BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi bagian dari kehidupan manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini
akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks (Lubis. NL, 2013).
Menurut Rydeblomquist dalam Sarwono (2013) bahwa frekuensi remaja yang sudah aktif secara seksual di Amerika Serikat dan Finlandia lebih banyak di kota-kota
besar, umumnya terjadi pada remaja yang jarang berkomunikasi dengan orang tuanya. Dikalangan remaja berkulit hitam dengan sosial-ekonomi dan tingkat
pendidikannya tergolong rendah. Sebaliknya, di negara sedang berkembang seperti di Afrika (Kota Accra) aktifitas seksual remaja pedesaan jauh lebih banyak daripada di kota. Karena pengetahuan tentang seks tidak ada sama sekali diberikan. Setelah
masuknya pendidikan agama, pendidikan formal dan mulai dibentuk keluarga inti untuk mengurangi kegiatan seksual remaja.
Pendidikan seksual dan reproduksi di luar negeri juga masih belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat, hal ini terbukti melalui hasil penelitian Olubayo dan Fatiregun (2012) didapat data sebanyak 41,6% orang tua dengan remaja
remaja. Dalam penelitian lain oleh Nair (2012) menyebutkan bahwa lebih dari 50% orang tua merasa tidak yakin untuk memberikan informasi mengenai topik-topik
seperti masturbasi, kencan, seks yang aman, kontrasepsi, kehamilan, aborsi kepada remaja.
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 komponen Kesehatan Reproduksi Remaja menunjukkan bahwa sebanyak 29,5% remaja laki-laki dan 6,2% remaja perempuan pernah meraba atau merangsang pasangannya serta
48,1% remaja laki-laki dan 29,3% remaja perempuan pernah berciuman bibir 9,3% atau sekitar 3,7 juta remaja menyatakan pernah melakukan hubungan seksual
pranikah. Dalam survei tersebut juga terungkap bahwa umur berpacaran untuk pertama kali paling banyak adalah 15-17 tahun, yakni pada 45,3% remaja laki-laki dan 47% remaja perempuan. Dari seluruh remaja yang berusia 10-24 tahun, hanya
14,8% yang mengaku belum pernah pacaran sama sekali (SKRRI, 2012).
Penduduk remaja adalah bagian dari penduduk dunia dan memiliki
sumbangan teramat besar bagi perkembangan dunia. Remaja dan berbagai permasalahannya menjadi perhatian dunia dan dijadikan isu utama dalam Peringatan Hari Kependudukan Dunia yang jatuh pada 11 Juli 2013. Berdasarkan data Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia 10 - 24 tahun sudah mencapai sekitar 64 juta atau
saja berkembang ke arah yang negatif dan akan menjadi beban bagi Negara (BKKBN, 2013).
Perilaku seks bebas dapat memicu munculnya masalah kesehatan seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi dan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus Infection and Acquired Immune Deficiency
Syndrome (HIV/AIDS). Pada tahun 2012 diketahui 15 juta perempuan remaja yang
berusia 15-24 tahun melahirkan setiap tahun terutama di negara berkembang, dan
sebanyak 40% melakukan aborsi tidak aman, sedangkan dari 20 remaja terinfeksi penyakit menular seksual setiap tahun dan setengah dari semua kasus telah terinfeksi
HIV pada usia dibawah 25 tahun (UNFPA, 2012).
Pernyataan Julianto Witjaksono Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang dirilis pada tanggal 12 Agustus 2014 yang mengatakan
jumlah remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah mengalami tren peningkatan. Berdasarkan catatan lembaganya, Julianto mengatakan 46% remaja
Indonesia berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seks. Data Sensus Nasional bahkan menunjukkan 48-51 persen perempuan hamil adalah remaja (BKKBN, 2014).
Penelitian Chotimah (2015) mengatakan perilaku seksual dikalangan remaja
cenderung meningkat, karena remaja tidak siap menghadapi perubahan dalam dirinya termasuk dorongan seks yang mulai meningkat pada masa ini dan sulit dikendalikan.
Sukoharjo menunjukkan hubungan yang signifikan bahwa kondisi hubungan keluarga yang intim atau erat kemungkinan besar memiliki perilaku seksual remaja yang
positif pula.
Semakin jarangnya komunikasi orang tua dengan anak, dapat menimbulkan
terjadinya perilaku seks. Hal ini dibuktikan di negara Indonesia, dari hasil penelitian dua dokter ahli penyakit kandungan dan ilmu kebidanan, yaitu dr. Biran Affandi di Jakarta dan dr. Dalana di Surakarta. Mereka menyatakan bahwa pasien-pasien remaja
putri mereka hamil. Akibat melakukan hubungan seks dengan pacar mereka. Kejadian ini banyak dilakukan dirumah mereka sendiri, yang berarti bahwa:
remaja-remaja yang bersangkutan tidak lagi memedulikan kenyataan bahwa rumah adalah teritori di mana wilayah psikologis yang tidak boleh dilanggar dari orang tua. Dengan perkatan lain, pelanggaran teritoria orang tua ini berarti juga kurangnya rasa hormat
dan segan kepada orang tua (Sarwono, 2013).
Penelitian di Jakarta, Yogyakarta dan di Denpasar menyatakan bahwa di
kalangan remaja telah terjadi pergaulan yang bebas. Kebanggaan untuk mempertahankan kegadisan sampai ke pelaminan telah sirna. Berdasarkan penelitian, menyatakan bahwa semakin bebasnya hubungan seksual dikalangan remaja, telah
mencoreng muka pendidik, orang tua, dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran bahwa pendidikan seksual penting diberikan kepada remaja.
Sebagian besar orang tua beranggapan pendidikan seks hanya berisi tentang informasi alat kelamin dan berbagai macam posisi dalam melakukan hubungan
seksual. Hal ini membuat orang tua merasa khawatir. Maka perlu diluruskan pengertian tentang pendidikan seks, dan mengubah anggapan negatif tentang seks.
Dengan pendidikan seks, orang tua dapat memberitahu remaja bahwa seks adalah sesuatu yang alamiah dan wajar terjadi pada semua orang. Remaja dapat diberitahu juga tentang berbagai perilaku seksual berisiko sehingga remaja dapat
menghindarinya. Selain itu, remaja memerlukan pembekalan tentang cara untuk mempertahankan diri secara fisik, psikis dan mental dalam menghadapi godaan,
seperti ajakan untuk melakukan hubungan seksual dan penggunaan Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) (Widyastuti dkk, 2011).
Pendidikan seks tetap harus diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan
anak, tujuannya adalah memberikan bekal pengetahuan serta membuka wawasan anak-anak remaja seputar masalah seks secara benar dan jelas. Seks yang benar
menghindarkan mereka dari berbagai resiko negatif seperti kehamilan di luar nikah, pelecehan seksual, dan penyakit menular seksual. Oleh sebab itu orang tualah yang paling tepat untuk menyampaikan masalah kesehatan reproduksi dan pendidikan seks
kepada anak-anak mereka (Erni, 2013).
Pendidikan seks maupun pendidikan lain seperti pendidikan agama atau
yang lazim dan bagaimana cara tanpa melanggar aturan. Pendidikan seks diperlukan untuk mendapatkan rasa keingintahuan remaja tentang seksualitas dengan diberikan
informasi yang benar, jujur dan disesuaikan dengan umur remaja (Sarwono, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Agustina dan Hapsari (2012) di Desa Orchard
Gadungan Batu Templek dengan 30 remajabahwa tingkat pengetahuan keluarga tentang pendidikan seks dengan perilaku keluarga dalam pemberian pendidikan seks pada remaja didapatkan hasil penelitian 6,7% atau 2 remaja mempunyai pengetahuan
tinggi dengan perilaku cukup, pengetahuan cukup dengan perilaku cukup 13,3 atau 4 remaja dan pengetahuan kurang dengan perilaku kurang 56,7% atau 17 remaja
terdapat hubungan yang antara tingkat pengetahuan keluarga tentang pendidikan seks dengan perilaku keluarga dalam pemberian pendidikan seks pada remaja.
Pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri.
Diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Pengetahuan orang tua kurang memadai baik
secara teoritis dan objektif menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks kepada anak, akibatnya anak mendapat informasi seks yang tidak sehat. Informasi seks yang tidak sehat pada usia
remaja mengakibatkan remaja terlihat dalam kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan
Orang tua tidak dapat mengalihkan tanggung jawab pendidikan anaknya, termasuk pendidikan seksual remaja yang harus mereka dapat. Orang tua adalah
pendidik pertama bagi anaknya. Oleh karena itu, tidak ada yang dianggap tabu dalam mendidik anak. Perilaku seksual pada remaja dapat dikurangi atau dicegah melalui
hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak, pelaksanaan kehidupan beragama yang dilakukan setiap harinya dan diberikan pendidikan seks yang benar, disesuaikan dengan kondisi dan umur remaja (Chomaria, 2012).
Penelitian yang dilakukan Minarlin (2015) perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan menyatakan bahwa remaja pernah melakukan hubungan seksual
sebanyak 8 orang (7,5%), pasangan suka mencari tempat-tempat sepi untuk bisa saling berciuman sebanyak 11 orang (10,4%), mencium pasangan setiap kali bertemu sebanyak 12 orang (11,3%), ketika sedang berkencan saling mencumbu satu sama
lain sebanyak 16 orang (15,1%), tidak menolak untuk diraba pada bagian tubuh yang sensitive sebanyak 15 orang (14,2%), tidak menolak jika pasangan mencumbui
sebanyak 13 orang (12,3%), saat berduaan dengan pasangan dan saling meraba daerah sensitif pasangan sebanyak 13 orang (12,3%), melakukan petting (saling menggesekkan alat kelamin) supaya sama-sama terangsang sebanyak 7 orang (6,6%).
Meningkatnya minat seks pada remaja dan kurangnya pengetahuan remaja tentang perilaku seks pranikah ditambah lagi kurangnya keterbukaan keluarga dalam
Banyak orang tua yang tidak memberikan pendidikan seks kepada anak remajanya karena mereka berpendapat bahwa seksualitas merupakan sesuatu yang
alamiah yang akan diketahui setelah menikah dan menganggap masalah seks sebagai masalah yang tabu untuk dibicarakan walaupun banyak media yang memfasilitasi
tentang pendidikan seks selain itu komunikasi yang tidak efektif antara orang tua dengan anak, dan tidak terbuka terhadap pertanyaan yang diajukan anak tentang seks mengakibatkan anak mudah terpengaruh melakukan tindakan seksual.
Berdasarkan observasi peneliti terhadap beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang terdiri dari SMA Negeri 11, SMA Teladan, SMA Hafsyah, SMA Karya
Bunda, SMA Al-Hidayah dan SMA Al Maksum. Diperoleh bahwa SMA Al-Maksum yang lebih banyak dijumpai siswanya yang melakukan aktivitas seksual ringan seperti berpegangan tangan, berciuman pipi dan berciuman bibir bahkan sampai melakukan
hubungan seksual.
Menurut keterangan dari salah seorang guru di sekolah tersebut, setiap
tahunnya terdapat 3 sampai 4 siswi yang sudah perilaku seksual pranikah yang berdampak pada kehamilan dan pernah melakukan akhirnya siswi tersebut tidak dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah tersebut.
reproduksinya dari orang tua. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi yang mudah diperoleh, misalnya melalui internet, bertanya dengan teman, membaca buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, berciuman, bahkan melakukan hubungan seksual.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian
tentang ”Hubungan Pendidikan Seks Oleh Orang Tua dengan Perilaku Seksual
Remaja di SMA AL-Maksum Desa Cinta Rakyat Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dengan meningkatnya perilaku seksual pada remaja disebabkan pendidikan seks yang tidak diberikan orang tua kepada
remaja karena masih dianggap tabu. Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan pendidikan seks oleh orang tua dengan perilaku seksual remaja di SMA AL-Maksum Desa Cinta Rakyat Kecamatan Percut
Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pendidikan seks
1.4. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan pendidikan seks
oleh orang tua dengan perilaku seksual remaja (pengetahuan, sikap dan tindakan) di SMA AL-Maksum Desa Cinta Rakyat Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Sekolah SMA AL-Maksum Desa Cinta Rakyat dan khususnya guru-guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi Remaja di sekolah agar
siswa-siswi mengetahui dampak dari perilaku seks bebas dan mengetahui sistem tubuh remaja.
2. Bagi orang tua sebaiknya memberikan dukungan yang positif pada anak remajanya, memberikan informasi tentang pendidikan seks secara benar, karena
orang tua sangat berperan penting dalam masa pertumbuhannya dan lebih memerhatikan, peduli terhadap anaknya dalam upaya mencegah kejadian perilaku seksual agar tidak terjerumus kedalam hal menyimpang.
3. Bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dapat menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi khususnya tentang