MANAJEMEN KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG
MENJALANI PERKAWINAN CAMPURAN
(Studi Fenomenologi pada Pasangan Perkawinan Campuran Wanita Jawa
dengan Pria Eropa)
Nur Laili Oktafiani nurlailioktaf@gmail.com
Amir Hasan Ramli Yunita Kurniawati
Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe style of conflict management on interracial couples. Conflict management is the process to get compatibility while faced the conflict. This study used a qualitative methodology and phenomenological approach by Moustakas using three interracial marriages couples with Java-European ethnics as subjects. The technique of collecting data were interviews, and observation. The results of this study indicate that couples of Javanese women and Dutch men use competitive, avoiding, and compromise in managing conflict, whereas one couple of Javanese woman and French man more use avoidance and collaboration while managing conflict between them.
Keywords : management, conflict, conflict management, interracial marriage
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen konflik yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani perkawinan campuran sehingga para pasangan perkawinan campuran dapat mempertahankan perkawinannya sampai dengan saat ini. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan metode fenomenologi Moustakas yang melibatkan tiga pasang subyek pelaku perkawinan campuran dengan latar belakang etnis Jawa-Eropa. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan dua subyek sebagai pasangan wanita Jawa dan pria Belanda menggunakan gaya manajemen konflik kompetitif, menghindar, dan kompromi dalam mengelola konflik, sedangkan satu subyek yang merupakan pasangan dengan etnis Jawa-Perancis lebih banyak menggunakan perpaduan antara gaya menghindar dan kolaborasi dalam penyelesaian konflik diantara mereka.
LATAR BELAKANG
Globalisasi dan perkembangan teknologi telah membantu manusia untuk lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda (Liu, 2012). Seiring dengan globalisasi dan perkembangan teknologi tersebut, kemudian menciptakan kemudahan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Perbedaan jarak dan waktu sudah bukan menjadi kendala yang mempersempit interaksi antar warga negara. Hal ini dapat mempengaruhi individu untuk menjalin kegiatan perekonomian, politik dan kebudayaan serta dapat menjalin suatu ikatan yang berujung pada perkawinan antar warga negara (Liu, 2012).
Perkawinan antar warga negara yang kemudian disebut sebagai perkawinan campuran
(interracial marriage), merupakan perkawinan yang dilatarbelakangi oleh berbagai
perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan. Menurut Pasal 57 UU 1/1974 (Wiranata, 2013) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah:
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan, dimana salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Perkawinan campuran saat ini juga sudah menjadi fenomena yang banyak terjadi di masyarakat Indonesia (Sihombing & Yusuf, 2013). Hal ini dapat dilihat berdasarkan survei
online yang dilakukan Indo-MC pada tahun 2002 dari 574 responden, tercatat 547
diantaranya adalah perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA) (Effendi, 2010). Menurut catatan dari organisasi yang mengatasi permasalahan perkawinan antar warga negara, yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2009, menyebutkan bahwa pada saat ini terdapat lebih dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan (Sihombing & Yusuf, 2013).
Pada pasangan yang menjalani perkawinan campuran, tentunya akan banyak hal baru yang akan ditemukan dan ditentukan oleh individu pada diri pasangannya (Salkind, 2006). Hal-hal tersebut tidak lagi menyangkut masalah tentang individu masing-masing, akan tetapi menyangkut satu keluarga. Dengan terbentuknya keluarga, tentu terdapat beberapa adaptasi sistem sosial dan sistem budaya yang berbeda, begitu pula dengan identitas dan stereotipe
yang melekat pada diri masing-masing individu.
individu yang berasal dari Jawa, ia akan diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan, menjaga etika berbicara baik secara konten isi, dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Seseorang dengan budaya Jawa juga dikenal dengan seseorang yang sangat menjunjung. Sedangkan individu yang berasal dari etnis Eropa, cenderung mengungkapkan segala sesuatunya secara langsung dan spesifik meskipun mereka juga tetap berdasarkan pada susunan etika yang mereka miliki.
Pada perkawinan campuran yang terjadi di antara individu yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda, tentunya setiap pasangan memiliki dinamika unik dan tantangan yang akan mereka jalani. Penelitian terdahulu telah menemukan adanya kompleksitas di dalam perkawinan campuran bahwa di dalam model perkawinan tersebut terdapat beberapa aturan, nilai yang berbeda, kebiasaan, pandangan, dan cara yang berbeda untuk menghubungkan satu sama lain, serta cara yang berbeda untuk menyatukan perbedaan yang ada (Renalds, 2011). Perbedaan dalam beberapa hal tersebut lah yang kemudian rentan menjadi penyebab munculnya konflik dalam perkawinan campuran.
Ting-Toomey (Liu, 2012) mendefinisikan konflik sebagai persepsi yang bertentangan mengenai nilai, ekspektasi, proses dan hasil di antara dua pihak atau lebih mengenai isu yang sama atau berkaitan. Konflik dapat mempengaruhi beberapa tipe hubungan yang telah terbangun. Termasuk di antaranya hubungan perkawinan. Konflik di dalam hubungan perkawinan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertentangan, kebencian, argumen, dan ketegangan. Hal tersebut dapat berpengaruh pada perbaikan hubungan jika dapat ditangani dengan baik, tetapi dapat memperburuk hubungan jika konflik tidak dikelola dengan baik. Pernyataan tersebut sesuai dengan bukti empiris bahwa konflik dapat terjadi baik dalam pernikahan yang harmonis maupun tidak harmonis, namun baik buruknya pengelolaan konflik tergantung pada kedua belah pihak (suami dan istri) (Dildar, Sitwat, & Yasin, 2013).
Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting bagi pasangan yang menjalani perkawinan campuran untuk memahami kapan dan bagaimana konflik muncul, serta bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan sikap dan perilaku, sehingga pasangan perkawinan campuran dapat belajar untuk mengelola konflik dengan baik (Kreider, 2000). Jika konflik dikelola dengan baik dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang sedang mengalami konflik, maka suatu hubungan akan menjadi baik pula. Tetapi jika konflik tidak dikelola dengan baik, maka suatu hubungan akan semakin memburuk. Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Maka dari itu, pasangan yang menjalani perkawinan campuran perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik.
Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik yang ada. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).
Berangkat dari banyaknya fenomena perkawinan campuran yang cenderung berpotensi menimbulkan konflik, mendorong peneliti untuk memutuskan mengambil topik mengenai pengelolaan konflik pada perkawinan campuran dalam penelitian ini. Perkawinan campuran adalah sebuah fenomena yang unik dibandingkan dengan perkawinan-perkawinan pada umumnya, karena di dalamnya banyak sekali terdapat perbedaan. Setiap pasangan perkawinan campuran merupakan dua individu dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dari konflik-konflik yang bermunculan pada pasangan yang menjalani perkawinan campuran, mulai dari permalasahan latar belakang budaya, bahasa, peran gender, dan aspek lain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tentunya membutuhkan manajemen konflik untuk memelihara dan mempertahankan hubungan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian adalah bagaimanakah manajemen konflik yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani perkawinan campuran?
LANDASAN TEORI
berkewarganegaraan Indonesia. Artinya, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga negara Asing (Wiranata, 2013).
Pruitt dan Rubin (Pruitt & Rubin, 2004) mendefinisikan konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Esere (Esere, 2003) menjelaskan bahwa konflik perkawinan yaitu perbedaan persepsi dan harapan-harapan yang terjadi pada pasangan suami istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan.
Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut dengan manajemen konflik (Byadgi, 2011). Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah mempersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.
Thomas dan Killman (dalam Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan, antara lain competitive (kompetitif), collaboration (kerjasama),
compromising (kompromi), avoiding (menghindar), accommodation (akomodasi).
Competitive (kompetitif) merupakan perilaku yang asertif dan tidak kooperatif yang
terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu. Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya dengan orang lain. Individu saling melawan dengan memperlihatkan keunggulan masing-masing. Collaboration (kerjasama) merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan untuk mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi individu, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya pengelolaan konflik dengan menggunakan collaboration memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Compromising (kompromi) merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana
menyelesaikan konflik dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak yang bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik antara kedua belah pihak. Avoiding (menghindar) memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan. Accommodation (akomodasi) merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini, ia akan berusaha untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
C. Geertz (dalam Magnis-Suseno, 1984), memberikan pokok-pokok pikiran bahwa masyarakat Jawa memiliki ciri-ciri yang dapat dirumuskan sebagai berikut Prinsip Kerukunan dan prinsip hormat. Dalam hubungan perkawinan pada budaya Jawa, suami dan istri harus menunjukkan kasih sayang dan cinta di antara satu sama lain. Selain itu, istri juga harus menunjukkan rasa hormat kepada suami, karena suami dianggap lebih tua dari istri. Namun, saat menjalani kehidupan berumah tangga, peranan istri lebih kuat daripada suami.
Besamusca & Verheul, (2010) memberikan gambaran bahwa Belanda adalah negara demokarasi yang memiliki masyarakat yang toleran dan berpikiran terbuka. Dalam berkomunikasi, orang Belanda terbiasa untuk berbicara terus terang, secara langsung dan spesifik. Meskipun perempuan dan laki-laki memiliki status yang sama di depan hukum dan kecenderungan menuju kesetaraan gender telah terlihat, perempuan dan laki-laki masih menempati fungsi yang berbeda dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Belanda. Otoritas utama dalam rumah tangga umumnya laki-laki, dimana laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga.
Hargreaves (2007) menjelaskan bahwa orang Perancis terkenal memiliki sikap santai dalam menjalani hidup. Dalam lingkup keluarga, meskipun di Perancis telah mengambil
METODE
Partisipan dan Desain Penelitian
Pada penelitian ini, subyek penelitian berjumlah 6 orang, yang merupakan 3 pasangan suami istri pelaku perkawinan campuran yang terdiri dari wanita Jawa dan pria Eropa. Pemilihan subyek penelitian berdasarkan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara sengaja dengan cara menentukan sendiri berdasarkan pertimbangan tertentu (Idrus, 2009). Kriteria yang digunakan untuk menentukan subyek antara lain: pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan dengan latar belakang budaya yang berbeda, yaitu istri dengan budaya Jawa dan pria dengan budaya Eropa; pernah mengalami konflik perkawinan dalam hubungan rumah tangga; usia perkawinan minimal 2 tahun; dan menetap dalam satu rumah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Herdiansyah, 2010). Model fenomenologi dipilih karena pandangan fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu (Suyanto & Sutinah, 2005).
Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini, data penelitian yang diperoleh melalui sumber data primer dan data sekunder. Data primer dan sekunder diperoleh melalui wawancara dan observasi. Sedangkan untuk teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data Moustakas (1994). Langkah-langkah analisis data menurut Moustakas (1994) tersebut antara lain mendata setiap informasi dan pernyataan (horizonalizing the data and statement), kedua adalah struktur tematik (thematic potra yal), kemudian yang ketiga adalah deskripsi tekstural (textural
description), yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu deskripsi tekstural individu (individual
textural description) dan deskripsi tekstural gabungan (composite textural decription).
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan dalam desain penelitian kualitatif, dengan prosedur sebagai berikut, pertama yaitu menentukan fokus penelitian, kemudian dilanjutkan dengan mencari subyek yang sesuai dengan fokus penelitian. Setelah subyek telah didapatkan, maka tahapan selanjutnya yaitu pengumpulan data. Setelah data terkumpul maka data pun segera diolah dan dianalisis menggunakan teknik analisis data Moustakas (1994) sehingga data bisa segera disajikan.
HASIL
Hasil Analisis Data
Berdasarkan analisis menggunakan analisis data fenomenologi Moustakas diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Penyebab konflik dalam kehidupan pasangan ketiga pasangan perkawinan campuran dalam penelitian ini biasanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang mereka miliki, yaitu perbedaan karakter, perbedaan pendapat, perbedaan prinsip, perbedaan kepribadian, perbedaan dalam pengunaan bahasa yang terkadang menimbulkan kesalahpahaman, permasalahan anak, hingga perselingkuhan. Proses konflik yang terjadi yaitu berawal dari sebuah pembicaraan, yang kemudian menimbulkan perbedaan pendapat sehingga mereka terlibat dalam perdebatan, dan ketika perdebatan semakin panjang, maka mereka akan mengambil sikap yaitu dengan salah satu pihak menghindar terlebih dahulu sampai keduanya tenang, sampai akhirnya mereka akan mencoba untuk mendiskusikan masalah yang baru saja menimbulkan konflik dengan kondisi emosi yang lebih baik.
3. Hasil dari manajemen konflik yang dilakukan oleh ketiga pasangan perkawinan campuran dalam penelitian ini yaitu keputusan untuk tetap melanjutkan perkawinan mereka dan saling bekerjasama untuk mengharmoniskan kembali hubungan mereka dengan melakukan aktivitas dan menghabiskan waktu bersama.
DISKUSI
pernah mengalami konflik yang disebabkan karena perselingkuhan, dan hal tersebut dilakukan oleh keduanya.
Dalam menghadapi konflik, subyek 1 yang merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Belanda yang telah menikah selama 23 tahun ini memilih untuk menghadapi masalah terlebih dahulu, kemudian ketika konflik dirasa semakin panjang, mereka akan mendiamkan masalah sampai kedua belah pihak merasa tenang. Pihak istri merupakan pihak yang lebih sering menghindar saat menyadari konflik mulai bertambah panjang. Menurut klasifikasi manajemen konflik yang disampaikan oleh Thomas dan Killman (Byadgi, 2011), gaya yang dipakai oleh subyek 1 termasuk dalam taktik yang bersifat kompetitif (competition), dimana mereka saling mempertahankan pendapat saat menemui perdebatan dimana salah satu pihak berusaha untuk menang, hingga akhirnya salah satu pihak menghindar (avoiding) untuk mengurangi ketegangan, yang kemudian ketika mereka merasa lebih tenang, mereka akan berkompromi (compromise) dengan jalan berbicara, berunding untuk mendapatkan titik temu dari permasalahan yang terjadi.
Pada subyek 2 yang juga merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Belanda yang telah menikah selama 5 tahun ini, dalam menghadapi konflik mereka mengawalinya dengan beradu pendapat dengan saling melawan dan membentak. Setelah keduanya saling melawan dan bersikap agresif, sikap yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak dalam pasangan ini pun berbeda, jika pihak istri memilih untuk terus berbicara, pihak suami lebih memilih untuk menghindar untuk membuat suasana lebih tenang. Mereka pun segera berdiskusi dan membicarakan mengenai masalah yang baru saja mereka perdebatkan guna meredakan konflik yang telah terjadi. Menurut Thomas dan Killman (Byadgi, 2011), gaya manajemen konflik yang digunakan oleh subyek 2 ini termasuk dalam gaya kompetitif (competition), dimana mereka berusaha untuk beradu argumen secara verbal dengan cara yang agresif dan terdapat unsure persaingan untuk memenangkan perdebatan tanpa ada pihak yang mau mengalah, kemudian menghindar (avoiding), dengan meninggalkan tempat terjadinya konflik, yang selanjutnya mereka akan berkompromi (compromise) untuk membicarakan permasalahan yang baru saja dihadapi.
Menurut Thomas dan Killman (Byadgi, 2011), gaya manajemen konflik yang digunakan oleh subyek 3 ini termasuk dalam gaya kolaborasi (colaboration), dimana mereka bekerjasama dengan tujuan untuk mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi individu, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Selain itu model pengelolaan konflik kolaborasi yang digunakan oleh subyek 3 ini dapat berguna sebagai upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang dapat memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Subyek 3 juga terkadang menggunakan gaya menghindar
(avoiding) di saat tidak ada yang mau mengalah di antara mereka dengan mencoba diam dan
menenangkan diri masing-masing, sehingga saat mereka sudah tenang, keduanya bisa melanjutkan pembicaraan dengan kembali memakai gaya kolaborasi.
Dari penjelasan mengenai manajemen konflik yang dilakukan oleh ketiga pasangan perkawinan campuran ini, pada subyek 1 dan 2, pihak istri sebagai wanita Jawa cenderung lebih dominan saat menghadapi konflik, sedangkan pihak suami lebih sering mengalah dan menerima keputusan yang diberikan oleh pihak istri. Sedangkan subyek 3, yang merupakan pasangan wanita Jawa dan pria Perancis, kedua belah pihak saling bekerjasama dan berkomitmen untuk tidak mendominasi suasana ketika terjadi konflik.
Jika dikaitkan dengan latar belakang budaya Jawa dan budaya Eropa, wanita Jawa yang berperan sebagai istri pada subyek 1 dan 2 telah memainkan perannya sesuai dengan karakteristik yang ada pada budaya Jawa, dimana istri memainkan peran yang lebih besar daripada suami. Sedangkan kedua suami, yang merupakan pria dengan etnis Belanda, memilih untuk tidak bekerja dan tidak berperan sebagai pencari nafkah, sehingga hal ini tidak sesuai dengan karakteristik keluarga yang mayoritas ada di Belanda, dimana pihak suami yang berperan sebagai pencari nafkah, dan istri yang berhak dalam mengurusi rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Adyadharnia, R. A. (2012). Manajemen Konflik Rumah Tangga pada Pasangan yang Menikah di Usia Muda. Skripsi. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
Ahmadi, D. H. (2007). P sikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Amalia, R., & Darmawan, N. K. (2013). Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-undang no.6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Besamusca, E., & Verheul, J. (2010). Discovering The Dutch: On Culture and Society of The
Boeree, G. (2006). P ersonality Theories. Yogyakarta: Primasophie.
Breukel, E. (2014). Expatica: Live.Work.Love. (Online). http://www.expatica.com/nl/insider-views/Dutch-society-and-working-culture_101736.html diakses pada tanggal 2 April (2015).
Bungin, B. (2010). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah P enguasaan Model Aplikasi Ed.1. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Pustaka.
Byadgi, S. (2011). Conflict Management and Marital Satisfaction Among Dual Earning Couple. Thesis. (tidak diterbitkan). Dharwad: College of Rural Home Science University of Agricultural Science.
Dampu, D. (2009). Pelaksanaan Perkawinan Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Kota Denpasar Provinsi Bali. Thesis. (tidak diterbitkan). Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Dayakisni, T. (2003). Psikologi Sosial, edisi revisi. Malang: UMM Press.
Dennis, M., & Antonius, C. (2006). Every Culture: The Netherlands. (Online). http://www.everyculture.com/Ma-Ni/The-Netherlands.html diakses pada tanggal 2 April (2015).
DeVito, J. (2007). The Interpersonal Communication (11th Ed.). USA: Pearson Education Inc.
Dildar, S., Sitwat, A., & Yasin, S. (2013). Intimate Enemies: Marital Conflicts and Conflict Resolution Styles in Dissatisfaction Married Couples. Middle-East Journal of Scientific
Research 15 (10).
Dildar, S., Sitwat, A., & Yasin, S. (2013). Intimate Enemies: Marital Conflicts and Conflict Resolution Styles in Dissatisfied Married Couple. Middle-East Journal of Scientific
Research.
Effendi, F. A. (2010). Konflik Pada Perkawinan Campuran Antara Pasangan dengan Latar Belakang Budaya Konteks Tinggi dan Rendah. Skripsi. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
Esere, D. M. (2003). Resolving Conflict in Marriages: A Counsellor's Viewpoint. Ilorin
Journal of Education, 1.
Fenyo, M. D. (2001). Cross-Cultural Marriage; Identity and Choice. Journal of Third World
Gunawan, K. (2011). Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisniss, Vol. 2, No. 2, Oktober 2011 , 216.
Hargreaves, A. G. (2007). Multi-Ethnic France: Immigration, politics, culture and society.
New York: Routledge.
Hurlock, B. (2000). P sikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kreider, R. M. (2000). Interracial Marriage and Marital Instability. Paper: Population
Association of America.
Liliweri, A. (2005). P rasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur. Jogjakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Liu, W. (2012). Conflict Management Styles in Romantic Relationships between Chinese Americans Student. Thesis. (tidak diterbitkan). Florida: University of Miami.
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup
Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Maslow, A. (2006). On Dominance, Self Esteem, and Self Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset.
Moleong, L. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Method. California: Sage Publication, Inc.
Nurcahyati, F. W. (2010). Manajmen Konflik Rumah Tangga. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani.
Papafragos, H. (2008). Perkawinan Antarbangsa: Love and Shock! Jakarta: Penerbit Erlangga.
Pebrianti, W. (2012). Tinjauan Hukum atas Hak dan Status Kewarganegaraan Perempuan dalam Memperoleh Status Kewarganegaraan Indonesia karena Perkawinan Campur.
Bengkoelen Justice Vol.2 No.2 Tahun 2012 .
Pruitt, G., & Rubin, J. (2004). Teori Konflik Sosial (Seri Psikologi Sosial). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raffel, L. (2008). I Hate Conflict!: Seven Steps to Resolving Differences with Anyone in Your
Renalds, T. G. (2011). Communication in Intercultural Marriages: Managing Cultural Differences and Conflict for Marital Satisfaction. Thesis. (tidak diterbitkan). Lynchburg: Department of Communication Liberty University.
Sabon, A. S. (2005). Gambaran Masalah dan Gaya Konflik pada Pernikahan Antarbudaya.
Skripsi .
Sadarjoen, S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan Alternatif
Solusinya. Bandung: Refika Aditama.
Salkind, N. J. (2006). Encyclopedia of Human Development. California: Sage Publication, Inc.
Samovar, Porter, & McDanish. (2010). Communication Between Cultures, 7th ed. Singapore: Cengange Learning.
Sarwono, S. (2006). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Siallagan, G. (2009). Perkawinan Antarbangsa (Studi Kasus: Perkawinan Campur Antara Orang Batak dengan Wisatawan Asing di Samosir). Skripsi. (tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Sihombing, S., & Yusuf, E. A. (2013). Gambaran Pola Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik pada Wanita Indonesia Yang Menikah dengan Pria Asing (Barat). Jurnal
Universitas Sumatera Utara Vol. 2 Nomor 1 Maret 2013.
Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antarpribadi: Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Tubbs, S., & Moss, S. (2005). Human Communication. Singapore: Mc Graw-Hill Inc.
Walker, E. (2005). Interracial Couples: The Impact of Race and Gender on One’s Experience of Discrimination Based on The Race of The Partner. Thesis. (tidak diterbitkan). College Park: Faculty of the Graduate School of the University of Maryland.
Winardi. (1994). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Bandung: CV. Mandarmaju.
Winata, S. Y. (2013). Strategi Manajemen Konflik Interpersonal Pasangan Suami Istri (Pasutri) yang Hamil di Luar Nikah. Jurnal E-Komunikasi Universitas Kristen Petra,
Surabaya Vol.1 No.2 Tahun 2013.
Wiranata, J. (2013). Perlindungan Hukum Anak Akibat Perceraian dan Perkawinan Campuran. Lex Et Societatis, Vol. I/No. 3/Juli/2013.
Zhang, Y., & Hook, J. V. (2009). Marital Dissolution Among Interracial Couples. Journal of