• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umumnya permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat, tidak dapat

dipungkiri erat kaitannya dengan semakin pesatnya perkembangan perekonomian dan

perdagangan saat ini. Krisis moneter juga berpotensi membawa dampak yang tidak

menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar

terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang-piutang untuk meneruskan kegiatannya.1

Salah satu sarana hukum dalam penyelesaian utang piutang untuk mengantisipasi

kesulitan yang menimbulkan masalah dalam utang piutang tersebut, maka dapat digunakan

ketentuan perdamaian yang telah disediakan Pemerintah sebagai instrumen hukum yaitu

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (disingkat UUK dan PKPU).

Utang digunakan sebagai dasar utama untuk mempailitkan debitor, dalam UUK dan

PKPU pengadilan niaga menerapkan ketentuan utang dalam penyelesaian perkara kepailitan.2

1

Konsideran Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU).

Tanpa ada utang tidak mungkin muncul perkara kepailitan. Utang merupakan kewajiban

dalam hukum perdata, dan setiap kewajiban itu akan menimbulkan hak bagi orang lain. Jika

2

Sunarmi (I), Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 429.

(2)

kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka pihak lain dapat menuntut seseorang atas

haknya secara perdata.3

Diterapkannya prinsip-prinsip kepailitan misalnya prinsip debt collection dapat

digunakan sebagai mekanisme pemaksaan debitor agar mau membayar utangnya kepada para

kreditornya dengan cara melikuidasi seluruh aset debitor sampai sejauh kemampuan aset

debitor bisa melunasi utang-utangnya kepada para kreditor. Prinsip ini juga memiliki

konsekuensi kepada debitor agar berhati-hati melaksanakan pengurusan usahanya dan

manajemen usaha agar tidak sampai bangkrut.4 Masih banyak asas-asas dan prinsip-prinsip

yang dikenal dalam hukum kepailitan, di samping asas dan prinsip tersebut ditentukan syarat

minimal mengajukan permohonan kepailitan kepada Pengadilan Niaga.5

Syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor dengan tujuan untuk

memperoleh pelunasan pembayaran utang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU

yaitu “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya”.

Hukum kepailitan (UUK dan PKPU) memberikan peluang bagi para kreditor untuk

mengajukan kepailitan6

3

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 34-35.

bahkan diberikan peluang bagi para kreditor untuk upaya

4

Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. 19.

5

M. Hadi Shubhan, Op. cit., hal. 25. 6

(3)

perdamaian.7 Upaya perdamaian (accord) dapat diajukan oleh salah satu pihak guna

mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara.8

Putusan pailit berdasarkan UUK dan PKPU membawa dampak atau akibat terhadap

debitor. Sebagaimana Pasal 21 UUK dan PKPU menentukan “kepailitan meliputi seluruh

kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang

diperoleh selama kepailitan”. Berarti kepailitan merupakan sita umum untuk menghindari sita

perseorangan. Sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor dimaksud untuk

kepentingan semua kreditor yang bersangkutan yang dijalankan oleh seorang hakim

pengawas.

Kepailitan juga berakibat terhadap debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala

hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam

harta pailit. Pembekuan hak perdata ini sebagai perintah dari Pasal 22 UUK dan PKPU

terhitung sejak keputusan pernyataan pailit diucapkan. Termasuk seluruh dan setiap perikatan

antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan

pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan

tersebut dapat mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu.9

Keputusan pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh harta kekeyaan debitor.

Kekayaan debitor tersebut akan dikuasai oleh kurator yang akan mengurus dan membereskan

seluruh harta pailit. Akibat dari putusan pailit membawa konsekuensi terhadap

gugatan-7

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnia, Kepailitan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 96.

8

Sunarmi (III), Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 144. Perdamaian (accord) dalam kepailitan diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara debitor pailit dengan para kreditor.

9

(4)

gugatan yang sedang berjalan, baik dalam kapasitas debitor sebagai tergugat maupun sebagai

penggugat yaitu gugatan ditunda atau ditangguhkan, kurator mengambil alih perkara dengan

menggantikan kedudukan debitor, perkara digugurkan, atau gugatan diteruskan.10

Dampak terhadap perikatan-perikatan antara debitor dengan para kreditornya, setelah

debitor dinyatakan pailit, maka para kreditor dapat meminta ganti rugi atas

perjanjian-perjanjian terhadap debitor melalui kurator, termasuk penyerahan barang yang telah

diperjanjikan sebelumnya, pemutusan hubungan kerja dan pembayaran utang-utang debitor

terhadap semua kreditor yang menuntut kerugian. Kecuali perjanjian sewa-menyewa tetap

dijalankan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan.11

Pernyataan pailit yang diucapkan pengadilan tidak menghilangkan hak agunan atas

kebendaan yang dimiliki kreditor separatis dan kreditor kongkruen terhadap harta debitor dan

hak kedua kreditor ini harus didahulukan. Kreditor separatis sebagai kreditor pemegang hak

jaminan kebendaan yang memberi wewenang kepada kreditor lainnya untuk menjual secara

lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya untuk memperoleh pelunasan dibandingkan

dengan kreditor-kreditor lainnya. Kreditor preferen memiliki piutang-piutang yang

berkedudukan istimewa dan piutang-piutang itu didahulukan atas barang-barang tertentu.

(5)

UUK dan PKPU memungkinkan diadakannya perdamaian untuk mengakhiri suatu

kepailitan. Disahkannya perdamaian berarti berakhirnya demi hukum suatu kepailitan dan

akan mengakibatkan gugurnya tuntutan-tuntutan hukum yang bertujuan untuk meminta

pembatalan dan pengembalian atas segala kebendaan yang telah diberikan oleh debitor pailit

sebelum pernyataan pailit diumumkan. Jika perdamaian itu berisi suatu pelepasan harta pailit,

maka hak untuk melakukan tuntutan pembatalan dan pengembalian tersebut tetap ada, dalam

hal ini tuntutan-tuntutan tersebut dapat dilanjutkan atau dimajukan oleh para pemberes harta

pailit.13

Salah satu upaya untuk menghindari dampak dari kepailitan sebagaimana tersebut di

atas, adalah dapat dilakukan melalui upaya pengajuan perdamaian.14

Pihak kurator telah memanggil secara patut kepada pihak kreditor separatis (PT.

Bank DBS Indonesia), namun tidak memanfaaatkan kesempatannya sehingga kreditor Putusan Pengadilan

Niaga Nomor 13/Pailit/2010/PN.Niaga.Smg pada Pengadilan Negeri Semarang mengesahkan

rencana perdamaian (accord) yang diajukan debitor pailit hanya mendapat persetujuan dari

kreditor konkuren saja, sementara isi perdamaiannya juga menyangkut penyelesaian utang

terhadap kreditor-kreditor lainnya, yakni kreditor preferen dan kreditor separatis.

adalah kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.

13

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 45-46. 14

Pasal 109 UUK dan PKPU, menentukan: Kurator setelah meminta saran dari panitia

(6)

separatis tidak mempermasalahkan adanya kepailitan dimaksud karena kedudukannya aman

dan dijamin oleh undang-undang serta faktanya walaupun telah dipanggil secara patut

menurut hukum tidak menggunakan haknya untuk hadir karena komposisi hukumnya

tergantung pihak kreditor konkuren yang mempunyai hak suara dalam menilai rencana

perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit.

Kreditor separatis tidak mempunyai risiko hukum karena dilindungi adanya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda

yang Berkaitan dengan Tanah (disingkat UU Hak Tanggungan).15

15

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistim Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2008), hal. 181. Lihat juga: Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2002), hal. 49. Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian hak tanggungan meliputi:

Jika debitor tidak mampu

mengembalikan utang kepada kreditor separatis, maka kreditor separatis dapat melakukan

upaya hukum dengan melelang objek hak tanggungan. Tetapi terdapat kemungkinan pula

kreditor separatis pemegang hak tanggungan mengajukan permohonan pailit kepada debitor

pemberi hak tanggungan. Namun dalam kasus ini kreditor separatis (PT. Bank DBS

Indonesia), tidak mempermasalahkan adanya kepailitan.

a. Hak jaminan yang dibebankan atas tanah;

b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

c. Untuk pelunasan utang tertentu;

(7)

Dalam kasus ini terdiri dari beberapa kreditor yang masing-masing berkedudukan

sebagai:

1. Kreditor preferen (memiliki hak istimewa) ada 1 (satu) kreditor yaitu Kantor

Pelayanan Pajak);

2. Kreditor separatis ada 1 (satu) kreditor yaitu PT. Bank DBS Indonesia;

3. Kreditor konkuren ada 23 (dua puluh tiga) kreditor.

Kreditor yang mengajukan permohonan pailit dalam kasus ini PT. Greta Sastra Prima

lebih dan para kreditor lain yaitu PT. Greta Sastra Prima, CV. Putra Tunggal, dan CV. Nine

Star Trade & Stockpile terhadap Debitor Pailit yaitu: PT. Kertas Blabak Magelang, Serikat

Pekerja Kertas Blabak, Yayasan Dana Pensiun (YDP) PT. Kertas Blabak, Koperasi

Karyawan PT. Kertas Blabak, Perman Yadi, PT. SMM Internasional Invesments Pte.Ltd., dan

PT. SMM Group Pte. Ltd.16

Dalam kasus ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah

memaksakan diri supaya kreditor separatis menyatakan pendapat atas proposal damai yang

diajukan oleh debitor pailit. Padahal undang-undang justru menentukan sebaliknya, di mana

para kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia dan hak tanggungan atau hypotek, atau hak

atas kebendaan lainnya, dan kreditor yang diistimewakan, termasuk kreditor yang

mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan

dengan rencana perdamaian.

Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU menentukan:

16

(8)

Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.

Ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU sesungguhnya telah memberikan

keleluasaan dan kewenagan penuh kepada kreditor kongkuren untuk menilai dan

memutuskan sendiri apakah proposal damai yang diajukan debitor pailit itu akan diterima

atau ditolaknya. Untuk pihak kreditor separatis tidak penting muatan dalam proposal

perdamaian tersebut baginya, karena posisi hukumnya cukup kuat disebabkan ada jaminan

kebendaan yang melekat ada padanya, sehingga ada atau tidaknya perdamaian, pelaksanaan

pemenuhan kewajiban hutang debitor pailit kepadanya tetap aman.

Pendapat Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang justru menyatakan hal

yang berbeda, bahwa menurut majelis hakim sangat penting kreditor separatis itu

memberikan pendapatnya menyangkut proposal perdamaian adalah bertentangan dengan

muatan dalam ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU karena dalam ketentuan pasal

tersebut justru kedudukan kreditor separatis itu harus dijauhkan sejauh mungkin dari proses

hukum terhadap pengambilan keputusan damai, sehingga kedudukannya tersebut justru tidak

boleh dijadikan sebagai kiblat atau penentu.17

17

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:

(9)

Pendapat majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang justru

menyatakan pula bahwa dengan tidak adanya pendapat dari kreditor separatis menyangkut

penilaiannya atas proposal damai yang diajukan oleh debitor pailit tersebut akan mengganggu

pelaksanaan perdamaian, dan oleh karena itu tidak ada jaminan atas pelaksanaan perdamaian

adalah tidak berdasar atas hukum.18

Kreditor separatis tidak memiliki hak untuk mengeluarkan suara pada tahap

pembicaraan tentang rencana perdamaian, kecuali jika telah dilepaskannya kedudukan hak

istimewanya tersebut sebelum dilakukan pungutan suara.

19

Jika PT. Bank DBS Indonesia (kreditor separatis) tidak berpendapat, maka posisinya

sangat aman, dan faktanya seluruh cicilan kredit terhadap debitor pailit kepadanya adalah

sangat lancar, tidak pernah nunggak dan selalu tepat waktu, sehingga tidak berpendapatnya

PT. Bank DBS Indonesia itu tidak otomatis berkonotasi negatif, sementara sikap dan Dalam hal ini pelaksanaan

perdamaian tersebut tidak ditentukan oleh pendapat kreditor separatis, melainkan oleh

kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengatur keuangannya, lancar tidaknya usaha

yang dilakukan, keuntungan perusahaan yang akan dicapai, grafik pencapaian produksi, dan

itikat baik dari debitor pailit. Sementara Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

memaksakan diri supaya kreditor separatis menyatakan pendapat atas proposal damai yang

diajukan oleh debitor pailit.

tidak bisa langsung begitu saja melaksanakannya. Sedangkan kreditor konkuren yaitu kreditor yang memiliki hak yang istimewa, kreditor ini menerima haknya atau pelunasan utang terlebih dahulu dari pendapatan penjualan setelah itu barulah kreditor lainnya.

18

Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012, hal. 6. 19

(10)

argumentasi hukum yang telah dibangun oleh Pengadilan Niaga dalam hal ini mengandung

konotasi negatif.20

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang memberikan tafsir yang salah

dan negatif atas sikap PT. Bank DBS Indonesia yang dalam hal ini tidak memberikan

pendapatnya atas proposal perdamaian tersebut. Prasangka dan rasa kecemasan yang muncul

menjadi dasar dalam membangun argumentasi hukum oleh Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Semarang, padahal seharusnya berdasarkan atas fakta-fakta hukum dan

ketentuan Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU tidak demikian halnya.21

Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan

tersebut pada putusan kasasi dapat dibenarkan karena judex facti (Pengadilan Niaga pada PN

Semarang) telah salah mempertimbangkan dengan menolak pengesahan perdamaian yang

diajukan oleh debitor pailit karena proposal perdamaian tersebut menurut Mahkamah Agung

telah memenuhi ketentuan Pasal 151 UUK dan PKPU, dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Bahwa judex facti salah dalam pertimbangan karena memasukkan dalam perdamaian

penyelesaian utang debitor pailit terhadap kreditor separatis dan kreditor preferen

sedangkan kreditor separatis belum memberikan tanggapan, padahal berdasarkan

Pasal 149 UUK dan PKPU kreditor separatis dan kreditor preferen tidak boleh

memberikan tanggapan dan tidak ikut memberikan suara terhadap perdamaian

20

Sunarmi (III), Op. cit., hal. 153-153. Kreditor dibagi 3 (tiga) golongan: pertama, kreditor separatis, yaitu kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan golongan ini dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan. Kedua, kreditor preferen yaitu golongan kreditor yang piutangnya memiliki kedudukan istimewa, memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu. Ketiga, kreditor konkuren yaitu kreditor yang dicukupkan pembayaran piutang-piutangnya dari hasil penjualan harta pailit sesudah diambil bagian untuk kreditor separatis dan kreditor preferen.

21

(11)

tersebut. Ditinjau dari ketentuan Pasal 159 ayat ( 2) UUK dan PKPU bukan

merupakan alasan menyatakan pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin, karena

yang dimaksud lain adanya bukti yang menunjukkan bahwa debitor tidak akan

mampu melaksanakan apa yang ditetapkan dalam perdamaian dan juga kreditor

separatis sama sekali belum memberikan tanggapan terhadap perdamaian tersebut.

2. Bahwa judex facti menganggap tidak adil apabila terhadap para kreditor yang

berbeda kedudukannya ditawarkan penyelesaian dengan kelonggaran waktu (grace

period) selama 3 (tiga) tahun dengan angsuran 5 (lima) tahun karena sesuai dengan

ketentuan Pasal 149 ayat (2) UUK dan PKPU jika kreditor separatis dan atau kreditor

preferen telah melepaskan haknya untuk didahulukan maka kreditor preferen

dimaksud menjadi kreditor konkuren sehingga harus diperlakukan sama dengan

kreditor kreditor lainnya.

Hal tersebut bukanlah merupakan alasan untuk menyatakan tidak adil sebagai alasan

oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang untuk menolak pengesahan

perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2)

UUK dan PKPU. Selain itu adanya perdamaian tersebut akan memberikan efek positif

terhadap para pekerja yakni tetap terlindunginya pekerja dari pemberhentian kerja, sehingga

alasan serikat pekerja patut juga dipertimbangkan untuk dikabulkan.

Penolakan pengesahan perdamaian sebagaimana yang dilakukan oleh judex facti

adalah tidak beralasan, bertentangan dengan hukum dan harus dibatalkan oleh Mahkamah

Agung serta tidak sesuai dengan asas kepastian hukum. Dengan asalan-alasan debitor pailit

(12)

pailit sehubungan dengan penentuan para kreditor dalam kasus ini bertentangan dengan UUK

dan Kepailitan serta UU Hak Tanggungan.

Tetapi pada peninjauan kembali, asalan-alasan debitor pailit tersebut di atas oleh

Mahkamah Agung tidak dikabulkan. Dalam peninjauan kembali yang diajukan oleh para

kreditor dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012

berdasarkan alasan adanya kekeliruan yang nyata dan kemudian membatalkan Putusan

Mahkamah Agung Nomor 445 K/Pdt.Sus/2011.22

Alasan-alasan peninjauan kembali dari para kreditor bahwa Mahkamah Agung tidak

menyimak dan membahas akan isi proposal perdamaian yaitu:

Kekeliruan yang nyata tersebut melanggar

Pasal 295 ayat (2) huruf b UUK dan PKPU.

1. Tidak memperhatikan dan meneliti lebih lanjut serta tidak menyimak tentang isi

proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit berdasarkan Pasal 159 ayat (2)

huruf b UUK dan PKPU yang menentukan “pelaksanaan perdamaian tidak cukup

terjamin”.

2. Dalam pertimbangan hukum judex juris (pada putusan kasasi di Mahkamah Agung)

pada halaman 28 dalam Putusan Nomor 445 K/Pdt.Sus/2011 telah salah dalam

menanggapi dan meneliti alasan judex facti dalam penolakan pengesahan perdamaian

dalam hal “bukan merupakan alasan pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin

dikarenakan kreditor separatis tidak memberikan pendapat atas proposal perdamaian

yang diajukan debitor pailit”.

22

(13)

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang sebenarnya

berdasarkan UUK dan PKPU serta UU Hak Tanggungan telah benar dan tepat dalam

pertimbangannya yang mempertimbangkan bahwa apabila kreditor separatis (PT. Bank DBS

Indonesia) tidak memberikan pendapatnya di dalam perdamaian tersebut maka perdamaian

tersebut akan terganggu dengan kata lain kreditor separatis bisa saja melaksanakan haknya

untuk eksekusi jaminan yang dikuasai oleh kreditor separatis. Maka dari itu dengan tidak

adanya kepastian suara atas perdamaian oleh kreditor separatis mengakibatkan perdamaian

menjadi tidak ada kepastian hukum.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehubungan dengan asas-asas dan prinsip-prinsip

hukum kepailitan dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan upaya perdamaian dalam

permohonan pailit terhadap debitor yang dibebani hak tanggungan untuk memperoleh

pelunasan pembayaran utang debitor pailit. “Hak Suara Kreditor Sepratis Dalam Proses

Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” sebagai judul tesis dalam

penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan

permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana hak suara kreditor separatis dalam persetujuan pengajuan upaya

perdamaian menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

(14)

2. Mengapa kedudukan kreditor separatis tidak memiliki hak suara dalam pengambilan

keputusan upaya perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

3. Apakah yang menjadi dasar Mahkamah Agung memandang penting untuk

memperhatikan kedudukan hak suara kreditor separatis dalam pengambilan

keputusan upaya perdamaian?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian tesis ini akan

bertujuan:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis hak suara kreditor separatis dalam persetujuan

pengajuan upaya perdamaian menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kreditor separatis dalam

pengambilan keputusan upaya perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis yang menjadi dasar Mahkamah Agung

memandang penting untuk memperhatikan kedudukan hak suara kreditor separatis

dalam pengambilan keputusan upaya perdamaian.

(15)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu

hukum antara lain:

1. Manfaat secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademis di bidang bidang hukum, selain itu, dapat menjadi bahan

menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum serta

menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis. Penelitian ini dapat memberi masukan bagi para praktisi peradilan yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, bagi para kreditor dan

debitor pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, lembaga kepailitan, lembaga

hak tanggungan, dan lain-lain.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelurusan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang

pernah dilakukan secara khusus di Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul

“Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan Upaya Perdamaian Menurut

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 62

PK/Pdt.Sus/2012)” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang

sama. Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, diperoleh yaitu:

1. Asepte Gaulle Ginting, Nim: 087005118, dengan judul tesis: Tanggung Jawab Dewan

Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan

Undang-Undang RI No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Fokus permaslahan yang diteliti

(16)

a. Bagaimana kedudukan dan wewenang dewan komisaris perseroan berdasarkan UU

No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

b. Bagaimana akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ Perseroan

Terbatas?

c. Bagaimanakah tanggung jawab dewan komisaris Perseroan Terbatas dalam hal

terjadinya kepailitan berdasarkan UU RI No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan?

2. Sophia, NIM: 097005084, dengan judul tesis: Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Kewajiban Pembyaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga

No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan). Fokus permasalahan yang diteliti adalah:

a. Mengapa kreditor diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan penundaan

kewajiban pembayaran utang terhadap debitor dalam UU No.37 Tahun 2004?

b. Bagaimanakah mekanisme rencana perdamaian di dalam penundaan kewajiban

pembayaran utang?

c. Bagaimanakah penerapan hukum kepailitan dalam perkara

No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

3. Ulfa Budiartiy, NIM: 097005086, dengan judul tesis: Analisis Yuridis Permohonan

Pernyataan Pailit Terhadap Bank oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembyaran Utang. Fokus

kajian masalah yang diteliti adalah:

a. Bagaiman kedudukan Bank Indonesia dalam hal pengajuan permohonan pailit

(17)

b. Bagaimana permasalahan hukum yang dihadapi Bank Indonesia sebagai bank sentral

jika menerapkan kepailitan pada bank?

c. Bagaimanakah mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh kreditor dalam

menyelesaikan piutangnya terhadap bank?

4. Kheriah, NIM: 097005070, dengan judul tesis: Kewenangan Pengurus Terhadap Harta

Kekayaan Perusahaan Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Fokus kajian

masalah yang diteliti adalah:

a. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang independensi pengurus PKPU terhadap

harta kekayaan perusahaan?

b. Bagaimanakah kewenangan pengurus PKPU terhadap harta kekayaan perusahaan

bila dikaitkan dengan kewenangan pengurus perusahaan dalam PKPU?

c. Apa sajakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam kewenangan pengurus

terhadap harta kekayaan perusahaan dalam PKPU?

Sedangkan dalam judul ini: “Hak Suara Kreditor Separatis Dalam Proses Pengajuan

Upaya Perdamaian Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan Peninjauan Kembali

Mahkamah Agung Nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012)”, memfokuskan masalah kajiannya pada:

1. Bagaimana prosedur pengajuan upaya perdamaian dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kwajiban Pembayaran Utang?

2. Mengapa dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kedudukan kreditor separatis tidak memiliki

(18)

3. Apakah yang menjadi dasar putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 62

PK/Pdt.Sus/2012 menganggap penting untuk memperhatikan kedudukan hak suara

kreditor separatis dalam pengambilan keputusan upaya perdamaian?

Sehingga dengan demikian penelitian-penelitian tersebut di atas adalah berbeda

dengan judul dan permasalahan yang terdapat di dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini,

sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian yang ini adalah asli dan dapat

dipertanggungjawabkan apabila di kemudian hari ternyata dapat dibuktikan adanya plagiat

dari hasil karya penelitian milik orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional a. Kerangka Teori

Teori yang pertama digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini

adalah teori kepastian hukum. Hal ini sehubungan dipermasalahkannya hak suara kreditor

separatis dalam proses pengajuan upaya perdamaian dalam kepailitan. Sehubungan dengan

teori menyangkut kepastian hukum, menurut Tan Kamello, bahwa dalam suatu

undang-undang, kepastian hukum (legal certainty) meliputi dua hal, yaitu pertama, kepastian dalam

perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang

(19)

dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian

dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.23

Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi

hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata,

menurut Tan Kamello berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada

masyarakatnya. Dengan perkataan lain, menurutnya peraturan hukum yang demikian disebut

dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam

kehidupan manusia.24

Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta

ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian

hukum. Sebagaimana Menurut Mahfud MD mengatakan demikian sebenarnya kedua belah

pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan

argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang.25

Idealnya, Faisal dalam pandangan lain mengatakan bahwa setiap putusan hakim

harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun

realitas menunjukkan bahwa sering kali terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai

yang lainnya, apabila dalam kenyataannya telah terjadi pertentangan antara keadilan dan

kepastian hukum, muncul pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan. Masalah

kepastian hukum, masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan kasus-kasus tertentu,

23

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117. 24

Ibid., hal. 118. 25

(20)

terutama di kalangan para hakim yang menanggapinya secara berbeda dalam setiap

putusannya.26

Dapat dikatakan bahwa pada negara hukum, kepastian hukum dalam sistem eropa

kontinental (positivistik) merupakan prioritas utama dalam negara hukum meskipun

dirasakan sangat tidak adil. Dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus

memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun

asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang

tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh

bidang hukum.27 Dengan demikian kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum

secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam

putusan-putusan badan peradilan.28 Kemudian menurut Cicut Sutiarso mengatakan kepastian

hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan

budaya hukum yang tepat waktu.29

26

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Bekasi: Gramata Publishing, 2012), hal. 162.

27

Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa tahun), hal. 4.

28

http://www.google.com/cse?cx=011777851727344756597%3Ae5nz-xkkyyk&ie=UTF-8&q=kepastian+hukum+mahmul+siregar&siteurl=ocw.usu.ac.id%2F&ref=&ss=7098j2577818j30#gsc.t ab=0&gsc.q=kepastian%20hukum%20mahmul%20siregar&gsc.page=1, diakses tanggal 18 Februari 2014. Ditulis oleh: Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”.

29

(21)

Dalam the concept of law menurut H.L.A Hart, ada kalanya kata-kata dalam sebuah

undang-undang dan apa yang diperintahkannya dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas

sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu

terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal ini

menurut H.L.A Hart merupakan suatu ketidakpastian (legal uncertainty) dalam ketentuan

undang-undang.30

Dalam A. Booth dan P. Mc. Cawley yang dikutip oleh Mahmul Siregar, mengatakan

“Tiap regulasi sepertinya menimbulkan regulasi uraian yang lain sehingga pada akhirnya para

pejabat rendah di kantor-kantor daerah dan pelabuhan merasa bebas, bahkan harus

menetapkan hal yang samar-samar dengan mengeluarkan regulasinya sendiri”.

31

Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung oleh substansi

hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek kepastian dalam struktur

penegakan hukum. Dalam hal yang terakhir ini penerapan kaidah hukum dan peraturan

perundang-undangan dalam peristiwa konkrit melalui putusan-putusan badan peradilan

menjadi faktor sorotan adanya kepastian hukum. Pada perspektif ini dunia peradilanlah yang

memberikan citra pada kepastian hukum tersebut.

Pendapat

tersebut terkait dengan ketidakpastian hukum di daerah pelabuhan sehingga otoritas tertentu

bisa menentapkan peraturan yang samar-samar dalam kegaitan perdagangan.

32

30

H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung: Nusamedia, 2010), hal. 230.

31

A. Booth dan P. Mc. Cawley yang dikutip oleh Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum…Op.

cit., hal. 3.

32

(22)

Apa yang bisa membuat para pelaku usaha atau investor merasa tenang dalam

berusaha adalah jika kepastian hukum jelas, karena dengan kepastian hukum para pelaku

usaha atau investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang

dilakukannya.33

Teori selanjutnya (yang kedua) digunakan adalah teori kesepakatan. Teori ini

digunakan untuk mendukung teori kepastian hukum khususnya kepastian undang-undang dan

kepastian klausula dalam perjanjian mengikat para pihak yang berjanji. Teori perjanjian ini

sehubungan dengan hak suara kreditor sepratis dalam upaya perdamaian yang diajukan oleh

debitor pailit yang dibebani hak tanggungan untuk memperoleh pelunasan pembayaran utang

debitor pailit.

Setiap kali para pelaku usaha melakukan perjanjian dalam kegiatan bisnis,

akan menjadi pertimbangan utama dalam hal ini adalah masalah hukum yang mengataur,

tujuannya untuk kepasian hukum.

Menurut pandangan Roscoe Pound, bahwa suatu kesepakatan mengikat karena

memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat.

Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.34

Sejalan dengan teori kehendak tersebut, Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang

lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu

perjanjian…”.35

33

Ibid., hal. 4. 34

Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007),

hal. 18.

35

(23)

Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan

berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan

bentuk atau format apapun serta isi atau substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para

pihak.36

Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara

embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan

berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de

Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.

37

Perkembangan ini mencapai

puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi

klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).38

Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah “suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ikat-mengikat

dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang

meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan

overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan persetujuan. Overeenskomst inilah

yang diterjemahkan sebagai perjanjian. Namun, keberadaan suatu perjanjian saat ini lazim

dikenal sebagai kontrak.39

Berangkat dari teori kehendak tersebut di atas, maka setiap orang bebas menentukan

kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk

36

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 110.

37

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9.

38

Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 108. 39

(24)

memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Dalam pembentukan

dan melaksanakan prestasi tersebut, memiliki dua unsur penting yaitu schuld dan haftung.

Gunawan Widjaja mengatakan:

Pertama berhubungan dengan persoalan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi oleh pihak yang berkewajiban (schuld). Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah siapa yang berkwajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban tersebut wajib dipenuhi oleh kreditor. Hal kedua berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk memenuhinya (haftung). Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut (schuld dan

haftung) terletak di pundak salah satu pihak dalam perikatan yang pada umumnya

disebut debitor. Jadi setiap pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan hukum di antara para pihak dalam perikatan tersebut. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, pembeli yang berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga pembayaran barang yang dibeli, dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi kewajibannya.40

Dalam pandangan di atas lingkup schuld berbicara soal kewajiban yang harus

dipenuhi debitor kepada kreditor, terlepas dari ada tidaknya harta kekayaan debitor yang

dapat dijadikan sebagai jaminan bagi pemenuhan kewajiban debitor. Sementara itu haftung

berbicara soal keberadaan jaminan harta kekayaan yang dapat digunakan untuk memenuhi

kewajiban debitor, tanpa memperlihatkan siapa yang berkewajiban untuk memenuhi

40

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Efek Sebagai Benda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

(25)

kewajiban lapangan harta kekayaan tersebut. Pada perikatan umumnya, schuld dan haftung

senantiasa ada bersama-sama pada diri debitor.41

Dengan demikian, seorang debitor yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dituntut

pemenuhannya oleh kreditor dengan mengambil jaminan harta kekayaan atau kebendaan

debitor yang ada, maupun yang aka nada di kemudian hari.42

Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara

sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus

dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah

satu pihak dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme

dan jalur hukum yang berlaku.

Hal ini terefleksi dalam

ketentuan Paasal 1131 KUH Perdata, menentikan bahwa segala kebendaan debitor, baik yang

bergerak maupun yang tidak beergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di

kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perorangan.

43

Dikarenakan perjanjian adalah sumber dari perikatan, maka perlu diketahui hal-hal

yang menjadi syarat sah-nya suatu perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH

Perdata, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu

perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika suatu perjanjian tidak

memenuhi keempat unsur ini, maka perjanjian dianggap tidak sah bahkan batal demi hukum.

41

Ibid., hal. 315.

42

Ibid., hal. 315-316.

43

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: Raja

(26)

Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari

perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika

prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi)

dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa

ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat dari tindakan wanpretasi tersebut.44

Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau

bisnis. Oleh karena itu, perjanjian menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam

pembangunan hukum.45

Maka dalam hal perkara aquo semestinya keadilan yang ditegakkan hakim adalah di

samping keadilan hukum (keadilan distributif) juga harus menegakkan keadilan komutatif.

Penerapan keadilan komutatif ini dikarenakan bahwa hukum yang tumbuh dan berkembang

di tengan-etangah perkembangan masyarakat juga menjadi pertimbangan hakim dalam

mengadili perkara sehingga yang demikian lebih bermanfaat jika semua kreditor (separatis,

konkruen, dan preferen) dapat dihadirkan hakim dalam proses perdamaian perkara kepailitan

maka teori keadilan yang menjadi pilihan teori berikutnya.

b. Landasan Konsepsional

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yanag digeneralisasikan

dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Soejono Soekanto berpendapat

bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengaruh, atau pedoman yang

44

Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban (prestasi) yang telah disepakati dalam perjanjian.

45

(27)

lebih konkrit dari krangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan

defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.46

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian

hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan

tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.

47

Landasan konsepsional digunakan sebagai pedoman konseptual dengan tujuan untuk

menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda, antara lain:

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas

sebagaimana diatur dalam UUK dan PKPU.48

b. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang

baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung

maupun yang akan timbul di kemudian hari atau konjen, yang timbul karena

perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak

dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat.49

c. Rencana Perdamaian adalah suatu rencana untuk melakukan perdamaian yang

diusulkan oleh salah satu pihak sebelum terjadi sengketa kepailitan. Perdamaian

46

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 133.

47

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999), hal. 24.

48

Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU. 49

(28)

(accoord) adalah suatu upaya yang dapat dilakukan dan diajukan oleh salah satu

pihak guna mengakhiri atau mencegah terjadinya dampak berlanjut dari suatu perkara

yang sedang berjalan dalam kepailitan. Permohonan perdamaian dapat berupa

proposal perdamaian yang digunakan dalam hukum kepailitan.50

d. Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang

tertentu.51 Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.52

e. Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.53

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang

yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.54

f. Kreditor separatis adalah kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan

seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan golongan ini dapat dikatakan sebagai kreditor yang

tidak terkena akibat kepailitan.55

g. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang piutangnya memiliki kedudukan

istimewa, memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu.56

h. Kreditor konkuren adalah kreditor yang dicukupkan pembayaran piutang-piutangnya

dari hasil penjualan harta pailit sesudah diambil bagian untuk kreditor separatis dan

(29)

i. Hak suara adalah hak untuk menyatakan pendapat dalam hal kepailitan atau hak

suara bagi kreditor-kreditor yang diakui dalam UUK dan PKPU,58

j. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh

Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah

pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UUK dan PKPU.

khususnya dalam

hal ini hak suara kreditor separatis.

59

k. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit

atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.60

l. Pengadilan Niaga adalah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.61

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam

tesis ini adalah:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang

mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal

(doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it

58

Pasal 88 UUK dan PKPU. 59

Pasal 1 angka 5 UUK dan PKPU. 60

Pasal 1 angka 8 UUK dan PKPU. 61

(30)

written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial

process.62

Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis melalui pendekatan

perundang-undangan (statute aproach).

63

Sifat penelitian dengan deskriptif analitis, dipakai untuk untuk

menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang tujuannya agar

dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang

bersifat ideal, kemudian dianalitis berdasarkan teori hukum atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku.64

Alasan memilih metode ini adalah untuk mendapatkan data guna menguraikan

tentang hak suara kreditor separatis dalam upaya perdamaian yang diajukan oleh debitor

pailit untuk memperoleh pelunasan pembayaran hutang pada Putusan Peninjauan Kembali

Mahkamah Agung Nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012, maka metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif.

2. Sumber Data

62

Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan

Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

63

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96.

64

(31)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder65

a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian

, yang terdiri

dari:

66

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

antara lain:

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah

Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah.

3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

4. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 445 K/Pdt.Sus/2011.

5. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 62 PK/Pdt.Sus/2012).

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer67

c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder

sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan

pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer yang terdiri dari:

buku-buku, jurnal, majalah, artikel.

68

3. Teknik Pengumpulan Data

, seperti: kamus, berbagai masalah hukum yang

berkaitan dengan dokumen elektronik dan hukum acara perdata.

65

Soejono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 23-24.

(32)

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

research) dan studi dokumen terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut di atas dengan

mengumpulkan berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel atau tulisan

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti serta wawancara yang dilakukan

dengan informan yang dianggap memiliki kompetensi dibidangya, yaitu hakim pengadilan

negeri.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan

teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal terpenting di dalam UU No.37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU)

yang relevan dengan masalah penentuan hak suara kreditor separatis dalam proses pengajuan

upaya perdamaian menurut UUK dan PKPU. Berdasarkan kerangka teori yang digunakan

akan dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti melalui analisis yang tajam dan

mendalam.

Setelah data dianalisis, akan disimpulkan dengan memberikan

argumentasi-argumentasi terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan misalnya penilaian apa dan

bagaimana yang semestinya menurut kaidah, asas, norma-norma hukum, dan doktrin

terhadap substansi dalam UUK dan PKPU. Data dikemukakan secara deduktif (penalaran

logika dari umum ke khusus)69

69

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 109.

dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak : Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk menerapkan nilai-nilai agama, moral, etika pada peserta didik melalui ilmu pengetahuan, dibantu oleh orang tua,

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 di

Berdasarkan hasil análisis data diperoleh kesimpulan bahwa minat belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 1 Uluiwoi

Metode yang digunakan dalam penyusunan Tafsir al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI ini adalah metode tematik, atau dikenal juga dengan istilah maudhu’i..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran ICM dengan pendekatan problem posing berbantuan software MATLAB memiliki

Penyebab waktu penyediaan dokumen rekam medis di Puskesmas tersebut dikatakan sudah memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) karena jarak antara tempat pendaftaran pasien,

Kemampuan Imperta cylindrica dan Leersia hexandra dalam menempati sebagian besar lokasi penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis ini merupakan jenis dominan yang

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemantauan jentik rutin oleh jumantik dari kalangan ibu rumah tangga tidak berjalan optimal, sehingga dilakukan