• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) Pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 37 Pdt Plw 2012 Sim)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) Pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 37 Pdt Plw 2012 Sim)"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

A. Ketentuan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Kata perjanjian merupakan terjemahan dari overeenkomst, yang

merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis). Substansi dari perjanjian

dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling). Kata perbuatan telah dikritik oleh

para ahli hukum dengan alasan kurang memuaskan, tidak lengkap, dan sangat luas.64 Menurut Subekti, suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua

pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan

(perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Subekti memberikan rumusan

perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.65

64Kritik tersebut antara lain: (1) Kata “perbuatan pada perumusan tentang perjanjian

sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1313 KUH Perdata lebih tepat jika diganti dengan kata “perbuatan hukum/tindakan hukum”, (2) Perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak bukan tindakan satu pihak. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.10-11.

65 Subekti, Op. Cit., hlm.1.

(2)

Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan persetujuan

merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Perbedaan pandangan

dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda,

yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subjek hukum,

sedangkan pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal tersebut

menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah

perjanjian tersebut.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan

perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang

lain atau lebih.66 Selain itu, Tan Kamello juga memberikan definisi perjanjian yang menyatakan bahwa, “perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau

lebih berdasarkan kata sepakat untuk saling mengikatkan diri mengenai sesuatu objek

dengan tujuan tertentu dan mengakibatkan akibat hukum”.67 Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “.68

a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang;

Berdasarkan rumusan perjanjian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa unsur-unsur dari perjanjian adalah:

66 Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan

Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.1.

67 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung:

Alumni, 2006), hlm.4.

(3)

b. Adanya persetujuan diantara para pihak; c. Ada tujuan yang ingin dicapai;

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;

e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian; f. Ada bentuk tertentu, bisa berupa lisan atau tertulis.

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah

sebagai berikut:69

1. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok

bagi kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi

salah satu pihak saja, misalnya hibah.70

3. Perjanjian khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemde)

Perjanjian atas beban adalah perjanjian

dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari

pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.

Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUH Perdata. Di luar

perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak

69 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2001), hlm.66.

70

(4)

diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian

ini tidak terbatas, di dalam praktek lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas

kebebasan berkontrak (partij otonomi) yang berlaku di dalam hukum perjanjian.

Salah satu contoh perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan

haknya atas sesuatu kepada pihak lain, sedangkan perjanjian obligatoir adalah

perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada

pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak

telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan. Di dalam

KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi

penyerahan barang, perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian riil. Misalnya,

perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740

KUH Perdata).

6. Perjanjian-perjanjian yang sifatnya istimewa

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri

dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) sesuai

ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata;

b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para

(5)

c. Perjanjian untung-untungan: misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH

Perdata.

d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh

hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa

(pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.

Menurut Mariam Darus, selain perjanjian tersebut diatas ada pula perjanjian

campuran atau yang disebut dengan contractus sui generis. Perjanjian campuran

adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik

hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan

(jual-beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai

paham, yaitu:

a. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian

khusus diterapkan secara analogi sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus

tetap ada (contractus kombinasi).

b. Paham kedua mengatakan ketentuan yang dipakai adalah

ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

c. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang

diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang

yang berlaku untuk itu (teori combinatie).

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila

(6)

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif yang harus di penuhi dalam

suatu perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif. Apabila

syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan,

akan tetapi jika tidak terpenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian

tersebut batal demi hukum (perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada).

3. Lahirnya Perjanjian

Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata bahwa, “Tiap-tiap perikatan

dilahirkan, baik karena perjanjian atau dari Undang-undang”. Dengan demikian,

perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari

Undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam

praktik masyarakat, perikatan yang bersumber dari perjanjian begitu mendominasi.71

1. Perikatan semata-mata karena undang-undang, yang terdiri dari :

Suatu perikatan yang bersumber dari Undang-undang dapat dibagi ke dalam

dua kategori sebagai berikut :

a. Perikatan yang menimbulkan kewajiban bagi penghuni pekarangan yang

berdampingan (Pasal 625 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

71

(7)

b. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak (Pasal

104 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

2. Perikatan karena Undang-undang tapi melalui perbuatan manusia, yang terdiri

dari:

a. Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechmatige daad (Pasal 1365 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata)

b. Perbuatan Menurut Hukum atau Rechmatige daad, terdiri dari :

1) Perwakilan sukarela atau zaakwarneming (Pasal 1354 KUH Perdata)

2) Pembayaran tidak terutang (Pasal 1359 KUH Perdata)

3) Perikatan Wajar atau Naturlijke Verbintennissen (Pasal 1359 ayat (2) KUH

Perdata)

Disamping perikatan yang bersumber dari Undang-undang, terdapat juga perikatan

yang bersumber dari perjanjian. Tapi, para ahli Hukum Perdata pada umumnya

sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata kurang lengkap.72

Berdasarkan sumber-sumber yang tersebut diatas, yang paling penting adalah

perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk

mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yang tidak dilarang oleh

Undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan adanya

kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka

72

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang

(8)

subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang

namanya ditentukan oleh Undang-Undang (benoede overeenkomsten) yaitu

sebagaimana yang tercantum di dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Kitab

Undang-undang Hukum Perdata Buku III, tetapi berhak untuk mengadakan

perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh undang-undang, dengan

istilah lain disebut juga perjanjian umum (onbenoemde overeenkomsten).73

Perikatan yang bersumber dari perjanjian ini pada prinsipnya mempunyai

kekuatan yang sama dengan perikatan yang bersumber dari Undang-undang. Dasar

hukum dari kekuatan suatu perjanjian adalah Pasal 1338 ayat (1) Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para

pihak dapat mengatur apapun dalam perjanjian tersebut (catch all), sebatas yang tidak

dilarang oleh Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.74

PPJB merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tunduk pada ketentuan

Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman serta

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9 tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan

Jual Beli sebagai lex specialis, dan jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1320 ayat

(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lex generalis) maka PPJB memenuhi

unsur-unsur sebagai suatu perjanjian, yang dapat menimbulkan perikatan yang

bersumber dari perjanjian. Meskipun PPJB tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang

73 Ibid.

(9)

Hukum Perdata, akan tetapi PPJB tersebut sah sepanjang memenuhi ketentuan

sebagai berikut:75

1. Memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian;

2. Tidak dilarang oleh Undang-undang;

3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

4. Sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian tersebut dapat dibuat secara lisan ataupun tertulis, apabila dibuat

secara tertulis maka perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti apabila

terjadi perselisihan. Suatu perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara

moral komitmen itu harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu komitmen tersebut, tidak

ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan.76

Asas (principle) adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai

dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan

sesuatu hal yang hendak dijelaskan.

Maka

untuk memperkuat kepastian dan jaminan hukum bagi para pihak, akan lebih baik

apabila suatu perjanjian dibuat secara tertulis.

4. Asas-asas dalam Perjanjian

77

75 Ibid., hlm.30.

76 Ibid., hlm.11.

77 Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode

Penelitian Dewasa Ini dalam Menemukan Asas-Asas Hukum, Makalah, Kuliah pada Pembinaan

Tenaga Peneliti Hukum BPHN, Jakarta, 1980, hlm.52. Dikutip dari Abdul Hakim, Pertanggung

Jawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen,

(10)

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memperhatikan asas-asas sesuai

dengan ketentuan KUH Perdata sebagai pedoman atau patokan, serta menjadi batas

atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada

akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan

pelaksanaan atau pemenuhannya.78

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:79 1. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak);

2. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)/ asas kebebasan berkontrak (freedom of contract);

3. Asas kekuatan mengikat; 4. Asas itikad baik;

5. Asas keseimbangan; 6. Asas kepastian hukum; 7. Asas kepatutan;

Berikut akan dijelaskan masing-masing asas diatas:

1. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme merupakan asas essensial dari hukum perjanjian.

Sepakat mereka mengikatkan diri telah dapat melahirkan perjanjian. asas ini juga

dinamakan asas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan “adanya” (raison

de’etre, het bestaanwaarde) perjanjian.80

78 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hlm.14.

79 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hlm.2-3.

80 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005),hlm.109. Asas konsensualisme menentukan bahwa

suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah

(11)

segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun

kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.81

Asas konsensualisme ini ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata,

sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditemukan istilah “semua”.

Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan

keinginannya (will), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. asas ini sangat

erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.82 2. Asas Kebebasan Berkontrak

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau asas kebebasan mengadakan

perjanjian, setiap orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang

bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum. Undang-undang disini adalah Undang-undang yang bersifat

memaksa.83

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem

terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam

KUH Perdata maupun yang belum diatur dalam KUH Perdata atau

peraturan-peraturan lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka maka hukum

perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa

81 Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 250.

82 Abdul Hakim, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Dan Asas

Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen, Disertasi, Medan, 2013, hlm. 53. Lihat juga Mariam Darus

Badrulzaman dkk, Op. Cit., hlm.82. Dengan istilah “secara sah” pembentuk Undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagi Undang-undang terhadap para pihak. Disini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.

(12)

masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian apapun,84 mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengenyampingkan atau tidak mempergunakan

peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata

lain, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku diantara

mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum

diatur diantara mereka.85

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “semua

perjanjian mengikat sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, dapat

disimpulkan lazimnya adagium tersebut menganut asas kebebasan berkontrak yang

berasal dari dunia barat pada saat berkembangnya liberalisme. Meskipun demikian

pencantuman adagium tersebut bertujuan untuk peningkatan kepastian hukum. Dalam

sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan berkontrak yang penting adalah

“semua perjanjian” (perjanjian dari macam apa saja), akan tetapi tidak hanya itu

yakni yang lebih penting lagi adalah bagian “mengikatnya” perjanjian sebagai

Undang-undang.86

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di

dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,

84

Asas Konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi, “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op. Cit., hlm. 84.

85 Abdul Hakim, Op. Cit, hlm. 55.

(13)

pancaran hak asasi manusia.87 Asas kebebasan berkontrak itu berpangkal pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, sedangkan dalam kenyataannya

seringkali tidaklah demikian. Hal ini mengakibatkan kedudukan pihak yang lemah

tidak dilindungi apabila berada dalam posisi berat sebelah. Pencantuman syarat tidak

boleh berisikan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan bagi

sahnya suatu perjanjian adalah sudah merupakan alat pencegah terhadap pihak

lawannya yang lemah. Hal ini dipercayakan kepada hakim untuk menggunakannya,

juga pencantuman ketentuan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi agar tidak terjadi

penyalahgunaan kekuasaaan (kedudukan) satu pihak terhadap pihak lawannya (yang

lemah) sepanjang mengenai tahap pelaksanaan perjanjian.88 3. Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti

pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan dalam perjanjian

yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah

berlaku seperti berlakunya Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas

pacta sunt servanda ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2)

KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

87 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hlm. 84.

(14)

perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak

atau karena alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Perkataan “berlaku sebagai Undang-undang dan tak dapat ditarik kembali”

berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian

tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya. Jadi para

pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Terikatnya para pihak

pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi

juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan

kepatutan moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan

yang mengikat para pihak.89 4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goede trow. Asas ini

berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini terdapat

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan “persetujuan-persetujuan

harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian

subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini

berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian

itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.

Itikad baik objektif, berarti kepatutan, yang berhubungan dengan pelaksanaan

(15)

perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban

haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan.90 5. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian

itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum.

Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat

menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Namun kreditur memikul pula

beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini

bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

6. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai

Undang-undang bagi para pihak.

7. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa,

“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di

dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan

oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang”. Menurut Mariam Darus

Badrulzaman, asas kepatutan harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran

tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

(16)

5. Berakhirnya Perjanjian

Berdasarkan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang mengatur berbagai cara hapusnya perikatan untuk perjanjian dan perikatan yang

lahir dari undang serta cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk

Undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain

untuk menghapuskan suatu perikatan. Hapusnya perikatan yang tersebut dalam Pasal

1381 KUH Perdata adalah sebagai berikut:91 1. Pembayaran

2. Subrogasi

3. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan 4. Pembaharuan utnag (novasi)

5. Kompensasi atau Perjumpaan utang 6. Percampuran utang

7. Pembebasan utang

8. Musnahnya barang yang terutang 9. Kebatalan dan pembatalan perikatan 10. Berlakunya suatu syarat batal 11. Lewat waktu

B. Ketentuan Umum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Perjanjian

Pendahuluan (Voor Overeenkomst)

1. Pengertian Umum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah merupakan perjanjian pendahuluan

yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

dan Permukiman, dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa, “Rumah tunggal,

rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan

dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan

(17)

ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Pengertian Perjanjian pendahuluan jual

beli tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (1), bahwa perjanjian

pendahuluan jual beli merupakan kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih

dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah

yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian pendahuluan jual beli

tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat

No 9 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli.

Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah merupakan perjanjian

pendahuluan yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli atas dasar

kesepakatan sebelum jual beli dilakukan. Perjanjian ini diperlukan untuk

mengamankan kepentingan penjual dan calon pembeli serta meminimalisir sengketa

yang mungkin muncul dikemudian hari. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah

dilakukan sebelum terjadinya peristiwa hukum jual beli (AJB). Dalam tesis ini PPJB

yang dibahas adalah PPJB sebagai perjanjian pendahuluan pada jual beli hak atas

tanah dan bangunan (rumah) pada perumahan Griya S.

PPJB sebagai perjanjian pendahuluan tidak diatur dalam Kitab

undang Hukum Perdata, akan tetapi keberadaannya sesuai dengan ketentuan

Undang-undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman (sebagai lex specialis)

yang mengharuskan dibuatnya perjanjian pendahuluan jual beli apabila objek jual beli

masih dalam proses pembangunan, selanjutnya mengenai perjanjian pendahuluan jual

beli tersebut diatur lebih lanjut dengan adanya Keputusan Menteri Negara Perumahan

(18)

dalam PPJB sebagai perjanjian pendahuluan tersebut harus sesuai dengan apa yang di

amanatkan Kemenpera No 9 Tahun 1995.

Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA) mengeluarkan Surat

Keputusan No 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli, yang

dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan para penyelenggara pembangunan

perumahan dan permukiman serta para calon pembeli dari kemungkinan terjadinya

wanprestasi dari para pihak yang terkait, sehingga diperlukan adanya Pedoman

Pengikatan Jual Beli tersebut. Dengan dikeluarkan kemenpera tersebut maka

dimungkinkan adanya suatu pemasaran atau penjualan tanah dan bangunan berupa

rumah (khususnya pada perumahan) sebelum rumah tersebut selesai

pembangunannya.92

Isi dari PPJB adalah pernyataan untuk memberikan sesuatu (misalnya: calon

penjual akan memberikan penyerahan hak milik atas tanah beserta bangunan

diatasnya kepada calon pembeli, jika pembayarannya telah lunas) dan atau melakukan

sesuatu (misalnya: calon pembeli wajib mengangsur pelunasan pembayaran pada

waktu yang telah disepakati) kepada pihak lain yang berkaitan dengan suatu objek

sebelum kepemilikannya berpindah dari penjual kepada pembeli. Disamping itu, isi Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengikatan jual beli yang

dilakukan antara pihak developer dengan pihak calon pembeli.

92

Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hlm. 62. Dikutip melalui Arkie V.Y Tumbelaka, Kajian

(19)

dari PPJB dapat pula mengenai tidak melakukan sesuatu, misalnya calon penjual

dilarang untuk menjual tanah tersebut kepada pihak lain.

Sebagai suatu perjanjian pendahuluan, maka terdapat suatu perbuatan hukum

yang terkait dan melekat setelah dibuatnya PPJB, yaitu perbuatan hukum jual beli.

Sebagaimana ketentuan Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ialah

sebagai berikut:

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan.”

PPJB merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, artinya perjanjian itu

lahir saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai benda (bergerak

maupun tidak bergerak) dan harga walaupun pada saat itu barang belum diserahkan

dan harga belum sepenuhnya dibayar (Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1458 KUH

Perdata).

PPJB dapat digolongkan dalam perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir

adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat untuk mengikatkan diri untuk

melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.93

93 Ibid., hlm.92.

Oleh karena itu, dengan

dibuatnya PPJB saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari

(20)

harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (levering),94

Pada umumnya jual beli harus diikuti dengan perbuatan penyerahan, yaitu

penyerahan fisik maupun penyerahan yuridis. Pada dasarnya, dilakukannya

penyerahan tergantung dari objek jual belinya (benda tetap atau benda bergerak).

Dalam jual beli hak atas tanah maupun bangunan berupa rumah diatasnya,

penyerahan fisik tidak selalu dilakukan pada saat (segera setelah) jual beli. Menurut

Boedi Harsono, penyerahan fisik bukan merupakan unsur dari jual beli tanah, tapi

merupakan kewajiban dari penjual. Pendapat ini dikuatkan bahwa objek jual beli

tanah adalah hak atas tanah (bukan tanah). Jadi dengan adanya jual beli, hak atas

tanah sudah beralih. Artinya penyerahan tunai dari objek jual beli itu telah terjadi. yaitu di tandatanganinya akta

jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

95

Pada jual beli hak atas tanah maupun bangunan diatasnya, disamping

penyerahan fisik juga harus dilakukan penyerahan yuridis (juridische levering).

Penyerahan yuridis pada jual beli hak atas tanah dilakukan dengan pembuatan akta

jual belinya pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah). Oleh sebab itu, pada saat dibuatnya PPJB

belum dilakukan penyerahan baik fisik maupun yuridis, karena perjanjian ini masih

merupakan perjanjian pendahuluan sebelum melakukan jual beli. Dari ketentuan

tersebut dapat disimpulkan bahwa PPJB berbeda dengan perjanjian jual beli. Dimana

94 Ibid.

95

Shinta Christie, Aspek Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Tahapan Jual Beli

Hak Atas Tanah Secara Angsuran, Tesis Magister Kenotariatan, (Jakarta: Universitas Indonesia,

2012), hlm.37. Lihat juga Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan

(21)

PPJB merupakan jual beli barang dimana pihak-pihak setuju bahwa hak milik atas

barang akan berpindah kepada pembeli pada waktu yang akan datang.96 Sedangkan perjanjian jual beli adalah jual beli dimana hak milik atas barang seketika berpindah

kepada pembeli.97

96 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, cet 2, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 217.

97 Ibid.

Pada jual beli hak atas tanah dan bangunan (rumah) diatasnya, jual

beli terjadi pada saat penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah.

Pada dasarnya PPJB tunduk pada hukum perikatan, dengan dilakukannya

PPJB, hak atas tanah belum berpindah. Calon penjual dan calon pembeli hanya

membuat kesepakatan yang harus dilakukan oleh calon penjual dan calon pembeli

sebelum jual beli dilakukan, sedangkan perjanjian jual beli hak atas tanah, tunduk

pada hukum tanah nasional.

Penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh

penjual, pembeli dan para saksi, kepemilikan objek yang diperjanjikan secara sah

telah berpindah dari penjual kepada pembeli, sebab jual beli menurut Undang-undang

Pokok Agraria ialah jual beli menurut pengertian Hukum Adat yang bersifat tunai

yaitu penyerahan tanah beserta bangunan diatasnya selama-lamanya oleh penjual

kepada pembeli dan pembayaran harganya oleh pembeli kepada penjual pada saat

yang bersamaan, pada saat itu juga hak ikut beralih. Hal ini juga diatur Pasal 19

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah

(22)

Tujuan utama dibuatnya PPJB adalah untuk mengamankan kepentingan calon

penjual dan pembeli sekaligus untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya sengketa

antara para pihak yang terkait. Oleh karena itu, calon penjual dan pembeli

berkewajiban untuk mentaati substansi dari perjanjian yang telah disepakati bersama.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang

Hukum Perdata yang menjelaskan, bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka isi dari perjanjian tersebut dapat

berupa memberikan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH

Perdata).98

Abdul Hakim menjelaskan, dalam hukum perjanjian di Indonesia (KUH

Perdata) untuk menentukan apakah substansi atau klausula dalam perjanjian

merupakan klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya

terdapat pengaturannya dalam Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata.

Akan tetapi, kewajiban para pihak tidak hanya terbatas pada apa yang

diperjanjikan saja, namun harus memperhatikan apa yang diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan dan ketertiban umum.

99

98 Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

99 Abdul Hakim, Op. Cit., hlm. 206.

Ketentuan

Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan, bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang apabila

dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik untuk

(23)

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di

dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan

oleh kepatutan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka perjanjian yang dibuat secara sah

dengan disertai kesepakatan akan mengikat para pihak terkait didalamnya.

Kesepakatan tersebut harus berangkat dari kehendak yang bebas (dalam arti bebas

dari paksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 jo. 1324 KUH Perdata),100

PPJB yang dibuat antara developer dengan calon pembeli menunjukkan

adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer dengan calon

pembeli rumah, selanjutnya yaitu adanya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat dan

ditandatangani di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengalihkan

tanah dan rumah dari developer kepada calon pembeli.

kekhilafan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1322 ayat (2), penipuan dalam

Pasal 1328 ayat (1) diantara para pihak serta dinyatakan secara tegas dan tertulis pada

PPJB Rumah. Kesepakatan menunjukkan adanya akibat hukum yang di kehendaki

oleh para pihak.

101

Dokumen PPJB merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan

hukum antara developer dengan calon pembeli, dimana developer mengikatkan diri

100 Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa, tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Selanjutnya, dalam Pasal 1324 KUH Perdata menyatakan bahwa, paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

101 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung:

(24)

untuk menjual tanah dan/atau rumah kepada calon pembeli. Sedangkan calon pembeli

sebagai konsumen membeli tanah dan/atau rumah dari developer dengan kewajiban

untuk membayar harga jualnya dalam bentuk baik dengan pembayaran uang muka

(down payment) dan sisanya diselesaikan sesuai dengan apa yang telah di sepakati

dalam PPJB.

PPJB yang menjadi salah satu objek penelitian dalam penelitian ini adalah

PPJB Proyek Perumahan Griya Siantar No. 020/PSC/MDN/PPJB/GS/XI/2003.102

102

PPJB yang dibuat oleh PT Surya C pada dasarnya dengan substansi yang sama, yang berbeda hanya tipe rumah yang diperjanjikan, harga dan sistem pembayaran. PPJB para pihak tersebut adalah PPJB No 007/Tahun 2003, 005/Tahun 2003, 020/Tahun 2003, 058/Tahun 2004, 076/Tahun 2004.

Jika dikaji lebih lanjut hak calon penjual dan calon pembeli sejak terbit sampai

dengan hapusnya perjanjian pengikatan jual beli adalah mendapatkan prestasi dari

pihak lain sesuai dengan yang telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak dalam

perjanjian pengikatan jual beli. Hak dan kewajiban penjual dan calon pembeli sulit

untuk dijelaskan secara tegas dan sistematis, sebab perjanjian pengikatan jual beli

merupakan perikatan yang bersumber dari perjanjian, jadi hak dan kewajiban para

pihak dalam setiap PPJB tidaklah sama. Hal ini dikarenakan isi atau klausula dari

perjanjian dibuat oleh para pihak berdasarkan keadaan, subjek, objek, situasi dan

kondisi yang berbeda-beda, maka apa yang menjadi kesepakatan pun berbeda pula,

(25)

2. Subjek dan Objek Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Subjek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban dalam hukum, yang

terdiri atas:103

a. Manusia atau pribadi kodrati, merupakan orang yang diberikan wewenang

dan berkedudukan sebagai subjek hukum;

b. Badan hukum atau pribadi hukum, merupakan subjek hukum yang tidak

mempunyai wujud secara fisik, tetapi dalam hukum dianggap sebagai

sesuatu yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Terdiri dari dua macam

yaitu: Badan Hukum Publik (misalnya Negara) dan Badan hukum Privat

(Perseroan Terbatas, Koperasi, dll).

Persamaan antara manusia (pribadi kodrati) dengan Badan hukum adalah

sama-sama merupakan subjek hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum, salah

satunya adalah membuat suatu perjanjian.

PPJB dibutuhkan untuk mengikat kata sepakat yang telah dicapai oleh penjual

dan calon pembeli serta untuk mengantisipasi keadaan yang merugikan salah satu

pihak setelah terjadinya perbuatan hukum jual beli. Kedua belah pihak sepakat untuk

melakukan jual beli suatu objek yang telah disepakati. Dalam hal ini para pihak

belum melakukan jual beli secara riil.

Pada umumnya, pihak yang berkepentingan dalam pembuatan perjanjian

pengikatan jual beli menghendaki perbuatan hukum jual beli sebagai akhir dari

103 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

(26)

hubungan yang mereka lakukan. Oleh karena itu subjek dari PPJB adalah penjual dan

calon pembeli yang sepakat untuk membeli dan menjual objek dari perbuatan hukum

jual beli. Tentunya, penjual dan calon pembeli yang mengikatkan diri dalam PPJB

harus memenuhi syarat cakap untuk membuat perikatan sebagaimana yang telah

ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Berdasarkan keputusan Menteri Negara

Perumahan Rakyat No 9/KPTS/M/1995 ditentukan bahwa subjek dalam perjanjian

pengikatan jual beli adalah perusahaan pembangun perumahan dan permukiman

(developer) yang bertindak selaku penjual rumah, dan konsumen rumah yang

bertindak selaku pembeli rumah yang selanjutnya disebut pembeli.104

Suatu objek yang diperjanjikan haruslah dijelaskan dalam suatu perjanjian

agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merugikan kepentingan salah satu

pihak. Objek perjanjian jual beli dapat berupa benda bergerak maupun benda tetap.

Benda adalah segala sesuatu yang jadi bagian alam kebendaan yang dapat dikuasai

dan bernilai bagi manusia serta yang oleh hukum dianggap sebagai sesuatu yang

utuh.105

Beberapa persyaratan yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata terhadap objek tertentu dari suatu perjanjian, khususnya jika objek

perjanjian tersebut berupa benda adalah sebagai berikut:106

104 Antari Innaka, dkk, Penerapan Asas Itikad Baik Tahap Prakontraktual Pada Perjanjian

Jual Beli Perumahan, Jurnal, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm.

509.

105 Shinta Christie, Op. Cit., hlm. 30.

106 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 72.

(27)

a. Benda yang merupakan objek perjanjian haruslah benda yang dapat

diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata);

b. Pada saat perjanjian dibuat, minimal benda tersebut sudah dapat ditentukan

jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata);

c. Jumlah benda tersebut boleh tidak tentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat

ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 KUH Perdata);

d. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal

1334 ayat (1) KUH Perdata);

e. Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih ada dalam warisan yang

belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata);

Objek yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah khusus pada tanah

beserta bangunan (rumah) diatasnya pada perumahan Griya S. Objek perjanjian

pengikatan jual beli (PPJB) rumah pada perumahan meliputi:107

a. Luas bangunan rumah disertai gambar arsitektur, gambar denah, dan spesifikasi

teknis bangunan. Luas bangunan disebutkan secara rinci dalam PPJB, namun

untuk gambar arsitektur, denah dan spesifikasi teknis bangunan menjadi lampiran

yang tidak terpisahkan dalam PPJB;

b. Luas tanah, status tanah, perizinan serta hak-hak yang ada didalamnya. Dalam

PPJB disebutkan status tanah dalam perumahan adalah hak guna bangunan yang

sedang dalam tahap proses pecah di kantor BPN setempat. Pencantuman status

107 Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 9 Tahun 1995 Tentang Pedoman

(28)

tanah bertujuan sebagai jaminan bahwa tanah tersebut benar-benar ada di bawah

kekuasaan developer serta jaminan terhadap gangguan dari pihak ketiga yang tidak

berkepentingan;

c. Lokasi tanah dengan cara mencantumkan nomor kavling, rincian wilayah mulai

dari desa, kelurahan dan kecamatan lengkap tercantum dalam PPJB;

d. Harga rumah, tanah dan tata cara pembayarannya masuk dalam Pasal 1 dan Pasal 2

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 9/1995.

3. Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

PPJB adalah sah apabila telah tercapai kesepakatan diantara para pihak yang

membuatnya. Kesepakatan yang dimaksud dapat dituangkan dalam suatu akta tertulis

maupun tidak tertulis. Akan tetapi, untuk menjamin kepastian hukum di antara para

pihak, akan lebih baik apabila PPJB ditulis dalam suatu akta atau surat perjanjian

yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Pihak yang dimaksud disini adalah

penjual dan calon pembeli.

Pembuatan PPJB dapat dilakukan oleh para pihak yang terkait ataupun

dilakukan dihadapan Notaris. Untuk membahas mengenai bentuk dari PPJB, akan

diuraikan sebagai berikut :

a. Perjanjian Pengikatan Jual Beli di Bawah Tangan

Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dibawah tangan, dibuat secara

tertulis di atas kertas bermaterai dan ditandatangani oleh para pihak dan saksi-saksi.

Pihak-pihak yang dimaksudkan adalah penjual dan calon pembeli. Mereka membuat

(29)

dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian tersebut berisikan hal-hal yang

disepakati oleh para pihak dan apa yang diperjanjikan tersebut harus ditaati dan tidak

boleh dilanggar. Dasar hukum dari diperkenankannya para pihak untuk membuat dan

menentukan isi perjanjian sendiri adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang

diperbolehkan oleh hukum perikatan.

b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan Akta Otentik

Pengertian akta otentik (Authentike Akte) menurut Pasal 1868 Kitab Undang

undang Hukum Perdata adalah :

“Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang

oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, di

tempat dimana akta dibuat.”

Oleh karena perikatan ini dibuat oleh Notaris, maka segala sesuatunya harus

mengikuti Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN). Suatu akta otentik harus dibuat

dihadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi serta disertai pembacaan

oleh Notaris kemudian ditandatangani. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 38 tentang Bentuk dan Sifat Akta adalah sebagai berikut:

1. Setiap akta notaris terdiri dari: a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan

c. Akhir atau penutup akta.

2. Awal akta atau kepala akta memuat: a. Judul akta;

b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun;

(30)

3. Badan akta memuat:

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan;

d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4. Akhir atau penutup akta memuat:

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;

c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

Suatu akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat

di dalamnya kepada :

1. Para pihak beserta ahli waris mereka atau;

2. Orang-orang yang mendapat hak daripada mereka tersebut diatas.

Kelebihan dari akta otentik dibandingkan dengan akta yang dibuat dibawah

tangan ialah grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan

pembuktian eksekutorial seperti putusan hakim, sedangkan akta yang dibuat dibawah

tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian eksekutorial.108

108 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm.

54.

(31)

Menurut GHS Lumban Tobing yang menyatakan bahwa menurut pendapat

umum yang dianut pada setiap akta otentik dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian

dibandingkan surat dibawah tangan, yaitu :

1. Kekuatan pembuktian lahiriah

Maksudnya adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan

dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan itu menurut Pasal 1875 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah

tangan karena akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah terhadap siapa akta

itu dipergunakan apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda

tangannya itu, sedangkan akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya.

2. Kekuatan pembuktian formal

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan bahwa

pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu sebagaimana yang

tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh

pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam

menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat,

akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni dilihat, didengar dan

juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan

jabatannya.

3. Kekuatan pembuktian material

Kekuatan pembuktian material tidak hanya kenyataan bahwa adanya

(32)

dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh untuk

dibuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu mempunyai kekuatan

pembuktian material.

Adanya kebebasan membuat perjanjian (contractvrijheid) menyebabkan para

Notaris paham bentuk perjanjian yang sering dikehendaki masyarakat. Ada

kemungkinan masyarakat lebih menginginkan atau membutuhkan suatu perjanjian

baru daripada yang ada dan diuraikan dalam undang-undang. Pembuatan PPJB oleh

Notaris merupakan salah satu fungsi Notaris di bidang usaha dalam pembuatan

perjanjian. Dalam hal ini dibutuhkan dari seorang Notaris dengan suatu penglihatan

tajam terhadap materinya serta kemampuan melihat jauh kedepan, apakah risiko yang

mungkin terjadi. Tugas seperti ini dipercayakan kepada seorang Notaris untuk

memberikan kepastian hukum para pihak. Pembuatan suatu perjanjian seperti PPJB,

dimaksudkan untuk memperhatikan kepentingan yang lemah dan yang kurang

mengerti. Perlindungan yang sama dipercayakan kepadanya dalam semua tindakan

hukum lainnya yang bentuknya diharuskan dengan akta otentik (akta notaris). Sebab

salah satu kewenangan seorang notaris adalah untuk memberikan nasihat hukum,

guna mencegah terjadinya sengketa yang mungkin terjadi dikemudian hari.109

PPJB merupakan sebuah akta yang dibuat dihadapan seorang Notaris sebagai

seorang pejabat yang berhak untuk melakukan itu. Para pihak yang menghendaki

perbuatan hukum PPJB itu dituangkan dalam sebuah akta Notariil yang bertujuan

untuk menyatakan keinginan yang terkandung didalamnya atas suatu hak yang telah

(33)

ada, dan perbuatan hukum PPJB itu merupakan bagian dari tugas dan wewenang

yang hanya diberikan kepada seorang Notaris sebagai Pejabat Umum. Untuk

keperluan itu para pihak dengan sengaja datang kehadapan seorang Notaris dan

memberikan keterangannya agar keterangan itu oleh Notaris dituangkan dan

diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Sebagai Pejabat umum yang diangkat oleh

Pemerintah, seorang Notaris bertugas untuk mengatur dan mengesahkan secara

tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara

mufakat meminta jasanya.

Adapun akta yang dibuat oleh seorang Notaris sebagai Pejabat Umum adalah

akta yang memuat uraian secara otentik dari apa yang disaksikan, dilihat dan didengar

oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Sehingga Notaris berkewajiban

menciptakan otensititas dari akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.

4. Kedudukan Penjual dan Calon Pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli (PPJB)

Penjual merupakan sebuah badan hukum yang melakukan kegiatan usaha

untuk melakukan pembangunan perumahan, sedangkan calon pembeli merupakan

konsumen rumah yang akan melakukan jual beli rumah. Kedudukan Para pihak

dalam melakukan suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat agar perjanjian

tersebut dapat berlaku secara sah, syarat sahnya suatu perjanjian diatur berdasarkan

Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu, sahnya suatu

perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat:

(34)

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal

Syarat pertama dan syarat kedua dari syarat sahnya suatu perjanjian adalah

“kesepakatan” dan “kecakapan” yang merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat

ketiga dan keempat yaitu “hal tertentu” dan “sebab yang halal” merupakan syarat

objektif. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka berakibat perjanjian tersebut

dapat dibatalkan sedangkan apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka akan

berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam hal ini, baik pihak penjual

maupun calon pembeli sebagai subjek hukum yang juga memegang dan memiliki hak

dan kewajiban dalam hukum haruslah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian

dalam membuat atau mengadakan suatu perjanjian serta memperhatikan asas-asas

yang dikenal dalam hukum perjanjian, yaitu asas keseimbangan dalam perjanjian.

Kedudukan antara kedua belah pihak, baik pihak penjual maupun calon

pembeli adalah setara dan seimbang. Namun, terkadang terdapat ketidakseimbangan

jika kedudukan salah satu pihak lebih kuat daripada pihak yang lainnya yang

berpengaruh terhadap hubungan prestasi satu dengan yang lainnya, serta

menyebabkan kekacauan keseimbangan dalam suatu perjanjian, maka dalam hal ini

(35)

ketidakabsahan perjanjian tersebut.110

Pada umumnya hak bagi pihak penjual yaitu menerima harga yang telah

dijualnya dari pihak pembeli.

Apabila kesepakatan antara kedua belah pihak

telah tercapai maka akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

111

Adapun Kewajiban penjual yaitu:112 a. Menyatakan dengan tegas tentang jual beli tersebut;

b. Menyerahkan benda, dimana penyerahan benda adalah suatu pemindahan benda

yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli;

c. Kewajiban menanggung pembeli, kewajiban menanggung dari si penjual adalah

agar penguasaan benda secara aman dan tentram serta agar apabila terdapat cacat

pada benda tersebut secara tersembunyi dapat diterbitkan alasan untuk

pembatalan;

d. Kewajiban untuk menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun pihak

penjual tidak mengetahui adanya cacat tersebut, kecuali diperjanjikan;

e. Kewajiban untuk mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika penjual

mengetahui benda yang telah dijual mengandung cacat, serta mengganti segala

biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli;

f. Jika benda dijual musnah disebabkan karena cacat tersembunyi, maka kerugian

dipikul oleh penjual dan diwajibkan mengembalikan uang harga pembelian dan

kerugian.

110 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum

Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.318.

111 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2003), hlm. 55.

(36)

Pembeli juga memiliki hak dan kewajiban, hak bagi pembeli adalah menerima

benda yang telah dibelinya baik secara nyata maupun secara yuridis. Adapun yang

menjadi kewajiban pembeli yaitu:113

a. Membayar harga pembelian terhadap benda pada waktu dan tempat yang telah di

tentukan (Pasal 1513 KUH Perdata);

b. Membayar bunga dari harga pembelian, jika benda yang dijual dan diserahkan

memberikan hasil (pendapatan);

PPJB memuat hal-hal apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi calon

pembeli serta yang menjadi hak dan kewajiban bagi pihak penjual. Meskipun pada

dasarnya antara PPJB yang dibuat oleh developer yang satu dengan developer lainnya

tidak memiliki kesamaan dalam mengatur hak dan kewajiban secara mutlak, namun

pada umumnya memiliki garis besar yang hampir sama dalam hal pengaturannya

sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan

Permukiman serta Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No 9 Tahun 1995

Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli.

5. Perbedaan Perjanjian Jual Beli dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli

a. Perjanjian Jual Beli

Jual beli tanah dan bangunan di atasnya merupakan salah satu peralihan hak

atas tanah beserta bangunan diatasnya dari penjual kepada pembeli.114

113 Ibid., hlm. 55-56.

114 Harum Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Cet 1, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1987), hlm. 50.

Beralihnya hak

(37)

atau karena suatu peristiwa hukum.115 Jual beli dalam hukum adat menganut asas terang dan tunai. Terang artinya perbuatan hukum jual beli dilakukan dihadapan

orang banyak atau dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (Pejabat Pembuat

Akta Tanah). Sedangkan tunai maksudnya adalah perbuatan hukum pemindahan hak

atas tanah yang pembayaran harganya dilakukan secara tunai pada saat yang

bersamaan dengan penyerahan objek jual beli.116

Ketentuan dalam Pasal 1457 KUH Perdata menyatakan bahwa, “jual beli

adalah suatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji)

untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli, dan pembeli

mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disetujui”.

Jual beli dalam pengertian ini baru menciptakan perikatan berupa

kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukan, maka dikatakan bahwa jual beli menurut

pasal tersebut bersifat obligatoir, artinya hak atas tanah tersebut belum berpindah

kepada pembeli. Hal tersebut kemudian diperjelas dalam ketentuan Pasal 1459 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa, “hak milik atas barang

yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum

dilakukan menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUH Perdata”. Jadi pembayaran harga

tidak mempunyai peranan dalam memindahkan hak milik, biarpun pembeli sudah

membayar harga, kalau barangnya belum diserahkan ia tidak akan menjadi pemilik.

115 Ibid., hlm. 51.

(38)

Sebaliknya kalau barang sudah diserahkan walaupun harga belum dibayar, pembeli

sudah menjadi pemilik dan ia hanya mempunyai utang saja kepada penjual.117

Jual beli dianggap telah terjadi dengan dicapainya kata sepakat antara penjual

dan pembeli walaupun haknya belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Jual

beli mempunyai sifat konsensual sebagaimana diatur dalam Pasal 1458 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Hak atas tanah yang dijual itu baru berpindah

kepada pembeli dengan dilakukannya perbuatan hukum lain yang disebut

“penyerahan yuridis” (juridische levering).118

Pengertian jual beli tanah dalam hukum yang berlaku setelah Undang-undang

Pokok Agraria adalah suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik oleh

penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada

penjual.

Ketentuan mengenai penyerahan

yuridis diatur sebagaimana ketentuan Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Ketentuan sebagaimana diuraikan diatas, menurut hukum adat khusus untuk

hak atas tanah tidak dapat diterima, sebab hukum tanah nasional yang berdasarkan

hukum adat menganut asas terang dan tunai.

119

117 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Cet 9,

(Bandung: Sumur Bandung, 1991), hlm. 13.

118 Harum Al Rasyid, Op. Cit., hlm. 52-53.

119 Effendi Parangin-Angin, Hukum Agraria di Indonesia, Cet 4, (Jakarta: PT Grafindo

Persada, 1994), hlm. 13.

Pengertian ini yang diambil sebagai hakikat jual beli yang berlaku

sekarang ini. Jual beli hak atas tanah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak,

(39)

Tanah. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan

sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan

hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang

dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Akta

tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria”.

b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

PPJB adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli yang

keberadaannya diakui oleh Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

dan Permukiman (sebagai lex specialis). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak

mengatur perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), tetapi jika mengacu pada

unsur-unsur sebuah perjanjian dan dengan adanya kesepakatan antara para pihak dalam

perjanjian tersebut maka PPJB sebagai perjanjian pendahuluan tersebut juga tunduk

pada Buku Ke-III tentang Perikatan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Perjanjian semacam ini dapat diperuntukan bagi objek perjanjian yang berupa

benda tetap (misalnya tanah dan bangunan/rumah yang masih dalam proses

pembangunan). Oleh karena itu, PPJB tunduk pada hukum perikatan dengan adanya

kesepakatan yang dibuat para pihak (Pasal 1320 ayat (1) Jo. Pasal 1338 ayat (1) Kitab

Undang-undang Hukum Perdata), ketentuan dalam PPJB tersebut yang kemudian

(40)

6. Akibat Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Perjanjian

Pendahuluan (Voor Overeenkomst)

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk

memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan diakui oleh hukum.

Tindakan yang dilakukannya adalah tindakan hukum yaitu tindakan yang dilakukan

guna memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh hukum. Oleh karena itu, akibat

hukum merupakan segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang

dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum atau akibat-akibat lain yang

disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah

ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.120

Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi

subjek-subjek hukum yang bersangkutan. Seperti, mengadakan perjanjian jual beli maka

telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subjek

hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban

untuk membayar barang tersebut. Begitupun sebaliknya, subjek hukum yang lain

mempunyai hak untuk mendapatkan uang, selain itu juga mempunyai kewajiban

untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subjek hukum

terhadap objek hukum menimbulkan akibat hukum. Wujud dari akibat hukum adalah

ketika seseorang melakukan jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara

keduanya. Sama halnya dengan perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan

perjanjian pendahuluan yang bersifat konsensuil, akan tetapi telah melahirkan hak

(41)

dan kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Akibat dari PPJB tersebut bukan

beralihnya hak kebendaan dari penjual kepada pembeli, akan tetapi terjadinya

perikatan antara penjual (developer) dan calon pembeli untuk melakukan perbuatan

jual beli, dimana kesepakatan dalam PPJB tersebut nantinya akan dituangkan dalam

AJB sebagai perjanjian pokok.

Pada dasarnya, Perjanjian pengikatan jual beli (agreement to sell) berbeda

dengan perjanjian jual beli (sale agreement). PPJB merupakan jual beli benda dimana

pihak-pihak setuju bahwa hak milik atas benda tersebut akan berpindah kepada pihak

pembeli pada suatu waktu yang akan datang. Sedangkan perjanjian jual beli

merupakan jual beli dimana hak milik atas benda tersebut seketika berpindah kepada

pihak pembeli.121

Perjanjian jual beli atau contract of sale di Inggris dibedakan dalam sale atau

agreement to sell. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 3 dari Sale of Goods Act, 1893.122 Apabila dalam suatu contract of sale pemindahan milik terjadi serta merta, maka perjanjiannya dinamakan sale; tetapi apabila pemindahan hak milik

itu terpisah dari saat terjadinya perjanjian atau digantungkan pada suatu syarat atau

condition tertentu di suatu waktu yang akan datang, maka perjanjiannya dinamakan agreement to sell.123

Suatu sale adalah suatu perjanjian jual beli sekaligus dengan pemindahan hak

milik atau conveyance (pengantar) sehingga mirip dengan jual beli menurut Hukum

121 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 243.

122 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hlm. 21.

(42)

Adat yaitu riil dan tunai, sedangkan suatu agreement to sell adalah tidak lebih

daripada suatu koop-overeenkomst biasa menurut Kitab Undang-undang Hukum

Perdata yang bersifat obligatoir.124

PPJB tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan tetapi

jika mengacu pada definisi sebuah perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1313 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

dan Permukiman, jual beli rumah pada perumahan yang masih dalam proses

pembangunan dipasarkan dengan sistem perjanjian pendahuluan jual beli. Sistem

perjanjian pendahuluan jual beli selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Keputusan

Menteri Perumahan Rakyat No 9 tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli.

Oleh karena itu, UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman serta

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9 Tahun 1995 sebagai lex specialis yang

merupakan dasar yang mengatur Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Perjanjian

Pengikatan Jual Beli memuat negosiasi atau kesepakatan antara developer dengan

calon pembeli mengenai objek jual beli. Berdasarkan Kemenpera No 9 Tahun 1995

bahwa perlunya PPJB dibuat oleh pihak penjual (developer) dan pihak calon pembeli

untuk mengamankan kepentingan penjual dan calon pembeli serta meminimalisir

sengketa yang timbul dikemudian hari, sebelum ditandatanganinya akta jual beli

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Apabila telah tercapai kesepakatan antara

para pihak, maka selanjutnya kesepakatan mengenai jual beli tersebut akan

dituangkan kedalam akta jual beli (sebagai perjanjian pokok).

(43)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka PPJB juga termasuk jenis perjanjian

yang tunduk pada hukum perikatan sebagaimana yang diatur dalam Buku Ke-III

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lex generalis).

Pada prakteknya, ada 3 (tiga) tahapan dalam pembuatan kontrak/perjanjian,

yaitu fase prakontrak, kontrak dan postkontrak. Jika dikaitkan dengan perjanjian

pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan, maka substansi dari PPJB

tersebut yang akan menimbulkan akibat hukum untuk kemudian dituangkan kedalam

perjanjian pokok (AJB), kesepakatan mengenai ketentuan yang ada dalam PPJB

tersebut yang kemudian akan menjadi kontrak. Para pihak (calon pembeli dan

penjual) yang telah sepakat dan menghendaki adanya perikatan tersebut terikat untuk

melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

PPJB merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, oleh karena itu objek

jual beli dalam perjanjian tersebut belum berpindah. Dalam PPJB, Developer dan

calon pembeli hanya membuat persetujuan mengenai objek jual beli yaitu:

a. Luas bangunan rumah (disertai dengan gambar arsitektur, gambar denah,

spesifikasi teknis bangunan);

b. Luas tanah, status tanah, beserta segala perizinan yang berkaitan dengan

pembangunan rumah dan hak-hak lainnya;

c. Lokasi denah dengan mencantumkan nomor kavling, rincian wilayah desa atau

kelurahan dan kecamatan;

d. Harga rumah dan tanah, serta tata cara pembayarannya yang telah disepakati oleh

(44)

Substansi dalam PPJB juga memuat mengenai harga tanah dan bangunan serta

tata cara pembayarannya, kelalaian pembayaran, serah terima tanah dan bangunan,

pemeliharaan bangunan, penggunaan bangunan, perubahan bangunan, pajak-pajak

dan biaya-biaya, pengalihan dan pengoperan hak, ketentuan pembatalan perjanjian

serta penyelesaian sengketa. PPJB yang telah disepakati antara para pihak

menimbulkan perikatan antara penjual dan calon pembeli untuk melaksanakan apa

yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan apa yang telah

dituangkan dalam perjanjian. Oleh karena itu, ketentuan PPJB tersebut akan

dituangkan menjadi perjanjian pokok (Akta Jual Beli) ketika calon pembeli dan

penjual telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakati

bersama dalam PPJB.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, akibat hukum dari perjanjian pengikatan

jual beli sebagai perjanjian pendahuluan (voor overeenkomst) adalah mengikat para

pihak yang membuatnya, dimana para pihak baik penjual maupun calon pembeli

sepakat untuk melakukan jual beli tanah dan bangunan (rumah) yang nantinya

kesepakatan antara para pihak tersebut akan dituangkan kedalam Akta Jual Beli

sesuai dengan apa yang telah disepakati. Kesepakatan para pihak tersebut

menunjukkan adanya akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak untuk

melaksanakan substansi PPJB yang merupakan perjanjian pendahuluan jual beli.

Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum

Perdata sebagai lex generalis yang menyatakan bahwa, “perjanjian yang dibuat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil: Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 20 orang subjek penelitian didapatkan hasil yaitu terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL setelah melakukan latihan

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa cronbach’s alpha yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar 0,786.Ketentuan untuk menentukan alat ukur tersebut

Kinerja pada umumnya adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing

[r]

Akan tetapi jika kita lupa akan rumus dan nilai konversi dari masing-masing satuan, maka kita bisa membuat konversi sederhana menggunakan microsoft office excel.. Konversi ini

Fungsi page number pada microsoft office wor d adalah memberikan nomor pada setiap page/lembar atau halaman yang bertujuan untuk memudahkan pencarian Bab maupun subbab pada

Pengunjung akan mengetahui produk yang akan di tawarkan dengan memilih form daftar obat yang ada dari website tersebut dan juga dapat secara langsung memesan melalui lembar

Pemberdayaan Masyarakat dalam Percepatan Infrastruktur Lingkungan Permukiman Wilayah Kelurahan Bengkong Indah (PM-PIK Kelurahan Bengkong Indah) Kelurahan Bengkong Indah