A. Ketentuan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Kata perjanjian merupakan terjemahan dari overeenkomst, yang
merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis). Substansi dari perjanjian
dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling). Kata perbuatan telah dikritik oleh
para ahli hukum dengan alasan kurang memuaskan, tidak lengkap, dan sangat luas.64 Menurut Subekti, suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan
(perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Subekti memberikan rumusan
perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.65
64Kritik tersebut antara lain: (1) Kata “perbuatan pada perumusan tentang perjanjian
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1313 KUH Perdata lebih tepat jika diganti dengan kata “perbuatan hukum/tindakan hukum”, (2) Perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak bukan tindakan satu pihak. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.10-11.
65 Subekti, Op. Cit., hlm.1.
Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan persetujuan
merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Perbedaan pandangan
dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda,
yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subjek hukum,
sedangkan pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal tersebut
menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah
perjanjian tersebut.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan
perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang
lain atau lebih.66 Selain itu, Tan Kamello juga memberikan definisi perjanjian yang menyatakan bahwa, “perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk saling mengikatkan diri mengenai sesuatu objek
dengan tujuan tertentu dan mengakibatkan akibat hukum”.67 Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “.68
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang;
Berdasarkan rumusan perjanjian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur dari perjanjian adalah:
66 Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.1.
67 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung:
Alumni, 2006), hlm.4.
b. Adanya persetujuan diantara para pihak; c. Ada tujuan yang ingin dicapai;
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian; f. Ada bentuk tertentu, bisa berupa lisan atau tertulis.
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah
sebagai berikut:69
1. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual beli.
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi
salah satu pihak saja, misalnya hibah.70
3. Perjanjian khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemde)
Perjanjian atas beban adalah perjanjian
dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUH Perdata. Di luar
perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak
69 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), hlm.66.
70
diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian
ini tidak terbatas, di dalam praktek lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas
kebebasan berkontrak (partij otonomi) yang berlaku di dalam hukum perjanjian.
Salah satu contoh perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan
haknya atas sesuatu kepada pihak lain, sedangkan perjanjian obligatoir adalah
perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada
pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).
5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan. Di dalam
KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi
penyerahan barang, perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian riil. Misalnya,
perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740
KUH Perdata).
6. Perjanjian-perjanjian yang sifatnya istimewa
a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri
dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) sesuai
ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata;
b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para
c. Perjanjian untung-untungan: misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH
Perdata.
d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa
(pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
Menurut Mariam Darus, selain perjanjian tersebut diatas ada pula perjanjian
campuran atau yang disebut dengan contractus sui generis. Perjanjian campuran
adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik
hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan
(jual-beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai
paham, yaitu:
a. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian
khusus diterapkan secara analogi sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus
tetap ada (contractus kombinasi).
b. Paham kedua mengatakan ketentuan yang dipakai adalah
ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
c. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang
diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang
yang berlaku untuk itu (teori combinatie).
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila
a. Adanya kata sepakat;
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
c. Adanya suatu hal tertentu;
d. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif yang harus di penuhi dalam
suatu perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif. Apabila
syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan,
akan tetapi jika tidak terpenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian
tersebut batal demi hukum (perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada).
3. Lahirnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata bahwa, “Tiap-tiap perikatan
dilahirkan, baik karena perjanjian atau dari Undang-undang”. Dengan demikian,
perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari
Undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam
praktik masyarakat, perikatan yang bersumber dari perjanjian begitu mendominasi.71
1. Perikatan semata-mata karena undang-undang, yang terdiri dari :
Suatu perikatan yang bersumber dari Undang-undang dapat dibagi ke dalam
dua kategori sebagai berikut :
a. Perikatan yang menimbulkan kewajiban bagi penghuni pekarangan yang
berdampingan (Pasal 625 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
71
b. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak (Pasal
104 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
2. Perikatan karena Undang-undang tapi melalui perbuatan manusia, yang terdiri
dari:
a. Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechmatige daad (Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata)
b. Perbuatan Menurut Hukum atau Rechmatige daad, terdiri dari :
1) Perwakilan sukarela atau zaakwarneming (Pasal 1354 KUH Perdata)
2) Pembayaran tidak terutang (Pasal 1359 KUH Perdata)
3) Perikatan Wajar atau Naturlijke Verbintennissen (Pasal 1359 ayat (2) KUH
Perdata)
Disamping perikatan yang bersumber dari Undang-undang, terdapat juga perikatan
yang bersumber dari perjanjian. Tapi, para ahli Hukum Perdata pada umumnya
sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata kurang lengkap.72
Berdasarkan sumber-sumber yang tersebut diatas, yang paling penting adalah
perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk
mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yang tidak dilarang oleh
Undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan adanya
kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka
72
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang
subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang
namanya ditentukan oleh Undang-Undang (benoede overeenkomsten) yaitu
sebagaimana yang tercantum di dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Buku III, tetapi berhak untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh undang-undang, dengan
istilah lain disebut juga perjanjian umum (onbenoemde overeenkomsten).73
Perikatan yang bersumber dari perjanjian ini pada prinsipnya mempunyai
kekuatan yang sama dengan perikatan yang bersumber dari Undang-undang. Dasar
hukum dari kekuatan suatu perjanjian adalah Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para
pihak dapat mengatur apapun dalam perjanjian tersebut (catch all), sebatas yang tidak
dilarang oleh Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.74
PPJB merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tunduk pada ketentuan
Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman serta
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9 tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan
Jual Beli sebagai lex specialis, dan jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1320 ayat
(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lex generalis) maka PPJB memenuhi
unsur-unsur sebagai suatu perjanjian, yang dapat menimbulkan perikatan yang
bersumber dari perjanjian. Meskipun PPJB tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang
73 Ibid.
Hukum Perdata, akan tetapi PPJB tersebut sah sepanjang memenuhi ketentuan
sebagai berikut:75
1. Memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian;
2. Tidak dilarang oleh Undang-undang;
3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;
4. Sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian tersebut dapat dibuat secara lisan ataupun tertulis, apabila dibuat
secara tertulis maka perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti apabila
terjadi perselisihan. Suatu perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara
moral komitmen itu harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu komitmen tersebut, tidak
ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan.76
Asas (principle) adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai
dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan
sesuatu hal yang hendak dijelaskan.
Maka
untuk memperkuat kepastian dan jaminan hukum bagi para pihak, akan lebih baik
apabila suatu perjanjian dibuat secara tertulis.
4. Asas-asas dalam Perjanjian
77
75 Ibid., hlm.30.
76 Ibid., hlm.11.
77 Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode
Penelitian Dewasa Ini dalam Menemukan Asas-Asas Hukum, Makalah, Kuliah pada Pembinaan
Tenaga Peneliti Hukum BPHN, Jakarta, 1980, hlm.52. Dikutip dari Abdul Hakim, Pertanggung
Jawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen,
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memperhatikan asas-asas sesuai
dengan ketentuan KUH Perdata sebagai pedoman atau patokan, serta menjadi batas
atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada
akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan
pelaksanaan atau pemenuhannya.78
Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:79 1. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak);
2. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)/ asas kebebasan berkontrak (freedom of contract);
3. Asas kekuatan mengikat; 4. Asas itikad baik;
5. Asas keseimbangan; 6. Asas kepastian hukum; 7. Asas kepatutan;
Berikut akan dijelaskan masing-masing asas diatas:
1. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan asas essensial dari hukum perjanjian.
Sepakat mereka mengikatkan diri telah dapat melahirkan perjanjian. asas ini juga
dinamakan asas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan “adanya” (raison
de’etre, het bestaanwaarde) perjanjian.80
78 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm.14.
79 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hlm.2-3.
80 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005),hlm.109. Asas konsensualisme menentukan bahwa
suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah
segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun
kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.81
Asas konsensualisme ini ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata,
sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditemukan istilah “semua”.
Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya (will), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. asas ini sangat
erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.82 2. Asas Kebebasan Berkontrak
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau asas kebebasan mengadakan
perjanjian, setiap orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang
bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Undang-undang disini adalah Undang-undang yang bersifat
memaksa.83
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem
terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam
KUH Perdata maupun yang belum diatur dalam KUH Perdata atau
peraturan-peraturan lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka maka hukum
perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa
81 Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 250.
82 Abdul Hakim, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas
Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen, Disertasi, Medan, 2013, hlm. 53. Lihat juga Mariam Darus
Badrulzaman dkk, Op. Cit., hlm.82. Dengan istilah “secara sah” pembentuk Undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagi Undang-undang terhadap para pihak. Disini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.
masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian apapun,84 mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengenyampingkan atau tidak mempergunakan
peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata
lain, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku diantara
mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum
diatur diantara mereka.85
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “semua
perjanjian mengikat sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, dapat
disimpulkan lazimnya adagium tersebut menganut asas kebebasan berkontrak yang
berasal dari dunia barat pada saat berkembangnya liberalisme. Meskipun demikian
pencantuman adagium tersebut bertujuan untuk peningkatan kepastian hukum. Dalam
sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan berkontrak yang penting adalah
“semua perjanjian” (perjanjian dari macam apa saja), akan tetapi tidak hanya itu
yakni yang lebih penting lagi adalah bagian “mengikatnya” perjanjian sebagai
Undang-undang.86
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di
dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
84
Asas Konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi, “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op. Cit., hlm. 84.
85 Abdul Hakim, Op. Cit, hlm. 55.
pancaran hak asasi manusia.87 Asas kebebasan berkontrak itu berpangkal pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, sedangkan dalam kenyataannya
seringkali tidaklah demikian. Hal ini mengakibatkan kedudukan pihak yang lemah
tidak dilindungi apabila berada dalam posisi berat sebelah. Pencantuman syarat tidak
boleh berisikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan bagi
sahnya suatu perjanjian adalah sudah merupakan alat pencegah terhadap pihak
lawannya yang lemah. Hal ini dipercayakan kepada hakim untuk menggunakannya,
juga pencantuman ketentuan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaaan (kedudukan) satu pihak terhadap pihak lawannya (yang
lemah) sepanjang mengenai tahap pelaksanaan perjanjian.88 3. Asas Kekuatan Mengikat
Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti
pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan dalam perjanjian
yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah
berlaku seperti berlakunya Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas
pacta sunt servanda ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2)
KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
87 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hlm. 84.
perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak
atau karena alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Perkataan “berlaku sebagai Undang-undang dan tak dapat ditarik kembali”
berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian
tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya. Jadi para
pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Terikatnya para pihak
pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan
yang mengikat para pihak.89 4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goede trow. Asas ini
berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini terdapat
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan “persetujuan-persetujuan
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian
subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini
berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian
itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.
Itikad baik objektif, berarti kepatutan, yang berhubungan dengan pelaksanaan
perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban
haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan.90 5. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian
itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Namun kreditur memikul pula
beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini
bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
6. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai
Undang-undang bagi para pihak.
7. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa,
“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang”. Menurut Mariam Darus
Badrulzaman, asas kepatutan harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran
tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
5. Berakhirnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang mengatur berbagai cara hapusnya perikatan untuk perjanjian dan perikatan yang
lahir dari undang serta cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk
Undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain
untuk menghapuskan suatu perikatan. Hapusnya perikatan yang tersebut dalam Pasal
1381 KUH Perdata adalah sebagai berikut:91 1. Pembayaran
2. Subrogasi
3. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan 4. Pembaharuan utnag (novasi)
5. Kompensasi atau Perjumpaan utang 6. Percampuran utang
7. Pembebasan utang
8. Musnahnya barang yang terutang 9. Kebatalan dan pembatalan perikatan 10. Berlakunya suatu syarat batal 11. Lewat waktu
B. Ketentuan Umum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Perjanjian
Pendahuluan (Voor Overeenkomst)
1. Pengertian Umum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah merupakan perjanjian pendahuluan
yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Permukiman, dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa, “Rumah tunggal,
rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan
dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Pengertian Perjanjian pendahuluan jual
beli tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (1), bahwa perjanjian
pendahuluan jual beli merupakan kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih
dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah
yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian pendahuluan jual beli
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat
No 9 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli.
Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah merupakan perjanjian
pendahuluan yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli atas dasar
kesepakatan sebelum jual beli dilakukan. Perjanjian ini diperlukan untuk
mengamankan kepentingan penjual dan calon pembeli serta meminimalisir sengketa
yang mungkin muncul dikemudian hari. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah
dilakukan sebelum terjadinya peristiwa hukum jual beli (AJB). Dalam tesis ini PPJB
yang dibahas adalah PPJB sebagai perjanjian pendahuluan pada jual beli hak atas
tanah dan bangunan (rumah) pada perumahan Griya S.
PPJB sebagai perjanjian pendahuluan tidak diatur dalam Kitab
undang Hukum Perdata, akan tetapi keberadaannya sesuai dengan ketentuan
Undang-undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman (sebagai lex specialis)
yang mengharuskan dibuatnya perjanjian pendahuluan jual beli apabila objek jual beli
masih dalam proses pembangunan, selanjutnya mengenai perjanjian pendahuluan jual
beli tersebut diatur lebih lanjut dengan adanya Keputusan Menteri Negara Perumahan
dalam PPJB sebagai perjanjian pendahuluan tersebut harus sesuai dengan apa yang di
amanatkan Kemenpera No 9 Tahun 1995.
Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA) mengeluarkan Surat
Keputusan No 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli, yang
dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan para penyelenggara pembangunan
perumahan dan permukiman serta para calon pembeli dari kemungkinan terjadinya
wanprestasi dari para pihak yang terkait, sehingga diperlukan adanya Pedoman
Pengikatan Jual Beli tersebut. Dengan dikeluarkan kemenpera tersebut maka
dimungkinkan adanya suatu pemasaran atau penjualan tanah dan bangunan berupa
rumah (khususnya pada perumahan) sebelum rumah tersebut selesai
pembangunannya.92
Isi dari PPJB adalah pernyataan untuk memberikan sesuatu (misalnya: calon
penjual akan memberikan penyerahan hak milik atas tanah beserta bangunan
diatasnya kepada calon pembeli, jika pembayarannya telah lunas) dan atau melakukan
sesuatu (misalnya: calon pembeli wajib mengangsur pelunasan pembayaran pada
waktu yang telah disepakati) kepada pihak lain yang berkaitan dengan suatu objek
sebelum kepemilikannya berpindah dari penjual kepada pembeli. Disamping itu, isi Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengikatan jual beli yang
dilakukan antara pihak developer dengan pihak calon pembeli.
92
Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hlm. 62. Dikutip melalui Arkie V.Y Tumbelaka, Kajian
dari PPJB dapat pula mengenai tidak melakukan sesuatu, misalnya calon penjual
dilarang untuk menjual tanah tersebut kepada pihak lain.
Sebagai suatu perjanjian pendahuluan, maka terdapat suatu perbuatan hukum
yang terkait dan melekat setelah dibuatnya PPJB, yaitu perbuatan hukum jual beli.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ialah
sebagai berikut:
“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.”
PPJB merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, artinya perjanjian itu
lahir saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai benda (bergerak
maupun tidak bergerak) dan harga walaupun pada saat itu barang belum diserahkan
dan harga belum sepenuhnya dibayar (Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1458 KUH
Perdata).
PPJB dapat digolongkan dalam perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir
adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat untuk mengikatkan diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.93
93 Ibid., hlm.92.
Oleh karena itu, dengan
dibuatnya PPJB saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari
harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (levering),94
Pada umumnya jual beli harus diikuti dengan perbuatan penyerahan, yaitu
penyerahan fisik maupun penyerahan yuridis. Pada dasarnya, dilakukannya
penyerahan tergantung dari objek jual belinya (benda tetap atau benda bergerak).
Dalam jual beli hak atas tanah maupun bangunan berupa rumah diatasnya,
penyerahan fisik tidak selalu dilakukan pada saat (segera setelah) jual beli. Menurut
Boedi Harsono, penyerahan fisik bukan merupakan unsur dari jual beli tanah, tapi
merupakan kewajiban dari penjual. Pendapat ini dikuatkan bahwa objek jual beli
tanah adalah hak atas tanah (bukan tanah). Jadi dengan adanya jual beli, hak atas
tanah sudah beralih. Artinya penyerahan tunai dari objek jual beli itu telah terjadi. yaitu di tandatanganinya akta
jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
95
Pada jual beli hak atas tanah maupun bangunan diatasnya, disamping
penyerahan fisik juga harus dilakukan penyerahan yuridis (juridische levering).
Penyerahan yuridis pada jual beli hak atas tanah dilakukan dengan pembuatan akta
jual belinya pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah). Oleh sebab itu, pada saat dibuatnya PPJB
belum dilakukan penyerahan baik fisik maupun yuridis, karena perjanjian ini masih
merupakan perjanjian pendahuluan sebelum melakukan jual beli. Dari ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa PPJB berbeda dengan perjanjian jual beli. Dimana
94 Ibid.
95
Shinta Christie, Aspek Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Tahapan Jual Beli
Hak Atas Tanah Secara Angsuran, Tesis Magister Kenotariatan, (Jakarta: Universitas Indonesia,
2012), hlm.37. Lihat juga Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan
PPJB merupakan jual beli barang dimana pihak-pihak setuju bahwa hak milik atas
barang akan berpindah kepada pembeli pada waktu yang akan datang.96 Sedangkan perjanjian jual beli adalah jual beli dimana hak milik atas barang seketika berpindah
kepada pembeli.97
96 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, cet 2, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 217.
97 Ibid.
Pada jual beli hak atas tanah dan bangunan (rumah) diatasnya, jual
beli terjadi pada saat penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Pada dasarnya PPJB tunduk pada hukum perikatan, dengan dilakukannya
PPJB, hak atas tanah belum berpindah. Calon penjual dan calon pembeli hanya
membuat kesepakatan yang harus dilakukan oleh calon penjual dan calon pembeli
sebelum jual beli dilakukan, sedangkan perjanjian jual beli hak atas tanah, tunduk
pada hukum tanah nasional.
Penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh
penjual, pembeli dan para saksi, kepemilikan objek yang diperjanjikan secara sah
telah berpindah dari penjual kepada pembeli, sebab jual beli menurut Undang-undang
Pokok Agraria ialah jual beli menurut pengertian Hukum Adat yang bersifat tunai
yaitu penyerahan tanah beserta bangunan diatasnya selama-lamanya oleh penjual
kepada pembeli dan pembayaran harganya oleh pembeli kepada penjual pada saat
yang bersamaan, pada saat itu juga hak ikut beralih. Hal ini juga diatur Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah
Tujuan utama dibuatnya PPJB adalah untuk mengamankan kepentingan calon
penjual dan pembeli sekaligus untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya sengketa
antara para pihak yang terkait. Oleh karena itu, calon penjual dan pembeli
berkewajiban untuk mentaati substansi dari perjanjian yang telah disepakati bersama.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang menjelaskan, bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka isi dari perjanjian tersebut dapat
berupa memberikan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH
Perdata).98
Abdul Hakim menjelaskan, dalam hukum perjanjian di Indonesia (KUH
Perdata) untuk menentukan apakah substansi atau klausula dalam perjanjian
merupakan klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya
terdapat pengaturannya dalam Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata.
Akan tetapi, kewajiban para pihak tidak hanya terbatas pada apa yang
diperjanjikan saja, namun harus memperhatikan apa yang diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan dan ketertiban umum.
99
98 Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
99 Abdul Hakim, Op. Cit., hlm. 206.
Ketentuan
Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan, bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang apabila
dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik untuk
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan
oleh kepatutan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka perjanjian yang dibuat secara sah
dengan disertai kesepakatan akan mengikat para pihak terkait didalamnya.
Kesepakatan tersebut harus berangkat dari kehendak yang bebas (dalam arti bebas
dari paksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 jo. 1324 KUH Perdata),100
PPJB yang dibuat antara developer dengan calon pembeli menunjukkan
adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer dengan calon
pembeli rumah, selanjutnya yaitu adanya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat dan
ditandatangani di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengalihkan
tanah dan rumah dari developer kepada calon pembeli.
kekhilafan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1322 ayat (2), penipuan dalam
Pasal 1328 ayat (1) diantara para pihak serta dinyatakan secara tegas dan tertulis pada
PPJB Rumah. Kesepakatan menunjukkan adanya akibat hukum yang di kehendaki
oleh para pihak.
101
Dokumen PPJB merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan
hukum antara developer dengan calon pembeli, dimana developer mengikatkan diri
100 Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa, tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Selanjutnya, dalam Pasal 1324 KUH Perdata menyatakan bahwa, paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
101 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung:
untuk menjual tanah dan/atau rumah kepada calon pembeli. Sedangkan calon pembeli
sebagai konsumen membeli tanah dan/atau rumah dari developer dengan kewajiban
untuk membayar harga jualnya dalam bentuk baik dengan pembayaran uang muka
(down payment) dan sisanya diselesaikan sesuai dengan apa yang telah di sepakati
dalam PPJB.
PPJB yang menjadi salah satu objek penelitian dalam penelitian ini adalah
PPJB Proyek Perumahan Griya Siantar No. 020/PSC/MDN/PPJB/GS/XI/2003.102
102
PPJB yang dibuat oleh PT Surya C pada dasarnya dengan substansi yang sama, yang berbeda hanya tipe rumah yang diperjanjikan, harga dan sistem pembayaran. PPJB para pihak tersebut adalah PPJB No 007/Tahun 2003, 005/Tahun 2003, 020/Tahun 2003, 058/Tahun 2004, 076/Tahun 2004.
Jika dikaji lebih lanjut hak calon penjual dan calon pembeli sejak terbit sampai
dengan hapusnya perjanjian pengikatan jual beli adalah mendapatkan prestasi dari
pihak lain sesuai dengan yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak dalam
perjanjian pengikatan jual beli. Hak dan kewajiban penjual dan calon pembeli sulit
untuk dijelaskan secara tegas dan sistematis, sebab perjanjian pengikatan jual beli
merupakan perikatan yang bersumber dari perjanjian, jadi hak dan kewajiban para
pihak dalam setiap PPJB tidaklah sama. Hal ini dikarenakan isi atau klausula dari
perjanjian dibuat oleh para pihak berdasarkan keadaan, subjek, objek, situasi dan
kondisi yang berbeda-beda, maka apa yang menjadi kesepakatan pun berbeda pula,
2. Subjek dan Objek Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
Subjek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban dalam hukum, yang
terdiri atas:103
a. Manusia atau pribadi kodrati, merupakan orang yang diberikan wewenang
dan berkedudukan sebagai subjek hukum;
b. Badan hukum atau pribadi hukum, merupakan subjek hukum yang tidak
mempunyai wujud secara fisik, tetapi dalam hukum dianggap sebagai
sesuatu yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Terdiri dari dua macam
yaitu: Badan Hukum Publik (misalnya Negara) dan Badan hukum Privat
(Perseroan Terbatas, Koperasi, dll).
Persamaan antara manusia (pribadi kodrati) dengan Badan hukum adalah
sama-sama merupakan subjek hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum, salah
satunya adalah membuat suatu perjanjian.
PPJB dibutuhkan untuk mengikat kata sepakat yang telah dicapai oleh penjual
dan calon pembeli serta untuk mengantisipasi keadaan yang merugikan salah satu
pihak setelah terjadinya perbuatan hukum jual beli. Kedua belah pihak sepakat untuk
melakukan jual beli suatu objek yang telah disepakati. Dalam hal ini para pihak
belum melakukan jual beli secara riil.
Pada umumnya, pihak yang berkepentingan dalam pembuatan perjanjian
pengikatan jual beli menghendaki perbuatan hukum jual beli sebagai akhir dari
103 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
hubungan yang mereka lakukan. Oleh karena itu subjek dari PPJB adalah penjual dan
calon pembeli yang sepakat untuk membeli dan menjual objek dari perbuatan hukum
jual beli. Tentunya, penjual dan calon pembeli yang mengikatkan diri dalam PPJB
harus memenuhi syarat cakap untuk membuat perikatan sebagaimana yang telah
ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Berdasarkan keputusan Menteri Negara
Perumahan Rakyat No 9/KPTS/M/1995 ditentukan bahwa subjek dalam perjanjian
pengikatan jual beli adalah perusahaan pembangun perumahan dan permukiman
(developer) yang bertindak selaku penjual rumah, dan konsumen rumah yang
bertindak selaku pembeli rumah yang selanjutnya disebut pembeli.104
Suatu objek yang diperjanjikan haruslah dijelaskan dalam suatu perjanjian
agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merugikan kepentingan salah satu
pihak. Objek perjanjian jual beli dapat berupa benda bergerak maupun benda tetap.
Benda adalah segala sesuatu yang jadi bagian alam kebendaan yang dapat dikuasai
dan bernilai bagi manusia serta yang oleh hukum dianggap sebagai sesuatu yang
utuh.105
Beberapa persyaratan yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata terhadap objek tertentu dari suatu perjanjian, khususnya jika objek
perjanjian tersebut berupa benda adalah sebagai berikut:106
104 Antari Innaka, dkk, Penerapan Asas Itikad Baik Tahap Prakontraktual Pada Perjanjian
Jual Beli Perumahan, Jurnal, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm.
509.
105 Shinta Christie, Op. Cit., hlm. 30.
106 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 72.
a. Benda yang merupakan objek perjanjian haruslah benda yang dapat
diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata);
b. Pada saat perjanjian dibuat, minimal benda tersebut sudah dapat ditentukan
jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata);
c. Jumlah benda tersebut boleh tidak tentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat
ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 KUH Perdata);
d. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal
1334 ayat (1) KUH Perdata);
e. Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih ada dalam warisan yang
belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata);
Objek yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah khusus pada tanah
beserta bangunan (rumah) diatasnya pada perumahan Griya S. Objek perjanjian
pengikatan jual beli (PPJB) rumah pada perumahan meliputi:107
a. Luas bangunan rumah disertai gambar arsitektur, gambar denah, dan spesifikasi
teknis bangunan. Luas bangunan disebutkan secara rinci dalam PPJB, namun
untuk gambar arsitektur, denah dan spesifikasi teknis bangunan menjadi lampiran
yang tidak terpisahkan dalam PPJB;
b. Luas tanah, status tanah, perizinan serta hak-hak yang ada didalamnya. Dalam
PPJB disebutkan status tanah dalam perumahan adalah hak guna bangunan yang
sedang dalam tahap proses pecah di kantor BPN setempat. Pencantuman status
107 Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 9 Tahun 1995 Tentang Pedoman
tanah bertujuan sebagai jaminan bahwa tanah tersebut benar-benar ada di bawah
kekuasaan developer serta jaminan terhadap gangguan dari pihak ketiga yang tidak
berkepentingan;
c. Lokasi tanah dengan cara mencantumkan nomor kavling, rincian wilayah mulai
dari desa, kelurahan dan kecamatan lengkap tercantum dalam PPJB;
d. Harga rumah, tanah dan tata cara pembayarannya masuk dalam Pasal 1 dan Pasal 2
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 9/1995.
3. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
PPJB adalah sah apabila telah tercapai kesepakatan diantara para pihak yang
membuatnya. Kesepakatan yang dimaksud dapat dituangkan dalam suatu akta tertulis
maupun tidak tertulis. Akan tetapi, untuk menjamin kepastian hukum di antara para
pihak, akan lebih baik apabila PPJB ditulis dalam suatu akta atau surat perjanjian
yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Pihak yang dimaksud disini adalah
penjual dan calon pembeli.
Pembuatan PPJB dapat dilakukan oleh para pihak yang terkait ataupun
dilakukan dihadapan Notaris. Untuk membahas mengenai bentuk dari PPJB, akan
diuraikan sebagai berikut :
a. Perjanjian Pengikatan Jual Beli di Bawah Tangan
Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dibawah tangan, dibuat secara
tertulis di atas kertas bermaterai dan ditandatangani oleh para pihak dan saksi-saksi.
Pihak-pihak yang dimaksudkan adalah penjual dan calon pembeli. Mereka membuat
dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian tersebut berisikan hal-hal yang
disepakati oleh para pihak dan apa yang diperjanjikan tersebut harus ditaati dan tidak
boleh dilanggar. Dasar hukum dari diperkenankannya para pihak untuk membuat dan
menentukan isi perjanjian sendiri adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang
diperbolehkan oleh hukum perikatan.
b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan Akta Otentik
Pengertian akta otentik (Authentike Akte) menurut Pasal 1868 Kitab Undang
undang Hukum Perdata adalah :
“Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang
oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, di
tempat dimana akta dibuat.”
Oleh karena perikatan ini dibuat oleh Notaris, maka segala sesuatunya harus
mengikuti Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN). Suatu akta otentik harus dibuat
dihadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi serta disertai pembacaan
oleh Notaris kemudian ditandatangani. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 38 tentang Bentuk dan Sifat Akta adalah sebagai berikut:
1. Setiap akta notaris terdiri dari: a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
2. Awal akta atau kepala akta memuat: a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun;
3. Badan akta memuat:
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan;
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
4. Akhir atau penutup akta memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Suatu akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
di dalamnya kepada :
1. Para pihak beserta ahli waris mereka atau;
2. Orang-orang yang mendapat hak daripada mereka tersebut diatas.
Kelebihan dari akta otentik dibandingkan dengan akta yang dibuat dibawah
tangan ialah grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan
pembuktian eksekutorial seperti putusan hakim, sedangkan akta yang dibuat dibawah
tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian eksekutorial.108
108 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm.
54.
Menurut GHS Lumban Tobing yang menyatakan bahwa menurut pendapat
umum yang dianut pada setiap akta otentik dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian
dibandingkan surat dibawah tangan, yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah
Maksudnya adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan
dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan itu menurut Pasal 1875 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah
tangan karena akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah terhadap siapa akta
itu dipergunakan apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda
tangannya itu, sedangkan akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya.
2. Kekuatan pembuktian formal
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan bahwa
pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu sebagaimana yang
tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh
pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam
menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat,
akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni dilihat, didengar dan
juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan
jabatannya.
3. Kekuatan pembuktian material
Kekuatan pembuktian material tidak hanya kenyataan bahwa adanya
dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh untuk
dibuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu mempunyai kekuatan
pembuktian material.
Adanya kebebasan membuat perjanjian (contractvrijheid) menyebabkan para
Notaris paham bentuk perjanjian yang sering dikehendaki masyarakat. Ada
kemungkinan masyarakat lebih menginginkan atau membutuhkan suatu perjanjian
baru daripada yang ada dan diuraikan dalam undang-undang. Pembuatan PPJB oleh
Notaris merupakan salah satu fungsi Notaris di bidang usaha dalam pembuatan
perjanjian. Dalam hal ini dibutuhkan dari seorang Notaris dengan suatu penglihatan
tajam terhadap materinya serta kemampuan melihat jauh kedepan, apakah risiko yang
mungkin terjadi. Tugas seperti ini dipercayakan kepada seorang Notaris untuk
memberikan kepastian hukum para pihak. Pembuatan suatu perjanjian seperti PPJB,
dimaksudkan untuk memperhatikan kepentingan yang lemah dan yang kurang
mengerti. Perlindungan yang sama dipercayakan kepadanya dalam semua tindakan
hukum lainnya yang bentuknya diharuskan dengan akta otentik (akta notaris). Sebab
salah satu kewenangan seorang notaris adalah untuk memberikan nasihat hukum,
guna mencegah terjadinya sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari.109
PPJB merupakan sebuah akta yang dibuat dihadapan seorang Notaris sebagai
seorang pejabat yang berhak untuk melakukan itu. Para pihak yang menghendaki
perbuatan hukum PPJB itu dituangkan dalam sebuah akta Notariil yang bertujuan
untuk menyatakan keinginan yang terkandung didalamnya atas suatu hak yang telah
ada, dan perbuatan hukum PPJB itu merupakan bagian dari tugas dan wewenang
yang hanya diberikan kepada seorang Notaris sebagai Pejabat Umum. Untuk
keperluan itu para pihak dengan sengaja datang kehadapan seorang Notaris dan
memberikan keterangannya agar keterangan itu oleh Notaris dituangkan dan
diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Sebagai Pejabat umum yang diangkat oleh
Pemerintah, seorang Notaris bertugas untuk mengatur dan mengesahkan secara
tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara
mufakat meminta jasanya.
Adapun akta yang dibuat oleh seorang Notaris sebagai Pejabat Umum adalah
akta yang memuat uraian secara otentik dari apa yang disaksikan, dilihat dan didengar
oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Sehingga Notaris berkewajiban
menciptakan otensititas dari akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.
4. Kedudukan Penjual dan Calon Pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB)
Penjual merupakan sebuah badan hukum yang melakukan kegiatan usaha
untuk melakukan pembangunan perumahan, sedangkan calon pembeli merupakan
konsumen rumah yang akan melakukan jual beli rumah. Kedudukan Para pihak
dalam melakukan suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat agar perjanjian
tersebut dapat berlaku secara sah, syarat sahnya suatu perjanjian diatur berdasarkan
Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu, sahnya suatu
perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat:
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal
Syarat pertama dan syarat kedua dari syarat sahnya suatu perjanjian adalah
“kesepakatan” dan “kecakapan” yang merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat
ketiga dan keempat yaitu “hal tertentu” dan “sebab yang halal” merupakan syarat
objektif. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka berakibat perjanjian tersebut
dapat dibatalkan sedangkan apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka akan
berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam hal ini, baik pihak penjual
maupun calon pembeli sebagai subjek hukum yang juga memegang dan memiliki hak
dan kewajiban dalam hukum haruslah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
dalam membuat atau mengadakan suatu perjanjian serta memperhatikan asas-asas
yang dikenal dalam hukum perjanjian, yaitu asas keseimbangan dalam perjanjian.
Kedudukan antara kedua belah pihak, baik pihak penjual maupun calon
pembeli adalah setara dan seimbang. Namun, terkadang terdapat ketidakseimbangan
jika kedudukan salah satu pihak lebih kuat daripada pihak yang lainnya yang
berpengaruh terhadap hubungan prestasi satu dengan yang lainnya, serta
menyebabkan kekacauan keseimbangan dalam suatu perjanjian, maka dalam hal ini
ketidakabsahan perjanjian tersebut.110
Pada umumnya hak bagi pihak penjual yaitu menerima harga yang telah
dijualnya dari pihak pembeli.
Apabila kesepakatan antara kedua belah pihak
telah tercapai maka akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
111
Adapun Kewajiban penjual yaitu:112 a. Menyatakan dengan tegas tentang jual beli tersebut;
b. Menyerahkan benda, dimana penyerahan benda adalah suatu pemindahan benda
yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli;
c. Kewajiban menanggung pembeli, kewajiban menanggung dari si penjual adalah
agar penguasaan benda secara aman dan tentram serta agar apabila terdapat cacat
pada benda tersebut secara tersembunyi dapat diterbitkan alasan untuk
pembatalan;
d. Kewajiban untuk menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun pihak
penjual tidak mengetahui adanya cacat tersebut, kecuali diperjanjikan;
e. Kewajiban untuk mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika penjual
mengetahui benda yang telah dijual mengandung cacat, serta mengganti segala
biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli;
f. Jika benda dijual musnah disebabkan karena cacat tersembunyi, maka kerugian
dipikul oleh penjual dan diwajibkan mengembalikan uang harga pembelian dan
kerugian.
110 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.318.
111 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hlm. 55.
Pembeli juga memiliki hak dan kewajiban, hak bagi pembeli adalah menerima
benda yang telah dibelinya baik secara nyata maupun secara yuridis. Adapun yang
menjadi kewajiban pembeli yaitu:113
a. Membayar harga pembelian terhadap benda pada waktu dan tempat yang telah di
tentukan (Pasal 1513 KUH Perdata);
b. Membayar bunga dari harga pembelian, jika benda yang dijual dan diserahkan
memberikan hasil (pendapatan);
PPJB memuat hal-hal apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi calon
pembeli serta yang menjadi hak dan kewajiban bagi pihak penjual. Meskipun pada
dasarnya antara PPJB yang dibuat oleh developer yang satu dengan developer lainnya
tidak memiliki kesamaan dalam mengatur hak dan kewajiban secara mutlak, namun
pada umumnya memiliki garis besar yang hampir sama dalam hal pengaturannya
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Permukiman serta Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 9 Tahun 1995
Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli.
5. Perbedaan Perjanjian Jual Beli dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
a. Perjanjian Jual Beli
Jual beli tanah dan bangunan di atasnya merupakan salah satu peralihan hak
atas tanah beserta bangunan diatasnya dari penjual kepada pembeli.114
113 Ibid., hlm. 55-56.
114 Harum Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Cet 1, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1987), hlm. 50.
Beralihnya hak
atau karena suatu peristiwa hukum.115 Jual beli dalam hukum adat menganut asas terang dan tunai. Terang artinya perbuatan hukum jual beli dilakukan dihadapan
orang banyak atau dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (Pejabat Pembuat
Akta Tanah). Sedangkan tunai maksudnya adalah perbuatan hukum pemindahan hak
atas tanah yang pembayaran harganya dilakukan secara tunai pada saat yang
bersamaan dengan penyerahan objek jual beli.116
Ketentuan dalam Pasal 1457 KUH Perdata menyatakan bahwa, “jual beli
adalah suatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji)
untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli, dan pembeli
mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disetujui”.
Jual beli dalam pengertian ini baru menciptakan perikatan berupa
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukan, maka dikatakan bahwa jual beli menurut
pasal tersebut bersifat obligatoir, artinya hak atas tanah tersebut belum berpindah
kepada pembeli. Hal tersebut kemudian diperjelas dalam ketentuan Pasal 1459 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa, “hak milik atas barang
yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum
dilakukan menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUH Perdata”. Jadi pembayaran harga
tidak mempunyai peranan dalam memindahkan hak milik, biarpun pembeli sudah
membayar harga, kalau barangnya belum diserahkan ia tidak akan menjadi pemilik.
115 Ibid., hlm. 51.
Sebaliknya kalau barang sudah diserahkan walaupun harga belum dibayar, pembeli
sudah menjadi pemilik dan ia hanya mempunyai utang saja kepada penjual.117
Jual beli dianggap telah terjadi dengan dicapainya kata sepakat antara penjual
dan pembeli walaupun haknya belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Jual
beli mempunyai sifat konsensual sebagaimana diatur dalam Pasal 1458 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Hak atas tanah yang dijual itu baru berpindah
kepada pembeli dengan dilakukannya perbuatan hukum lain yang disebut
“penyerahan yuridis” (juridische levering).118
Pengertian jual beli tanah dalam hukum yang berlaku setelah Undang-undang
Pokok Agraria adalah suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik oleh
penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada
penjual.
Ketentuan mengenai penyerahan
yuridis diatur sebagaimana ketentuan Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Ketentuan sebagaimana diuraikan diatas, menurut hukum adat khusus untuk
hak atas tanah tidak dapat diterima, sebab hukum tanah nasional yang berdasarkan
hukum adat menganut asas terang dan tunai.
119
117 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Cet 9,
(Bandung: Sumur Bandung, 1991), hlm. 13.
118 Harum Al Rasyid, Op. Cit., hlm. 52-53.
119 Effendi Parangin-Angin, Hukum Agraria di Indonesia, Cet 4, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 1994), hlm. 13.
Pengertian ini yang diambil sebagai hakikat jual beli yang berlaku
sekarang ini. Jual beli hak atas tanah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak,
Tanah. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan
hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Akta
tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria”.
b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
PPJB adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli yang
keberadaannya diakui oleh Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Permukiman (sebagai lex specialis). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
mengatur perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), tetapi jika mengacu pada
unsur-unsur sebuah perjanjian dan dengan adanya kesepakatan antara para pihak dalam
perjanjian tersebut maka PPJB sebagai perjanjian pendahuluan tersebut juga tunduk
pada Buku Ke-III tentang Perikatan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Perjanjian semacam ini dapat diperuntukan bagi objek perjanjian yang berupa
benda tetap (misalnya tanah dan bangunan/rumah yang masih dalam proses
pembangunan). Oleh karena itu, PPJB tunduk pada hukum perikatan dengan adanya
kesepakatan yang dibuat para pihak (Pasal 1320 ayat (1) Jo. Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata), ketentuan dalam PPJB tersebut yang kemudian
6. Akibat Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Perjanjian
Pendahuluan (Voor Overeenkomst)
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan diakui oleh hukum.
Tindakan yang dilakukannya adalah tindakan hukum yaitu tindakan yang dilakukan
guna memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh hukum. Oleh karena itu, akibat
hukum merupakan segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum atau akibat-akibat lain yang
disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah
ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.120
Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi
subjek-subjek hukum yang bersangkutan. Seperti, mengadakan perjanjian jual beli maka
telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subjek
hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban
untuk membayar barang tersebut. Begitupun sebaliknya, subjek hukum yang lain
mempunyai hak untuk mendapatkan uang, selain itu juga mempunyai kewajiban
untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subjek hukum
terhadap objek hukum menimbulkan akibat hukum. Wujud dari akibat hukum adalah
ketika seseorang melakukan jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara
keduanya. Sama halnya dengan perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan
perjanjian pendahuluan yang bersifat konsensuil, akan tetapi telah melahirkan hak
dan kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Akibat dari PPJB tersebut bukan
beralihnya hak kebendaan dari penjual kepada pembeli, akan tetapi terjadinya
perikatan antara penjual (developer) dan calon pembeli untuk melakukan perbuatan
jual beli, dimana kesepakatan dalam PPJB tersebut nantinya akan dituangkan dalam
AJB sebagai perjanjian pokok.
Pada dasarnya, Perjanjian pengikatan jual beli (agreement to sell) berbeda
dengan perjanjian jual beli (sale agreement). PPJB merupakan jual beli benda dimana
pihak-pihak setuju bahwa hak milik atas benda tersebut akan berpindah kepada pihak
pembeli pada suatu waktu yang akan datang. Sedangkan perjanjian jual beli
merupakan jual beli dimana hak milik atas benda tersebut seketika berpindah kepada
pihak pembeli.121
Perjanjian jual beli atau contract of sale di Inggris dibedakan dalam sale atau
agreement to sell. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 3 dari Sale of Goods Act, 1893.122 Apabila dalam suatu contract of sale pemindahan milik terjadi serta merta, maka perjanjiannya dinamakan sale; tetapi apabila pemindahan hak milik
itu terpisah dari saat terjadinya perjanjian atau digantungkan pada suatu syarat atau
condition tertentu di suatu waktu yang akan datang, maka perjanjiannya dinamakan agreement to sell.123
Suatu sale adalah suatu perjanjian jual beli sekaligus dengan pemindahan hak
milik atau conveyance (pengantar) sehingga mirip dengan jual beli menurut Hukum
121 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 243.
122 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hlm. 21.
Adat yaitu riil dan tunai, sedangkan suatu agreement to sell adalah tidak lebih
daripada suatu koop-overeenkomst biasa menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang bersifat obligatoir.124
PPJB tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan tetapi
jika mengacu pada definisi sebuah perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1313 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Permukiman, jual beli rumah pada perumahan yang masih dalam proses
pembangunan dipasarkan dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli. Sistem
perjanjian pendahuluan jual beli selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Keputusan
Menteri Perumahan Rakyat No 9 tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli.
Oleh karena itu, UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman serta
Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9 Tahun 1995 sebagai lex specialis yang
merupakan dasar yang mengatur Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Perjanjian
Pengikatan Jual Beli memuat negosiasi atau kesepakatan antara developer dengan
calon pembeli mengenai objek jual beli. Berdasarkan Kemenpera No 9 Tahun 1995
bahwa perlunya PPJB dibuat oleh pihak penjual (developer) dan pihak calon pembeli
untuk mengamankan kepentingan penjual dan calon pembeli serta meminimalisir
sengketa yang timbul dikemudian hari, sebelum ditandatanganinya akta jual beli
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Apabila telah tercapai kesepakatan antara
para pihak, maka selanjutnya kesepakatan mengenai jual beli tersebut akan
dituangkan kedalam akta jual beli (sebagai perjanjian pokok).
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka PPJB juga termasuk jenis perjanjian
yang tunduk pada hukum perikatan sebagaimana yang diatur dalam Buku Ke-III
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lex generalis).
Pada prakteknya, ada 3 (tiga) tahapan dalam pembuatan kontrak/perjanjian,
yaitu fase prakontrak, kontrak dan postkontrak. Jika dikaitkan dengan perjanjian
pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan, maka substansi dari PPJB
tersebut yang akan menimbulkan akibat hukum untuk kemudian dituangkan kedalam
perjanjian pokok (AJB), kesepakatan mengenai ketentuan yang ada dalam PPJB
tersebut yang kemudian akan menjadi kontrak. Para pihak (calon pembeli dan
penjual) yang telah sepakat dan menghendaki adanya perikatan tersebut terikat untuk
melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
PPJB merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, oleh karena itu objek
jual beli dalam perjanjian tersebut belum berpindah. Dalam PPJB, Developer dan
calon pembeli hanya membuat persetujuan mengenai objek jual beli yaitu:
a. Luas bangunan rumah (disertai dengan gambar arsitektur, gambar denah,
spesifikasi teknis bangunan);
b. Luas tanah, status tanah, beserta segala perizinan yang berkaitan dengan
pembangunan rumah dan hak-hak lainnya;
c. Lokasi denah dengan mencantumkan nomor kavling, rincian wilayah desa atau
kelurahan dan kecamatan;
d. Harga rumah dan tanah, serta tata cara pembayarannya yang telah disepakati oleh
Substansi dalam PPJB juga memuat mengenai harga tanah dan bangunan serta
tata cara pembayarannya, kelalaian pembayaran, serah terima tanah dan bangunan,
pemeliharaan bangunan, penggunaan bangunan, perubahan bangunan, pajak-pajak
dan biaya-biaya, pengalihan dan pengoperan hak, ketentuan pembatalan perjanjian
serta penyelesaian sengketa. PPJB yang telah disepakati antara para pihak
menimbulkan perikatan antara penjual dan calon pembeli untuk melaksanakan apa
yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan apa yang telah
dituangkan dalam perjanjian. Oleh karena itu, ketentuan PPJB tersebut akan
dituangkan menjadi perjanjian pokok (Akta Jual Beli) ketika calon pembeli dan
penjual telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakati
bersama dalam PPJB.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, akibat hukum dari perjanjian pengikatan
jual beli sebagai perjanjian pendahuluan (voor overeenkomst) adalah mengikat para
pihak yang membuatnya, dimana para pihak baik penjual maupun calon pembeli
sepakat untuk melakukan jual beli tanah dan bangunan (rumah) yang nantinya
kesepakatan antara para pihak tersebut akan dituangkan kedalam Akta Jual Beli
sesuai dengan apa yang telah disepakati. Kesepakatan para pihak tersebut
menunjukkan adanya akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak untuk
melaksanakan substansi PPJB yang merupakan perjanjian pendahuluan jual beli.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata sebagai lex generalis yang menyatakan bahwa, “perjanjian yang dibuat