BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Household Dietary Diversity (keragaman konsumsi pangan rumah tangga) merupakan jumlah jenis makanan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode
tertentu yang ditetapkan. Keragaman konsumsi pangan adalah indikator yang baik
untuk alasan sebagai berikut (Swindale & Bilinsky 2006):
- Konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan
hasil pada berat kelahiran, status anthropometrik anak, dan peningkatan
konsentrasi hemoglobin.
- Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan faktor seperti:
kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas
tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang
sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan
dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan
kuantitas konsumsi pangan.
Menurut FAO (2007) keragaman konsumsi pangan adalah jumlah pangan
atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu
yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif dari keamanan
makanan pada berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau
menengah, daerah pedesaan dan urban, serta untuk berbagai musim.
Penganekaragaman konsumsi pangan adalah proses pemilihan pangan
terhadap bermacam-macam bahan pangan. Penganekaragaman konsumsi pangan
merupakan upaya untuk memantapkan atau membudayakan pola konsumsi
pangan yang beragam dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi
kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif (Baliwati, dkk,
2010).
Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan
konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi
sumber daya lokal (UU RI No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan).
Sedangkan pada sisi lain, kesadaran akan pentingnya konsumsi pangan
beranekaragam menyebabkan ketergantungan terhadap satu jenis pangan dapat
dicegah sehingga akan memantapkan ketahanan pangan rumah tangga (Khomsan,
2012). Semakin banyak jenis pangan yang dikonsumsi, semakin kuat ketahanan
pangan (Khaeron, 2012).
Penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan terbagi menjadi 3
(tiga) golongan yaitu (Cahyani, 2008) :
1. Diversifikasi horizontal merupakan upaya penganekaragaman produk yang
dihasilkan (dari sisi penawaran) dan produk yang dikonsumsi (dari sisi
permintaan) pada tingkat individu, rumah tangga maupun perusahaan.
Secara prinsip diversifikasi horizontal adalah pengekaragaman antar
komoditas.
2. Diversifikasi vertikal merupakan upaya pengembangan produk pangan
pokok menjadi produk baru untuk keverluan pada tingkat konsumsi.
produk setelah panen didalamnya termasuk kegiatan pengolahan hasil dan
limbah pertanian. Diversifikasi vertikal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan nilai tambah dari komoditas pangan agar lebih berdaya guna
bagi kebutuhan manusia.
3. Diversifikasi regional merupakan diversifikasi antara wilayah dan sosial
budaya. Yaitu upaya penganekaragaman pangan yang dikonsumsi
berdasarkan potensi pangan lokal.
2.2 Upaya Pencapaian Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan
Upaya pencapaian percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Tahap I (2008-2011)
a. Kampanye, sosialisasi, advokasi dan promosi percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal baik
untuk aparat pemerintah dan pemerintah daerah, individu, kelompok
masyarakat maupun industri.
b. Pendidikan penganekaragaman konsumsi pangan secara sistematis melalui
pendidikan formal dan non formal kepada anak usia dini.
c. Penyuluhan kepada ibu rumah tangga dan remaja, terutama ibu hamil, ibu
menyusui, dan wanita usia subur tentang manfaat mengkonsumsi pangan
d. Pembinaan kepada pengusaha kecil bidang pangan guna meningkatkan
kesadaran untuk memproduksi, menyediakan dan memperdagangkan
keanekaragam pangan yang aman.
e. Fasilitasi pengembangan bisnis pangan baik segar, olahan maupun siap
saji yang berbasis sumberdaya lokal, fasilitasi akses permodalan serta
fasilitasi produksi dan pemasaran.
f. Pengembangan dan diseminasi serta aplikasi paket teknologi terapan
terhadap aneka pengolahan pangan.
g. Pemanfaatan pekarangan dan potensi pangan di sekitar rumah
tangga/tempat tinggal.
h. Pemberian penghargaan kepada kelompok masyarakat yang dinilai telah
berperan sebagai pelopor dalam menjalankan dan memajukan upaya
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbahan baku lokal.
i. Evaluasi pencapaian penganekaragaman konsumsi pangan Tahap I.
2. Tahap II (2012 – 2015)
Untuk kurun waktu tahun 2012 – 2015, upaya-upaya percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan adalah melanjutkan kegiatan Tahap I
dengan penambahan kegiatan dan penekanan pada pembinaan pengembangan
bisnis dan industri pangan, sebagai berikut :
a. Fasilitasi pengembangan bisnis pangan baik segar, olahan maupun siap
saji berbasis sumberdaya lokal dalam hal dukungan infrastruktur
b. Penerapan standar mutu dan keamanan pangan pada Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) pangan berbasis sumberdaya lokal.
c. Pemberian penghargaan kepada UMKM pangan lokal.
d. Evaluasi pencapaian penganekaragaman konsumsi pangan Tahap II.
2.3 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi penganekaragaman konsumsi pangan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kepemilikan lahan
Kepemilikan lahan sangat berpengaruh terhadap penghasilan petani karena
umumnya petani dengan lahan milik sendiri mempunyai pendapatan yang
lebih baik daripada petani dengan lahan sewa/ milik orang lain. Pengaruh
ini secara langsung/ tidak langsung akan berdampak terhadap pola
pemenuhan gizi keluarga. Pola penguasaan lahan dalam suatu masyarakat
merupakan penentu penting dalam pola pertanaman dan kemampuan untuk
mengusahakan tanaman yang dapat memberikan keuntungan besar pda
tingkat setempat. Petani yang memiliki lahan sendiri dapat lebih leluasa
dalam menentukan apa yang mereka tanam dan kapan serta bagaimana
menjual hasilnya. Penyewa atau buruh tani haknya terbatas untuk
menentukan apa yang ditanam dan bagaimana sebaiknya melakukan
2. Pendidikan
Perilaku penganeakaragaman konsumsi pangan seseorang atau keluarga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan tentang pangan itu
sendiri, dalam satu keluarga biasanya ibu yang bertanggung jawab
terhadap makanan keluarga. Karena pengetahuan gizi bertujuan untuk
mengubah perilaku konsumsi masyarakat kearah penganeakaragaman
konsumsi pangan yang sehat dan bergizi (Ampera, dkk, 2005).
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis
pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Menurut Suhardjo
(1986), tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap
dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Syarief
(1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk
memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.
3. Pendapatan
Kenaikan tingkat pendapatan perorang, akan menyebabkan perubahan
dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Akan tetapi, pengeluaran untuk
pangan yang lebih banyak tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi
pangan. Kadang-kadang, perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan
makanan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal (Suhardjo,dkk,
Terdapat kecenderungan dengan semakin tingginya pendapatan terjadi
perubahan dalam pola konsumsi pangan, yaitu pangan yang dikonsumsi
akan lebih beragam. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak
menyebabkan jenis pangan yang dikonsumsi menjadi beragam, tetapi
justru yang sering terjadi adalah pangan yang dibeli harganya lebih mahal
(PSKPG, 2002).
Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis
pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan
sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang
kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi
pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan padi-padian akan menurun
tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan bertambah jika
pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin
besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk
buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya (Berg, 1986).
4. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi jumlah dan pembagian
ragam pangan yang dikonsumsi dalam keluarga. Semakin banyak anggota
keluarga,maka makanan untuk setiap orang akan berkurang terutama pada
keluarga dengan ekonomi lemah (Suhardjo, dkk,1986).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fransiska (2013) tentang analisis
bahwa jumlah anggota rumah tangga berpengaruh nyata dan positif
terhadap konsumsi pangan rumah tangga.
Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bangun
(2013) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata
dengan tingkat konsumsi beras dimana semakin banyak anggota keluarga
semakin banyak beras yang dikonsumsi.
2.4 Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Pelaksanaan kegiatan P2KP merupakan implementasi dari Rencana
Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian. Salah satu dari
Empat Sukses tersebut adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan, yang merupakan
salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden Republik
Indonesia pada tahun 2009- 2014. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini
merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor
43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi
acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat
melalui basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah
tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan
Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota) (Badan Ketahanan Pangan, 2014).
2.5 Tujuan Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Secara umum tujuan program P2KP adalah untuk memfasilitasi dan
mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan masyarakat yang B2SA yang
diindikasikan dengan meningkatnya skor PPH (Badan Ketahanan Pangan, 2014).
Adapun tujuan khusus program P2KP adalah untuk (Badan Ketahanan Pangan,
2014):
a. Meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi masyarakat dalam
mewujudkan pola konsumsi pangan yang Beragam, Bergizi Seimbang dan
Aman (B2SA) serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan
pokok beras;
b. Meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber
pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan
sebagai penghasil sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral untuk
konsumsi keluarga; dan
c. Mendorong pengembangan usaha pengolahan pangan skala Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM) sumber karbohidrat selain beras dan terigu
yang berbasis sumber daya dan kearifan lokal.
2.6 Pedoman Umum Gizi Seimbang
Menurut Arnawa, dkk, (2013), negara kita yang telah memasuki era
globalisasi, ternyata masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu masalah gizi
itu diperlukan suatu acuan edukasi atau pendidikan tentang perilaku gizi yang baik
dan benar, yakni Pedoman Umum Gizi Seimbang.
Pedoman Umum Gizi Seimbang terdiri dari 13 pesan dasar gizi seimbang yaitu :
1. Makanlah aneka ragam makanan
Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung
unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya.
2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi
Setiap orang dianjurkan makan makanan yang cukup mengandung energi,
agar dapat hidup dan melaksanakan kegiatan sehari-hari. Kebutuhan energi
dipenuhi dengan mengkonsumsi makana sumber karbohidrat, protein dan
lemak.
3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi
Makanan sumber karbohidrat terdiri dari 2 yakni karbohidrat kompleks
dan karbohidrat sederhana. Untuk sumber karbohidrat jumlah yang
diperlukan untuk tubuh kita adalah 50-60% dari kebutuhan energi kita.
4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan
energi
Bagi kebanyakan penduduk pedesaan konsumsi lemak atau minyak sangat
rendah sehingga masih perlu ditingkatkan, sedangkan konsumsi lemak
pada penduduk perkotaan sudah harus diwaspadai karena cenderung
yang mengadung sumber lemak nabati dan 1 bagian lagi sumber lemak
hewani.
5. Gunakan garam beryodium
Garam beryodium adalah garam yang telah diperkaya dengan kalium lodat
sebanyak 30-80 ppm. Gangguan kekurangan yodium dapat menyebabkan
penyakit gondok dan juga kerdil.
6. Makanlah makanan sumber zat besi
Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel
darah merah. Zat besi secara alamiah diperoleh dari makanan. Kekurangan
zat besi dalam makanan sehari-hari secara berkelanjutan dapat
menimbulkan penyakit anemia yang dikenal kurang darah. Kesulitan
utama untuk memenuhi kebutuhan Fe adalah rendahnya tingkat
penyerapan zat besi didalam tubuh, terutama zat besi nabati hanya diserap
1-2%. Sedangkan tingkat penyerapan zat besi makanan hewani dapat
mencapai 10-20%.
7. Pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya
Manfaat ASI begitu besar baik itu manfaat pemberian ASI bagi ibu
maupun pemberian ASI bagi bayi itu sendiri. Pada umur 6-12 bulan, ASI
masih merupakan makanan utama bayi, karena mengandung lebih dari
60% kebutuhan bayi. Guna memenuhi semua kebutuhan bayi, perlu
ditambah dengan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi kesehatan setiap orang.
Adanya citra makan pagi sebagai suatu kegiatan yang dirasakan
menjengkelkan perlu diubah menjadi salah satu kebiasaan yang disukai.
Kebiasaan makan pagi dapat membantu seseorang memenuhi kebutuhan
gizinya sehari-hari. Jenis hidangan untuk makanan pagi dapat dipilih dan
disusun sesuai dengan keadaan, lebih baik lagi jika terdiri dari makanan
sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur.
9. Minumlah air yang bersih, aman dan cukup jumlahnya
Air minum harus bersih dan aman, aman berarti bersih dan bebas kuman.
Untuk mendapatkannya, air minum harus didihkan terlebih dahulu. Air
berfungsi untuk melancarkan transportasi zat gizi dalam tubuh, mengatur
suhu tubuh dan melancarkan dalam proses buang air besar dan kecil.
Untuk memenuhi fungsi tersebut cairan yang dikonsumsi
sekurang-kurangnya 2 liter atau setara 8 gelas perhari.
10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur
Aktivitas fisik dan olah raga sangat bermanfaat bagi kesehatan karena
dapat mengendalikan berat badan, mengurangi kolesterol dan lain
sebagainya.
11. Hindari minuman beralkohol
Minuman beralkohol meningkatkan resiko penyakit yang dapat merusak
12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan
Makanan yang dikonsumsi harus cukup gizi dan aman bagi kesehatan atau
terbebas dari pengawet, penyedap rasa dan lain sebagainya.
13. Bacalah label pada makanan yang dikemas
Makanan kemasan yang baik mencantumkan label nutrisi yang berisi
bahan-bahan dan kandungan nutrisi. Makanan yang baik juga menetapkan
batas kadaluarsa pada kemasan. Memperhatikan label nutrisi pada
kemasan membantu konsumen secara seksama memilih makanan yang
sehat dan aman.
2.7 Piramida Makanan
1. Pada baris pertama terdiri dari air putih dimana kita mengetahui tentang
kebutuhan air minum kita sehari, yakni +8 gelas.
2. Pada baris kedua, itu merupakan 'Sumber Karbohidrat' yang biasanya juga
disebut sebagai makanan pokok. Dari gambar piramida diatas itu, selain
kita bisa mengetahui kalau kebutuhannya paling besar diantara makanan
yang lain, kita juga bisa melihat makanan pokok itu tidak selalu nasi. Bisa
diganti dengan roti, sereal, biskuit, bahkan pasta.
3. Pada tingkat ketiga, kebutuhan terbesar kedua adalah sayuran dan
buah-buahan. Kedua bahan makanan ini sangat penting sebagai sumber vitamin
dan mineral, juga serat. Karena keduanya berada dalam satu baris,
memang lebih baik keduanya memiliki porsi yang lebih besar. Lebih baik
mengkonsumsi keduanya secara bersamaan, karena semakin
dapatkan. Karena pada kenyataannya, tidak ada satu jenis makanan yang
mengandung semua zat gizi secara sempurna kecuali ASI.
4. Tingkat keempat terdiri dari makanan yang mengandung protein, yakni
protein hewani seperti daging, ayam dan telur. Protein nabati seperti
kacang kedelai, kacang hijau, dan olahannya dan dairy product seperti
susu, keju dan yoghurt.
5. Tingkat kelima, posisi puncak yang menandakan kebutuhan yang sangat
sedikit atau bahkan lebih baik dihindari, yang dihuni oleh minyak, garam,
gula , suplemen dan vitamin tambahan. Beberapa jenis makanan disini,
biasanya memang tidak berdiri sendiri, melainkan bercampur dengan
bahan makanan lainnya (Arnawa, dkk, 2013).
2.8 Pola Pangan Harapan (PPH)
Untuk menilai keberhasilan upaya percepatan penganekaragaman pola
konsumsi pangan diperlukan suatu parameter. Parameter yang digunakan adalah
Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan atau
kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut
maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun
konsumsi pangan. Sehingga mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan
penduduk sekaligus mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung
dengan citarasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan
daya beli masyarakat (Baliwati, dkk, 2010).
PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat,
berdasarkan skor pangan dari 9 bahan pangan. Ketersediaan pangan sepanjang
waktu, dalam jumlah yang cukup dan hanya terjangkau sangat menentukan tingkat
konsumsi pangan di tingkat rumah tangga (Depkes RI, 2014).
Tiap Negara mempunyai potensi dan sosial budaya yang berbeda-beda.
Bagi Indonesia menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for
Nutritional Adequacy di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut: Kelompok padi-padian sekitar 50%, makanan berpati sekitar 5%,
pangan hewani sekitar 15-20%, minyak dan lemak lebih dari 10%,
kacang-kacangan sekitar 5% , gula 6-7%, buah dan sayur 5% (FAO-MOA, 1989).
Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VII tahun 2004,
susunan PPH Nasional yang telah disepakati terdapat pada table 2.1 dengan target
pencapaian energi sebesar 2000 Kkal/kapita/hari.
Tabel 2.1. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Nasional
No Kelompok
Sumber: Pusat Penganekaragaman Konsumsi Dan Keamanan Pangan, 2013 Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi
masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai
contoh, pembobot pada kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5
karena pangan tersebut hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia.
Sebaliknya pangan hewani dan kacang-kacangan sebagai sumber protein yang
berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia mempunyai
pembobot 2 dan sayur/buah sebagai sumber vitamin dan mineral, serat, dan
lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi energi dengan
masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor
sebesar 100. Dalam arti penganekaragaman konsumsi pangan sesuai konsep PPH
harus mempunyai skor 100 (Ariani, 2005).
Penilaian untuk keberhasilan penganekaragaman konsumsi pangan
berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dibagi dalam 3 (tiga) kategori sebagai
berikut (Suhardjo dalam Sembiring (2002)) :
a. Segitiga perunggu
Skor mutu pangan kurang dari 78, dengan ciri-ciri antara lain :
- Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH
- Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan masih
rendah dibawah norma PPH
- Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH
b. Segitiga Perak
Skor mutu pangan 78-87, dengan ciri-ciri antara lain :
- Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih
- Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan masih
rendah masing- masing antara 8-12 % dan 4-5%
- Energi dari minyak, kacang-kacangan dan gula relatif sudah memenuhi
norma PPH
c. Segitiga Emas
Skor mutu pangan 88 keatas dengan ciri-ciri antara lain :
- Energi dari padi-padian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama
- Energi dari pangan hewani diatas 12 % atau relatif sama dengan norma
PPH
- Energi dari kelompok pangan lain sudah relatif memenuhi norma PPH
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rosida tentang pola konsumsi
pangan keluarga dan pola pangan harapan (PPH) di Desa Kampong Jeumpa
Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie ditemukan bahwa rata-rata konsumsi
energi penduduk Desa Kampong Jeumpa sebesar 2045 kalori lebih tinggi dari
kecukupan energi yaitu 2000 kalori. Komposisi pangan yang dikonsumsi belum
berimbang antar kelompok pangan dan gizi, dimana konsumsi padi-padian dan
pangan hewani cukup tinggi sebesar 67,2% dan 15,5%. Sedangkan kelompok
pangan lain sangat rendah dibanding PPH Nasional yang telah ditetapkan.
Sehingga komposisi pangan yang tidak seimbang tersebut menyebabkan skor
mutu PPH menjadi rendah yaitu 68,2. Hal ini mengindikasikan bahwa sekalipun
2.9 Perilaku
Menurut Blum (1974) dalam Soekidjo (2003) mengemukakan bahwa
perilaku merupakan faktor yang dominan mempengaruhi kesehatan setelah
lingkungan, dimana perilaku selalu berperan dalam lingkungan, baik lingkungan
fisik, sosial, juga sosial budaya dan kemudian baru ditunjang oleh tersedianya
fasilitas kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat, dan terakhir adalah faktor
keturunan, dimana faktor ini erat kaitannya dengan gen yang diturunkan terhadap
individu.
Perilaku menurut Notoatmodjo (2003), adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat
diamati oleh pihak luar. Perilaku diartikan sebagai suatu reaksi organisme
terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut
rangsangan dan rangsangan tersebut dapat menimbulkan suatu perubahan perilaku
(Ensiklopedi Amerika, Notoadmodjo, 2003).
Blum (1908) membedakan menjadi tiga bentuk perilaku yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor. Ahli lain menyebut pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude), dan tindakan (practice). Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan.
Skiner (1983) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar.
Oleh karena peilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skiner membedakan
respons ini dalam dua bentuk yaitu
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
2. Operant respon atau Instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau rein-forcer, karena
memperkuat respon.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua antara lain :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap orang yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas
oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang
2.9.1 Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar
menjawab pertanyaan “What”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan
sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab apa sesuatu itu (Notoatmodjo,
2005).
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour)
(Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan, yakni :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi lainnya.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.9.2 Sikap (attitude)
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007).
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakkan bahwa sikap
itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan, yakni :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sampai tingkat tinggi.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.9.3 Tindakan atau Praktik (Practice)
Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2007).
Tindakan praktik mempunyai beberapa tingkatan, yakni :
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
2. Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh.
3. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
2.9.4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kesehatan Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku
ditentukan 3 faktor yaitu:
1. Faktor Predisposisi (Predisforsing Factors)
Faktor yang dapat memudahkan atau memprodisposisi terjadinya perilaku
pada diri seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang
atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas,
sarana dan prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku
3. Faktor Penguat (Reinforsing Factors)
Tokoh masyarakat merupakan faktor penguat bagi terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat, peraturan perundang-undangan, Surat Keputusan
dari para pejabat pemerintah daerah atau pusat juga termasuk faktor penguat
perilaku.
2.10 Perilaku Keluarga Petani
Perilaku adalah segala bentuk tanggapan dari individu terhadap
lingkungannya dan merupakan suatu perwujudan dari adanya kebutuhan. Untuk
mewujudkan sikap dalam pemberian makanan bergizi menjadi suatu perbuatan
nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu yang memungkinkan antara lain
adalah fasilitas. Tingkatan praktik adalah mulai dari persepsi, respon terpimpin,
mekanisme dan adaptasi.
Dimana dalam perilaku pemberian makanan bergizi ini dapat terlihat dari
keluarga petani bisa memilih makanan yang bergizi bagi keluarganya, serta
keluarga petani dapat pula memilih bahan makanan yang bergizi tinggi
berdasarkan bahan yang murah dan sederhana (Notoatmodjo, 2005).
2.10.1 Pengetahuan Keluarga Petani
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan merupakan hasil
tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.
Penginderaan ini terjadi melalui pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
Selanjutnya perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih
permanen dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Pengetahuan yang dimiliki sangat penting untuk terbentuknya sikap dan tindakan.
Menurut Cahyani (2008) pengetahuan tentang penganekaragaman konsumsi
pangan, sebaiknya petani mendapat bimbingan dan pengawasan dari orang yang
lebih mengerti tentang masalah tersebut. Sehingga petani semakin tahu dan
mengerti tentang penganekaragaman konsumsi pangan dan dapat
melaksanakannya dengan baik. Pengetahuan keluarga petani tentang
penganekaragaman konsumsi pangan yang baik akan mendukung konsumsi
makanan yang baik juga sehingga dapat mengoptimalkan derajat kesehatan.
Pengetahuan penganekaragaman konsumsi pangan merupakan proses
untuk merubah perilaku masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang sehat
jasmani dan rohani. Pengetahuan keluarga petani ada kaitannya dengan
pendidikan. Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pula pengetahuan
akan kesehatan keluarganya (Soekirman, 2000).
2.10.2 Sikap Keluarga Petani
Newcomb dalam Notoatmodjo (2005), sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan suatu keadaan mental dan
saraf dari kesiapan, yang diatur melalui respon individu pada semua obyek dan
Dalam penentuan sikap, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah
kepribadian, intelegensia, minat dan motivasi individu tersebut (faktor intrinsik).
Sedang faktor ekstrinsik adalah faktor lingkungan, pendidikan, idiologi, ekonomi,
politik serta pertahanan dan keamanan (Hankam). Sikap dapat dipelajari dan
dibentuk sehingga sikap akan mencerminkan kepribadian dan karakter seseorang.
Kebutuhan sikap yang cenderung dinamis tentu dibarengi dengan perubahan sikap
melalui beberapa tahapan yaitu perhatian, mengerti, menerima dan keyakinan
(proses rasional). Sikap keluarga petani terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan
dan perhatian keluarga petani terhadap ceramah-ceramah tentang gizi. Merespon
dengan memberikan jawaban ketika ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan. Kemudian mengajak tetangga untuk pergi menimbangkan
anaknya ke posyandu adalah menunjukkan keluarga petani mempunyai sikap
positif terhadap gizi keluarganya. Sehingga diharapkan kepada keluarga petani
dapat meningkatan atau mempertahankan gizi dengan baik yang meliputi :
1. Keluarga petani dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi
keluarganya.
2. Ibu dapat memasak dan memilih makanan yang bergizi tinggi berdasarkan
beragam bagi keluarga nya.
3. Timbulnya kebiasaan makan yang baik.
2.11 Keluarga Petani
Keluarga merupakan dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan di hidupnya
dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan sesuai perannya
masing-masing, menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (unit terkecil dari
masyarakat yang saling ketergantungan) (Salvicion dan Celis, 1998).
Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian
utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk
menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain),
dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan
sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain (Khaeron, 2012).
Keluarga petani merupakan kumpulan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak
yang mata pencariannya bercocok tanam baik di sawah atau di ladang untuk
menyambung hidup (Khairuddin, 2000)
2.12 Kerangka Konsep
Gambar 2.1 Kerangka konsep
Kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa karakteristik keluarga
anggota keluarga akan dapat mempengaruhi tindakan penganekaragaman
konsumsi pangan keluarga petani. Serta pengetahuan dan sikap dapat