• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR... TAHUN... TENTANG BANGUNAN GEDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH DRAFT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR... TAHUN... TENTANG BANGUNAN GEDUNG"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

DRAFT RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SUNGAI PENUH,

Menimbang : a. bahwa seiring dengan kebijakan otonomi daerah telah mendorong peningkatan aktifitas pembangunan di daerah yang menuntut peningkatan kuantitas, kualitas serta kompleksitasnya pembangunan gedung;

b. bahwa Kota Sungai Penuh merupakan daerah perbukitan yang begelombang halus sampai perbukitan sedang dan pergunungan serta termasuk dalam zona kawasan gempa bumi II sehingga memerlukan bangunan gedung yang memiliki keandalan;

c. bahwa untuk mewujudkan bangunan gedung yang andal, berjati diri, seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya serta untuk menjamin kepastian hukum maka penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina;

d. bahwa sampai saat ini Kota Sungai Penuh belum memiliki Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung untuk melakukan pembinaan dan pengendalian pembangunan gedung.

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Pertauran Daerah tengan Bangunan Gedung;

Mengingat : 1. Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatra Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1957 Nomor 75) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 61 tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1958 Nomor 112);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1965 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara, Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

(2)

2 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara, Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4369);

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);

6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

10.Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);

11.Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

12.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

13.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara, Republik Indonesia Nomor 4725);

14.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 15.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 Undang-Undang Tentang Pembentukan

(3)

3 2008 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4871); 16.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

17.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

18.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

19.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

20.Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha clan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3955);

21.Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956);

22.Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3957);

23.Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4119);

24.Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489);

25.Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490); 26.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi clan Pemerintah Daerah Kota/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

27.Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

(4)

4 Sungai, Daerah Pemanfaatan Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai;

29.Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006/ Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Foru Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.

30.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;

31.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2007 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;

32.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi;

33.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 6/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan;

34.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung;

35.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung;

36.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung;

37.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

38.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran di Perkotaan:

39.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

40.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

41.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2007tentang Pedoman Pemberian Kemudahan Perizinan Dan Insentif Dalam Pembangunan Rumah Susun Sederhana di Kawasan Perkotaan;

(5)

5 DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SUNGAI PENUH dan

WALIKOTA SUNGAI PENUH, MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH TENTANG BANGUNAN GEDUNG

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kota Sungai Penuh.

2. Pemerintah Daerah adalah Walikota beserta Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

3. Walikota adalah Walikota Sungai Penuh.

4. Satuan Kerja Perangkat Daerah Pengelola Izin yang selanjutnya disingkat SKPD Pengelola Izin adalah Satuan Kerja Perangkat Darah Kota Sungai Penuh yang meyelengarakan administrasi perizinan IMB sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsinya ;

5. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kota Sungai Penuh.

6. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

7. Bangunan gedung umum adalah bangunan gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.

8. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.

9. Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhada masyarakat dan lingkungannya.

10.Keterangan rencana Kota adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi tertentu. 11.Izin mendirikan bangunan gedung, yang selanjutnya disebut IMB adalah perizinan

yang diberikan oleh Walikota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat

(6)

6 bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

12.Pemohon adalah orang atau badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan yang mengajukan permohonan Izin mendirikan Bangunan Gedung Kepada pemerintah Kota/kota.

13.Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung

14.Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/ atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang mengunakan dan atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan

15.Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disebut KDB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

16.Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

17.Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disebut KDH adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

18.Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disebut RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah Kota yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah.

19.Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disebut RDTRKP adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.

20.Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disebut RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

21.Garis sempadan adalah garis yang membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan gedung terhadap batas lahan yang dikuasai, antar massa bangunan lainnya, batas tepi sungai/pantai, jalan, rencana saluran, dan/atau jaringan listrik tegangan tinggi.

22.Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem.

23.Pedoman teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung.

(7)

7 24.Standar teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara, standar spesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun standar internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. 25.Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi

proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.

26.Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan gedung.

27.Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

28.Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

29.Tim ahli bangunan gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.

30.Laik fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan.

31.Perencanaan teknis adalah proses membuat gambar teknis bangunan gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruang-dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku. 32.Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli dean/atau tim teknis

bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran bangunan gedung.

33.Penyedia jasa konstruksi bangunan gedung adalah orang perorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi bidang bangunan gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen konstruksi, termasuk pengkaji teknis bangunan gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya.

34.Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi.

35.Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.

36.Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya.

(8)

8 37.Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.

38.Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

39.Gugatan perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

40.Pemberdayaan adalah kegiatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran para penyelenggara bangunan gedung dan aparat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

41.Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum. 42.Retribusi IMB yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas

pemberian izin mendirikan bangunan.

43.Wajib retribusi adalah orang dan/atau badan yang diwajibkan membayar retribusi. 44.Masa retribusi adalah satu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu

wajib retribusi memanfaatkan izin mendirikan bangunan.

45.Surat Pendaftaran Obyek Rteribusi yang selanjutnya disebut SPORD adalah surat yang dipergunaan oleh wajib retribusi untuk melaporkan data obyek retribusi sebagai dasar perhitungan dan pembayaran retribusi yang terutang.

46.Surat ketetapan Retribusi yang selanjutnya disebut SKRD adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah retribusi terutang.

47.Surat ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disebut SKRDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karean jumlah kredit retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

48.Surat ketetapan Retribusi Daerah lebih Bayar yang selanjutnya disebut SKRDKBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang telah ditetapkan.

49.Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

50.Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKRDKBT dan SKRDLB yang diajukan oleh wajib reteribusi.

51.Tim Ahli Bangunan Gedung adalah tim yang bersifat Ad hoc, independen, objektif dan tidak mempunyai konflik kepentingan dibentuk oleh Walikota yang anggotanya terdiri atas unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, masyarakat ahli, dan dinas teknis yang bertanggung jawab dalam bidang pembinaan bangunan

(9)

9 gedung yang berkompeten dalam memberikan pertimbangan teknis di bidang bangunan gedung, yang meliputi bidang arsitektur bangunan gedung dan perkotaan, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan/lanskap, dan tata ruang-dalam/interior, serta keselamatan dan kesehatan kerja serta keahlian lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

52.Tim Teknis Bangunan Gedung adalah tim yang dibentuk oleh Walikota ang anggotanya terdiri atas unsur-unsur dinas teknis yang bertanggung jawab dalam bidang pembinaan bangunan gedung, yang meliputi bidang arsitektur bangunan gedung dan perkotaan, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan/lanskap, dan tata ruang dalam/interior, serta keselamatan dan kesehatan kerja serta keahlian lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

BAB II

FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Fungsi Bangunan Gedung Pasal 2

(1) Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, dan sosial budaya.

(2) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.

(3) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng.

(4) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan.

(5) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.

(6) Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi. Bagian Kedua

Klasifikasi Bangunan Gedung Pasal 3

(1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko kebakaran, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.

(2) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. bangunan gedung sederhana;

(10)

10 c. bangunan gedung khusus.

(3) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. bangunan gedung permanen; b. bangunan gedung semi permanen;

c. dan bangunan gedung darurat atau sementara.

(4) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. bangunan gedung tingkat risiko kebakaran tinggi; b. tingkat risiko kebakaran sedang; dan

c. tingkat risiko kebakaran rendah.

(5) Klasifikasi berdasarkan ketinggian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. bangunan gedung bertingkat rendah terdiri dari 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) lantai.

b. bangunan gedung bertingkat sedang, terdiri dari 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) lantai; dan

c. bangunan gedung bertingkat tinggi terdiri lebih dari 4 (empat) lantai.

(6) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. bangunan gedung milik negara;

b. bangunan gedung milik badan usaha atau seasta; dan c. bangunan gedung milik perorangan.

(7) Klasifikasi berdasarkan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bangunan gedung dengan luas kurang dari 100m²

b. bangunan gedung dengan luas 100 - 500m² c. bangunan gedung dengan luas 500 - 1000m² d. bangunan gedung dengan luas lebih dari 1000m²

(8) Klasifikasi berdasarkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bangunan gedung di lokasi padat;

b. bangunan gedung di lokasi sedang; c. bangunan gedung di renggang;

(9) Klasifikasi berdasarkan akses jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

d. bangunan gedung di tepi jalan Arteri; e. bangunan gedung di tepi jalan Kolektor; f. bangunan gedung di tepi jalan lokal;

g. bangunan gedung di tepi jalan Lingkungan; h. bangunan gedung di tepi jalan Setapak.

(10) Klasifikasi berdasarkan fungsinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: b. bangunan gedung rumah tinggal;

(11)

11 d. bangunan gedung perdagangan dan jasa;

e. bangunan gedung industri; f. bangunan gedung perkantoran; g. bangunan gedung transportasi; h. bangunan gedung pelayanan umum; d. bangunan tower/menara komunikasi; e. bangunan pagar;

Pasal 4

(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.

(2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan gedung dalam pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedung.

(3) Walikota menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam izin mendirikan bangunan gedung berdasarkan RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.

(4) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah melalui permohonan baru izin mendirikan bangunan gedung.

(5) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebaimana dimaksud pada ayat (4) harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

BAB III

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Umum Pasal 5

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

(2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebaaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; b. status kepemilikan bangunan gedung; dan

c. izin mendirikan bangunan gedung.

(3) Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.

(4) Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota dengan mengacu pada pedoman dan standar teknis bangunan gedung yang bersangkutan.

(12)

12 Pasal 6

(1) Dalam menetapkan persyaratan bangunan gedung adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan peruntukan, kepadatan dan ketinggian, wujud arsitektur Rumah Adat Kerinci, dampak lingkungan, serta persyaratan keselamatan dan kesehatan pengguna dan lingkungannya.

(2) Dalam menetapkan persyaratan bangunan gedung semi-permanen dan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan gedung yang diperbolehkan, keselamatan dan kesehatan pengguna dan lingkungan, serta waktu maksimum pemanfaatan bangunan gedung yang bersangkutan.

(3) Dalam menetapkan persyaratan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, keselamatan pengguna dan kesehatan bangunan gedung, dan sifat permanensi bangunan gedung yang diperkenankan.

Bagian Kedua

Persyaratan Administratif Bangunan Gedung Paragraf 1

Status Hak atas Tanah Pasal 7

(1) Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain yang dibuktikan dengan bukti status hak atas tanah yang diputuskan oleh pemerintah daerah.

(2) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung.

(3) Surat bukti status hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. Sertifikat tanah;

b. Surat Keputusan Pemberian Hak Penggunaan atas Tanah oleh pejabat yang berwenang di bidang pertanahan;

c. Surat kavling dari pemerintah daerah, atau Pemerintah;

d. Fatwa tanah, atau rekomendasi dari Badan Pertanahan Nasional;

e. Surat girik/petuk/akta jual beli, yang sah disertai surat pernyataan pemilik bahwa tidak dalam status sengketa, yang diketahui lurah setempat;

f. Surat kohir verponding Indonesia, disertai pernyataan bahwa pemilik telah menempati lebih dari 10 tahun, dan disertai keterangan pemilik bahwa tidak dalam status sengketa yang diketahui lurah setempat; atau

(13)

13 (4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas, letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi bangunan gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

Paragraf 2

Status Kepemilikan Bangunan Gedung Pasal 8

(1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Walikota, berdasarkan hasil kegiatan pendataan bangunan gedung.

(2) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.

(3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan pemilik tanah.

Pasal 9

(1) SKPD pengelola izin wajib mendata bangunan gedung.

(2) Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung baru dilakukan bersamaan dengan proses izin mendirikan bangunan gedung.

(3) Pemilik bangunan gedung wajib memberikan data yang diperlukan oleh pemerintah daerah dalam melakukan pendataan bangunan gedung.

(4) Data yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi data umum, data teknis, data status/riwayat, dan gambar legger bangunan gedung, dalam bentuk formulir isian yang disediakan oleh pemerintah daerah.

(5) Berdasarkan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah daerah mendaftar bangunan gedung tersebut untuk keperluan sistem informasi bangunan gedung.

(6) Pendataan bangunan gedung untuk keperluan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi data umum, data teknis, dan data status/riwayat lahan dan/atau bangunannya.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan bangunan gedung diatur dengan Peraturan Walikota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Izin Mendirikan Bangunan Gedung Pasal 10

(1) Setiap orang dan/atau badan yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki IMB.

(2) IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Walikota melalui proses penerbitan IMB.

(3) Proses penerbitan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan penggolongan bangunan gedung.

(14)

14 (4) Untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana (rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat), dan rumah deret sederhana, dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Pengambilan Keterangan Rencana Kota oleh pemohon di SKPD pengelola izin.

b. Penyediaan dokumen rencana teknis siap pakai (prototip, dsb.) yang memenuhi persyaratan sesuai Keterangan Rencana Kota. Gambar rencana teknis diadakan/disiapkan oleh pemerintah daerah.

c. Pengajuan Surat Permohonan IMB dengan kelengkapan dokumen administrative dan dokumen rencana teknis.

d. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran (pencatatan, penelitian) dokumen administratif dan dokumen rencana teknis, penilaian/evaluasi, serta persetujuan dokumen rencana teknis yang telah memenuhi persyaratan. e. Dokumen administratif dan/atau dokumen rencana Teknis yang belum

memenuhi persyaratan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi/ diperbaiki.

f. Penetapan besarnya retribusi IMB. g. Pembayaran retribusi IMB.

h. Penyerahan bukti penyetoran retribusi kepada SKPD pengelola izin. i. Penerbitan IMB sebagai pengesahan dokumen rencana teknis untuk dapat

memulai pelaksanaan konstruksi.

j. Penerimaan dokumen IMB oleh pemohon.

(5) Untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal dan rumah deret sampai dengan 2 (dua) lantai dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Pengambilan Keterangan Rencana Kota oleh pemohon di SKPD pengelola izin. b. Penyediaan dokumen rencana teknis yang dibuat oleh pemohon/pemilik (yang

memiliki keahlian perencanaan bangunan gedung) dan terdaftar atau oleh penyedia jasa.

c. Pengajuan Surat Permohonan IMB dengan keleng kapan dokumen administrative dan dokumen rencana teknis.

d. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran (pencatatan, penelitian) dokumen administratif dan dokumen rencana teknis, penilaian serta ersetujuan dokumen rencana teknis yang telah memenuhi persyaratan. Untuk Dokumen administratif dan/atau dokumen rencana teknis yang belum memenuhi persyaratan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi/ diperbaiki. e. Penetapan besarnya retribusi IMB.

f. Pembayaran retribusi IMB;

g. Penyerahan bukti pembayaran retribusi kepada pemerintah daerah.

h. Penerbitan IMB sebagai pengesahan dokumen rencana teknis untuk dapat memulai pelaksanaan konstruksi.

i. Penerimaan dokumen IMB oleh pemohon.

(6) Untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana 2 (dua) lantai atau lebih dan bangunan gedung lainnya pada umumnya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Pengambilan Keterangan Rencana Kota oleh pemohon di SKPD pengelola izin. b. Pengurusan SIPPT atau dokumen sejenisnya untuk luas tanah tertentu

(15)

15 sesuai ketentuan daerah masing- masing.

c. Penerbitan SIPPT atau dokumen sejenisnya yang ditandatangani oleh Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk.

d. Penyediaan dokumen rencana teknis.

e. Pengajuan Surat Permohonan IMB dengan kelengkapan dokumen administratif, dokumen rencana teknis dan dokumen lain yang disyaratkan. f. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran (pencatatan, penelitian) dokumen

administratif dan dokumen rencana teknis, penilaian serta persetujuan dokumen rencana teknis yang telah memenuhi persyaratan. Dokumen administratif dan/atau dokumen rencana teknis yang belum memenuhi persyaratan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi/diperbaiki. (5) Walikota wajib memberikan surat keterangan rencana Kota untuk lokasi yang

bersangkutan kepada setiap orang/badan yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung.

(6) Surat keterangan rencana Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:

a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan; b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;

c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;

d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan; e. KDB maksimum yang diizinkan;

f. KLB maksimum yang diizinkan; g. KDH minimum yang diwajibkan; h. KTB maksimum yang diizinkan; dan i. jaringan utilitas kota.

(7) Keterangan rencana Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.

Pasal 11

(1) Permohonan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) di ajukan secara tertulis kepada Walikota melalui SKPD pengelola izin.

(2) Permohonan IMB harus melampirkan persyaratan sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.

(3) Permohonan IMB bangunan gedung rumah tinggal harus melampirkan persyaratan sebagai berikut:

a. foto kopi tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah;

b. foto kopi Kartu Tanda Penduduk;

c. Gambar Rencana Banaunan (Sket Bangunan):

d. Foto kopi Bukti Lunas Pajak Bumi Bangunan tahun terakhir: e. pas photo ukuran 3 x 4 inc:

(16)

16 (4) Permohonan IMB bagi perusahaan Industri, pergudangan dan Real Estate, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, sampai dengan f ditambah dengan:

a. Izin prinsip dari Walikota:

b. Izin lokasi dari badan Pertanahan Nasional:

c. hasil analisis mengenai dampak lingkungan, atau dalam hal dampak penting tersebut dapat diatasi secara teknis, maka cukup dengan UKL dan UPL. d. Akte Pendirian perushaan;

e. Surat Kuasa apabila oenandatanganan nermohonan bukan dilakukan oleh nemohon sendiri.

f. Surat pernvataan pemohon tentang kesanggupan memenuhi persyaratan teknis banaunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; g. Tanda Anggota Real Estate Indonesia dan rekomendasi babas banjir dari Dinas

Tata Kota khusus bagi pemohon Real estate;

h. Rencana Teta Bangunan dan prasarana bangunan industri yang disetujui oleh Walikota dengan menunjukkan lokasi kapling untuk bangunan vang bersangikutan bagi perusahan indsutri yang berlokasi di kawsan industri. (5) Permohonan IMB bagi rumah ibadah, selain persyaratan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) huruf a, sampai dengan f ditambah dengan :

a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;

b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama Kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB Kota.

(6) Permohonan IMB bagi bangunan gedung perkantoran, perdagangan dan jasa selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, sampai dengan f ditambah dengan :

a. Salinan/ foto copy gambar bangunan dan RAB yang disahkan oleh instansi teknis.

b. Sket denah bangunan dan Site Pland

c. Gambar bangunan lengkap dan RAB yang disahkan oleh instansi teknis. (7) Permohonan IMB bagi bangunan gedung tower/menara telekomunikasi selain

persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, sampai dengan f ditambah dengan :

a. salinan/foto copy surat persetujuan warga b. surat penunjukan pengurus

c. salinan/foto copy akta pendirian perusahaan. Pasal 12

(1) SKPD pengelola izin mengadakan penelitian terhadap permohonan IMB yang diajukan mengenai persyaratan administrasi dan pesyaratan teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(17)

17 (2) Apabila semua persyaratan permohonan IMB telah terpenuhi SKPD pengelola izin

memberikan tanda terima permohonan izin mendirikan bangunan.

(3) Keputusan IMB diberikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan dinyatakan memenuhi persyaratan.

Pasal 13

(1) IMB ditandatangani oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk.

(2) IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan keterangan tentang: a. nama penerima izin;

b. alamat penerima izin di daerah; c. jenis bangunan yang diiizinkan; d. peruntukan bangunan yang diizinkan; e. letak lokasi bangunan yang diizinkan;;

f. jangka waktu pekerjaan mendirikan bangunan yang diizinkan.

(3) IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran yang berisikan tentang :

a. peta situasi;

b. gambar rencana bangunan dengan skala 1 : 50/1 : 100/1 : 200;

c. perhitungan konstruksi dan instalasi yang ditetapkan bagi bangunan tersebut kecuali untuk rumah tempat tinggal.

(4) IMB hanya berlaku pada nama yang tercantum dalam keputusan IMB. (5) Perubahan nama pada surat keptusan IMB dikenakan bea balik nama.

(6) IMB bagi bangunan sementara dapat diberikan dengan mencantumkan syarat dalam IMB tersebut bahwa bangunan yang bersangkutan akan dibongkar kembali setelah lewat jangka waktu yang telah ditetapkan dalam IMB;

(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (6) adalah paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 14

(1) Keputusan IMB dapat ditunda jika terdapat alasan:

a. SKPD pengelola izin memerlukan waktu tambahan untuk menilai persyaratan, khususnya persyaratan bangunan dan pertimbangan nilai bangunan yang direncanankan;

b.pemerintah daerah sedang merencanakan tata ruang kota atau rencana detil tata ruang kota;

c. pemberian kesempatan kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan permohonan IMB yang diajukan.

(2) Keputusan penundaan IMB disampaikan kepada pemohon oleh SKPD pengelola izin dengan menyebutkan alasan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penundaan keputusan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sekali dan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, sejak diterimanya permohonan IMB oleh SKPD Pengelola Izin.

(18)

18 Pasal 15

(1) Permohonan IMB ditolak apabila:

a. bangunan yang akan didirikan dinilai tidak memenuhi persyaratan adminsitrasi dan/atau persyaratan teknis bangunan;

b. bangunan yang akan didirikan di atas lokasi/tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan RTRW Kota, rencana induk kota (RIK), rencana bagian wilayah kota (RBWK), RDTRKP, dan/atau RTBL;

c. bangunan yang akan didirikan bertentangan dengan kepentingan dan ketertiban umum;

d. bangunan yang akan didirikan mengganggu atau merusak lingkungan di sekitarnya;

e. bangunan yang akan didirikan mengganggu lalu lintas, aliran air, cahaya atau bangunan yang telah ada sebelumnya;

f. sifat dan fungsi bangunan tidak sesuai dengan lingkungan sekitarnya; g. tanah bangunan tidak mengizinkan untuk kesehatan (hygineish);

h. bangunan yang akan didirikan menyebabkan terganggunya jalan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah;

i. adanya keberatan dari pihak ketiga dan dibenarkan oleh pemerintah darah; j. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

(2) Penolakan IMB ditetapkan dengan Keputusan Walikota atau pejabat yang ditunjuk dengan menyebut alasan penolakan.

(3) Keputusan penolakan IMB disampaikan kepada kepada pemohon melalui Kepala SKPD pengelola izin.

Pasal 16 (1) IMB yang telah diberikan dapat dicabut apabila:

a. IMB yang diberikan kemudian diketahui diperoleh dengan didasarkan pada persyarakatan atau keterangan yang tidak benar atau palsu;

b. pekerjaan mendirikan bangunan berhenti selama 6 (enam) bulan dan tidak akan melanjutkan lagi;

c. pembangunan yang dilakukan ternyata menyimpang dari rencana dan syarat-sayrat yang ditetapkan;

d. pemilik IMB tidak melakanakan pekerjaan mendirikan bangunan setelah 6 (enam) bulan sejak IMB diberikan tanpa memberikan penjelasan.

(2) Pencabutan IMB ditetapkan dengan Keputusan Walikota dengan menyebut alasan pencabutan.

(3) Keputusan pencabutan IMB disampaikan kepada pemegang IMB melalui Kepala SKPD pengelola izin.

(19)

19 (4) Sebelum pencabutan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kepala SKPD pengelola izin memberi peringatan tertulis kepada pemegang IMB dan kepada pemagang IMB diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan.

(5) Ketentuan lebih lanjut menganai proses permohonan IMB dan pencabutan IMB diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Ketiga

Persyaratan Tata Bangunan Pasal 17

Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi: a. persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung;

b. persyaratan arsitektur bangunan gedung, dan c. persyaratan pengendalian dampak lingkungan.

Paragraf 1

Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung Pasal 18

(1) Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam RTRW Kota RDTRKP, dan/atau RTBL, atau peruntukan lokasi yang ditetapkan oleh Walikota.

(2) Setiap mendirikan bangunan gedung di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.

(3) Dalam hal terjadi perubahan RTRW Kota, RDTRKP dan/atau RTBL yang mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang baru harus disesuaikan.

(4) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) tahun, kecuali untuk rumah tinggal tunggal paling lama 10 (sepuluh) tahun, sejak pemberitahuan penetapan RTRW oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung.

(5) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Walikota memberikan penggantian yang layak kepada pemilik bangunan gedung sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

(1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melebihi maksimal KDB dan KLB yang ditetapkan dalam RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.

(2) Besarnya KDB bangunan ababila tidak ditentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. bangunan gedung rumah tinggal, perdangan dan jasa maksimal 80%; b. bangunan gedung pelayanan umum maksimal 70%;

(20)

20 c. bangunan industri dan bangunan komplek maksimal 60%;

d. bangunan gedung perkantoran maksimal 75%.

(3) Besarnya KLB bangunan ababila tidak ditentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 4 (empat) lantai.

Pasal 20

(1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas bangunan.

(2) Ketentuan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam bentuk:

a. garis sempadan bangunan gedung dengan jalan, tepi sungai, waduk. mata air dan jaringan tegangan tinggi; dan

b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, jarak antar bangunan gedung, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan, yang diberlakukan perkaveling, perpersil, dan/atau per kawasan.

Pasal 21

(1) Garis sempadan bangunan gedung dengan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah sebagai berikut:

a. untuk ruang milik jalan cukup luas letak garis sempadan pondasi bangunan terluar adalah 10 (sepuluh) meter dari ruang milik jalan;

b. dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, garis sempadan pondasi bangunan terluar adalah 5 (lima) meter dari ruang milik jalan;

c. ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:

1) jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter; 2) jalan raya 25 (dua puluh lima) meter; 3) jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan 4) jalan kecil 11 (sebelas) meter;

d. ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:

1) jalan arteri primer 15 (lima belas) meter dari pinggir badan jalan; 2) jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter dari pinggir badan jalan; 3) jalan lokal primer 7 (tujuh) meter dari pinggir badan jalan;

4) jalan lingkungan primer 5 (lima) meter dari pinggir badan jalan; 5) jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter dari pinggir badan jalan; 6) jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter dari pinggir badan jalan; 7) jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter dari pinggir badan jalan;

8) jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter dari pinggir badan jalan; dan 9) jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.

(21)

21 1) garis sempadan pagar terluar yang berbatasan dengan jalan ditentukan

berhimpitan dengan batas terluar ruang milik jalan;

2) garis sempadan pagar terluar di sudut persimpangan jalan ditentukan dengan seorangan/lekukan atas dasar fungsi dan peranan jalan yang berhimpitan dengan batas terluar ruang milik jalan;

3) tinggi pagar yang berbatasan dengan jalan ditentukan maksimum 1,50 meter dari permukaan halaman trotoar dengan bentuk tembus pandang dan 2,5 (dua setengah) meter untuk pagar samping;

4) Untuk bangunan berbentuk rumah toko (Ruko) tidak diperbolehkan diberi pagar.

f. Untuk bangunan gedung perdagangan dan jasa (Ruko) yang berada dalam pusat perniagaan garis sempandannya adalah batas terluar ruang milik jalan (2) Garis sempadan bangunan gedung dengan jaringan tegangan tinggi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah 50 (lima puluh) meter dari menara jaringan tegangan tinggi.

(3) Garis sempadan jarak antar bangunan gedung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah pondasi bangunan terluar pada bagian s am ping yan g berbat as an dengan tet angga minimal 1,5 (satu setengah) meter dari batas kavling, atau atas dasar kesepakatan dengan tetangga yang sating berbatasan; (4) Garis sempadan bangunan gedung dengan tepi sungai atau waduk dan mata air

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah sebagai berikut: a. Garis sempadan sungai bertanggul:

1) di luar kawasan perkotaan sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;

2) di kawasan perkotaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;

b. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan:

1) Sungai bersar sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari pinggir sungai; 2) Sungai kecil sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari pinggir

sungai;

d. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di kawasan perkotaan:

1) Sungai yang mempunyai kedalaman 3 (tiga) meter garis sempadan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dari pinggir sungai pada waktu ditetapkan;

2) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter samai dengan 20 (dau puluh) meter garis sempadan sekurang-kurangnya 20 (sepuluh) meter dari pinggir sungai pada waktu ditetapkan;

3) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 (dau puluh) meter garis sempadan sekurang-kurangnya 30 (sepuluh) meter dari pinggir sungai pada waktu ditetapkan.

(22)

22 danau/waduk;

h. Garis sempadan mata air sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter dari sumber mata air.

i. Besarnya garis sempadan sungai, danau, waduk dan mata air selain yang diatur pada huruf a sampai dengan g ditetapkan oleh Walikota setelah mendengar pertimbangan Tim Ahli.

(5) Ketentuan mengenai kalasifikasi jalan dan ukuruan sungai ditetapkan dengan peraturan Walikota.

Pasal 22

(1) Jarak antar bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah sebagai berikut:

a. Jarak antara masa/blok bangunan satu lantai yang satu dengan lainnya dalam satu kavling atau antara kavling minimum adalah 4 meter.

b. Setiap bangunan umum harus mempunyai jarak masa blok bangunan dengan bangunan di sekitarnya sekurang-kurangnya 6 (enam) meter dan 3 (tiga) meter dengan batas kavling.

c. Untuk bangunan bertingkat, setiap kenaikan satu lantai jarak antara masa/blok bangunan yang satu dengan yang lainnya ditambah dengan 0,5 meter.

d. Tras/balkon tidak dibenarkan diberi dinding sebagai ruangan tertutup.

e. Balkon bangunan tidak dibenarkan mengarah atau menghadap ke kapling tetangga yang di samping.

f. Garis terluar balkon bangunan tidak dibenarkan melewati batas pekarangan yang berbatasan dengan tetangga.

g. Garis terluar teritis (oversteck) yang menghadap ke arah tetangga tidak dibenarkan melewati batas pekarangan yang berbatasan dengan tetangga. h. Apabila garis sempadan bangunan ditetapkan berhimpit dengan garis sempadan

pagar cucuran atas teritis (oversteck) harus diberi talang dan pipa dan disalurkan sampai ke tanah.

i. Lubang angin (Ventilasi) jendela dilarang menempel pada dindidng yang berbatasan langsung dengan tetangga.

(2) Setiap blok bangunan yang didirikan pada jalan padat penduduk tiap 10 (sepuluh) pintu bangunan diberikan jalan arah belakang toko dengan ukuran lebar 4 (empat) meter guna mempermudah pengamanan terhadap bahaya kebakaran.

(3) Jarak bangunan gedung pasar moderen (Super Market) paling dekat 1 satu) kilo meter dari bangunan pasar tradisional.

(23)

23 Paragraf 2

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 23

(1) Penampilan bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur, budaya daerah dan lingkungan yang ada di sekitarnya.

(2) Penampilan bangunan gedung di kawasan cagar budaya, harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian.

(3) Penampilan bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan gedung yang dilestarikan, harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah estetikabentuk dan karakteristik dari arsitektur bangunan gedung yang dilestarikan. (4) Buapati dapat menetapkan kaidah-kaidah arsitektur tertentu pada bangunan gedung

untuk suatu kawasan setelah mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung, dan mempertimbangkan pendapat publik.

(5) Setiap bangunan gedung milik pemerintah daerah harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur Rumah Adat Kerinci.

Pasal 24

(1) Tata ruang dalam bangunan gedung harus mempertimbangkan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan gedung.

(2) Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efisiensi dan efektivitas tata ruang-dalam.

(3) Pertimbangan arsitektur bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan tata ruang-dalam terhadap kaidah-kaidah arsitektur bangunan gedung secara keseluruhan.

(4) Pertimbangan keandalan bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan tata ruang-dalam.

Pasal 25

(1) Bangunan gedung harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.

(2) Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung.

(3) Persyaratan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak ditentukan dalam RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL untuk klasifikasi dan lokasi tertentu ditentukan KDH minimum 30%.

(24)

24 Paragraf 3

Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan Pasal 26

(1) Setiap mendirikan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting, harus didahului dengan menyertakan analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. (2) Dalam hal dampak terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diselesaikan/diatasi/dikelola dengan teknologi, maka cukup dilakukan dengan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4

Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Pasal 27

(1) Persyaratan tata bangunan untuk satu kawasan atau lebih ditetapkan dalam RTBL dengan berpedoman pada RTRW Kota dan/atau RDTRKP.

(2) RTBL memuat materi pokok ketentuan: a. program bangunan dan lingkungan; b. rencana umum dan panduan rancangan; c. rencana investasi;

d. ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan. Pasal 28

(1) RTBL disusun oleh SKPD yang bertanggung jawab di bidang tata bangunan dan/atau SKPD yang bertanggung jawab di bidang tata ruang berkoordinasi dengan SKPD terkait dan melibatkan partisipasi masyarakat.

(2) Swasta atau masyarakat dapat menyusun RTBL atas dasar kesepakatan sendiri dengan persetujuan Dinas Pekerjaan Uuum .

(3) Penyusunan RTBL didasarkan pada pola penataan bangunan gedung dan lingkungan yang meliputi perbaikan, pengembangan kembali, pembangunan baru, dan/atau pelestarian untuk:

a. kawasan terbangun;

b. kawasan yang dilindungi dan dilestarikan;

c. kawasan baru yang potensial berkembang; dan/atau d. kawasan yang bersifat campuran.

(4) Penyusunan RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.

(5) RTBL ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

(25)

25 (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai teta cara penyusunan RTBL diatur dengan

Peraturan Walikota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri.

Paragraf 5

Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum

Pasal 29

(1) Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedungnya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari SKPD yang berwenang.

(2) Pembangunan bangunan gedung di bawah tanah yang melintasi prasarana dan/atau sarana umum sebagaimana dalam dimaksud pada ayat (1) harus:

a. sesuai dengan RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL; b. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;

c. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawah tanah; d. memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan gedung;

e. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan gedung; dan

f. mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

(2) Pembangunan bangunan gedung di bawah dan/atau di atas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:

a. sesuai dengan RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL atau peruntukan kawasan yang ditentukan oleh Walikota;

b. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan; c. tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan; d. tidak menimbulkan pencemaran; dan

e. telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung.

(3) Pembangunan bangunan gedung di atas prasarana dan/atau sarana umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:

a. sesuai dengan RTRW Kota, RDTRKP, dan/atau RTBL atau peruntukan kawasan yang ditentukan oleh Walikota;

b. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya;

c. tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya; dan

d. memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan sesuai fungsi bangunan gedung.

(4) IMB untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain harus memenuhi ketentuan pada ayat (2), (3) wajib mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.

(26)

26 (5) Ketentuan lebih lanjut tentang pembangunan bangunan gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana umum mengikuti standar teknis yang berlaku.

Bagian Keempat

Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung Paragraf 1

Umum Pasal 30

Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

Paragraf 1

Persyaratan Keselamatan Pasal 31

(1) Setiap bangunan gedung, strukturnya harus direncanakan kuat/kokoh, dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan kelayanan

(serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan

mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.

(2) Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa dan angin.

(3) Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua unsur struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.

(4) Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara daktail sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan gedung menyelamatkan diri.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebanan, dan perhitungan strukturnya mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(6) Untuk menjamin ketahanan terhadap gempa bumi setiap bangunan gedung harus dibuat atau direncanakan mengikuti pedoman teknis bangunan tahan gempa. (7) Pedoman teknis bangunan tahan gempa sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

terlampir dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 32

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, harus dilengkapi dengan sistem penyelamatan, pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran dengan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif.

(27)

27 (2) Penerapan sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada fungsi/klasifikasi risiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.

(3) Penerapan sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.

(4) Setiap lingkungan bangunan umum yang meliputi bangunan jasa dan perdagangan, industri dan pergudangan harus menyediakan jalan masuk yang cukup untuk kendaraan pemadam kebaran.

(5) Setiap bangunan pelayanan umum harus dilengkapi dengan petunjuk: a. cara pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran;

b. cara menyelamatkan dari bahaya kebakaran; c. arah jalan keluar tiba tedadi bahaya kebakaran.

(6) Untuk terselenggaranya manajemen sistem pengamanan kebakaran s etiap bangunan gedung bangunan umum dengan penghuni minimal 500 orang, atau yang memiliki luas lantai minimal 5.000 m², dan/atau mempunyai ketinggian lebih dari 4 lantai dan/atau Bangunan industri dengan jumlah penghuni minimal 500 orang, atau yang memiliki luas lantai minimal 5.000 m², atau luas site/areal lebih dari 5.000 m², dan/atau terdapat bahan berbahaya yang mudah terbakar wajib memiliki unit manajemen pengamanan kebakaran.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif serta penerapan manajemen pengamanan kebakaran mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 33

(1) Setiap bangunan gedung yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk, ketinggian, dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir harus dilengkapi dengan instalasi penangkal petir.

(2) Sistem penangkal petir yang dirancang dan dipasang harus dapat mengurangi secara nyata risiko kerusakan yang disebabkan sambaran petir terhadap bangunan gedung dan peralatan yang diproteksinya, serta melindungi manusia di dalamnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, pemeliharaan

instalasi sistem penangkal petir mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 34

(1) Setiap bangunan gedung yang dilengkapi dengan instalasi listrik termasuk sumber daya listriknya harus dijamin aman, andal, dan akrab lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, pemeriksaan dan pemeliharaan instalasi listrik mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(28)

28 Pasal 35

(1) Setiap bangunan gedung untuk kepentingan umum harus dilengkapi dengan sistem pengamanan yang memadai untuk mencegah terancamnya keselamatan penghuni dan harta benda akibat bencana bahan peledak.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, pemeliharaan instalasi sistem pengamanan mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Paragraf 2 Persyaratan Kesehatan

Pasal 36

Untuk memenuhi persyaratan kesehatan setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung.

Pasal 37

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem penghawaan, setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.

(2) Bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan kesehatan khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas, dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.

(3) Ventilasi alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela, sarana lain yang dapat dibuka dan/atau dapat berasal dari ruangan yang bersebelahan untuk memberikan sirkulasi udara yang sehat.

(4) Ventilasi mekanik/buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disediakan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 38

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan, setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.

(2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami. (3) Pencahayaan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus optimal,

disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.

(29)

29 (4) Pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi yang digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan. (5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dipasang pada bangunan gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.

(6) Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan

pemeliharaan sistem pencahayaan pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 39

Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.

Pasal 40

(1) Sistem air bersih harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan sumber air bersih dan sistem distribusinya.

(2) Sumber air bersih dapat diperoleh dari sumber air PDAM, air isi ulang, air tanah, air permukaan, dan air hujan.

(3) Perencanaan sistem distribusi air bersih dalam bangunan gedung harus memenuhi debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem air bersih pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 41

(1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.

(2) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah rumah tangga disalurkan ke dalam saluran umum melalui pipa tertutup.

(3) Dalam hal saluran umum belum tersedia sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah rumah tangga disalurkan ke sumur resapan.

(4) Air kotor dan/atau air limbah dari bangunan gedung umum yang dapat menimbulkan pencemaran harus dolah sebelum dibudang ke saluran umum atau sumur resapan.

Gambar

TABEL TERIF  RETRIBUSI  B A N G U N A N   G E D U N G   R U M A H   T I N G G A L
TABEL TERIF  RETRIBUSI  B A N G U N A N   G E D U N G   P E R D A G A N G A N         D A N   J A S A
TABEL TERIF  RETRIBUSI  B A N G U N A N   G E D U N G   P E R G U D A N G A N   Luas Bangunan (m 2 )       (LB) m 2 Besarnya Tarif (Rp)  0   - 100   27 .500/ m 2 101  - 500    30.000/ m 2 501   - 1000    32 .500/ m 2 Lebih dari 1001      35 .000/ m 2
TABEL TERIF  RETRIBUSI  B A N G U N A N   G E D U N G   PERKANTORAN  Luas Bangunan (m 2 )       (LB) m 2 Besarnya Tarif (Rp)  0   - 100   25.000/ m 2 101  - 500    27.500/ m 2 501   - 1000    30.000/ m 2 Lebih dari 1001      32.500/ m 2 P a r a g r a f   8
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai contoh, suatu persekutuan denagn 3 pemilik gagal setelah terjadi hutang yang sangat tinggi dan 2 orang tidak mempunyai harta, kreditur dapat menagih

diberlakukanlah kembali UU lama Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dinamika regulasi perkoperasian di Indonesia direspon dengan sikap pro-kontra, karena

ini tercermin dalam Peta Zona Keren- tanan Gerakan Tanah Daerah Majaleng- ka dan Sekitarnya (PVMBG 2003), di- mana kawasan yang mempunyai tingkat kerentanan menengah hingga

Dalam penggunaannya, buku ajar tersebut juga dapat menarik minat dan memotivasi mahasiswa serta memberikan pengaruh positif dalam menumbuhkembangkan keterampilan ataupun

Kolom kiri dari Tabel 16 memuat negara-negara yang usia minimum kawin adalah rendah, sehingga mengambil usia pendidikan anak perempuan. Juga tergambar perbedaan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa akurasi Sistem Pendukung Keputusan berdasarkan 60 data dengan 7 parameter yang diuji adalah 90%, terbukti lebih akurat dibandingkan

untuk pengirim 3928218: Surat dukungan dan jaminan purna jual adalah salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam dokumen pengadaan, sehingga harus dimasukkan dalam

Output dari Rangkaian Switching unit ini akan dijadikan input untuk mikro sebagai pembaritahuan bahwa mesin On dan kertas yang dicounter adalah produksi mesin yang