• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Kehilangan Cadangan Karbon Akibat Perubahan Fungsi Kawasan Hutan di Kabupaten Mandailing Natal Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Kehilangan Cadangan Karbon Akibat Perubahan Fungsi Kawasan Hutan di Kabupaten Mandailing Natal Chapter III V"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.

3.2. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00 10’ – 10 50’ LU dan 980 50’ – 1000 10’ BT dengan luas 6.620,70 km2. Secara administratif memiliki 22 kecamatan dengan 355 Desa dan 33 Kelurahan. Wilayah administratif di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, di sebelah selatan dan sebelah timur dengan Propinsi Sumatera Barat serta di sebelah barat dengan Samudera Indonesia.

(2)

lahan pemukiman dan pertanian/perkebunan. Sedangkan pada hutan mangrove seluruhnya berupa hutan sekunder. Rincian kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan fungsinya seperti pada Tabel 3.1. Peta Kawasan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 44/Menhut-II/2005 disajikan pada Gambar 3.1 dan 3.2.

Tabel 3.1. Kondisi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal

No Fungsi Hutan Luas (ha)

1 Hutan Lindung 120.675,05

2 Hutan Produksi 18.204,22

3 Hutan Produksi Terbatas 164.572,51

4 Hutan Konservasi 108.000,00

Luas Total 411.451,78

Sumber : Peta Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara Skala 1 : 250.000 (Lampiran SK Menhut No. 201/Menhut-II/2007 tgl 5 Juni 2007)

Perijinan pemanfaatan kayu yang dikeluarkan oleh Kabupaten Mandailing Natal yang masih aktif sampai dengan saat ini sebanyak 4 (empat) ijin dengan luas ijin sebesar 12.959,00 ha dan potensi kayu sebesar 73.334,98 m3. Data Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kabupaten Mandailing Natal seperti pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kabupaten Mandailing Natal

No Nama Pemegang Ijin Luas (ha) Potensi Kayu (m3) 1 PT. Anugerah Langkat Makmur Tahap III 8.159,00 44.711,32 2 PT. Dinamika Inti Sentosa 3.000,00 22.950,00

3 Subari 1.500,00 2.820,35

4 CV. Tirta Tama Jaya 300,00 2.853,31

(3)
(4)
(5)

3.3. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah pohon/ tegakan berbagai jenis dan tegakan kelapa sawit. Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah Global Positioning System (GPS), spidol, parang, pita ukur (meteran), tali rafia, phiband, blangko pengamatan, kamera digital dan unit personal komputer.

3.4. Batasan Penelitian

Batasan penelitian yang diambil oleh peneliti dalam penelitian sebagai berikut :

1. Penelitian hanya dilakukan pada Areal Penggunaan Lain (APL).

2. Seluruh areal pada kawasan APL sebelum dialihfungsikan menjadi kawasan bukan hutan adalah kawasan berhutan.

3. Alih fungsi kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal pada APL menjadi perkebunan kelapa sawit.

3.5. Pelaksanaan Penelitian 3.5.1. Pengumpulan data sekunder

Pengumpulan data sekunder dilaksanakan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan langsung dengan penelitian. Data sekunder yang diambil berasal dari instansi Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal dan instansi terkait lainnya.

Data sekunder yang dikumpulkan antara lain : 1. Data kawasan hutan.

(6)

3. Data potensi kawasan hutan.

4. Data alih fungsi dan konversi kawasan hutan. 5. Data berat jenis kayu.

3.5.2. Pengumpulan data primer

3.5.2.1. Pendugaan potensi cadangan karbon

Potensi cadangan karbon yang akan dihitung adalah cadangan karbon pohon dan kelapa sawit. Cadangan karbon pohon dihitung pada areal penggunaan lain yang telah diberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) tetapi belum dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Cadangan karbon kelapa sawit dihitung pada areal konversi yang telah ditanami kelapa sawit dengan umur tanam 1 tahun sampai dengan 5 tahun. Lokasi pendugaan cadangan karbon pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur, IPK atas nama Subari dan IPK PT. Dinamika Inti Sentosa di Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.

(7)

3.5.2.2. Pembuatan petak ukur

Biomassa pohon diukur pada petak pengukuran dengan metode jalur. Penentuan petak pengukuran ditentukan secara simple random sampling. Petak pengukuran dibuat sebanyak 3 petak dengan ukuran masing-masing petak 20 m x 100 m pada setiap lokasi pendugaan cadangan karbon. Pengukuran dilakukan dengan metode non destructive. Hanafiah (2006) menyatakan pemilihan pengambilan sampel dengan model ini dikarenakan populasi berupa kawasan hutan bersifat homogen dan cenderung sama antara satu kawasan dengan kawasan lain.

3.5.2.3. Pengukuran biomassa pohon

Data biomassa pohon diperoleh dengan mengukur diameter setinggi dada (dbh) semua pohon berdiameter di atas 10 cm yang terdapat di dalam petak pengukuran. Perhitungan biomassa pohon menggunakan persamaan allometrik yang telah didapatkan oleh Kettering (2001) dalam Hairiah dan Rahayu (2007) sebagai berikut :

Bp = 0,11ρ x D2,62

dimana, Bp = Biomassa Pohon; ρ = berat jenis; D = Diameter setinggi dada (dbh)

3.5.2.4. Pengukuran potensi cadangan karbon pohon

Estimasi potensi cadangan karbon pohon dihitung dengan mengalikan total berat biomassa pohon dengan konsentrasi C, sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu 2007) :

Potensi Cadangan Karbon Pohon (Ton/Ha) = Bp x 0,46

(8)

3.5.2.5. Pengukuran biomassa kelapa sawit

Pengukuran biomassa dibatasi pada biomassa batang kelapa sawit tanpa menghitung biomassa pelepah dan daun. Data biomassa kelapa sawit diperoleh dengan mengukur diameter setinggi dada (dbh) batang kelapa sawit dan tinggi kelapa sawit. Kelapa sawit yang dijadikan contoh uji sebanyak 3 batang untuk masing-masing kelas umur kelapa sawit. Perhitungan biomassa kelapa sawit menggunakan persamaan allometrik yang telah didapatkan oleh Yulianti (2009) sebagai berikut :

Bks = 2,24exp-3 x D1,85x T0,68

dimana, Bks = Biomassa kelapa sawit; D = Diameter setinggi dada (dbh) T = Tinggi kelapa sawit.

3.5.2.6. Pengukuran potensi cadangan karbon kelapa sawit

Estimasi potensi cadangan karbon kelapa sawit dihitung dengan mengalikan total berat biomassa kelapa sawit dengan konsentrasi C. Rata-rata kandungan C pada batang kelapa sawit disamakan dengan kandungan C pada pohon yang menurut Hairiah dan Rahayu (2007) sebesar 46%.

Potensi Cadangan Karbon Kelapa Sawit (Ton/Ha) = Bks x 0,46

dimana, Bks = Biomassa kelapa sawit.

3.5.2.7. Perhitungan potensi kehilangan cadangan karbon

(9)

luas dikalikan dengan luas kawasan yang telah mengalami perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal.

Potensi kehilangan cadangan karbon areal dihitung berdasarkan data-data sebagai berikut :

1. Data IPK di Kabupaten Mandailing Natal yang diperuntukkan bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit.

2. Perubahan luas perkebunan dari hasil interpretasi peta penutupan lahan.

3.5.2.8. Interpretasi citra

Interpretasi citra dilakukan untuk mendapatkan bentuk perubahan fungsi kawasan hutan berdasarkan citra satelit. Peta dasar yang digunakan untuk menghitung perubahan fungsi kawasan adalah peta Tata Hutan Guna Kesepakatan (TGHK) dan peta berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 44/Menhut-II/2005. Peta dasar akan di overlay sehingga dapat dihitung luas perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal.

(10)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis Vegetasi Lokasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 13 jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian. Terdapat perbedaan jenis pohon yang ditemukan pada masing-masing lokasi penelitian. Pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur, ditemukan 11 jenis pohon yang didominasi oleh pohon Kempas (Koompassia malaccensis) sebesar 34,08%. Pada IPK atas nama Subari hanya ditemukan 2 jenis pohon yang didominasi oleh pohon Bintangur (Calophyllum inophylum) sebesar 82,99%. Sedangkan pada IPK PT. Dinamika Inti Sentosa, ditemukan 12 jenis pohon yang didominasi oleh pohon Kempas (Koompassia malaccensis) sebesar 23,78%. Data jenis vegetasi pohon pada lokasi penelitian seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jenis Vegetasi Pohon pada Lokasi Penelitian

No

Jenis Pohon Persentase Jumlah Pohon

(11)

Vegetasi pohon yang ditemukan pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur dan IPK PT. Dinamika Inti Sentosa secara umum adalah sama. Perbedaan vegetasi terletak pada tidak ditemukannya jenis Pulai (Alstonia scholaris) dan Meranti Merah (Shorea parvifolia) di HGU PT. Anugerah Langkat

Makmur sedangkan pada IPK PT. Dinamika Inti Sentosa tidak ditemukan jenis Meranti Katuko (Shorea leprosula). Jenis yang mendominasi pada kedua lokasi penelitian ini juga sama yaitu Kempas (Koompassia malaccensis).

Vegetasi pohon yang ditemukan pada IPK atas nama Subari hanya 2 jenis pohon, yaitu Bintangur (Calophyllum inophylum) dan Meranti Merah (Shorea parvifolia). Jenis pohon yang ditemukan ini jumlahnya sangat sedikit

dibandingkan dengan yang ditemukan pada dua lokasi penelitian lainnya. Walaupun masih dalam satu kawasan, perbedaan vegetasi yang ditemukan disebabkan faktor tempat tumbuh, dimana pada IPK atas nama Subari banyak ditemukan daerah rawa, sedangkan pada lokasi penelitian lainnya termasuk daerah kering. Martawijaya et al. (2005) mengemukakan Bintangur tumbuh di dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B, pada tanah berawa dekat pantai.

4.2. Potensi Cadangan Karbon Pohon

(12)

cadangan karbon pohon pada masing-masing plot pengukuran hasil penelitian seperti pada Lampiran 2. Nilai cadangan karbon yang didapatkan masih sesuai dengan data yang termuat pada TPIBLK (2010), dimana cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 – 264,70 ton/ha.

Tabel 4.2. Biomassa dan Cadangan Karbon Pohon Kawasan Hutan

No Lokasi Penelitian Biomassa

(ton/ha)

Cadangan Karbon (ton/ha) 1 HGU PT. Anugerah Langkat Makmur 239,48 110,16

2 IPK atas nama Subari 425,13 195,56

3 IPK Dinamika Inti Sentosa 256,55 118,01

Rata-rata 307,05 141,24

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai biomassa pada lokasi HGU PT. Anugerah Langkat Makmur hampir sama dengan nilai biomassa pada lokasi IPK Dinamika Inti Sentosa, tetapi nilai pada kedua lokasi tersebut berbeda sangat jauh nilainya dibandingkan dengan nilai biomassa pada IPK atas nama Subari. Perbedaan nilai biomassa ini disebabkan oleh vegetasi yang tumbuh pada masing-masing lokasi. Dari hasil pengenalan jenis terhadap pohon-pohon yang diteliti, vegetasi yang tumbuh pada HGU PT. Anugerah Langkat Makmur dan IPK Dinamika Inti Sentosa sama, yang terdiri dari beranekaragam jenis pohon, berat jenis pohon rendah sampai tinggi dan tidak didominasi oleh satu jenis pohon saja, sedangkan vegetasi pada IPK atas nama Subari hanya ditumbuhi oleh sedikit jenis pohon dan didominasi oleh jenis pohon Bintangur (Calophyllum inophylum) yang memiliki berat jenis tinggi. Rahayu et al. (2007) menjelaskan bahwa cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya.

(13)

mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila

dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu

rendah.

4.3. Cadangan Karbon Kelapa Sawit

Data hasil pengukuran biomassa kelapa sawit pada contoh uji, diperoleh nilai biomassa berkisar antara 5,25 – 20,73 ton/ha. Berdasarkan nilai biomassa tersebut, maka didapatkan nilai cadangan karbon kelapa sawit berkisar antara 2,42 – 9,54 ton/ha. Nilai cadangan karbon terbesar pada tanaman kelapa sawit kelas umur 5 tahun dengan nilai 9,54 ton/ha dan yang terkecil pada kelas umur 1 tahun dengan nilai rata-rata 2,42 ton/ha. Data cadangan karbon kelapa sawit rata-rata hasil penelitian seperti pada Tabel 4.3. Data biomassa dan cadangan karbon kelapa sawit pada masing-masing contoh uji hasil penelitian seperti pada Lampiran 3.

Tabel 4.3. Cadangan Karbon Kelapa Sawit

Kelas Umur Biomassa (ton/ha) Cadangan Karbon (ton/ha)

1 tahun 5,25 2,42

2 tahun 8,48 3,90

3 tahun 10,58 4,87

4 tahun 15,72 7,23

5 tahun 20,73 9,54

(14)

pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda karbon biomassa terakumulasi pada pelepah. Sementara itu hubungan antara umur tanam kelapa sawit dengan karbon biomassanya menunjukkan pola sigmoid yaitu terjadi peningkatan secara perlahan pada awal pertumbuhan kemudian akan terus meningkat dan pada umur tertentu cenderung tidak mengalami perubahan lagi.

(15)

Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Pola hubungan peningkatan biomassa tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomassa akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan (Handayani, 2009).

4.4. Potensi Kehilangan Cadangan Karbon

Dari data cadangan karbon pohon dan kelapa sawit, maka potensi kehilangan cadangan karbon pada kawasan yang dikonversi dari kawasan hutan menjadi tanaman kelapa sawit pada tahun ke 0 sampai dengan tanaman kelapa sawit berumur 5 tahun berkisar antara 100,62 – 110,16 ton/ha untuk perhitungan cadangan karbon pohon yang terkecil. Potensi kehilangan cadangan karbon untuk perhitungan cadangan karbon pohon yang terbesar berkisar antara 186,02 – 195,56 ton/ha. Data potensi kehilangan cadangan karbon seperti pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Potensi Kehilangan Cadangan Karbon Cadangan Karbon

Pohon (ton/ha) Kelas Umur

Kelapa Sawit

Terkecil Terbesar Terkecil Terbesar

(16)

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa potensi kehilangan cadangan karbon terbesar adalah pada saat umur kelapa sawit 0 tahun. Pada saat ini, kawasan hutan mulai untuk di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Terjadi pembukaan kawasan dengan menebang pohon-pohon yang terdapat di kawasan tersebut, sehingga cadangan karbon yang tersimpan dalam pohon-pohon tersebut menjadi hilang. Kegiatan selanjutnya adalah pembersihan dan penyiapan lahan, dimana bibit-bibit kelapa sawit masih dalam proses persiapan hingga ke penanaman bibit. Potensi kehilangan cadangan karbon menjadi besar karena belum ada penyerapan karbon dari kelapa sawit yang baru di tanam.

Potensi kehilangan cadangan karbon pada kawasan yang telah dikonversi akan semakin berkurang dengan bertambahnya umur kelapa sawit karena sudah adanya cadangan karbon yang tersimpan dalam kelapa sawit. Walaupun terdapat cadangan karbon dalam kelapa sawit, tetapi nilainya tidak akan dapat menggantikan cadangan karbon yang hilang jika kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Rahayu et al. (2007) menjelaskan bahwa kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Dampak konversi

hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya

vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Meskipun laju fotosistesis pada

lahan pertanian atau perkebunan dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan,

namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian atau perkebunan

(17)

IFCA (2007) dalam Wibowo (2011) menyebutkan bahwa sekitar 70% dari tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia telah menggantikan hutan, dan telah menghasilkan emisi dari biomassa di atas tanah sebesar 588 juta ton karbon atau (~2117 Juta tC0 ) selama periode 1982-2005. Maswar et al. (2011) menambahkan berdasarkan hasil pengukuran selama periode waktu 14 bulan, apabila dikonversi menjadi data kehilangan karbon dalam periode satu tahun, diperoleh nilai rata-rata kehilangan karbon adalah berkisar antara 1,183 – 13,106 ton C/ha/th atau setara dengan emisi gas CO2 sebesar 4,341 – 48,098 ton CO2/ha/th.

4.5. Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Telah terjadi perubahan luas pada masing-masing fungsi kawasan hutan pada penunjukan kawasan hutan Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan perbandingan sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1982 dan Keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2005. Dari hasil overlay peta penunjukan kawasan tersebut seperti pada Gambar 4.1. didapatkan data perubahan fungsi kawasan seperti pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Perubahan Fungsi Kawasan

Fungsi Kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) 99.687,03 252.190,88 152.503,85 152,98 Hutan Lindung (HL) 171.531,27 120.675,05 -50.856,22 -29,65 Hutan Produksi (HP) 139.595,02 18.204,22 -121.390,80 -86,96 Hutan Produksi Konversi (HPK) 82.870,47 108.000,00 25.129,54 30,32 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 169.958,87 164.572,51 -5.386,36 -3,17

(18)
(19)

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa perubahan fungsi kawasan yang terbesar terjadi dari kawasan hutan menjadi kawasan non hutan, yaitu Areal Penggunaan Lain (APL). Telah terjadi penambahan luas pada APL dengan keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2005 sebesar 152.503,85 ha atau 152,98% dari luas TGHK. Pengurangan luas terbesar pada hutan produksi sebesar 121.390,80 ha atau sebesar 86,96%. Bahkan hutan lindung sebagai pusat keanekaragaman hayati dan sumber cadangan karbon berkurang luasnya sebesar 50.856,22 ha atau sebesar 29,65%. Kawasan hutan yang berkurang luasnya banyak di alihfungsikan menjadi APL.

Perubahan luas fungsi kawasan ini disebabkan karena kebijakan dari tiap-tiap daerah yang ingin memanfaatkan wilayahnya masing-masing untuk kesejahteraan masyarakat dengan mengusahakan areal-areal kawasan di wilayahnya, sehingga harus mengkonversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan. Irianto (2009) mengemukakan bahwa ditinjau luas wilayah hutannya, secara kuantitas penurunan luas hutan relatif sangat rendah selama lima tahun terakhir. Namun apabila dikaji secara kualitas dengan parameter indeks vegetasi dan indeks kebasahan lahan, kondisinya berubah sangat drastis baik nilainya maupun sebarannya. Penurunan kualitas tutupan lahan yang tinggi ini tidak dieksplorasi pengambil kebijakan karena mereka berlindung dari luas tutupan lahan yang relatif tetap.

(20)

perubahan-perubahan tutupan lahan. Data analisa interpretasi citra satelit landsat TM berdasarkan tutupan lahan pada areal kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal seperti pada Tabel 4.6. Peta perubahan tutupan lahan tahun 2007, 2009 dan 2011 di Kabupaten Mandailing Natal seperti pada Gambar 4.2. Peta penutupan lahan hasil interpretasi citra satelit landsat TM seperti pada Lampiran 4, 5 dan 6.

Tutupan lahan pada kawasan hutan berdasarkan hasil analisa kegiatan interpretasi citra satelit landsat TM dapat dibagi atas kawasan hutan dan kawasan non hutan. Kawasan hutan terdiri atas hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan tanaman industri. Kawasan non hutan terdiri atas perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur, sawah, semak/belukar, rawa dan tanah terbuka. Lo (1996) menyatakan bahwa pemetaan penggunaan lahan dan penutup lahan sangat berhubungan dengan studi vegetasi. Data ini paling penting untuk seorang perencana yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Data ini biasanya dipresentasikan dalam bentuk peta.

(21)

Tabel 4.6. Analisa Interpretasi Citra Satelit Landsat TM

No Tutupan Lahan Tahun 2007 Tahun 2009 Tahun 2011

Perubahan 2007 - 2011

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 Hutan Lahan Kering Primer 89.983,31 13,56 78.823,21 11,88 68.823,21 10,37 -21.160,10 -23,52 2 Hutan Lahan Kering Sekunder 338.181,45 50,96 250.794,76 37,79 190.374,25 28,69 -147.807,20 -43,71 3 Hutan Mangrove Sekunder 634,81 0,10 806,41 0,12 774,81 0,12 140,00 22,05 4 Hutan Rawa Sekunder 35.521,00 5,35 26.522,90 4,00 16.785,04 2,53 -18.735,96 -52,75 5 Hutan Tanaman Industri 2.165,48 0,33 1.302,23 0,20 1.319,61 0,20 -845,87 -39,06 6 Perkebunan 12.128,65 1,83 40.290,59 6,07 45.314,01 6,83 33.185,36 273,61 7 Pertanian Lahan Kering 42.013,80 6,33 70.337,47 10,60 80.300,30 12,10 38.286,50 91,13 8 Pertanian Lahan Kering Bercampur 17.522,71 2,64 45.154,85 6,80 81.418,74 12,27 63.896,03 364,65

9 Sawah 13.649,47 2,06 15.469,87 2,33 15.909,40 2,40 2.259,93 16,56

10 Semak / Belukar 98.447,74 14,83 109.924,27 16,56 123.355,90 18,59 24.908,16 25,30

11 Rawa 7.101,00 1,07 13.668,48 2,06 18.385,84 2,77 11.284,84 158,92

(22)
(23)

Pada kawasan non hutan, perubahan tutupan lahannya menunjukkan perubahan positif dimana luasannya semakin bertambah. Pertambahan luas terbesar adalah lahan pertanian lahan kering bercampur sebesar 63.896,03 ha. Herold dan Skutsch (2010) menyatakan salah satu proses dan pemicu yang mempengaruhi cadangan karbon hutan adalah konversi hutan untuk perluasan pertanian. Dampak karbon di tingkat nasional adalah sejumlah besar kawasan terpengaruh secara nasional dan emisi karbon yang tinggi per hektar.

Perubahan tutupan lahan pada perkebunan semakin bertambah dengan bertambahnya tahun. Pada Tahun 2007, luas perkebunan seluas 12.128,65 Ha dan bertambah masing-masing seluas 28.161,94 ha pada Tahun 2009 dan 33.185.36 Ha pada Tahun 2011. Pertambahan ini seiring dengan semakin banyaknya pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang akhirnya diperuntukkan untuk pembangunan perkebunan. Purnomo (2012) menyatakan deforestasi dan degradasi lahan kerap kali dihubungkan dengan pengembangan industri hutan dan perkebunan, misalnya kelapa sawit. Saat ini industri kelapa sawit Indonesia tengah berkembang dengan pesat, seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia terhadap pangan, kosmetik serta biofuel. Pada 2011, Indonesia merupakan negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, dengan menyumbang lima puluh persen kebutuhan minyak sawit dunia.

Kebijakan pemerintah yang mengutamakan pembangunan dengan prinsip pro-job, pro-poor dan pro-growth memang seringkali bertentangan dengan upaya

(24)

penetapan fungsi kawasan hutan masih dialokasikan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 22,7 juta ha (Dephut, 2007).

Analisis interpretasi ini tidak sepenuhnya akurat dengan yang sebenarnya di lapangan. Masih terdapat kemungkinan-kemungkinan terjadi kesalahan dalam analisis. Irianto (2009) menyatakan bahwa penggunaan citra satelit dengan resolusi (resolution) dan waktu pengambilan (time coverage) yang proporsional dan multitemporal untuk zonasi, karakterisasi, adaptasi dan mitigasi alih guna lahan sangat diperlukan. Penggunaan citra satelit dimaksudkan agar data dan informasi yang diperoleh lebih akurat (precise), tepat (accurate), cepat (minimum delay) sampai pengambil kebijakan, murah biayanya serta jelas faktor

penyebabnya .

Pengamatan perubahan temporal diperoleh dengan membandingkan citra dari dua beda waktu yang bertautan. Data satelit perlu dibatasi sesuai waktu, bila terdapat perbedaan besar terhadap penampakan spektral liputan vegetasi sehat dan tidak sehat pada daerah luas. Ini penting tidak hanya untuk menemukan dan memetakan daerah rusak, tetapi juga mengenali bagian besar tipe hutan, yang sering sukar pada citra satelit (Howard, 1996).

4.6. Kehilangan Cadangan Karbon di Kabupaten Mandaling Natal 4.6.1. Ijin pemanfaatan kayu

(25)

hutan menjadi APL berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 44/Menhut-II/2005 sampai dengan saat penelitian berjumlah 12 (dua belas) ijin dengan total luas 38.137,73 ha. Pengertian IPK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.14/Menhut-II/2011 adalah izin untuk memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan. Daftar Pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) Di Kabupaten Mandailing Natal sebagaimana pada Lampiran 7.

Potensi kehilangan cadangan karbon pada masing-masing IPK dapat dihitung berdasarkan potensi kehilangan cadangan karbon per hektar, yang disajikan pada Lampiran 8. Dari data tersebut, potensi kehilangan carbon yang terbesar pada IPK PT. Anugerah Langkat Makmur Tahap III yang memiliki luas areal sebesar 8.159,00 ha dan yang terkecil pada IPK atas nama Wanson Limbong yang memiliki luas areal sebesar 251,00 ha.

(26)

Tabel 4.7. Potensi Kehilangan Cadangan Karbon pada Areal IPK

Terkecil Terbesar Terkecil Terbesar 0 tahun 110,16 195,56 4.201.252,34 7.458.214,48 1 tahun 107,74 193,14 4.108.959,03 7.365.921,17 2 tahun 106,26 191,66 4.052.515,19 7.309.477,33 3 tahun 105,29 190,69 4.015.521,59 7.272.483,73 4 tahun 102,93 188,33 3.925.516,55 7.182.478,69 5 tahun 100,62 186,02 3.837.418,39 7.094.380,53

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa potensi kehilangan cadangan karbon terbesar pada kelas umur kelapa sawit 0 tahun. Pada kelas umur ini, tanaman yang terdapat pada areal IPK ditebang habis semua untuk penyiapan lahan penanaman kelapa sawit. Perubahan fungsi kawasan hutan ini menyebabkan potensi kehilangan cadangan karbon dari kawasan yang ada menjadi besar. Terbitnya ijin pemanfaatan kayu (IPK) pada kawasan APL menyebabkan pohon-pohon penghasil kayu yang ada di kawasan tersebut habis ditebang. Hilangnya pohon berarti hilangnya juga sumber daya penyerap karbon dari udara. Rahayu et al. (2007) menjelaskan kegiatan konversi hutan menjadi lahan perkebunan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Jumlah tersebut memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke

atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi selama

penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi

pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg C ha-1 year-1.

(27)

semakin besar pula cadangan karbon yang tersimpan. Handayani (2009) mengatakan bahwa jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Pola hubungan peningkatan biomassa tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan.

Berdasarkan data pada Tabel 4.7, besarnya cadangan karbon yang hilang dengan adanya pemberian IPK oleh pemerintah daerah kabupaten, sebaiknya dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah tidak hanya mengambil kebijakan secara ekonomi tetapi juga melihat aspek lingkungan. Butarbutar (2009) menyatakan bahwa sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai sumber emisi dan penyerap karbon jika dilihat dari konteks perubahan iklim di mana hutan berperan dalam mencegah dan mengurangi emisi dari gas rumah kaca. Untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan perdagangan karbon di masa yang akan datang, diperlukan pengelolaan hutan yang baik, kegiatan konservasi dan peningkatan kapasitas stok karbon dengan jumlah karbon yang dihasilkan dan diserap.

4.6.2. Interpretasi Peta

(28)

kehilangan karbon terkecil dan berkisar antara 6.173.140,67 – 6.489.729,00 ton untuk perhitungan kehilangan karbon terbesar.

(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan perbandingan antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1982 dan Keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2005 telah mengalami perubahan luas fungsi kawasan hutan dimana terjadi penambahan luas terbesar pada Areal Penggunaan Lain (APL) sebesar 152.503,85 ha serta pengurangan luas terbesar pada hutan produksi sebesar 121.390,80 ha.

2. Nilai cadangan karbon pohon berkisar antara 110,16 sampai dengan 195,56 ton/ha dan cadangan karbon kelapa sawit pada umur 1 tahun sampai dengan 5 tahun berkisar antara 2,42 sampai dengan 9,54 ton/ha.

3. Potensi kehilangan cadangan karbon terbesar akibat perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan interpretasi peta berturut-turut sebesar 7.458.214,48 ton dan 6.489.729,00 ton.

5.2. Saran

(30)

Gambar

Tabel 3.2.  Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kabupaten Mandailing Natal
Gambar 3.1.   Peta Penunjukan Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal Sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
Gambar 3.2.   Peta Penunjukan Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2005
Tabel 4.1.   Jenis Vegetasi Pohon pada Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

7. Dosen menjelaskan bahan dan alat serta prosedur kerja: a. Bahan-Bahan Jui ce : Na na s Jam bu bij i Str aw be rr y Ora ng e Sirs ak Gul a Cer ea l: Hav er m ou t Cor n

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan pemahaman konsep IPA kelas eksperimen dan kontrol materi hubungan sumber daya alam dengan lingkungan yang diajar

Sementara didalam UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat

1. Slamet Utomo, M.Pd., Dekan FKIP yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menjalani pendidikan bidang Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Ika Oktavianti, M.Pd.,

Dari dulu Neko sama sekali nggak takut UAN, soalnya dulu di program Bahasa kami tidak harus menghadapi pelajaran momok yang satu itu agar bisa lulus?. Mata pelajaran yang

2.Susun roti, oles dengan mayonaise, slice cheese, roti, oles mayonaise, daun slada, tomat slice, telur slice,roti, mayonaise, daging ayam (Rebus), roti2. 3.Rapikan

2017.Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran PKn Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Jigsaw Untuk Kelas IV SDN Inpres

Changes ini antioxidant enzymes activity and plant perfomance by salinity stress and zinc aplication in soybean (Glycine max L.) Plant Omics Journal 5(2):60-67. Universitas