• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN

2.1 Verba Bahasa Jepang

2.1.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Verba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Verba dalam bahasa Jepang disebut doushi. Menurut Situmorang (2010:9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu:

動 : ugoku, dou [bergerak]

詞 : kotoba,shi [kata]

動詞 : doushi [kata yang bermakna gerakan]

Doushi menurut Situmorang (2010:9) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Dapat berdiri sendiri

2) Berkonjugasi/ mengalami perubahan bentuk

3) Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan atau perubahan keadaan 4) Dapat menjadi predikat dalam kalimat

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2008:42).

(2)

Doushi dapat mengalami perubahan (katsuyou) dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Sedangkan Iori dalam Yusmarani (2006: 14) menyatakan bahwa verba (doushi) adalah kata yang menyatakan peristiwa yang merupakan inti kalimat yang biasa dipakai bersama frase dengan nomina (pelengkap), dimana melibatkan kakujoshi.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan (peristiwa), mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Dalam buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang, Dedi Sutedi (2008: 48) menyatakan bahwa verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan pada bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I (godan-doushi)

Verba kelompok ini disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi), karena mengalami

perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu a-i-u-e-o (あ い う え,

). Cirinya yaitu verba yang berakhiran huruf u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-su-gu (う

ぶ , , ).

Contoh: う ka-u [membeli]

立 ta-tsu [berdiri]

売 u-ru [menjual]

(3)

死 shi-nu [mati]

yo-mu [membaca]

書 ka-ku [menulis]

話 hana-su [berbicara]

泳 oyo-gu [berenang]

2. Kelompok II (ichidan-doushi)

Verba kelompok ini disebut 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya

terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran e-ru (え ), biasa disebut ୖ一段動詞 (kami ichidan doushi), dan verba

yang berakhiran i-ru (い ) yang biasa disebut ୗ一段動詞 (shimo ichidan doushi).

Contoh: 見 miru [melihat]

寝 neru [tidur]

食 taberu [makan]

3. Kelompok III (henkaku doushi)

Verba kelompok III yang disebut 変格動詞 (henkaku doushi) merupakan verba

yang perubahannya tidak beraturan dan hanya terdiri dari dua verba berikut: a. サ変動詞 (sahendoushi) : suru [melakukan]

b. カ変動詞 (kahendoushi) : kuru [datang]

(4)

1. Jidoushi (自動詞 „verba intransitif‟)

Jidoushi (自 動 詞) merupakan verba yang tidak disertai objek penderita. Jika

dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna „kata yang bergerak sendiri‟.

Contoh : 行 iku [pergi]

起 okiru [bangun]

寝 neru [tidur]

出 deru [keluar]

閉 shimaru [tertutup]

2. Tadoushi ( 動詞 ‟verba transitif‟)

Tadoushi ( 動 詞)merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba

tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh : 起 okosu [membangunkan]

寝 nekasu [menidurkan] 出 dasu [mengeluarkan] 閉 shimeru [menutup]

3. Shodoushi (所動詞)

Shodoushi ( 所 動 詞 ) merupakan kelompok doushi yang memasukkan

pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (意思表現

(5)

Contoh : 見え mieru [terlihat]

い iru [ada]

聞 え kikoeru [terdengar] 行 ikeru [dapat pergi]

Selain pembagian di atas, Terada Takano dalam Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi (複合動詞), adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua

buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

Doushi + doushi  話 合う hanashiau [berunding]

Meishi + doushi  調査 choosa suru [menyelidiki]

Keiyoushi + doushi  近寄 chikayoru [mendekati]

2. Haseigo toshite no doushi 派生語 動詞

Haseigo toshite no doushi 派生語 動詞, adalah verba yang memakai

prefiks atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan menambahkan prefix atau sufiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap satu kata.

Contoh : 迷う Samayou [mondar-mandir]

(6)

3. Hojo doushi (補助動詞

Hojo doushi (補助動詞), yaitu doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba

ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh :

a. あ aru [ada „benda mati‟]

b. い iru [ada „makhluk hidup‟]

c. う morau [menerima]

Sementara itu, Seiichi Makino dan Michio Tsutsui dalam buku A Dictionary Of Basic Japanese Grammar (1997:582) mengklasifikasikan verba secara semantik menjadi lima jenis, yaitu:

1. Verba stative (verba yang menyatakan „diam/tetap‟)

Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh:

a. い iru [ada]

b. dekiru [bisa]

c. い iru [membutuhkan]

2. Verba Continual (verba yang menyatakan „selalu, terus-menerus‟)

(7)

Contoh:

a. 食 taberu [makan] → 食 い tabeteiru [sedang makan]

b. 飲 nomu [minum] → 飲 い nondeiru [sedang minum]

3. Verba Punctual

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh:

a. 知 shiru [mengetahui] →知 い shitteiru [mengetahui]

b. 打 utsu [memukul] →打 い utteiru [memukuli]

4. Verba Non-Volitional (verba yang menyatakan „bukankemauan‟)

Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk kesanggupan. Verba ini diklasifikasikan sebagai verba berkenaan dengan emosi atau perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan perasaan emosi.

Contoh:

a. konomu [menyukai; berkenaan dengan perasaan]

(8)

5. Verba Movement (verba yang menyatakan „pergerakan‟)

Verba ini menunjukkan gerakan.

Contoh:

a. 歩 aruku [berjalan]

b. 帰 kaeru [kembali/pulang]

2.1.3 Fungsi Verba

Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi verba, penulis merasa penting untuk terlebih dahulu menjelaskan makna dari kata „fungsi‟ itu sendiri. Berikut beberapa pengertian fungsi, adalah sebagai berikut:

a. Menurut KBBI (2008:322), fungsi adalah nomina 1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan; 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh); matematika 3. Besaran yang berhubungan; 4. Kegunaan suatu hal; linguistik 5.peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai subjek). b. Menurut Kridalaksana (1982:65), fungsi adalah 1. Beban makna suatu kesatuan

bahasa; 2. Hubungan antara satu satuan dengan unsur-unsur gramatikal, leksikal atau kronologis dalam suatu deret satu-satuan; 3. Penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu; 4. Peran unsur dalam satu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan unsur lain; 5. Peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas, misal nominal yang berfungsi sebagai subjek atau objek.

(9)

Pada sub bab „Pengertian Verba‟ telah dijelaskan bahwa pada umumnya verba

Bahasa Jepang terletak di akhir kalimat dan berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat.

Contoh:

a. 私 小

Watashi wa shousetsu o yomu

“Saya membaca novel”

b. 家族 い 公園 散歩

Kazoku to isshoni kouen o sanposuru

“Saya berjalan-jalan bersama keluarga di taman”

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzukugo (Sudjianto,2004:151 ). Contoh:

a.先生 本 う

Sensei ni hon o kashite morau

“Guru meminjamkan saya buku “

b. 務所 私 名前 書い あ

Jimusho no kokuban ni watashitachi no namae ga kaite aru.

“Di papan tulis kantor tertulis nama-nama kami“

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat, dalam bentuk kamus selalu diakhiri dengan vocal u (Sudjianto,2004:149).

Contoh :

a. 子供 絵 あ 本 大好

(10)

“Anak-anak paling suka buku yang ada gambarnya”

b. 彼 書い 本

Kore wa kare ga kaita hon desu.

“Ini adalah buku karangan dia “

2.1.4 Pengertian Verba Tetsudau dan Tasukeru 2.1.4.1 Verba Tetsudau

Verba tetsudau adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五

段 動 詞 (goudan doushi). Menurut pakar linguistik bahasa Jepang, verba tetsudau

memiliki dua buah makna. Berikut ini akan dipaparkan tentang pengertian atau makna dari verba tetsudau yang pertama.

a. Kamus Daijisen, dijelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:

人 助 い 働 手 助 助 力 (Tanin no

shigoto o tasukete isshoni hataraku. Tedasuke o suru. Joryoku suru.)

”Membantu pekerjaan orang lain dengan bekerja bersama-sama. Memberikan

pertolongan. Menyokong.”

b. Shibata dan Yamada (2002: 607) dalam Ruigo Daijiten menjelaskan bahwa tetsudau berarti:

行 中心 人 楽 う い う い

(Koui no chuusin ni naru hito ga raku ni nattari, sono shigoto nado ga umaku iku youni, isshoni sore o suru)

”Melakukan suatu pekerjaan bersama-sama dengan pelaku utama suatu kegiatan

(11)

c. Tian (1998:497) dalam Nihongo Ruihyougen no Nyuansu no Chigai o Reishousuru Ruigigo Tsukaiwake Jiten memaparkan makna verba tetsudau:

手 伝う う 自分 十分力 あ 対象 力 補助的

役割

(Tetsudau = jibun demo sudeni juubun chikara no aru taishoo ni chikara o kashi, hojoteki na yakuwari o suru.)

“Tetsudau = Meminjamkan tenaga pada orang yang telah mempunyai kekuatan yang cukup, dan berperan menjadi asisten pembantu”.

Berdasarkan pengertian di atas, pemakaian verba tetsudau lebih ditekankan pada

kata „bersama-sama‟, oleh karena itu dapat disimpulkan tetsudau memiliki makna bahwa

pekerjaan yang dilakukan harus dilakukan bersama dengan pemilik pekerjaan. Porsi pekerjaan orang yang membantu, tidak lebih banyak daripada orang yang dibantu, mengingat perannya hanya meringankan pekerjaan pelaku utama. Dalam penggunaannya, verba tetsudau tidak mengandung unsur yang membahayakan atau mengancam nyawa.

Sedangkan pengertian atau makna dari verba tetsudau yang kedua adalah seperti yang dikemukakan oleh beberapa sumber berikut ini.

a. Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Yoohoo Jiten (1989: 343), menjelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:

あ 起 要 因 一 数 え (Aru koto o okoshita youin no

hitotsu ni kazoerareru.)

”Sesuatu yang termasuk kedalam penyebab berlangsungnya suatu hal”

b. Tim Bunkacho dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten (1990: 668), dijelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:

あ 原因 原因 わわ (Aru genin no ue ni hoka no genin ga

(12)

”Menambahkan penyebab lain dalam suatu kejadian”

Dari pengertian di atas, makna kedua dari verba tetsudau adalah menyebutkan penyebab atau alasan lain yang mengakibatkan terjadinya suatu perkara.

2.1.4.2 Verba Tasukeru

Verba tasukeru adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok II atau一

段動詞 (ichidan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau makna dari

verba tasukeru.

a. Hirose (1994: 416) menjelaskan pendapatnya tentang verba tasukeru, yaitu:

困 い 危険 除隊 あ 人 良い除隊 安全 除隊 う

力 (Komatteitari kiken na jootai ni aru hito ya mono ga ii

jootai ya anzen na jyotai ni naru youni, chikara o kasu koto desu.)

”Meminjamkan tenaga untuk orang maupun benda yang berada dalam kondisi

bingung atau bahaya hingga ia berada dalam kondisi baik dan aman.”

Menurut Hirose, verba tasukeru memiliki cakupan makna yang luas, sehingga bisa menggantikan verba tetsudau yang bermakna „meminjamkan sedikit tenaga‟.

b. Shibata dan Yamada, dalam Ruigi Daijiten (2001: 11) menjelaskan makna verba tasukeru, adalah:

者 肉体的 精神的 危険 状態 抜 出 う 自分 力

出 (Tasha ga, nikutai teki matawa seishin teki ni kiken no jootai kara

nukedaseru yooni, jibun no chikara o dasu)

”Mengeluarkan tenaga sendiri umtuk membebaskan orang lain dari keadaan bahaya

(13)

c. Shibata dan Yamada, dalam Ruigi Daijiten (2002: 607) juga menjelaskan pendapatnya tentang makna verba tasukeru yang kedua, yaitu:

作用 困 い 人 状態 人 物 働

望 い状態 (Shigoto ya sakuyoo, komatteiru hito/ jootai nado o, hoka no

hito/ mono no hataraki ni yotte, yori nozomashii jootai ni suru)

“Membuat suatu pekerjaan, kegiatan, orang yang kebingungan atau suatu keadaan

menjadi lebih baik dengan pekerjaan (bantuan) orang atau benda lain”

d. Dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten (1990: 570) menjelaskan makna verba tasukeru, adalah:

困 い 人 苦 い 人 救う (Komatteiru hito ya kurushinde iru hito o

sukuu)

“Menolong orang yang kesulitan atau tersiksa”

e. Tian (1998:497) dalam Nihongo Ruihyougen no Nyuansu no Chigai o Reishousuru Ruigigo Tsukaiwake Jiten memaparkan makna verba tasukeru, adalah:

助 自分 和力 足 対象 力 え プ ス 方向

推 進

(Tasukeru = jibun dewa chikara busoku no taishou ni chikara o kashi atae, purasu no houkou e oshi susumeru.)

“Tasukeru = Meminjamkan tenaga pada orang yang kekurangan tenaga dan membantu menyokongnya ke arah yang lebih baik”.

(14)

2.2 Studi Semantik

2. 2.1 Definisi Semantik

Koizumi dalam buku Kihon Doushi Yohoo Jiten (1989: 2) menyatakan bahwa semantik (imiron) adalah mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut Sutedi (2004:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik (genggogaku) yang mengkaji tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik seperti yang dimaksud oleh Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994:2), dapat diartikan ilmu tentang makna atau arti.

Objek kajian semantik antara lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi), dan makna kalimat (Sutedi, 2003:103).

1. Makna kata satu persatu (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut, makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu disebabkan oleh masih minimnya buku-buku dan kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi Makna (Go no imi kankei)

(15)

kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelainan makna (homonim), kelebihan makna (redudansi), dan sebagainya.

a. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:297). Misalnya

pada verba „hanasu‟ dan „iu‟ dan „shaberu‟.

b. Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya (Chaer,

1994:299). Misalnya pada kata „takai‟ dan „hikui‟.

c. Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 1994:301).

d. Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer, 1994:308). Misalnya frase „majalah gaya hidup baru‟ dapat

ditafsirkan sebagai (1) „majalah gaya hidup baru terbit, atau (2) „majalah yang

memuat gaya hidup baru’.

e. Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994:305). Misalnya pada

kata „ringo’ dan „kudamono‟

f. Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 1994:302). Misalnya pada kata „bisa‟ yang berarti „racun‟ dan kata „bisa‟ yang berarti „sanggup, dapat‟.

g. Redudansi diartikan sebagai „berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam

suatu bentuk ujaran‟ (Chaer, 1994:310). Misalnya pada kalimat „buku yang

(16)

3. Makna Frase dalam satu idiom (Ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 本

„hon o yomu‟ (membaca buku), 靴 う„kutsu o kau‟ (membeli sepatu),

dan 腹 立 „hara ga tatsu‟ (perut berdiri = marah) merupakan suatu frase. Frase „hon o yomu‟ dan „kutsu o kau‟ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa „nomina + o + verba‟. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri

no imi). Tetapi, untuk frase „hara ga tatsu‟, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).

Lain halnya dengan frase 足 洗 う „ashi o arau‟ , ada dua makna, yaitu

secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna kalimat (bun no imi)

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya,

pada kalimat „Watashi wa Yamada san ni megane o ageru‟ (Saya memberi kacamata

pada Yamada) dan kalimat „Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru‟ (Saya memberi

jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut adalah sama, yaitu „A wa B ni C o ageru‟, tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.

(17)

Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna dalam Semantik

Makna merupakan salah satu kajian dalam semantik yang merupakan bagian terpenting dalam melakukan percakapan.

Dalam KBBI ( 2008: 703) dijelaskan makna adalah 1. arti, 2. maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sedangkan menurut Kridalaksana (1982:132), makna adalah: 1. Maksud pembicara; 2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; 3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa atau antar ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; 4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti atau maksud dari suatu tindak tutur.

Menurut Chaer (1994: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut.

a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial.

(18)

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus.

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

Berikut pengertian makna-makna tersebut satu per satu.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (1994: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata.

Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 辞書的意味 „jishoteki

imi‟ atau 語 彙 的 意 味 „goiteki imi’ . Dalam bahasa Jepang misalnya kata 猫

„neko‟ yang berarti „kucing‟ dan 学 校 „gakkou‟ yang artinya „sekolah‟. Makna

leksikal dari kata „kucing‟ adalah hewan berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata „sekolah‟ adalah bangunan tempat para siswa belajar.

Makna gramatikal menurut Chaer (1994: 63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 文法的意味 „bunpouteki imi‟ . Dalam bahasa Jepang, 助

(19)

leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 忙 い„isogashii‟ dan 食 „taberu‟ . Bagian gokan :

(isogashi) dan (tabe) memiliki makna leksikal yaitu „sibuk‟ dan „makan‟, sedangkan gobi-nya, yaitu {い/ i} dan { / ru} sebagai makna gramatikal, karena akan berubah

sesuai dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel „ni‟ , yang secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat seperti : メダン 住 い „Medan ni sunde iru‟ yang bermakna

„tinggal diMedan‟.

2. Makna Referensial dan Makna Non referensial

Menurut Chaer (1994: 63), perbedaan makna referensial dan makna non referensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna non referensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna non referensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

(20)

„makna sebenarnya‟. Sedangkan menurut Sutedi (2008:107), makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan 明 示 的 意 味 „meijiteki imi‟ atau 外 延 „gaien‟ . Sedangkan

makna konotatif menurut Chaer (1994: 67) adalah makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.

Selanjutnya menurut Sutedi (2008: 107), makna konotatif disebut 暗示的意味 „anjiteki imi‟ atau 内包 „naihou‟ , yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan

atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata 父 „chichi‟ dan

親父„oyaji‟ kedua-duanya memiliki makna denotatif yang sama, yaitu „ayah‟, akan

tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata „chichi‟ terkesan lebih formal dan lebih

halus, sedangkan kata „oyaji‟ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata

化 粧 室 „keshou-shitsu‟ dan 便 所„benjo‟ . Kedua kata tersebut juga merujuk

pada hal yang sama, yaitu kamar kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. „

Keshou-shitsu‟ terkesan bersih, sedangkan „benjo‟ terkesan kotor dan bau. 4. Makna Umum dan Makna Khusus

(21)

akbar‟ dapat diganti dengan „rapat besar‟ ; frase „hari raya‟ dapat diganti dengan „hari besar‟ ; dan frase „film kolosal‟ dapat diganti dengan „film besar‟. Sebaliknya, frase „rumah besar‟ tidak dapat diganti dengan „rumah agung‟, „rumah raya‟ ataupun „rumah

kolosal‟.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (1994: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati

berasosiasi dengan makna „suci‟ atau „kesucian‟ ; kata merah berasosiasi dengan makna

„berani‟ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.

Sedangkan makna idiomatik menurut Chaer (1994: 75) adalah makna sebuah

satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau

makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase „membanting tulang‟ dan „meja hijau‟. „Membanting tulang‟ adalah sebuah leksem

dengan makna „bekerja keras‟, dan „meja hijau‟ adalah sebuah leksem dengan makna

„pengadilan‟.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

(22)

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 頭 „atama‟ (kepala), 腕 „ude‟ (lengan), serta „michi‟ (jalan)

yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini.

頭 いい atama ga ii [kepandaian]

腕 ude ga agaru [kemampuan]

日本語教師 nihongo-kyoushi e no michi [cara/ petunjuk]

b. Dari ruang ke waktu

Kata 前„mae‟ (depan), dan 長い„nagai‟ (panjang), yang menyatakan arti

ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

年前 sannen mae [tiga tahun yang lalu]

長い時間 nagai jikan [lama]

c. Perubahan penggunaan indera

Kata 大 い„ookii‟ (besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata),

berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada 大 い声 „ookii koe‟ (suara

keras). Kemudian pada kata 甘い „amai‟ (manis) dari indera perasa menjadi karakter

seperti dalam 甘い子„amai ko‟ (anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Kata 着 物 „kimono‟ yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,

(23)

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 花 „hana‟ (bunga secara umum) dan 卵 „tamago‟ (telur secara

umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana-mi [bunga Sakura]

卵 食 tamago o taberu [telur ayam]

f. Perubahan nilai positif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah kata 僕 „boku‟ (saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi

sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah kata 貴 様 „kisama‟ (kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata

あ „anata‟ (anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang

dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

(24)

menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2 Kesinoniman

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redudansi).

(25)

akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 類 義 語„ruigigo‟ .

Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang memiliki relasi atau hubungan kesinoniman 類 義 関 係 „ruigi-kankei‟ dapat ditemukan dengan cara

melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti „naik‟, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

: 或経路 焦 合わ 移動

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui

あ : 到 焦 合わ 移動

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 焦 „shouten‟

gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan 到 „toutatsuten‟

dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan noboru menekankan pada jalan yang dilalui 経 路 „keiro‟ dari gerak tersebut (proses). Kata tersebut dapat

(26)

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Keraf (2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolok ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Kitâb al- Burhân, Ibn Rusyd menjelaskan perbedaan keduanya sebagai berikut: (1) konsepsi menjelaskan essensi suatu objek yang dikonsepsikan (definiendum),

Artinya: ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra hamba lelakiMu, dan putra hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di dalam kekuasaanMu. Ketentuan Mu pada diriku telah

Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan (lingkungan fisik, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kontrol kerja, kurangnya

with respect to body weight and body mass index in overweight or obese pre-diabetic

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada bcrbagai pihak yang membantu terlaksananya penelitian ini, terutama pada Proyek Peningkat'ul Penelitian dan

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN SETELAH PAJAK0. TOTAL LABA (RUGI) KOMPREHENSIF TAHUN

In this paper, we develop an econometric model to analyze the sources of growth of output and to esti- mate the rate of technical change in Italian agriculture for the period

Dengan ini kami beritahukan bahwa LIPI memberi kesempatan kepada para dosen untuk mengajukan Proposal Kegiatan Penerapan dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di