ia diminta memberikan pernyataan persetujuan (informed consent) secara lisan. Seorang saksi akan ikut menandatangani surat persetujuan tersebut. WPS tidak dimintai persetujuan secara tertulis dengan tanda tangan sebagai bagian dari upaya membuat penelitian ini

anonymous serta untuk melindungi WPS dari risiko mendapatkan perlakuan diskriminatif

maupun kekerasan lain yang tidak diinginkan dari pihak manapun.

Pengambilan data dimulai dengan wawancara tentang karakteristik demografis dan perilaku seksual, dilanjutkan dengan pengambilan spesimen darah, pemeriksaan fisik, serta pengambilan spesimen endoservikal dan servikovaginal. Setelah pemeriksaan laboratorium sederhana dan serologis sifilis selesai, peserta dikonseling untuk perubahan perilaku, diberi terapi sesuai diagnosis, dan diberi kondom. Agar pengobatan dapat diberikan pada hari yang sama, diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan

(29)

10

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

pemeriksaan laboratorium sederhana. Diagnosis servisitis dianggap mencakup gonore dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalah pengobatan untuk kedua penyebab infeksi tersebut sekaligus (tabel 4).

III.6 Diagnosis dan Pengobatan

3 ,44

Tabel 4. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, 2005

*Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, Jayapura

8 8 8 " ! "# $ %" %$ & % && &! & $ $ $ % %$ $ % ' $ ' # ( ' % '' & % & ' &$ & ) % % % (%&%' % & $ $ % %$ ' ! # (% $% % * % %& ' % '' &$ % & + & ' % ,$ !& % ! $% ( - % . ! ' ! ! / $ # ' / $0 ' &! / * % %& ' % '' &$ % & 1 ' ! $ $ % %$ # ' ' 120 3 -4 ' &/ !& $ & '' (& ,$ !& 5 676 $% (/ 5 )70, $% ( + 7 & / 5 -4/ & / & '' & '' ! + & 8 & ' $ & / $ ' ' % & ' $ % &/ &$ &

(30)

III.7 Pemeriksaan Laboratorium

Dasar diagnosis yang digunakan untuk pengukuran prevalensi tidak sama dengan dasar diagnosis untuk kepentingan pengobatan seperti tertera dalam tabel 1 di atas, kecuali untuk bakterial vaginosis, kandidiasis vaginalis, dan sifilis. Pemeriksaan Laboratorium yang menjadi dasar diagnosis untuk pengukuran prevalensi ISR tertera dalam tabel 5 di bawah.

Tabel 5. Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran Prevalensi ISR pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, 2005

*Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, Jayapura

8 ( " " 9% % /, $&#% : ; % < !% % /+ < ! ' 1& /, $&#% : ; % < !% % /+ < ! ' ) % % 1 & /- 7% # : ; (% $% % 1& $ 0 $ $& = ) $ -'9/ % >-, < !% % /+ < ! '

(31)

12

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

(32)

IV

HASIL

IV.1 Rekrutmen

Jumlah sampel di 10 kota seluruhnya 2500 orang, terdiri dari 1496 WPS langsung dan 1004 WPS tidak langsung (tabel 6). Jumlah sampel di tiap kota 250, namun komposisinya berbeda-beda tergantung proporsi masing-masing sub populasi di kota tersebut. Tidak ada sampel WPS langsung di Jakarta Barat, dan di Banyuwangi tidak ada sampel WPS tidak langsung

Tabel 6. Realisasi Sampel

Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 ( 2 ( 2 ( " & # " " ! " # "

(33)

14

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

IV.2 Karakteristik Populasi yang Diteliti

IV.2.1. Umur

Median umur WPS langsung berkisar antara 22 tahun (Bandung) dan 29 tahun (Jayapura), WPS tidak langsung antara 23 tahun (Tanjung Pinang) dan 30 tahun (Medan). Kemungkinan ada WPS yang berusia di bawah 15 tahun, maupun di atas 50 tahun, namun mereka tidak memenuhi kriteria untuk diikutsertakan dalam penelitian ini. Distribusi umur WPS langsung dan tidak langsung secara total dapat dilihat pada gambar 1, sedangkan rincian per kota dapat dilihat pada lampiran 1.

Distribusi umur WPS penting untuk diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMS-HIV. Secara umum distribusi umur antara WPS langsung dan tidak langsung pada semua kota tidak berbeda (lebih dari 50% berumur antara 20-29 tahun). Di Medan dan Surabaya, proporsi kelompok umur WPS langsung dan tidak langsung yang relatif lebih tua masih tinggi (di atas 35 tahun). Di Bandung, proporsi WPS langsung yang berumur di bawah 20 tahun lebih tinggi dari 20%.

Gambar 1. Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(34)

IV.2.2 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks

Pada umumnya median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung 17 tahun, kecuali di Banyuwangi (15 tahun), Palembang dan Jayapura (16 tahun). Pada WPS tidak langsung, median umur pertama kali berhubungan seks juga 17 tahun, kecuali di Surabaya (19 tahun), Medan, Semarang, dan Jayapura (18 tahun). Proporsi WPS langsung yang pertama kali berhubungan seks pada umur di bawah 15 tahun dua kali lebih besar dari WPS tidak langsung (gambar 2). Di kota Banyuwangi, Jayapura, dan Palembang lebih dari 25% WPS langsung berhubungan seks pertama kali pada umur di bawah 15 tahun. Rincian distribusi umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung dan tidak langsung dapat dilihat di lampiran 2.

IV.2.3 Tingkat Pendidikan

Secara keseluruhan, lebih dari 50% tingkat pendidikan WPS langsung rendah (SD dan tidak pernah sekolah – gambar 3). Sedangkan WPS tidak langsung umumnya berpendidikan lebih tinggi. Rincian distribusi tingkat pendidikan WPS langsung dan tidak langsung pada tiap kota dapat dilihat pada lampiran 3.

Gambar 2. Distribusi Umur Pertama Kali Berhubungan Seks, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota

(35)

16

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

IV.2.4 Status Pernikahan

Proporsi WPS yang mempunyai pasangan relatif tetap (pacar atau menikah) pada kedua kelompok cukup tinggi. Fakta ini penting mengingat penggunaan kondom pada pasangan tetap relatif sangat rendah sehingga berisiko untuk menularkan dan tertular IMS dan HIV.

Proporsi WPS yang belum menikah cukup besar, berkisar antara 9% (WPS tidak langsung, Medan) dan 34% (WPS tidak langsung, Jayapura). Rincian proporsi pasangan tetap dan status pernikahan WPS di tiap kota dapat dilihat pada lampiran 4.

IV.2.5 Alat Kontrasepsi

Kurang lebih sepertiga dari WPS tidak memakai alat kontrasepsi apapun (lampiran 5). Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian besar dengan metode hormonal, terutama suntik (40%) dan pil (23%). Hampir tidak ada WPS yang memakai kondom atau spiral sebagai alat kontrasepsi.

Gambar 3. Tingkat Pendidikan WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(36)

IV.2.6 Lama kerja sebagai WPS

Masa kerja WPS langsung berkisar antara 1 hari dan 17 tahun (Banyuwangi, Jayapura) dan WPS tidak langsung antara 2 hari dan 24 tahun (Medan, Tanjung Pinang). Median lama kerja WPS langsung 12 bulan dan WPS tidak langsung 15 bulan.

Secara rinci median lama kerja sebagai WPS berkisar antara 8 bulan (WPS langsung, Palembang) dan 24 bulan (WPS langsung Medan, Bitung, Jayapura; WPS tak langsung, Medan, Jakarta Barat, Semarang, Surabaya) (lampiran 6).

Dalam penelitian ini dibedakan antara lama kerja sebagai WPS dan lama kerja sebagai WPS khusus di lokasi yang diteliti, karena dari penelitian terdahulu diketahui bahwa WPS sering berpindah-pindah lokasi kerja. Sekitar lebih dari setengah WPS yang diteliti baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun (WPS langsung 60%, tidak langsung 52%)(lampiran 7)

IV. 2.7 Provinsi asal WPS

Di Medan, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, dan Bitung sebagian besar WPS berasal dari Provinsi yang bersangkutan. Di Tanjung Pinang, Palembang dan Jakarta Barat, sebagian besar WPS berasal dari Jawa Barat, sedangkan di Jayapura sebagian besar WPS langsung berasal dari Jawa Timur dan WPS tidak langsung berasal dari Sulawesi Utara. Secara keseluruhan sebagian besar WPS di 10 kota berasal dari Jawa Barat (31%), Jawa Timur (25%), dan Jawa Tengah (16%) (tabel 7). Kabupaten / Kota yang merupakan tempat asal terbanyak meliputi Indramayu 15%, Bandung 5%, Banyuwangi 5%, Semarang 4%, dan Medan 4% (lampiran 8). Data penting dimanfaatkan untuk jejaring program antar provinsi.

(37)

18

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Tabel 7. Provinsi Tempat Asal WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

IV. 2.8. Jumlah Pelanggan

Median jumlah pelanggan WPS dalam satu minggu terakhir berkisar antara 1 (WPS tidak langsung, Jayapura) sampai 14 orang (WPS langsung, Bandung). Di Tanjung Pinang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Jayapura, median lebih besar pada WPS langsung, sedangkan di Palembang kebalikannya. Di Medan dan Bitung, mediannya sama. Median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS langsung di Bandung, Surabaya, Jayapura 3-5 kali lebih besar dari median jumlah pelanggan WPS tidak langsung (gambar 4). Makin muda umur WPS, ternyata makin banyak jumlah pelanggannya (gambar 5)

2 ( 2 ( " 2 4 ? 8 ) ' 4 ? 8 ) ' 4 ? 8 ) ' & ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + / & ? 8 + / & ? 8 + & # " " ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 ) ' ? 8 + / ? 8 ) ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ! ? 8 ) ? 8 + 3, ? 8 ) ? 8 + ? 8 ) ? 8 ) ' ? 8 ) ? 8 ) ' ? 8 ) ? 8 ) ' " &8 4 9% % &% &8 4 &8 & &8 4 9% % &% # ? 8 ) 7 $ &8 4 ? 8 ) ? 8 ) &8 4 " ? 8 ) ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 + ? 8 ) ' ? 8 ) ? 8 + ? 8 ) ? 8 ) '

(38)

Gambar 4. Median Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di

10 Kota di Indonesia, 2005

Gambar 5. Korelasi Antara Umur dan Median Jumlah Pelanggan Dalam Seminggu Terakhir WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi

(39)

20

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Pelanggan terbanyak WPS di tiap kota terdiri dari laki-laki dengan berbagai macam latar belakang. Pola latar belakang pelanggan terbanyak di tiap kota berbeda-beda. Sebagian besar WPS (44%) tidak mengetahui pekerjaan pelanggannya. Di Jayapura, sebagian terbesar WPS langsung dan tidak langsung yang mengetahui latar belakang pelanggannya, menyatakan PNS (pegawai negeri sipil) adalah pelanggan terbanyak mereka. WPS langsung dan tidak langsung di Bitung, serta WPS langsung di Tanjung Pinang dan Surabaya menyatakan ABK (anak buah kapal) adalah pelanggan terseringnya; kemungkinan karena daerah tersebut dekat dengan pelabuhan. Orang asing merupakan pelanggan terbanyak yang dinyatakan oleh hampir semua WPS tidak langsung di Tanjungpinang (92%), dan Surabaya (18%). Di samping itu, di tiap kota selalu terdapat proporsi WPS yang cukup signifikan yang menyatakan pelanggan terbanyak mereka adalah karyawan swasta, pedagang, PNS, dan Polisi/TNI. Pelajar dan mahasiswa dinyatakan sebagai salah satu pelanggan terbanyak oleh WPS di beberapa kota, khususnya di Bandung mencapai 15% (tabel 8).

Tabel 8. Pelanggan Terbanyak WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005

2 ( 2 ( " 1 8 8 7 ' ' 7 ' ' & ,+1 2 ' ' 2 ' ' 1 8 8 1 8 8 1 8 8 # " " 1 8 8 7 ' ' 1 8 8 7 ' ' 7 ' ' 1 8 8 7 ' ' 1 8 8 1 8 8 1 8 8 ! + + ,+1 1 8 8 2 ' ' ,+1 " ,+1 ,+1 ,+1 # 73 73 73

(40)

IV.3 Pemeriksaan Fisik

Dalam pemeriksaan fisik semua WPS memiliki satu atau lebih tanda IMS. Sebagian besar tanda berupa cairan tidak jernih dari endoserviks dan atau dari vagina (tabel 9). Sedangkan tanda yang berupa ulkus dan vegetasi/tumbuhan, ditemukan pada beberapa WPS saja.

Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Fisik, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

Tanda fisik sifilis stadium 2, berupa kondiloma lata ditemukan pada seorang WPS di Surabaya, dan kelainan kulit pada telapak tangan dan telapak kaki pada seorang WPS lain di Banyuwangi. Di Surabaya juga ditemukan 1 kasus dengan tanda fisik berupa vesikel herpes kelamin.

IV.4 Prevalensi ISR

Prevalensi gonore secara umum berkisar antara 8% (WPS tidak langsung, Medan) dan 51% (WPS langsung, Palembang). Prevalensi gonore secara total pada WPS langsung di 10 kota 37%, dan pada WPS tak langsung 16%. Di semua kota, prevalensi gonore WPS langsung lebih tinggi daripada WPS tidak langsung (gambar 6).

% " 0 9 * " & 9 ' * " & 9 ' & # " " ! " #

(41)

22

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Prevalensi infeksi klamidia secara umum berkisar antara 33% (WPS langsung, Jayapura) dan 62% (WPS langsung, Semarang). Prevalensi klamidia secara total pada WPS langsung di 10 kota 45%, dan pada WPS tak langsung 42%. Pada umumnya prevalensi klamidia pada WPS langsung tidak berbeda jauh dari prevalensinya pada WPS tidak langsung, kecuali di Medan, Semarang (lebih tinggi pada WPS langsung) dan Jayapura (lebih tinggi pada WPS tidak langsung) (gambar 7).

Gambar 6. Prevalensi Gonore, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

Gambar 7. Prevalensi Infeksi Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(42)

Prevalensi infeksi ganda gonore dan klamidia secara umum berkisar antara 5% (WPS tidak langsung, Medan) dan 30% (WPS langsung, Semarang). Prevalensi infeksi ganda gonore dan klamidia secara total pada WPS langsung di 10 kota 21%, dan pada WPS tak langsung 10%. Hampir di semua kota prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi, kecuali di Bitung dan Jayapura prevalensi relatif sama (gambar 8).

Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara umum berkisar antara 3% (WPS tidak langsung, Semarang) dan 33% (WPS tidak langsung, Jayapura). Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara total baik pada WPS langsung mapun tidak langsung di 10 kota adalah 15%.

Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Medan, Palembang, Semarang, Surabaya; dan lebih rendah di Bandung, Jayapura, dan Tanjung Pinang (gambar 9).

Gambar 8. Prevalensi Infeksi Ganda Gonore dan Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(43)

24

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Prevalensi bakterial vaginosis secara umum berkisar antara 33% (WPS langsung, Palembang) dan 84% (WPS langsung, Medan). Secara total, prevalensi bacterial vaginosis pada WPS langsung di 10 kota 53%, pada WPS tidak langsung 56%.

Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Medan dan Bitung; dan lebih rendah di Semarang dan Jayapura. Di kota-kota lain, prevalensi relatif sama antara pada WPS langsung dan tidak langsung (gambar 10).

Gambar 9. Prevalensi Trikomoniasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(44)

Prevalensi kandidiasis vaginalis secara umum berkisar antara 2% (WPS langsung, Semarang; WPS tidak langsung, Jakarta Barat) dan 27% (WPS langsung, Medan). Secara keseluruhan, prevalensi kandidiasis vaginalis pada WPS langsung di 10 kota 10%, dan pada WPS tidak langsung 9%.

Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Palembang dan Bandung; dan lebih rendah di Jayapura. Di kota-kota lain, prevalensi relatif sama antara pada WPS langsung dan tidak langsung (gambar 11).

Gambar 10. Prevalensi Bakterial Vaginosis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(45)

26

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Prevalensi sifilis secara umum berkisar antara 1% (WPS tidak langsung, Semarang) dan 41% (WPS langsung, Medan). Secara keseluruhan prevalensi sifilis pada WPS langsung di 10 kota 11%, dan pada WPS tidak langsung 6%. Prevalensi sifilis di Medan dan Bandung secara keseluruhan di atas 10%.

Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di hampir semua kota kecuali Bandung (prevalensi relatif sama) (gambar 12).

Gambar 11. Prevalensi Kandidiasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(46)

Prevalensi serologi positif (IgG) HSV tipe 2 secara umum sangat tinggi, berkisar antara 84% (WPS tidak langsung, Bandung) dan 98% (WPS langsung, Medan, Tanjung Pinang, Semarang). Secara keseluruhan prevalensi serologi positif HSV tipe 2 pada WPS langsung di 10 kota 95%, dan pada WPS tidak langsung 93%.

Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Bandung, Bitung, dan Jayapura, di kota-kota lain prevalensi relatif sama. Dibandingkan dengan prevalensi di kota-kota lainnya, prevalensi di kota Bandung dan Surabaya relatif rendah (gambar 13).

Gambar 12. Prevalensi Sifilis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005

(47)

28

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Proporsi WPS langsung yang sedang terinfeksi satu atau lebih IMS yang diteliti (tidak termasuk HSV) berkisar antara 50% (WPS tak langsung, Semarang) dan 85% (WPS langsung, Medan). Secara keseluruhan, 69% WPS langsung dan 57% WPS tidak langsung di 10 kota sedang terinfeksi satu atau lebih IMS. Hampir di semua kota proporsi WPS tidak langsung yang sedang terinfeksi lebih kecil dibandingkan WPS langsung, kecuali di Bitung dan Jayapura (gambar 14).

Gambar 13. Prevalensi Serologi Positif HSV tipe 2, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(48)

IV.5 IMS tanpa tanda dan tanpa gejala

Sebanyak 26% kasus gonore, 28% kasus klamidia, 19% kasus trikomoniasis vaginalis, 99% kasus sifilis, dan 99.5% kasus HSV tidak mempunyai tanda IMS. Sedangkan kasus tidak bergejala (tidak ada keluhan) ditemukan pada 81% kasus gonore, 83% kasus klamidia, 71% kasus trikomoniasis vaginalis, 98.6% kasus sifilis, dan 98.6% kasus HSV. Rincian kasus tanpa tanda dan tanpa gejala dapat dilihat pada gambar 15 dan 16.

Gambar 14. Proporsi WPS yang Sedang Terinfeksi Satu atau Lebih

IMS yang diteliti kecuali HSV, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(49)

30

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

Gambar 15. Proporsi Kasus IMS Tanpa Tanda Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

N= 2500

Gambar 16. Proporsi Kasus IMS Tanpa Gejala Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

(50)

IV.6 Perilaku Berisiko

IV.6.1 Pemakaian Kondom

Penggunaan kondom yang konsisten (selalu menggunakan kondom dalam setiap hubungan seks) merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMS-HIV. WPS langsung yang selalu menggunakan kondom selama satu minggu terakhir berkisar antara 11% (WPS langsung, Surabaya) dan 72% (WPS tidak langsung, Medan), yang tidak pernah menggunakan kondom sama sekali, perilaku yang paling berisiko, antara 5% (WPS langsung, Bandung) dan 65% (WPS tidak langsung, Bitung) (gambar 17 dan 18).

Dibandingkan dengan WPS yang tidak pernah/ tidak konsisten menggunakan kondom, WPS yang konsisten menggunakannya lebih sedikit yang sedang terinfeksi IMS (57% dibandingkan dengan 66% dan 67%).·

Tidak ada WPS Langsung di Jakarta Barat

Gambar 17. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Pada WPS Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita

(51)

32

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

*Tidak ada WPS tidak langsung di Banyuwangi

IV.6.2 Perilaku Pencegahan yang Keliru

Terdapat sedikitnya 2 macam perilaku pencegahan terhadap IMS-HIV yang keliru yang dipraktekkan oleh WPS. Yang pertama adalah minum antibiotik dengan dosis tidak tepat yang dipraktekkan oleh 27% (WPS langsung, Jayapura) sampai 94% WPS (WPS tidak langsung, Palembang). Antibiotik yang diminum antara lain tetrasiklin, ampisilin, amoksilin, rifampisin, tiamisin, dan siprofloksasin.

Gambar 18. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Pada WPS Tidak Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi

(52)

Tabel 10. Proporsi WPS yang Minum Antibiotik Dosis Tidak Tepat untuk Mencegah ISR, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita

Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

Perilaku pencegahan kedua yang keliru adalah cuci vagina, yang dilakukan sendiri oleh 72% (WPS langsung, Bitung) sampai 100% WPS (WPS langsung, Bandung). Yang dimaksud dengan cuci vagina ialah membersihkan liang vagina dengan cara memasukkan cairan sampai mulut rahim. Cuci vagina dilakukan menggunakan bermacam bahan seperti odol/pasta gigi, sabun, air sirih, dan produk kimia cairan cuci vagina yang diiklankan di media massa.

Tabel 11. Proporsi WPS yang Cuci Vagina Sendiri untuk Mencegah ISR, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10

Kota di Indonesia, 2005

2

(

2

(

&

#

"

"

!

"

#

"

2 ( 2 ( & # " " ! " # "

(53)

34

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS

Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, hanya sebagian WPS yang mencari pengobatan dengan benar (berobat ke dokter praktek, berobat ke klinik swasta, berobat ke puskesmas) yaitu 7% (WPS tidak langsung, Tanjung Pinang) sampai 57% (WPS tidak langsung, Palembang). Sisanya tidak berobat sama sekali, atau membeli obat sendiri, atau berobat tradisional.

Tabel 12. Proporsi WPS yang Mencari Pengobatan yang Benar Ketika Terkena IMS dalam 3 Bulan Terakhir, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi

Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005

IV.7 Cakupan Program

Dalam 1 tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan program klinik IMS bagi WPS langsung maupun tidak langsung, namun cakupannya masih terbatas. Sebesar 64% WPS langsung dan 51 % WPS tidak langsung pernah terpapar program penjangkauan komunikasi perubahan perilaku untuk pencegahan IMS-HIV. Sebesar 53% WPS langsung dan 31% WPS tak langsung pernah mengikuti skrining IMS dalam 3 bulan terakhir. Rincian cakupan program penjangkauan dan klinik IMS dapat dilihat pada lampiran 9.

2 ( 2 ( " & # " " ! " # "

(54)

V

PERBANDINGAN HASIL

SURVEI 2005 DENGAN SURVEI 2003

Survei 2003 dilaksanakan di 7 kota, yaitu Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Semarang, Banyuwangi, Bitung, dan Jayapura, dengan total sampel yang diteliti 1750 WPS (WPS langsung dan tidak langsung).5 Karena itu untuk membandingkan hasil survei tersebut dengan hasil tahun 2005, maka data 2005 yang dipergunakan hanya dari ke 7 kota tersebut.

V.1. Karakteristik Populasi yang Diteliti

Secara keseluruhan, distribusi umur WPS langsung dan tak langsung dalam survei 2005 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan distribusinya dalam survei 2003.

Gambar 19. Perbandingan Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 7 Kota di Indonesia 2003 dan 2005

(55)

36

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

V.2. Prevalensi ISR

Pada tahun 2003, infeksi gonore dan klamidia dites dengan deteksi DNA (GenProbe® ), sedangkan pada tahun 2005 dengan PCR / Polymerase Chain Reaction (Amplicor®).Untuk membandingkan prevalensi gonore dan klamidia antara kedua tahun tersebut dilakukan perhitungan konversi berdasarkan hasil tes GenProbe pada 70 sub sampel tahun 2005 (20% dari total sampel).

Metode pemeriksaan laboratorium untuk trikomoniasis pada tahun 2003 adalah sediaan basah saja, sedangkan pada tahun 2005 sediaan basah dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur (In Pouch®). Untuk membandingkan prevalensi Trikhomoniasis tahun 2003 dan 2005 dilakukan perbandingan hasil pembacaan sediaan basah.

Tabel 13. Perbandingan Prevalensi Gonore, Klamidia, dan Trikomoniasis antara Beberapa Metode Berbeda, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi

Wanita Penjaja Seks di 7 Kota di Indonesia, 2005

Perbedaan prevalensi gonore dan klamidia dengan metode pemeriksaan GenProbe dan PCR ternyata sekitar 19% dan 37%. Prevalensi trikomoniasis dengan metode pemeriksaan kultur (In Pouch) ternyata sekitar 66% dari prevalensi dengan metode pemeriksaan sediaan basah.

Secara keseluruhan prevalensi hampir semua ISR yang diteliti tahun 2005 tidak berbeda secara signifikan dibandingkan tahun 2003, kecuali prevalensi bakterial vaginosis (gambar

' $ ' % ' ' % " * $ * $ :9 9 ! " # "

(56)

20). Prevalensi bakterial vaginosis tahun 2005 jauh lebih tinggi daripada prevalensinya di tahun 2003. Pola serupa juga berlaku pada WPS langsung. Pada WPS tidak langsung, di samping bakterial vaginosis, prevalensi trikomoniasis vaginalis juga secara signifikan lebih tinggi di tahun 2005 daripada tahun 2003. Rincian perbandingan prevalensi tiap ISR pada masing-masing sub populasi dapat dilihat pada lampiran 10.

*Hasil Konversi dengan metode GenProbe

V.3. Faktor Risiko

Umur pertama kali berhubungan seks WPS dalam survei 2005 tidak berbeda dengan dalam survei 2003 (Gambar 21). Lebih dari 60% WPS berhubungan seks pertama kali pada kelompok umur 15-19 tahun. Proporsi WPS yang berhubungan seks pertama kali di bawah umur 15 tahun sekitar 20%. Lebih banyak WPS langsung yang berhubungan seks pertama kali pada umur di bawah 15 tahun. Rincian perbandingan umur hubungan seks pertama WPS langsung dan tak langsung tahun 2005 dan 2003 dapat dilihat di

Gambar 20. Perbandingan Prevalensi Berbagai ISR WPS di 7 Kota tahun 2003 dan 2005

(57)

38

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

lampiran 11.

Secara keseluruhan, pada WPS tidak langsung, lama bekerja sebagai WPS dalam survei 2005 tidak berbeda dengan dalam survei 2003 (Gambar 22). Pada WPS langsung, lama bekerja WPS dalam survei 2005 lebih lama dibandingkan dengan dalam survei 2003. Rincian perbandingan lama bekerja WPS langsung dan tak langsung tahun 2005 dan 2003 dapat dilihat di lampiran 12

Gambar 21. Perbandingan Umur Pertama Kali Berhubungan Seks WPS di 7 Kota tahun 2003 dan 2005

(58)

Secara keseluruhan, pada WPS langsung maupun tak langsung, total median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS dalam survei 2005 tidak berbeda dengan dalam survei 2003, yaitu 7 orang. Dalam survei 2003 maupun 2005, median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS langsung lebih besar daripada WPS tidak langsung.

Dalam survei 2003 maupun 2005, dikaitkan dengan umur WPS, median jumlah pelanggan seminggu terakhir, pada kelompok umur termuda dan pada kelompok umur makin tua, relatif lebih kecil.

Dalam survei 2005, korelasi umur dengan median jumlah pelanggan pada 10 kota berbeda dengan pada 7 kota (tanpa Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya). Pada 10 kota, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5, makin muda umur makin banyak jumlah pelanggan. Namun pada 7 kota, median jumlah pelanggan kelompok termuda (<20 tahun) relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok berikutnya. Penyebab utama perbedaan ini adalah besarnya proporsi WPS kelompok umur <20 tahun di Bandung dan Surabaya,

(59)

40

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

(60)

VI

DISKUSI

Prevalensi ISR pada WPS langsung dan tidak langsung di 10 kota di Indonesia tahun 2005 tergolong tinggi sebagaimana prevalensi pada tahun 2003. Gambar 23 menunjukkan prevalensi berbagai IMS pada WPS di 7 kota di Indonesia tahun 2003 dan beberapa negara di sekitar Indonesia, yang juga tergolong tinggi.

Tabel 14. Prevalensi 4 IMS Pada WPS di Beberapa Negara di Sekitar Indonesia, 2001-200515,16,17,18,19,20

Dari tabel di atas, tampak bahwa prevalensi gonore dan klamidia di Indonesia tahun 2005 lebih tinggi dari prevalensi pada WPS di Pegunungan Timur Papua Nugini, 5 provinsi perbatasan dan Hanoi – Vietnam, sedangkan prevalensi trikomoniasis dan sifilis di Indo-nesia relatif lebih rendah.

Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis dapat ditularkan tanpa melalui hubungan seksual, tetapi berlokasi di saluran reproduksi. Kedua infeksi ini mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap infeksi HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina terganggu, yaitu

# ' + " ; " < + ; " 89 + 9 = + *9 + ,$ % " + ,$ + / $ / / / / % / / / / / /

(61)

42

LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI

INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS

DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA,

INDONESIA, 2005

>

berkurangnya jumlah lactobacilli sehingga pH vagina menjadi basa, suatu keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV.21 Melihat prevalensinya yang tinggi pada populasi yang diteliti pada survei ini, maka dapat diperkirakan adanya tambahan risiko untuk tertular HIV.

Prevalensi HSV-2 tidak diukur pada penelitian tahun 2003. Hasil pengukuran prevalensi pada tahun 2005 ini sangat tinggi (95% total, 95% WPS langsung, 96% WPS tidak langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah dikutip oleh Ahsley dan Wald bahwa prevalensi serologis HSV-2 pada WPS di berbagai negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%22 namun lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi Ig G HSV-2 pada WPS Jalanan (n=79) di Jakarta sebesar 60% dan oleh Davies S (86,9%).23,24 Hasil penelitian ini juga lebih tinggi dari hasil penelitian pada WPS di 5 provinsi perbatasan di Vietnam (27,7%)25, Dhaka – Bangladesh (62,5%)19, Yunnan – China (65,1%)20, Lagos – Nigeria (59%)26, dan Mexico (65,1%)27. Dalam penelitian ini didapatkan hanya 11% WPS langsung dan 14% WPS tidak langsung dengan serologi positif HSV-2 yang menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam waktu setahun terakhir. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80% kasus serologis HSV positif tidak disertai riwayat gejala.28 Correy dan Simmons melaporkan bahwa 20% kasus herpes genitalis asimtomatis (tidak bergejala), 60% kasus tidak dikenali gejalanya, dan hanya 20% kasus dikenali gejalanya.29

Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV (menjadi infeksi oportunistis pada orang dengan infeksi HIV). Sifat kambuhan ini merupakan beban kesehatan maupun psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup mempunyai arti si penderita menjadi sumber penularan seumur hidupnya, walaupun pada kasus sub klinis / tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang disertai gejala klinis berupa lesi dan ulkus herpetik. Namun justru karena tidak adanya lesi, aktivitas seksual tetap tinggi dan penularan infeksi virus herpes simplek terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun manifestasi klinis infeksi ini ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang tertular dapat lebih parah. 28,30,31,32

(62)

Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Hasil telaah data dari penelitian-penelitian epidemiologis yang dilaporkan oleh WHO dan UNAIDS menyatakan bahwa dari beberapa penelitian observasi longitudinal (Cohort) diketahui bahwa IMS meningkatkan risiko penularan HIV dari 1,5 sampai 8,5 kali tergantung pada jenis IMS. Lebih lanjut dilaporkan bahwa peningkatan probabilitas penularan per hubungan seksual mungkin lebih tinggi. Peningkatan risiko lebih tinggi pada IMS ulseratif, namun pada tingkat populasi dampak peningkatan risiko karena IMS non ulseratif lebih besar karena prevalensinya jauh lebih tinggi.33 Hasil telaah data beberapa penelitian biologis yang dilaporkan oleh WHO dan UNAIDS menjelaskan 2 mekanisme peningkatan risiko penularan HIV dengan adanya IMS, yaitu33:

1. Peningkatan daya tular HIV pada orang dengan IMS dan HIV, karena peningkatan jumlah (konsentrasi) virus dalam cairan sekresi genital

2. Peningkatan kerentanan orang dengan IMS terhadap penularan HIV, karena - disrupsi barier epitel (gangguan epitel sehingga menjadi pintu masuk virus HIV) - peningkatan kemampuan sel untuk menangkap HIV (data in vitro)

- peningkatan jumah sel reseptor

Prevalensi IMS yang tinggi pada WPS di 10 kota di Indonesia ini, merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual WPS dengan pelanggan dan pelanggan dengan isteri/pasangan seks tetapnya.

Ko-infeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum, antara lain manifestasi klinis dapat lebih parah, IMS menjadi lebih mudah menular, masa penularan IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan mempercepat perjalanan HIV menjadi AIDS.34

Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai rendahnya perilaku pengobatan yang benar (tabel 12) dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi maupun masalah sosial yang cukup besar di kemudian hari akibat komplikasi. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS maupun pelanggan serta isteri/anak dari pelanggan, antara lain: infeksi pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa akibat infeksi gonore di mata, penyakit radang panggul, kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan pada laki-laki maupun wanita, dan striktura uretra /

Gambar

Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Indonesia, 2003
Tabel 4. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, 2005
Tabel 5. Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran Prevalensi ISR pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, 2005
Tabel 6. Realisasi Sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dari data angket yang disebarkan kepada petani nanas di Desa Bunga Jaya kecamatan Basarang Kabupaten Kapuas sebagai responden ditemukan

Biaya yang dikeluarkan PT Alove Bali dalam pelaksanaan kegiatannya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni biaya investasi, dan biaya operasional.Biaya investasi merupakan

Oleh karena itu, ada peluang bagi eksportir dari DC yang memiliki pengalaman memasok negara Uni Eropa untuk menjual langsung kepada pembeli dengan mengandalkan pemasok Uni

Dari data tersebut maka dapat diketahui kemampuan awal siswa dalam melakukan pembelajaran PJOK pada materi lompat jauh, sehingga pada nantinya dapat dijadikan untuk

untuk ineksi &#34;.ay, 5aharda&amp;, 0#, maka sediaan dibuat dalam bentuk ineksi&amp; Sediaan ineksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi

Kesulitan dalam pelaksanaan praktikum yaitu saat mencari embrio dengan ukuran yang sangat kecil dan hampir tidak bisa dilihat kalau kita tidak mengamatinya secara teliti,

Ada dua cara yang dapat dipakai unuk memilih program zero dari kerja bubut yaitu diletakkan pada permukaan ujung kanan dari part (gambar 7.2a) dan pada permukaan chuck (gambar

Cari Pengguna Masukkan ID Pengguna dalam kolom dan tekan OK Catatan Tekan untuk melihat catatan pengguna yang tersedia Edit Pengguna Hapus/Tambahkan Metode Verifikasi dan ubah