• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biodegradasi lignin oleh kapang P.chrysosporium akan membuka cincin aromatik untuk menghasilkan senyawa fenoksi, oksidasi senyawa fenoksi akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Biodegradasi lignin oleh kapang P.chrysosporium akan membuka cincin aromatik untuk menghasilkan senyawa fenoksi, oksidasi senyawa fenoksi akan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN UMUM

Lignoselulosa merupakan komponen utama dari biomassa yang dibangun dari struktur mikrofibril polisakarida yang mengikat antara lignin dan senyawa serat kasar lain seperti selulosa dan hemiselulosa. Secara alami ikatan ini banyak terdapat dalam kayu, rumput, limbah perkebunan maupun limbah pertanian. Selama proses penebalan dinding, dinding sel tanaman dan ruang interseluler diisi dengan polimer fenolik lignin. Lignifikasi terjadi secara enzimatik melalui dehidrogenasi dan selanjutnya diikuti kondensasi radikal coumaryl, coniferyl, dan synapil alkohol (Hendriks dan Zeeman, 2009). Ikatan lignoselulosa merupakan pembatas dalam pemanfaatan bahan pakan dalam ransum karena akan menurunkan tingkat kecernaan sehingga mengurangi nilai nutrisi pakan, namun ditinjau dari prekusor pembentuk dari lignin maka sangat memungkinkan hasil biodegradasinya menjadi hal yang lebih bermanfaat seperti sebagai antioksidan.

Meningkatnya penggunaan antioksidan alami dalam menggantikan antioksidan sintetis telah mendorong banyak penelitian dalam bidang ini. Pemanfaatan limbah tanaman, baik yang berasal dari pertanian dan perkebunan, kehutanan maupun aktifitas industri sebagai bahan dasar penghasil antioksidan alami menjadi perhatian besar, hal ini disebabkan memungkinkan untuk menghasilkan antioksidan dengan biaya yang rendah dan juga bisa mengatasi masalah lingkungan (Moure et al. 2001). Bahan lignoselulosa yang terdiri dari polisakarida dan lignin melalui proses pemisahan menghasilkan komponen asam organik dan senyawa fenol. Proses pemisahan bisa dilakukan dengan banyak cara seperti menggunakan media asam, steam dan pemanfaatan mikroorganisme. Senyawa fenol hasil pemisahan polisakarida dan lignin sebagian besar memiliki aktifitas antioksidan ( Garrote et al. 2003)

Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol. Keuntungan menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti radikalnya yang sangat kuat, namun ternyata terdapat kekurangannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wichi (2008) dan Thompson & Moldeus (2008), antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran antioksidan sintetik. Irianti (2008) menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya telah lama digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan bioaktifnya.

Biodegradasi lignin merupakan proses oksidasi yang melibatkan sejumLah enzimatis dan non-enzimatis (Sanchez, 2009). Enzim yang berperan dalam biodegradasi lignin adalah lignin peroxidase, manganese peroxidase, laccase (Martinez et al. 2004). Proses biodegradasi lignin lebih efektif dilakukan oleh white-rot fungi melalui oksidasi polimer yang menghasilkan radikal aromatik Radikal fenoksi hasil oksidasi dapat membentuk polimer lignin kembali jika tidak dioksidasi menjadi senyawa fenolik (Martinez et al. 2005). Salah satu kapang yang mampu mensekresi enzim yang berperan dalam degradasi lignin adalah kapang P.chrysosporium.

(2)

Biodegradasi lignin oleh kapang P.chrysosporium akan membuka cincin aromatik untuk menghasilkan senyawa fenoksi, oksidasi senyawa fenoksi akan menghasilkan senyawa fenol yang pada akhirnya proses degradasi akan menghasilkan CO2 dan H2O. Adanya kandungan senyawa fenol yang dihasilkan

dari proses biodegradasi lignoselulosa memungkinkan untuk dijadikan antioksidan. Hasil biodegradasi lignoselulosa yang berasal dari pelepah sawit oleh P.chrysosporium pada penelitian ini menunjukkan adanyanya aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Degradasi yang terjadi pada hari ke-10 dengan dosis inokulan 106cfu/15g pelepah sawit menghasilkan aktifitas antioksidan tertinggi. Persentase inhibisi sebagai indikator aktivitas antioksidan yang dihasilkan adalah 89.41% dan total antioksidan 16467.150 µg/mL. Sementara biodegradasi lignin yang berasal dari pelepah sawit oleh P.chrysosporium menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi yaitu 92.11% dengan total antioksidan 850.95 µg/mL pada hari degradasi yang sama (Tabel 1). Adanya aktivitas antioksidan yang diperoleh disebabkan karena pada proses biodegradasi lignoselulosa yang terdapat pada pelepah sawit dan biodegradasi lignin yang berasal dari pelepah sawit menghasilkan senyawa fenol yang memiliki aktivitas antioksidan.

Komponen senyawa fenol yang dihasilkan dari degradasi lignin pada 10 hari fermentasi berupa 2.6 dimethoxy phenol, Vanilic acid, Coumaric acid, Vanilic acid dan Syringic aldehid, sementara pada pelepah sawit fermentasi diperoleh komponen terbesar senyawa fenol berupa Syringic acid, 2.6 dimethoxy phenol, Hidroxy Benzaldehyd, Methoxy Phenol dan Syringic aldehid (Tabel 2). Berdasarkan senyawa fenol yang diidentifikasi diperoleh adanya senyawa methoxy phenol dan derivatnya berupa 2.6 dimethoxy phenol yang teridentifikasi dengan jumLah perentase yang terbesar. Kedua senyawa ini diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi disamping senyawa fenol yang lainnya. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Beberapa hasil penelitian yang melakukan proses steam pada bahan lignoselulosa menghasilkan senyawa fenol produk derivat dari lignin berupa p-hydroxybenzoic acid, hydroxyphenyl acids (ferulic, vanillic, syringic dan coumaric acids) dan aldehydes (syringaldehyde, p-hydroxybenzaldehyde dan vanillin (Castro et al. 2008; Conde et al. 2008, 2009; Garrote et al. 2007; Sun et al. 2004)

Senyawa fenol yang dihasilkan pada proses biodegradasi lignoselulosa pelepah sawit dan lignin yang berasal dari pelepah sawit oleh P.chrysosporium merupakan hasil dari kerja enzim Laccase atau ligninolytic peroxidases (LiP and

MnP). Proses biodegradasi lignin oleh enzim Laccase atau ligninolytic

peroxidases (LiP and MnP) yang dihasilkan oleh kapang pelapuk putih (white-rot fungi) dimualai dengan mengoksidasi polimer lignin menjadi radikal aromatik. Proses akan berkembang melalui proses non enzimatik termasuk pemecahan

ikatan C-4-ether, cincin aromatik dan ikatan Cα–Cβ serta proses demetoksilasi,

aldehid aromatik dilepaskan dari pemecahan ikatan Cα–Cβ lignin untuk

digunakan sebagai substrat pembentuk H2O2 oleh aryl alcohol oksidase (AAO)

dalam reaksi siklus redoks yang juga melibatkan aryl alcohol dehidrogenase

(AAD). Radikal penoksi dari pemecahan ikatan C-4-ether bisa mengalami depolimerasi kembali menjadi polimer lignin jika tidak segera dioksidasi menjadi senyawa fenolik. Senyawa fenol bisa dibentuk kembali melalui proses reoksidasi oleh laccase atau peroxidase. Tahapan akhir dari proses ini adalah terbentuknya

(3)

senyawa sederhana dari degradasi lignin yang masuk kedalam hifa kapang dan

berinkoporasi kedalam jalur katabolik intraseluler (Martínez et al. 2005).

Berdasarkan hasil dari proses biodegradasi lignoselulosa seperti yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa lignin yang terdapat pada pelepah sawit memiliki nilai positif. Aktivitas antioksidan yang diperoleh dari proses biodegradasi lignoselulosa dan lignin menjadikannya sebagai nilai tambah dan tidak hanya dianggap sebagai pembatas dalam pakan ternak.

Proses biodegradasi lignoselulosa dari pelepah sawit dengan P.chrysosporium tidak hanya mampu menghasilkan antioksidan namun juga mempengaruhi perubahan nilai gizi dan fraksi serat yang terdapat pada pelepah sawit. Pada penelitian ini diperoleh dosis inokulan terbaik adalah 107cfu/mL dengan lama fermentasi 10 hari. Hal ini berdasarkan dari tingkat kerja dari P.chrysosporium dalam menurunkan kandungan lignin dan nilai rasio selulosa lignin yang tinggi. Penurunan kandungan NDF pada dosis inokulan 107cfu/mL dan lama fermentasi 10 hari adalah sebesar 40.16% dan penurunan kandungan ADF sebesar 40.93%. Kandungan NDF pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 65.59% sementara rataan kandungan NDF yang diperoleh setelah proses fermentasi berkisar antara 37.72-48.14%. Kandungan ADF pelepah sawit sebelum fermentasi 52.72% setelah proses fermentasi maka terjadi penurunan kandungan ADF yaitu berkisar 31.12-36.84% (Tabel 4 dan 5).

Terjadi fluktuasi kandungan selulosa dan hemiselulosa setelah 10 hari fermentasi sampai pada hari ke-20 baik pada kandungan selulosa maupun pada kandungan hemiselulosa. Kandungan selulosa pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 27.79% setelah proses fermentasi kandungan selulosa pelepah sawit berkisar 14.41-17.87%. Kandungan hemiselulosa pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 12.87% dan terjadi penurunan kandungan hemiselulosa setelah proses fermentasi dengan P.chrysosporium menjadi 6.58-11.68%. Pada dosis inokulan 105cfu/mL dan lama fermentasi 15 hari terjadi peningkatan kandungan hemiselulosa menjadi 13.66% (Tabel 6 dan 7). Penurunan kandungan lignin terbesar terjadi pada dosis inokulan 107cfu/mL dengan lama masa inkubasi 10 hari dengan persentase penurunan 47.79%. (Tabel 8).

Kehilangan kandungan lignin tergambar dari persentase degradasi lignin selama proses fermentasi berkisar antara 17.34-49.47% (Tabel 9) . Penurunan ini diduga terkait dengan ketersedian nutrient hasil perombakan komponen lignoselulosa untuk pertumbuhan kapang itu sendiri. Perubahan kandungan lignin pada substrat terjadi karena perombakan struktur lignin menjadi komponen yang lebih sederhana (Nelson dan Parjo, 2011). Degradasi lignin yang tinggi pada lama fermentasi 10 hari berhubungan dengan produksi enzim ligninase yang dihasilkan oleh kapang P.chrysosporium. Arora et al. (2002) menyatakan bahwa aktivitas ligninolitik pada P.chrysosporium baru terdeteksi pada hari ke-8 walaupun kehilangan bahan organik total telah terjadi pada hari ke-4. Zeng et al. (2010) menyatakan bahwa selama proses biokonversi limbah pertanian dengan P.chrysosporium ditemukan dua puncak produksi enzim pendegradasi lignin yaitu pada hari ke-10 dan hari ke-21. Terjadi beberapa puncak produksi enzim ligninolitik selama fermentasi serutan kayu oleh P.chrysosporium (Couto et al. 2001)

Potensi kapang pelapuk putih dalam mendegradasi lignin sangat bervariasi tergantung pada strain, tipe fermentasi dan periode inkubasi (Dinis et al. 2009).

(4)

Kapang P.chrysosporium mampu mendegradasi lignoselulosa secara selektif (Tuommelo et al. 2002) yaitu mendegradasi komponen lignin terlebih dahulu diikuti dengan komponen selulosa. Hal ini bisa terlihat dari rasio selulosa lignin yang terdapat pada Tabel 10. Dari hasil perhitungan rasio selulosa lignin dapat terlihat bahwa lignin terdegradasi lebih banyak dibandingkan dengan selulosa. Perolehan rasio selulosa lignin sejalan dengan proses penurunan lignin dan selulosa yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini membuktikan bahwa kapang P.chrysosporium memang lebih efektif dalam mendegradasi lignin. P.chrysosporium digambarkan sebagai penghasil lignase (Lignin peroxidase dan Mangan peroksidase) yang sesungguhnya untuk mendegradasi lignin karena memiliki nilai potensial reduksi oksidasi yang tinggi (Gold et al. 2002; Martinez, 2002)

Rataan kandungan BK dan BO pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 21.68% dan 17.59%. Setelah proses fermentasi kandungan BK pelepah sawit berkisar 19.30-25.87% dan kandungan BO berkisar 15.17-22.36% (Tabel 11 dan 12). Penurunan bahan kering dapat terjadi karena pertumbuhan kapang, proses dekomposisi substrat dan perubahan kadar air. Dinis et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi penurunan kandungan bahan kering akibat metabolisme oleh P. chrysosporium disebabkan karena adanya perombakan bahan organik yang dilakukan oleh kapang. Siklus ketersediaan nutrien akan terus berlangung selama proses fermentasi, sehingga kandungan bahan kering dan bahan organik juga mengalami fluktuasi seiring dengan proses perombakan dan pemanfaatan nutrien oleh kapang. Perubahan kadar air terjadi akibat evaporasi, hidrolisis substrat atau produksi air metabolik (Gervais 2008; Ramachandran et al. 2008). Perombakan komponen lignoselulosa pelepah sawit akan meningkatkan ketersediaan nutrien yang mendorong perkembangan miselia kapang. Penurunan kandungan bahan kering dan bahan organik terjadi akibat perombakan komponen pelepah sawit oleh kapang P. chrysosporium yang menghasilkan komponen air.

Rataan kandungan protein kasar setelah dilakukan proses fermentasi dengan P.chrysosporium berkisar 11.69-15.23% (Tabel 13). Sementara sebelum fermentasi kandungan protein kasar pelepah sawit adalah 5.28%. Terjadi peningkatan kandungan protein kasar sebesar 129.73% pada pelepah sawit fermentasi dengan dosis inokulan 107cfu/mL dan lama fermentasi 10 hari. Peningkatan kandungan protein kasar pelepah sawit fermentasi disebabkan terjadinya perombakan bahan organik, selain itu juga menunjukkan terjadinya pertumbuhan kapang sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan kandungan protein kasar pada pelepah sawit fermentasi. Nelson dan Suparjo (2011) menyatakan bahwa peningkatan kandungan protein terjadi karena biokonversi gula menjadi protein miselium atau protein sel tunggal. Sekresi enzim ekstraseluler oleh P.chrysosporium turut berperan dalam meningkatkan kandungan protein biomassa substrat fermentasi. Semakin banyak miselium akibat pertumbuhan jamur makin banyak nitrogen tubuh dan ini merupakan sumbangan protein bagi substrat yang difermentasi (Musnandar, 2004). Ditambahkan Jonathan et al. (2008) peningkatan kandungan protein kasar pada proses fermentasi kemungkinan disebabkan hasil dari penambahan dari biomassa kapang terhadap substrat fermentasi.

Kandungan serat kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 39.85%. setelah dilakukan proses fermentasi dengan dosis inokulan 107cfu/mL dan lama

(5)

fermentasi 10 hari terjadi penurunan kandungan serat kasar 28.38% (Tabel 14). Penurunan kandungan serat kasar dapat terjadi karena adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh kapang. Serat kasar sebagian besar berasal dari sel dinding tanaman dan mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. P.chrysosporium mempunyai kemampuan dalam mendegradasi komponen serat karena disamping menghasilkan enzim pendegradasi lignin, kapang ini juga mampu menghasilkan enzim pendegradasi selulosa (Howard et al. 2003)

Kandungan BETN pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 38.31%. setelah dilakukan proses fermentasi terjadi peningkatan kandungan BETN (Tabel 15). Pada dosis 107cfu/mL dan lama fermentasi 10 hari terjadi peningkatan BETN 5.95%. Nilai kandungan BETN sangat tergantung pada kandungan nutrient lain. Peningkatan kandungan BETN dapat terjadi karena perombakan karbohidrat struktural, terutama hemiselulosa menjadi bahan mudah larut (Nelson dan Suparjo, 2011). Hemiselulosa dirombak menjadi monomer gula dan asam asetat (Sanchez, 2009). P.chrysosporium selain menghasilkan enzim ligninase dan selulase (Howard et al, 2003) juga menghasilkan hemiselulase (Dasthban et al. 2009; Zeng et al. 2010). Rataan persentase peningkatan BETN pelepah sawit fermentasi berkisar 1.01-25.63%. Nelson dan Suparjo (2011) mendapatkan peningkatan kandungan BETN kulit buah kakao yang difermentasi dengan P.chrysosporium 9.97-42.96%.

Kandungan lemak kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 0.61%, setelah dilakukan proses fermentasi dengan P.chrysosporium tidak terjadi peningkatan yang signifikan (Tabel 16). Hal yang sama juga diperoleh pada penelitian Jonathan et al. (2012) bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap kandungan lemak kasar dari jerami padi yang difermentasi dengan Pleurotus florida dengan lama fermentasi yang berbeda. Selama proses dekomposisi saat fermentasi komponen lemak akan mengalami degradasi tetapi akan ditemukan kembali senyawa lemak baru (Guiterrez et al. 2005). Adanya aktivitas antioksidan dan penurunan kandungan lignin yang dihasilkan pada saat proses biodegradasi pelepah sawit dengan P.chrysosporium, memungkinkan pelepah sawit yang telah mengalami proses biodegradasi ini digunakan sebagai bahan pakan ternak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan level pemakaian fermentasi pelepah sawit dengan P. chrysosporium dalam ransum ternak ruminansia menurunkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Rata-rata kecernaan berkisar 55.06-71.27% untuk kecernaan bahan kering dan 54.15-69.66% untuk kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum yang mengandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung 40% rumput gajah+20% pelepah sawit ferementasi, (R2), 20% rumput gajah+40% pelepah sawit fermentasi (R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4). Ransum yang menggandung 60% pelepah sawit fermentasi memberikan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik yang paling rendah (Tabel 17)

Terjadinya penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan adanya perbedaan kandungan serat kasar dari setiap perlakuan. Davidson et al (2003) menyatakan bahwa tingginya kandungan serat kasar memberikan kontribusi pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Dahia et al. (2004) menyatakan bahwa terjadi penurunan kecernaan

(6)

bahan kering dan bahan organik dengan tingkat kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum. Griswold et al. (2003) melaporkan bahwa kecenderungan peningkatan kecernaan bahan organik berhubungan dengan kecernaan bahan kering, perbedaannya hanya pada kandungan kadar abu.

Peningkatan level pemakaian pelepah sawit fermentasi dengan P.chryosporium dalam ransum ternak ruminansia memberikan pengaruh dalam penurunan tingkat kecernaan NDF, ADF dan serat kasar. Rata-rata kecernaan NDF yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu 35.99-55.90%. sementara tingkat kecernaan ADF 41.02-58.68% dan 32.87-57.43% untuk tingkat kecernaan serat kasar (Tabel 17). Semakin meningkatnya level pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum menurunkan kecernaan NDF, ADF dan serat kasar. Tingkat kecernaan NDF, ADF dan serat kasar dari ransum yang menggandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dari ransum yang mengandung 20% pelepah sawit fermentasi (R2), 40% pelepah sawit fermentasi dan ( R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4), sementara ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi memiliki kecernaan NDF, ADF dan serat kasar yang paling rendah. Ini menunjukkan bahwa meskipun biodegradasi dari pelepah sawit dengan menggunakan P.crhysosporium mampu menurunkan kandungan lignin namun nilai gizi yang dihasilkan dengan proses fermentasi belum mampu mencapai nilai gizi dari rumput gajah.

Biodegradasi pelepah sawit fermentasi dengan dosis inokulan P.crhysosporium 107cfu/mL dan diinkubasi selama 10 hari menunjukkan degradasi lignin yang terbaik. Kandungan lignin pelepah sawit tanpa fermentasi adalah 25.42%. sementara pelepah sawit fermentasi mengandung kadar lignin 13,27%. Ini menunjukkan bahwa meskipun kandungan lignin mampu diturunkan dengan proses fermentasi namun kandungan lignin yang dihasilkan masih lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan lignin pada rumput gajah yaitu 11.42%. Hal inilah yang menyebabkan semakin tinggi tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum maka tingkat kecernaan juga masih rendah.

Lignin dalam ransum dapat menurunkan tingkat kecernaan, seperti yang dilaporkan oleh Lynd et al. (2002) bahwa ransum dengan kandungan lignoselulosa umumnya memiliki kandungan karbohidrat struktural yang tinggi dengan tingkat kristalisasi dan membuat ikatan yang kuat dengan lignin sehingga ransum sulit untuk dicerna. Kecernaan ransum dengan tingkat serat yang tinggi bisa ditingkatkan dengan memecah ikatan lignin dengan karbohidrat struktural (Annison et al, 2002). Mikroba rumen mampu mencerna zat makanan dalam ransum lebih mudah apabila kandungan lignin diturunkan. Van Soest (2002) menyatakan bahwa lignin pada dinding sel tanaman merupakan faktor penting yang membatasi kecernaan zat makanan. Suatu hubungan yang positif antara total kehilangan lignin dengan kecernaan bahan kering secara in vitro telah dilaporkan dalam banyak penelitian. Dalam penelitian ini, berdasarkan nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF, ADF dan serat kasar secara in vitro menunjukkan korelasi negatif dengan kandungan lignin.

Konsentrasi N-NH3 dan TVFA serta jumLah bakteri selulolitik dalam penelitian

ini menunjukkan penurunan dengan adanya peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi didalam ransum namun tidak mempengaruhi total protozoa rumen. Rataan konsentrasi N-NH3 yang diperoleh berkisar antara 9.10-12.19 mg N/dl

(7)

jumLah bakteri selulolitik berkisar 106-108cfu/mL sementara total protozoa berkisar 105cfu//mL. Konsentrasi N-NH3, TVFA dan jumLah bakteri selulolitik

dari ransum yang mengandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung 20% pelepah sawit fermentasi (R2), 40% pelepah sawit fermentasi (R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4). Ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi menghasilkan konsentrasi N-NH3, TVFA dan jumLah bakteri selulolitik yang paling rendah (Tabel 18).

Semakin menurunnya konsentrasi N-NH3 dengan semakin meningkatnya

pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum sejalan dengan kemungkinan rendahnya kecernaan protein yang terjadi yang tergambar dari kecernaan bahan organik yang juga semakin menurun. Dari hasil penelitian diperoleh penurunan kecernaan bahan organik 22.26%, 17.18% dan 7%, antar perlakuan (R4,R3 dan R2 vs R1) juga menghasilkan penurunan konsentrasi N-NH3 3.09 mg N/dl, 2.11

mg N/dl, dan 1.38mg N/dl masing-masingnya. Rataan konsentrasi N-NH3 yang

diperoleh dari penelitian ini sudah mencukupi kebutuhan N-NH3 untuk

pertumbuhan optimum. Konsentrasi N-NH3 optimum yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan optimum sekitar 10-15 mg N/dl cairan rumen (Alcaide et al. 2003). Penelitian yang dilakukan Nagadi et al (2000) mendapatkan bahwa laju fermentasi NDF meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi N-NH3, hal

ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh dimana kecernaan NDF menurun seiring dengan menurunnya konsentrasi N-NH3. Detman (2009)

melaporkan bahwa konsentrasi N-NH3 rumen optimum untuk degradasi dan

konsumsi NDF berkisar antara 8-15mg N/dl, sementara Islam et al (2000) mendapatkan konsentrasi N-NH3 6.4 mg N/dl cairan rumen dari ransum yang

mengandung 60% pelepah sawit dan 40% kosentrat.

Penurunan konsentrasi N-NH3 diikuti juga dengan semakin menurunnya

jumLah bakteri selulolitik yang dihasilkan pada penelitian ini namun tidak mempengaruhi total protozoa rumen. Hal ini disebabkan karena amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi pertumbuhan mikroba. Seperti yang disampaikan oleh Chedthong dan Wanapat (2013) bahwa konsentrasi N-NH3 rumen akan berkaitan erat dengan total bakteri dirumen disebabkan karena

nitrogen merupakan sumber pembentuk dari protein mikroba. Konsentrasi N-NH3

5.68mM akan menghasilkan bakteri fibrolitik 11.62 log 10cfu/l dan total protozoa 5.62 log 10 cfu/l (Martin et al. 2013) ditambahkan oleh Eugene et al. (2004) yang menyatakan bahwa jumLah bakteri dalam rumen berpengaruh pada konsentrasi N-NH3 rumen, proses defaunasi akan meningkatkan konsentrasi N-NH3 5.03

mgN/dl. Pada saat terjadi penurunan mikoba rumen, kecernaan serat pakan juga akan menurun sehingga mengurangi konsumsi. Komposisi dan jumLah bakteri dalam rumen tergantung pada jenis dan komposisi hijauan yang digunakan dalam ransum (Pitta et al. 2010)

Fiorentini et al. (2013) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba rumen akan rendah pada hijauan yang berkualitas rendah karena degradasi karbohidrat yang lebih lambat, karbohidrat digunakan untuk menghasilkan ATP yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini juga yang menjadi penyebab semakin tinggi tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi maka jumLah total bakteri selulolitik juga semakin menurun.

Asam lemak terbang (VFA) merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat oleh mikroba dalam rumen. Konsentrasi TVFA yang diperoleh dalam

(8)

penelitian ini sudah mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen, seperti yang dinyatakan oleh Sutardi (1982) bahwa kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah 80-160 mM, sementara dalam penelitian ini konsentrasi TVFA berkisar 150.06-163.47mM

Penurunan konsentrasi VFA dengan semakin meningkatnya pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum pada penelitian ini sejalan dengan terjadinya juga penurunan kecernaan serat. Semakin rendah kecernaan serat maka akan semakin rendah konsentrasi VFA yang dihasilkan. Berdasarkan persentase penurunan kecernaan NDF antar perlakuan (R4,R3 dan R2 vs R1) yang diperoleh yaitu 16.68%, 9.88% dan 6.44%, maka akan diikuti dengan penurunan konsentrasi TVFA yaitu 13.41mM, 10.05mM dan 3.65mM. Liu et al. (2002) menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara kecernaan bahan organik dan bahan kering terhadap produksi total VFA. Tingginya tingkat kecernaan in-vitro bahan organik dan serat kasar akan meningkatkan produksi total VFA rumen (Sudekum et al. 2006). Tingkat lignifikasi yang tinggi pada bahan pakan yang digunakan membatasi mikroorganisme rumen dalam memfermentasi selulosa dan hemiselulosa untuk menghasilkan energi sebagai asam lemak terbang (Tripathi et al. 2008). Peningkatan akses enzim hidrolisis selulosa dan hemiselulosa harus didahului dengan memutus ikatan lignoselulosa dinding sel. Proses degradasi serta dalam rumen membutuhkan ketersediaan protein yang menjamin untuk pertumbuhan optimum mikroba (Alcaide et al. 2003).

Konsentrasi TVFA yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari konsentrasi TVFA yang dihasilkan oleh silase jagung yang menghasilkan konsentrasi TVA 94.3 mM dengan tingkat kecernaan serat kasar yang tinggi (Martin et al. 2013) sementara hasil penelitian Fiorentini et al. (2013) mendapatkan konsentrasi total VFA 113.2mM/l dan konsentrasi N-NH3 37.9 mg N/dl dengan ransum yang berbahan dasar jerami padi.

Proses biodegradasi lignoselulosa pelepah sawit dengan menggunakan P.chrysosporium menunjukkan adanya aktivitas antioksidan. Antioksidan yang dihasilkan berasal dari degradasi lignin yang menghasilkan senyawa fenolik seperti yang terdapat pada penelitian tahap 1. Pada pemanfaatan biodegradasi pelepah sawit fermentasi didalam ransum diperoleh data bahwa peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi meningkatkan konsentrasi dan aktivitas antioksidan pada awal masa inkubasi (0 jam) in vitro begitu juga pada inkubasi 72 jam. Peningkatan konsentrasi dan aktivitas antioksidan yang dihasilkan dengan peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum disebabkan tingginya kandungan senyawa fenolik sebagai hasil dari degradasi lignin.

Rata-rata konsentrasi antioksidan yang dihasilkan pada awal inkubasi in vitro adalah 73.67-249.80 µg/mL setelah inkubasi in vitro 72 jam maka terjadi penurunan konsentrasi antioksidan dengan rata-rata 25.00-148.71 µg/mL. Hal yang sama juga terjadi pada nilai aktivitas antioksidan, rata-rata aktivitas antioksidan yang dihasilkan pada awal inkubasi adalah 56.33-68.17% sementara pada inkubasi 72 jam in vitro rata-rata aktivitas antioksidan yang dhasilkan adalah 53.00-61.38% (Tabel 12).

Penurunan konsentrasi antioksidan pada inkubasi 72 jam in vitro kemungkinan disebabkan ada senyawa fenol yang dihidrolisis oleh enzim mikroba rumen. Baurhoo et al. (2008) menyatakan bahwa beberapa jenis mikroba rumen mampu mereduksi, mengabsorbsi dan memetabolisasi senyawa fenol seperti

Referensi

Dokumen terkait

$tress ulcer adalah suatu lesi inflamasi superfisial dari mukosa gaster disebabkan  peningkatantuntutan fisiologis yang abnormal pada tubuh.. $uatu penelitian melaporkan bukti

SCI, 2) perilaku pasien SCI terhadap penggunaan IC , 3) komponen penyuluhan dalam penggunaan IC pada pasien SCI , 4) ketidaknyamanan dan kecemasan yang

Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aspek sintesis imidazolin, metilasi imidazolin menjadi imidazolinium (sebagai zat inhibitor), karakterisasi

Dalam kegiatan ini setiap mahasiswa praktikan praktikan menyusun 2 (dua) RPP yang terdiri dari satu mata pelajaran eksak dan satu pelajaran non eksak, dan kedua RPP

Makna preposisi yang ditemukan dalam kitab Keluaran, adalah : makna preposisi yang mengacu pada tempat, waktu, tujuan atau sasaran, sumber atau asal, sebab atau

Untuk dapat menghemat waktu dan memberikan kemudahan, maka sistem dengan melakukan pembayaran secara online melalui website ini dibuat agar muzaki tidak harus

Pemasaran ( marketing ) adalah sebuah proses kemasyarakatan dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,

Dalam sejarah perjalanan Islam di muka bumi ini, kita dapat menemukan beberapa wanita berkecimpung di medan politik membantu satu pasukan, berdasar atas