• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Sebagai Kawasan Konservasi Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL

TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

A. Definisi Suaka Marga Satwa dan Kawasan Konservasi.

Alam menyediakan segala macam kebutuhan yang dibutuhkan oleh semua mahluk hidup berupa hutan, air, tanah, makanan dan masih banyak lagi. Indonesia memiliki potensi keanekaragaman spesies satwa yang sangat tinggi, yaitu sekitar 12% (515 species, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar. Selanjutnya, Indonesia memiliki 35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik) dan 121 spesies kupu-kupu (44% endemik).

(2)

penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili Dipterocarpaceae) terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan11.

Manusia merupakan salah satu dari mahluk hidup yang ikut menyokong keberlangsungan ekosistem di bumi. Sebagaimana ekosistem itu merupakan ialah kompleks komunitas tumbuhan, binatang dan jasad renik yang dinamis dan lingkungan tak hayati/abiotik-nya yang berinteraksi sebagai unit fungsional12.

Manusia mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan hidup semua mahluk hidup di bumi dan sebagai khalifah yang

menjaga semua bentuk ciptaan Allah Subhahanawata‟la dari kerusakan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, manusia melalui berbagai cara dan alasan telah berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Ada beberapa upaya yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dampak negatif dari pemanfaatan alam sumber daya alam yang berlebihan, yaitu melalui pembentukan suaka marga satwa dan kawasan konservasi.

1. Suaka Margasatwa.

Suaka margasatwa merupakan tempat dimana hewan liar hidup dan berkembang biak dalam lingkungan aslinya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 11 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyebutkan, “Suaka margasatwa

adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman

11

www.menlh.go.id, Keanekaragaman Hayati, diakses pada 04 Februari 2017

12

(3)

dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya13.

Itu artinya suaka marga satwa ialah tempat dimana hewan liar dan juga tumbuhan langka maupun endemik mendapatkan perlindungan baik secara hukum serta secara sosial dari manusia. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem itu sendiri agar terus terjaga kondisi aslinya sampai masa yang akan datang.

2. Kawasan Konservasi.

Potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia seperti yang diuraikan diatas, juga diikuti dengan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati itu sendiri. Ancaman kepunahan memang disadari sebagai suatu hal yang wajar karena faktor perubahan alam yang antara lain perubahan iklim global, akan tetapi derajat kepunahan yang melesat cepat bukanlah suatu hal yang dapat kita anggap wajar. Penyebab utama kepunahan tumbuhan dan satwa di antaranya adalah kehilangan, kerusakan, serta terfragmentasinya habitat tempat hidup, pemanfaatan secara berlebihan dan perburuan dan perdagangan ilegal. Hilang dan rusaknya habitat satwa disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya konversi hutan alam untuk perkebunan dan tanaman industri sebagai tuntutan pembangunan, pembalakan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan.

Untuk mencegah dan menanggulangi hilangnya habitat satwa dan tumbuhan akibat aktivitas manusia tersebut maka dibutuhkanlah suatu kawasan

13

(4)

konservasi untuk mengembalikan fungsi semula suaka marga satwa yang jauh dari aktivitas manusia dan campur tangan manusia.

Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan dimana konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku, tidak memuat definisi konservasi secara jelas. Adapun pengertian kawasan konservasi yang ditemukan dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),

Departemen Kehutanan adalah “kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan

suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan hutan lindung.”

Kemudian secara spesifik dan lebih luas definisi konservasi dijelaskan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati Tahun 1992 (Convention on Biological Diversity 1992) pasal 2 yang menyebutkan, konservasi in-situ adalah konservasi ekosistem dan habitat alam serta pemeliharaan dan pemukiman populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang14.

B. Dasar Hukum Yang Menetapkan Kawasan Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sebagai Wilayah Suaka Marga Satwa.

Suaka Marga Satwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara

geografis terbentang antara 98°30‟ - 98°42‟ BT dan 3°51 „ 30” - 3°59‟ 45” LU

dengan luas 15.756 hektar. Pengelolaan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut berada pada Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, Bidang

14

(5)

KSDA Wilayah I Kabanjahe, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara.

Sebelum ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) tanggal 6 Agustus 1932 Nomor 148/PK yang disahkan dengan Besluit Seripadoeka Toean Besar Goevernoer dari Pesisir Timur Poela Pertja tanggal 24 September 1932 seluas 9.520 hektar. Sedangkan kawasan hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) tanggal 8 Agustus 1935 Nomor 138 seluas 6.245 hektar. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 November 1980 Cq. Suaka Margasatwa15. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara adiministratif terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang serta Kecamatan Secanggang dan Kecamatan Tanjung Pura di Kabupaten Langkat. Kawasan seluas ±9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat dan ±6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang.

Penataan kawasan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1934 (satu tahun lebih awal dari dikeluarkannya Zelfbestuur Besluit Nomor 138) seluas 15.765 hektar, dengan Berita Acara tata batas tanggal 14 Juni 1934 dan Berita Acara tanggal 3 Juli 1934. Pada tahun 1984 sebagian batas kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yakni yang berbatasan dengan daratan telah direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan sepanjang 50 KM. Dan selanjutnya pada tahun 1998 direkonstruksi kembali

15

(6)

oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar dan temu gelang sepanjang 74,78 KM.

Untuk mengelola kawasan ini, Balai Besar KSDA Sumatera Utara membentuk pemangkuan hutan setingkat resor yang terdiri dari 3 (tiga) Resor Konservasi Wilayah yang berada di bawah koordinasi Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, yaitu:

a) Resor Konservasi Wilayah Karang Gading & Langkat Timur Laut I berkedudukan di Desa Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang. b) Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut II berkedudukan di

Pematang Sentang, Desa Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

c) Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut III berkedudukan di Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat

C. Pengaturan Hukum Lingkungan Internasional Mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Kawasan Suaka Marga Satwa.

(7)

Regulasi-regulasi dalam bidang Hukum Lingkungan Internasional yang merupakan cabang dari Hukum Internasional berawal dari Konferensi Stockholm 1972 yang mengeluarkan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup

(Declaration on Human Environment 1972), yang menentukan bahwa sumber-sumber daya alam bumi harus diamankan untuk keuntungan generasi-generasi sekarang dan generasi yang akan datang melalui perencanaan atau pengelolaan yang seksama dan bahwa kemampuan bumi untuk memproduksi sumber-sumber daya alam vital dapat diperbaharui harus dipelihara serta, apabila mungkin diperbaiki atau ditingkatkan16.

Berlatar belakang dari Konferensi Stockholm Tahun 1972, maka pada tahun 1992 di Rio de Janeiro Brazil diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit) sebagai tanggapan terhadap masalah lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang memprihatinkan, antara lain pencemaran, perusakan lingkungan hidup, serta pemborosan sumber daya alam. KTT ini telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim (Climate change) dan keanekaragaman hayati. Hasil utamanya, yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan.

Salah satu pengaturan Hukum Lingkungan Internasional yang lahir dari KTT Bumi tersebut adalah Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity 1992) yang mengatur perlindungan dan pengelolaan mengenai suaka margasatwa. Dalam penjelasan pasal 2 Konvensi

16

(8)

Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity 1992) tersebut, dikatakan :

“konservasi in-situ adalah konservasi ekosistem dan habitat alam serta

pemeliharaan dan pemukiman populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang17”.

Meskipun dalam pasal 2 tidak disebutkan secara spesifik mengenai suaka margasatwa, namun berdasarakan definisi kawasan konservasi yang ditemukan dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam (PHKA) Departemen Kehutanan adalah “kawasan yang ditetapkan

sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung. Dan mengenai hal ini, para ahli melakukan perluasan makna dari pasal 2 tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bambang Pamulardi bahwa konservasi in-situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di dalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam (Cagar alam dan Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam)18.

Untuk itu telah jelas bahwa suka margasatwa merupakan kawasan konservasi terlindungi yang lahir dari upaya langsung Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk melestarikan ekosistem dan lingkungan flora/fauna di habitat aslinya. Karena kawasan suaka margasatwa merupakan bagian dari konservasi in-situ, maka perlindungan dan pengelolaan terhadap

17

Ibid hal. 12

18

(9)

suaka margasatwa tercantum dalam pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati mengenai Konservasi in-situ19 sebagai berikut :

a. Mengembangkan sistem kawasan lindung atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati;

b. Mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pendirian, dan pengelolaan kawasan lindung atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya khusus untuk mengkonservasikan keanekaragaman hayati;

c. Mengatur atau mengelola sumber daya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, dengan maksud menjamin konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutannya;

d. Memajukan perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi yang berdaya hidup dari spesies di dalam lingkungan alaminya;

e. Memajukan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan lindung dengan maksud untuk dapat lebih melindungi kawasan-kawasan ini;

f. Merehabilitasi dan memulihkan ekosistem yang rusak dan mendorong pemulihan jenis-jenis terancam, di antaranya melalui pengembangan dan pelaksanaan rencana-rencana atau strategi pengelolan lainnya;

19

(10)

g. Mengembangkan atau memelihara cara-cara untuk mengatu, mengelola atau mengendalikan risiko yang berkaitan dengan penggunaan dan pelepasan organisme termodifikasi hasil bioteknologi, yang mungkin mempunyai dampak lingkungan merugikan, yang dapat memperngaruhi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan memperhatikan pula risiko terhadap kesehatan manusia;

h. Mencegah masukanya serta mengendalikan atau membasmi jenis-jenis asing yang mengancam ekosistem, habitat atau spesies; i. Mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk

keselarasan antara pemanfaatan kini dan konservasi keanekaragaman hayati serta pemanfaatan secara berkelanjutan komponen-komponennya;

(11)

k. Mengembangkan atau mempertahankan perundang-undangan diperlukan dan/atau peraturan-peraturan bagi perlindungan jenis-jenis dan populasi terancam;

l. Mengatur atau mengelola proses dan kategori kegiatan yang sesuai, bila akibat yang nyata-nyata merugikan terhadap keanekaragaman hayati telah ditentukan seperti tersebut dalam pasal 7; dan

Referensi

Dokumen terkait

Pada sistem gerak diferensial seperti pada Gambar 1 (Kiri), robot dapat bergerak karena adanya perbedaan kecepatan angular roda dan hanya dapat bergerak maju dengan

The test tube number 9 was the negative control that showed the negative antibacterial result, and the test tube number 10 was the positive control and showed the presence

Dalam implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Governance.Dampak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap bentuk badan hukum dan

The conclusion of this research was the addition of chitosan as coupling agent signiicantly increasing the mechanical interlocking between iller and matrix thus increasing

Pengaturan BUMD sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah belum berbanding lurus dengan perkembangan sistem tata kelola perusahaan yang

World Health Organization (2011) Health

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan serta analisis datayang diperoleh dari kelas VII C MTs Negeri Kota Batu tahun pelajaran 2019-2020, dapat

Rought Cut Capacity Planning merupakan “analisis untuk menguji ketersediaan kapasitas fasilitas produksi yang tersedia didalam memenuhi jadwal induk produksi (Master