• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH SHINTŌ TERHADAP KAMON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGARUH SHINTŌ TERHADAP KAMON"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH SHINTŌ

TERHADAP KAMON

Irma Rachmi Yulita

Universitas Bina Nusantara, Jl.Kebon Jeruk Raya No.27 Jakarta Barat, 0215345830 irma_rachmi@yahoo.co.id

Irma Rachmi Yulita, Sri Dewi Adriani

ABSTRAK

The research explains the semiotic meaning in five Kamon which assumed to possessed

belief system effect of Shintō. The research method used in this research is qualitative

method. Analyses are done by taking data concerning Kamon which have connections with

Shintō effect. Those fifth Kamon are Kamon with sakaki and gohei symbol, Kamon with

tomoe symbol, Kamon with torii symbol, Kamon with nagi leaf symbol, and Kamon with

white horse symbol. Data will be then linked with semiotic concept by Peirce. It is concluded

that the five Kamon had Shintō effect because they had point and concept which connected

with Shintō’s belief system.

Penelitian menjelaskan makna semiotika dalam kelima Kamon yang diduga memiliki

pengaruh sistem kepercayaan Shintō. Metode penelitian yang dipakai adalah metode

kualitatif. Analisis dilakukan dengan mengambil data mengenai Kamon yang berkaitan

dengan pengaruh Shintō. Kelima Kamon tersebut adalah Kamon bermotif sakaki dan gohei,

Kamon bermotif tomoe, Kamon bermotif torii, Kamon bermotif sehelai daun nagi, dan

Kamon bermotif kuda putih. Selanjutnya data mengenai kelima Kamon dihubungkan dengan

konsep semiotika oleh Peirce. Disimpulkan bahwa kelima Kamon tersebut memiliki

pengaruh Shintō karena seluruhnya mempunyai nilai dan konsep yang berkaitan dengan

kepercayaan Shintō.

Kata kunci: Kamon, Shintō, sistem kepercayaan, semiotika, Peirce.

PENDAHULUAN

Crawford (2002:50) menjelaskan bahwa sistem kepercayaan merupakan sebuah kumpulan kepercayaaan yang saling berhubungan satu sama lain. Kumpulan kepercayaan ini juga mempunyai inti, kesatuan dan peran tertentu dalam suatu lapisan masyarakat. Shintō merupakan salah satu

contohnya. Yusa (2002:19) menjelaskan bahwa Shintō (神道), yang berarti kami no michi atau ‘jalan

Tuhan’ merupakan sebuah sistem kepercayaan kuno yang telah ada serta dipraktekkan dalam waktu yang sangat lama di Jepang. Sebenarnya sistem kepercayaan tidak mempunyai nama pada awalnya. Nama Shintō kemudian diberikan untuk membedakan sistem kepercayaan ini dengan ‘jalan Budha’, yang masuk ke Jepang pada abad ke-6. Disebut sistem kepercayaan karena Shintō menyembah berbagai macam kami atau dewa, berbeda dengan agama yang umumnya hanya menyembah satu Tuhan, seperti Islam dan Kristen. Akan tetapi Shintō tidak hanya sekedar sebuah sistem kepercayaan yang semata-mata menyembah kami. Orang-orang Jepang pada zaman dulu mempunyai sebuah kepercayaan yang menjelaskan bahwa di segala benda yang kita pandang yang terdapat baik di langit dan bumi, merupakan tempat bermukimnya para dewa atau kami.

Sistem kepercayaan Shintō mempengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat Jepang, aspek kesenian adalah salah satunya. Pada aspek ini, banyak kesenian mapun benda seninya yang mendapat pengaruh Shintō . Kamon merupakan salah satu dari sekian benda seni yang mendapat pengaruh dari sistem kepercayaan Shintō. Kamon merupakan lambang keluarga yang terdapat Jepang. Takemitsu

(2013:20) menjelaskan dengan lebih detail bahwa Kamon (家紋; berarti lambang keluarga) adalah

lambang yang umumnya hanya digunakan oleh kalangan keluarga terhormat atau terpandang seperti keluarga-keluarga samurai pada abad pertengahan di Jepang. Kamon, pada awalnya bukan murni merupakan lambang keluarga. Arimoto (2013:26) menjelaskan bahwa Kamon pada awalnya

(2)

merupakan sebuah penanda atau pola yang telah ada semenjak awal zaman Heian (794-1185 M, ada juga yang menulis tahun 1192 M) yang digunakan pada pedati sapi. Lambang tersebut digunakan dengan tujuan untuk membedakan kaum bangsawan tertentu dengan bangsawan lain serta masyarakat yang bukan berasal dari kalangan bangsawan.

Pada masa-masa berikutnya, Kamon mulai digunakan di kalangan samurai untuk berbagai hal. Fungsi lambang penanda dan pengenal yang pada mulanya terbatas pada pedati sapi mulai berubah dan beragam. Beberapa fungsi Kamon diantaranya adalah untuk menandai kepemilikan dan juga untuk menandakan bahwa mereka berasal dari keluarga samurai tertentu. Misalnya Kamon bermotif aoi (hollyhock) menandakan bahwa sang pemakai berasal dari keluarga Tokugawa, Kamon bermotif kikyou berasal dari keluarga Akechi, dan lain-lain. Takemitsu (2007:11) menjelaskan dengan singkat bahwa Kamon umumnya digambar melalui berbagai media atau peralatan dalam kehidupan sehari-hari terutama pada zaman sekarang. Contohnya adalah montsuki (kimono yang memiliki motif Kamon), peralatan makan, dan haka (makam; batu nisan).

Tujuan dari penggunaan Kamon dapat bermacam-macam dan tergantung dari situasi dan siapa pemakainya. Penggunaan atau fungsi Kamon dapat berubah meskipun masih berkisah mengenai suatu klan atau keluarga besar. Menurut Maruyama (2012:82) Kamon dapat menjadi salah satu alat referensi untuk menjelaskan asal-usul atau silsilah dari suatu keluarga. Selain Kamon, biasanya dibutuhkan beberapa referensi lain seperti marga, makam, dan sensus keluarga untuk menelusuri garis keturunan seseorang bahkan suatu keluarga. Ada juga yang menganggap Kamon sebagai lambang keramat dan menggunakannya seperti jimat pelindung untuk keluarga tersebut (Takemitsu, 2013:16). Pada Kamon yang terpengaruh oleh ajaran-ajaran Shintō, penggunaannya bertambah menjadi menurunkan nilai-nilai dan konsep mengenai kepercayaan Shintō yang dianut kepada generasi yang berikutnya. Bergantung pada nilai-nilai yang dianut suatu keluarga, kadang nilai-nilai atau ajaran tersebut mempengaruhi desain dari Kamon sang keluarga.

Desain Kamon umumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Desain dapat didasarkan kepada pengalaman pribadi sang kepala keluarga, atau karena dianggap sebagai ajimat pelindung, atau karena sang kepala keluarga menghayati nilai artistik serta keindahan dari suatu benda tertentu, atau karena motif-motif tersebut memang mengandung sejarah, legenda, mitos, bahkan ajaran serta nilai tertentu dari sistem kepercayaan yang terdapat di Jepang, terutama Budhisme dan Shintōisme. Dalam hal ini Kamon dapat dipengaruhi dengan nilai filosofi seperti ajaran-ajaran beraliran Shintō. Motif untuk Kamon bermacam-macam, misalnya tumbuhan, binatang, benda-benda langit seperti bulan dan bintang, bahkan peralatan untuk bekerja dan benda-benda yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini penulis mengangkat permasalahan mengenai pengaruh sistem kepercayaan Shintō dan ajaran-ajaran beserta prinsipnya terhadap Kamon. Penulis mengambil judul “Analisis Pengaruh Shintō Terhadap Kamon” dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis serta mengetahui bagaimana dampak atau pengaruh kepercayaan Shintō dalam bentuk konsep dan nilai terhadap bentuk motif Kamon. Penelitian mengenai Kamon sebelumnya pernah diteliti oleh Iha Nanako di Jepang. Penelitian ini penulis temui di dalam sebuah situs Jepang. Catatan penelitian ini membahas latar belakang mitsu-tomoemon atau Kamon dengan motif tomoe berkoma tiga. Iha membahas terutama mengenai bentuk tomoe yang mirip dengan penggambaran roh yang terdapat pada Jepang dan bagaimana Kamon ini juga digunakan oleh keluarga kerajaan di Okinawa sebagai lambang keluarga seperti halnya keluarga-keluarga bangsawan dan samurai yang berada di Jepang.

Metode dan teori yang akan digunakan dalam analisis ini adalah semiotika. Semiotika merupakan ilmu yang mempunyai hubungan erat dengan kegiatan atau aktivitas manusia yang menghasilkan makna, terutama pada bahasa dan kebudayaan. Semiosis merupakan bagian dariilmu semiotika. Robering (1997:247) memiliki pendapat bahwa istilah semiosis berasal dari Yunani yang mengarah pada fenomena suatu tanda. Robeling mengutip dari Peirce bahwa semiosis adalah hasil dari hubungan antara tiga tahapan semiosis. Ketiga tahapan semiosis tersebut adalah yaitu representamen, objek, dan interpretan. Menurut Tinarbuko (2009:13) yang mengutip dari Peirce, representamen adalah sesuatu yang mampu mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Objek merupakan benda atau hal dalam lingkup tertentu yang dirujuk oleh representamen. Tanda atau sign yang akan selalu mengacu pada sesuatu yang lain disebut sebagai objek. Tinarbuko menambahkan bahwa mengacu dapat memiliki arti mewakili atau menggantikan. Interpretan merupakan hasil makna atau perlambangan yang didapat dan ditentukan oleh representamen. Tinarbuko menjelaskan lebih detail bahwa interpretan merupakan pemahaman makna yang muncul dalam diri sang penerima tanda. Tanda hanya akan berfungsi apabila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretan. Tidak hanya itu, tanda hanya dapat berfungsi apabila pemahaman dapat terjadi berkat baiknya ground atau pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Ketiga tahapan semiosis ini

(3)

digambarkan dengan sebuah segitiga. Berikut ini adalah gambar dari segitiga semiotika Peirce yang telah dilampirkan.

Gambar 1. Segitiga semiotika Peirce yang memuat tiga tahapan semiosis.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kualitatif. Penulis akan menggunakan metode ini untuk memfokuskan penelitian pada

interpretasi dan pendekatan naturalistik bagi permasalahan dalam penelitian. Metode ini meliputi terutama pengumpulan data untuk penelitian. Penulis kemudian akan mengolah data yang telah didapatkan dari studi kepustakaan berdasarkan metode ini.

2. Studi Kepustakaan. Penulis akan menggunakan metode ini untuk mengumpulkan data

mengenai Kamon, Shintō, dan semiotika Peirce dari berbagai sumber seperti buku, jurnal ilmiah, dan internet.

3. Deskriptif Analitik. Penulis akan mengumpulkan teori yang berkaitan dengan Kamon, Shintō,

dan semiotika Peirce dan menganalisis data dengan menggunakan metode ini beserta konsep-konsep dan teori dalam penelitian ini.

HASIL DAN BAHASAN

Dalam penelitian ini penulis mengambil data berupa konsep-konsep and teori mengenai Kamon, Shintō, dan semiotika dari Peirce. Penulis turut mengambil data berupa lima Kamon yang diduga memiliki pengaruh Shintō. Untuk menemukan hasil makna dari sign, kelima Kamon tersebut kemudian dianalisis secara lebih lanjut dan dicocokkan dengan konsep-konsep dan teori yang telah disediakan. Proses analisis menggunakan metode kualitatif. Berikut ini adalah analisis yang dilakukan kepada kelima Kamon menggunakan teori semiotika.

Kamon bermotif sakaki-gohei (R). Sakaki diikatkan gohei (O). Gambar 2. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif sakaki dan gohei.

Kamon pertama yang akan dianalisis adalah Kamon bermotif sakaki dan gohei.Gambar yang telah dilampirkan di atas adalah gambar semiotika Kamon bermotif sakaki dan gohei. Sakaki (cleyera japonica) merupakan jenis tumbuhan evergreen atau selalu hijau sepanjang tahun. Di Jepang, pohon

Perantara kami dan manusia untuk himorogi dalam jichinsai (I). Representamen =

tanda yang merujuk pada objek.

Objek = benda atau hal dalam lingkup tertentu yang dirujuk.

Interpretan = hasil makna yang didapat dari representamen.

(4)

ini dianggap pohon keramat dan salah satu dari beberapa jenis pohon yang menjadi tempat perantara kami yang turun dari langit (Hartz, 2009:31). Sakaki lazimnya digunakan untuk persembahan dan mengusir roh-roh jahat (Shirane, 2013:126). Dikarenakan kepercayaan ini, banyak yang menanam pohon ini dalam pekarangan kuil. Dahan dari pohon sakaki sering digunakan dalam upacara pemurnian (Ono, 98:99). Gohei adalah julukan dari tongkat kayu dengan dua strip kertas putih yang membentuk zigzag di kedua sisi di ujung tongkat (Ono, 1998:24). Istilah gohei kadang hanya dirujukkan pada bagian kertasnya. Fungsi dari gohei adalah persembahan kepada kami yang diletakkan di altar kuil. Gohei umumnya berada di altar untuk menandakan keberadaan sang kami di kuil tempat kami tersebut disembah (Kusudo, 2002:267).

Bagian kertas dari gohei kadang diikatkan dengan sakaki. Sakaki dan gohei yang disatukan ini digunakan dalam himorogi. Himorogi merupakan area keramat yang digunakan untuk memanggil kami turun ke bumi untuk sementara waktu (Yamakage, 2006:66). Himorogi merupakan bagian dari ritual jichinsai. Jichinsai adalah ritual pemurnian yang mengawali pembangunan rumah dan gedung bertingkat. Tujuan dari jichinsai adalah menenangkan roh-roh bumi yang berada di tempat di mana bangunan akan didirikan (Picken, 2006:92). Sakaki dan gohei menjadi yorishiro, yaitu benda-benda tertentu yang dianggap dapat menjadi jalan penghubung kami yang dipanggil turun ke bumi

(Yamakage, 2006:66).Yorishiro diletakkan di dalam area keramat himorogi di mana kami dapat turun.

Dalam himorogi, kami dianggap sebagai roh tak kasat mata yang tidak mempunyai tempat bersemayam permanen. Himorogi digunakan untuk mengundang sang kami ke bumi dan menghadiri jichinsai. Kami yang tak kasat mata membutuhkan media seperti pohon dan daunnya untuk bersemayam. Dengan berfungsinya dahan dan daun sakaki menjadi wadah sementara, kami yang telah dipanggil dapat menghadiri ritual pemurnian yang dilakukan manusia. Gohei yang disertakan dengan sakaki berfungsi untuk menegaskan dan menandakan keberadaan sang kami dalam area suci (Ono, 1998:24), dalam hal ini adalah himorogi. Keduanya merupakan alat spiritualyang penting dalam melaksanakan jichinsai.

Berdasarkan teori semiotika Peirce, Kamon bermotif sakaki yang diikat gohei merupakan sebuah representamen. Objek dari sign selaku representamen adalah fungsi dari sakaki-gohei yaitu sebagai perantara kami dan manusia. Interpretan atau perwakilan makna dari sign adalah fungsi dari sakaki dan gohei sebagai perantara kami dan manusia untuk himorogi dalam jichinsai. Himorogi memiliki fungsi sebagai tempat bersinggah sementara untuk sang kami. Agar himororgi dapat berfungsi menjadi tempat singgah kami dibutuhkan peralatan spiritual. Peralatan spiritual tersebut digunakan sebagai wadah kami dan penanda keberadaan kami selama berada di bumi. Peralatan spiritual tersebut adalah dahan sakaki dengan gohei yang diikatkan.

Dari analisis di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan mengenai kondisi triadic dan tujuan dari sign. Berdasarkan hasil analisis dengan teori semiotika Peirce, kondisi triadic dari sign adalah baik sakaki maupun gohei merupakan alat ritual yang berfungsi menjadi wadah sementara kami untuk himorogi di jichinsai. Peranan ini penting dalam melaksanakan jichinsai. Tanpa sakaki dan gohei, kami tak dapat ke bumi untuk mendatangi ritual manusia. Begitu juga sebaliknya, manusia tidak dapat melakukan ritual tanpa kehadiran kami. Tujuan dari digambarkannya Kamon bermotif sakaki dan gohei adalah untuk membuktikan bahwa sakaki yang diiikatkan gohei lebih dari sekedar alat ritual. Sakaki dan gohei sebagai alat spiritual yang direpresentasikan memegang peranan penting sebagai perantara kami dan manusia dalam himorogi di upacara ritual jichinsai. Kamon bermotif sakaki dan gohei juga bertujuan untuk mempermudah penerimaan mengenai pentingnya sakaki dan gohei dalam himorogi dan jichinsai.

Kamon bermotif mitsu-tomoe (R). Konsep Ichirei Shikon (O). Ichirei Shikon =

Tama (roh); energi penggerak

(5)

Gambar 3. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif mitsu-tomoe.

Kamon yang selanjutnya akan dianalisis adalah Kamon bermotif mitsu-tomoe. Gambar di atas merupakan gambar segitiga semiotika dari Kamon bermotif tomoe. Tomoe atau mitsu-tomoe merupakan lambang yang umumnya terdiri tiga bagian koma dari bagian tengah lambang (Picken, 1994:375). Lambang tomoe telah digunakan dalam masyarakat Jepang dalam kurun waktu lama. Takemitsu (2013:105) menjelaskan dengan singkat bahwa pada zaman Heian, motif ini digunakan dan disenangi dalam kalangan bangsawan. Motif tomoe berkoma tiga kemungkinan digunakan karena mengandung kekuatan mantera dan bentuk komanya menyerupai magatama. Magatama merupakan perhiasan batu dari zaman Jomon. Magatama mempunyai bentuk meyerupai tamashii atau roh manusia dan digunakan untuk jimat dan ritual bersifat religius (Takemitsu, 2013:22). Mitsu-tomoe digunakan sebagai representasi Hachiman (dewa perang), akan tetapi motif ini juga dapat digunakan untuk merepresentasikan konsep Shintō lainnya. Ichirei Shikon adalah salah satunya.

Ichirei Shikon (一霊四魂) adalah konsep mengenai satu roh yang terdiri dari empat bagian jiwa tertentu yang hidup secara berdampingan (Picken, 1994:345). Keempat jiwa tersebut adalah (1) nigimitama; yaitu jiwa yang sifatnya tenang, (2) aramitama; jiwa yang sifatnya bergolak, (3) sakimitama; jiwa yang berunsur penciptaan, (4) dan kushimitama; jiwa yang sifatnya tersembunyi atau misterius. Ketiga jiwa pertama diwakilkan dengan koma-koma pada lambang tomoe. Kushimitama berbeda karena umumnya diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat tidak dikenal dan sulit dipahami akal manusia. Karena membuat perubahan-perubahan yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, kushimitama dianggap berada di luar pengetahuan manusia. Oleh karena itu kushimitama diwakilkan dengan ruang kosong diantara ketiga koma. Bersama-sama, keempat jiwa ini menyokong dan membentuk satu kesatuan eksistensi serta kemampuan roh dalam memberikan kehidupan pada makhluk hidup.

Kamon bermotif mitsu-tomoe merupakan representamen berdasarkan teori semiotika Peirce. Objek dari sign tersebut adalah konsep Ichirei Shikon. Konsep ini menyatakan bahwa sebuah roh terdiri dari empat jiwa yang saling melengkapi meskipun karakteristik tiap jiwa saling berbeda. Interpretan pada sign di atas adalah kehidupan. Tama atau roh merupakan energi kehidupan yang menggerakkan semua makhluk hidup (York, 2005:24). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, roh tiap makhluk hidup disokong oleh empat jiwa yang saling berbeda tapi saling melengkapi. Jiwa-jiwa ini membentuk kesatuan entitas bernama roh yang kemudian bersama dengan jasad jasmaniah memberikan kehidupan kepada makhluk hidup seperti manusia (Rankin, 2011:33).

Dari analisis yang menggunakan teori semiotika Peirce di paragraf sebelumnya, diambil sebuah kesimpulan mengenai Kamon bermotif mitsu-tomoe. Dilihat dari kondisi triadic-nya, mitsu-tomoe adalah perwujudan dari konsep Ichirei Shikon mengenai empat jiwa di bawah naungan sebuah roh. Sekalipun keempatnya memiliki sifat berbeda, jiwa-jiwa ini saling melengkapi satu sama lain dan bergabung menjadi satu kesatuan entitas yaitu roh. Roh ini kemudian menggerakkan dan memberikan kehidupan pada pada tiap-tiap makhluk hidup yang ada di muka bumi. Oleh karena itu roh menjadi bagian krusial dari bentuk-bentuk kehidupan. Motif mitsu-tomoe digunakan karena desainnya mempermudah para penerima tanda memahami konsep Ichirei Shikon dan bentuknya yang mirip dengan penggambaran roh pada kehidupan masyarakat Jepang. Tujuan dari digambarkannya Kamon ini adalah membuktikan bahwa roh merupakan energi penggerak kehidupan yang bersemayam dalam tiap makhluk hidup dalam kepercayaan Shintō dengan menggunakan motif mitsu-tomoe yang mampu mewakili dan memudahkan pemahaman konsep Ichirei Shikon.

Kamon bermotif torii (R). Torii di depan kuil (O). Gambar 4. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif torii.

Pembatas antara dunia kami (kuil) dan manusia

(6)

Kamon yang berikutnya adalah Kamon dengan motif torii. Gambar di atas merupakan semiotika dari Kamon bermotif torii. Torii merupakan gerbang yang didirikan di jalan masuk kuil yang berada di daerah yang dianggap keramat. Takemura (2010:12) menjelaskan dengan lebih detail bahwa torii umumnya dibangun di wilayah di mana kami dipercayai bersemayam. Dalam Shintō, wilayah kuil dipercayai menjadi wilayah kekuasaan tempat kami yang disembah bersemayam. Memasuki kuil

berarti memasuki wilayah kami. Ono (1998:28) memberikan pendapat bahwa torii (鳥居) adalah

gerbang masuk ke kuil yang menjadi simbolisasi yang menandai wilayah kami dari area pemukiman atau dunia manusia. Umumnya wilayah kami tempat dibangunnya kuil dengan torii berada di kaki gunung atau bukit. Kadang terdapat torii yang diangun di pantai atau di danau. Istilah torii berasal dari tori (鳥) yang berarti burung dan i (居) yang berarti bertengger. Istilah torii mempunyai arti ‘tempat bertenggernya burung’ atau ‘tempat di mana burung berada’ (Ono, 1998:28). Itou (2013:208) menjelaskan secara singkat bahwa torii merupakan tempat hinggap yatagarasu yaitu gagak berkaki tiga, yang dalam legenda dianggap utusan Amaterasu Oomikami. Ada juga yang menyatakan bahwa torii merupakan tempat bertengger ayam, yang di legenda lain juga dianggap sebagai utusan Amaterasu karena melambangkan matahari.

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan teori semiotika Peirce, sign di atas merupakan representamen. Objek dari sign adalah kuil yang dipisahkan torii dari dunia manusia menjadi daerah yang disucikan. Kuil dianggap tempat bersemayam kami sekaligus wilayah suci, oleh karenanya kuil dibangun di tempat yang terpisah dari pemukiman manusia. Hal ini disebabkan karena pemukiman atau dalam hal ini dunia manusia mempunyai kegare. Kegare merupakan ketidakmurnian atau polutan dalam Shintō. Abe (2003:4) menjelaskan secara lebih spesifik bahwa kami membenci kegare yang dianggap tabu dalam kepercayaan Shintō. Beberapa contoh dari kegare adalah kematian, darah, dan penyakit. Kegare hanya terdapat di dunia manusia dan manusia dapat membawa kegare masuk ke dalam kuil. Untuk melindungi kuil, torii diletakkan di antara kuil dan lingkungan masyarakat sekitar. Dengan demikian torii menjadi penanda dan menciptakan tempat terpisah di antara kuil dan pemukiman sekitar (http://www.uri.edu/iaics/content/1996v6n1/07%20Randall%20L.%20Nadeau.pdf, diakses 4 Juli 2014). Oleh karena itu, interpretan dari sign adalah fungsi dari torii sebagai pembatas antara dunia kami dan dunia manusia, dalam hal ini kuil dan area pemukiman.

Dari analisis di atas diambil sebuah kesimpulan bahwa torii berfungsi sebagai pembatas antara kuil dan pemukiman manusia. Berdasarkan kondisi triadic-nya, torii menjadi pembatas kuil dan pemukiman. Fungsi torii menjadi demikian karena kuil menjadi persemayaman kami dan dalam Shintō, kami sangat membenci kegare. Torii digunakan untuk memisahkan kuil yang murni dan suci dari pemukiman manusia yang tidak murni serta dipenuhi kegare. Itu sebabnya torii menjadi pelindung kuil sehingga kegare tidak dapat memasuki bahkan mencemari kuil. Tujuan digambarkannya motif torii pada Kamon adalah penanda secara simbolik dari wilayah kuil yang disucikan menurut kepercayaan Shintō. Kamon bermotif torii juga memiliki tujuan lain untuk mempermudah penyampaian pemahaman konsep mengenai kuil yang harus dilindungi dari kekotoran dengan memasang torii sebagai dinding pelindung kepada para penerima tanda.

Kamon bermotif daun nagi (R). Daun nagi (O). Gambar 5. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif sehelai daun nagi.

Kamon yang berikutnya adalah Kamon dengan motif sehelai daun nagi. Gambar di ata merupakan gambar semiotika dari Kamon yang akan dibahas. Nagi (podocarpus nagi, sekarang nageia nagi) adalah jenis pohon evergreen atau hijau sepanjang tahun seperti pohon sakaki. Nagi merupakan tanaman endemik yang hanya terdapat di Jepang, China, dan Taiwan. Pohon nagi dianggap sebagai pohon keramat terutama di kuil-kuil Kumano, bagian utara Prefektur Wakayama (Kusudo, 2002:236). Pohon ini umumnya ditanam di dalam pekarangan kuil. Kadang-kadang nagi juga ditanam di sandou (参道) yaitu jalan yang terbentang dari depan torii hingga ke dalam kuil.

Penanda dan jimat para peziarah Kumano (I).

(7)

Helai daun nagi dianggap simbol yang penting dari bagian ziarah Kumano. Di Kumano, daun ini umumnya diberikan bikuni di kuil Kumano pada para peziarah. Para peziarah ini kadang membawa daun nagi selama perjalanan menuju kuil Kumano yang berada di pegunungan. Kebiasaan membawa sehelai daun nagi sebagai jimat dimulai pada zaman Heian. Pada masa itu para peziarah yang melakukan perjalanan ke gunung tempat kuil-kuil berada, menyelipkan sehelai daun nagi di topi mereka (Yoshizawa-Waddell, 2009:153). Selain jimat, besar kemungkinan bahwa helai daun nagi tersebut digunakan untuk menandakan sang pemakai adalah peziarah yang datang untuk berziarah ke kuil-kuil tersebut. Melalui catatannya, Perkins (1998:235) menjelaskan secara singkat bahwa daun nagi yang menghiasi topi peziarah dapat mengindikasikan tujuan ziarahnya. Helai daun nagi menunjukkan kuil-kuil Kumano sebagai tempat ziarah.

Representamen dari sign berdasarkan teori Peirce adalah Kamon bermotif sehelai daun nagi. Sebagai representamen, sign bermotif helai daun nagi menunjukkan hubungan objek berkaitan dengan ziarah di Kumano. Objek dari sign adalah daun nagi karena daun nagi memiliki hubungan dengan ziarah Kumano. Di Kumano, daun nagi dijadikan jimat dan dikenakan para peziarah dengan cara diselipkan sehelai di topi peziarah. Interpretan berdasarkan teori semiotika Peirce adalah fungsi helai daun nagi yang menjadi penanda dan jimat para peziarah Kumano.

Dari analisis yang menggunakan teori semiotika Peirce di atas, diambil sebuah kesimpulan mengenai

motif daun nagi pada Kamon.Kondisi triadic dari Kamon menggambarkan bahwa motif helai daun

nagi pada Kamon menjadi bentuk simbolik penggunaan daun nagi di kalangan peziarah Kumano. Daun nagi yang diselipkan di topi peziarah menandakan bahwa mereka adalah peziarah. Daun nagi dapat merujuk daerah tujuan para peziarah yaitu kuil-kuil Kumano yang terletak di pegunungan. Motif daun nagi pada Kamon juga dimaksudkan untuk meniru penggunaan jimat berupa sehelai daun nagi untuk melindungi para peziarah dan pengunjung yang berkehendak menuju pegunungan Kumano. Motif sehelai daun nagi digunakan sebagai motif Kamon untuk memudahkan para penerima tanda memahami konsep mengenai penggunaan daun nagi di Kumano. Tujuan dibuatnya motif Kamon di atas adalah untuk membuktikan bahwa daun nagi menjadi bagian penting dari kuil dan peziarah, terutama para peziarahnya dalam pelaksanaan ziarah di Kumano. Kamon bermotif sehelai daun nagi juga mempunyai fungsi untuk memudahkan penyampaian konsep penggunaan daun nagi sebagai jimat dan penanda di Kumano kepada para penerima tanda.

Kamon bermotif kuda putih (R). Kuda putih di Ise Jingu (O). Gambar 6. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif kuda putih.

Kamon yang berikutnya adalah Kamon bermotif kuda putih. Gambar yang telah dilampirkan di atas adalah gambar semiotika dari Kamon bermotif kuda. Kuda pertama kali dikembangbiakkan di Jepang pada zaman Yayoi (300 SM-300 M). Sampai pada zaman Nara (710-794 M), kuda tergolong benda langka karena sulit didapatkan. Pada saat itu terdapat sebuah kepercayaan bahwa kuda adalah ‘kendaraan kami’ (Ono, 1998:33). Hal disebabkan dengan adanya suatu anggapan bahwa kuda putih merupakan binatang keramat. Kuda putih disebut binatang keramat karena dipercayai membawa pesan-pesan kepada para kami (Frederic, 2002:174). Kuda putih juga dianggap pembawa pesan Amaterasu Oomikami (Rosaye, 68:2008). Oleh karena itu terdapat kebiasaan untuk menghadiahi atau memberikan kuda ke kuil Shintō sebagai bentuk doa. Tujuannya adalah untuk berdoa kepada kami

untuk dikabulkan permintaannya. Kuda yang diberikan ke kuil dinamakan shinme (神馬) atau yang

berarti kuda keramat atau kuda suci (Nelson, 2000:252). Sekitar pertengahan abad ke-8, penggunaan kuda dan sapi untuk pengurbanan kemudian dilarang. Pelarangan ini berpengaruh pada shinme karena persembahan berupa sapi dan kuda dihubungkan dengan pengurbanan (Inoue, 2003:100) dan shinme kemudian digantikan oleh ema. Ema memiliki fungsi yang hampir serupa dengan shinme. Ema memiliki kepraktisan karena hanya berupa papan kayu yang mudah didapatkan. Karena ema menggantikan shinme sebagai persembahan dan bentuk doa, di belakang ema biasanya dituliskan doa

Persembahan dan bentuk doa (I).

(8)

atau keinginan yang kita punyai. Karena kepraktisannya ini, ema kemudian digunakan hampir di semua kuil Shintō, kecuali di beberapa kuil tertentu.

Representamen yang didasarkan teori Peirce merupakan Kamon dengan motif kuda putih. Objek yang ditunjukkan adalah kuda putih yang menjadi kendaraan dan pembawa pesan kami. Kuda putih sebagai persembahan dan bentuk doa menjadi interpretan dari sign. Kuda yang diberikan ke kuil dengan tujuan menjadi bentuk doa manusia dinamakan shinme. Selain berfungsi menjadi persembahan, shinme juga berfungsi menjadi bentuk doa yang dikirimkan manusia pada kami.

Dari analisis di atas, diambil sebuah kesimpulan bahwa sign ini memiliki kondisi triadic mengenai kuda putih yang berperan menjadi persembahan kuil dan bentuk doa kepada kami. Karena kepercayaan mengenai kuda sebagai pembawa pesan dan kendaraan kami, kuda diberikan ke kuil sebagai persembahan. Selain kepercayaan tersebut, kuda dahulu merupakan harta benda berharga seperti halnya harta benda. Faktor ini juga mendukung kebiasaan memberi kuda ke kuil. Motif kuda putih digunakan pada Kamon untuk mempermudah para penerima tanda memahami konsep mengenai penggunaan kuda putih dalam Shintō. Tujuan digambarkannya Kamon dengan motif kuda putih adalah untuk membuktikan bahwa kuda lebih dari sekedar persembahan untuk kuil dan bentuk doa. Kamon bermotif kuda putih juga berfungsi menyampaikan konsep mengenai pentingnya peranan kuda putih dalam Shintō pada para penerima tanda.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Untuk memahami nilai dan konsep yang terkandung dalam Kamon dari sudut pandang sistem kepercayaan Shintō, penulis menggunakan konsep-konsep Shintō dan konsep Kamon. Konsep Shintō dibagi menjadi lima konsep tersendiri. Kelima konsep tersebut adalah konsep mengenai sakaki dan gohei sebagai yorishiro, konsep mengenai Ichirei Shikon dalam mitsu-tomoe, konsep mengenai penggunaan torii sebagai penanda wilayah kuil, konsep mengenai penggunaan sehelai daun nagi di kalangan peziarah Kumano, dan konsep mengenai penggunaan kuda putih dalam Shintō.

Kelima Kamon yang diduga memiliki nilai, filosofi, dan konsep Shintō diambil dan kemudian digunakan sebagai data dalam penelitian ini. Kelima Kamon tersebut adalah Kamon bermotif sakaki dan gohei, Kamon bermotif mitsu-tomoe, Kamon bermotif torii, Kamon bermotif sehelai daun nagi, dan Kamon bermotif kuda putih. Kelima Kamon disesuaikan dengan konsep-konsep Shintō yang ada. Dalam menganalisis data dan menentukan makna yang terkandung di dalam data, digunakan konsep dan teori semiotika Peirce. Tujuannya untuk menentukan hasil makna dari kelima Kamon didasarkan konsep-konsep Shintō. Dari analisis diperoleh hasil kesimpulan bahwa kelima Kamon yang telah diambil sebagai data, memiliki konsep-konsep dan nilai Shintō.

Kamon bermotif sakaki-gohei mempunyai hasil makna atau kondisi triadic bahwa sakaki yang diikatkan gohei menjadi yorishiro yang digunakan untuk wadah sementara kami untuk himorogi di jichinsai. Yorishiro merupakan alat spiritual yang menggunakan benda mati (terkadang makhluk hidup) untuk memanggil kami turun ke bumi dan menghadiri suatu upacara Shintō. Yorishiro yang paling sering digunakan adalah dahan sakaki yang diikatkan gohei. Sakaki dan gohei ini yang digunakan sebagai motif untuk Kamon. Tujuan dari digambarkannya Kamon bermotif sakaki-gohei adalah untuk membuktikan dan menyampaikan hasil makna pada para penerima tanda bahwa dahan sakaki yang diiikatkan gohei yang diwakilkan oleh sign, memegang peranan penting tidak hanya sebagai alat ritual saja tetapi peranan sebagai perantara kami dan manusia pada jichinsai dalam himorogi.

Kamon bermotif mitsu-tomoe memiliki hasil makna bahwa mitsu-tomoe merupakan perwujudan dari konsep Ichirei Shikon mengenai empat jiwa yang berada di bawah naungan sebuah roh. Ichirei Shikon merupakan konsep mengenai empat bagian jiwa yang saling melengkapi dan membentuk satu kesatuan menjadi satu roh yang esensial dengan kehidupan dan makhluk hidup. Tujuan dari digambarkannya Kamon ini adalah membuktikan dan menyampaikan hasil makna pada para penerima tanda bahwa roh merupakan energi penggerak kehidupan yang bersemayam dalam tiap makhluk hidup dalam kepercayaan Shintō. Konsep ini diwakilkan dengan Kamon bermotif mitsu-tomoe.

Kamon bermotif torii memiliki hasil makna bahwa torii bertindak sebagai dinding pembatas antara daerah kuil dan tempat manusia tinggal. Torii adalah gerbang dengan warna utama merah yang diletakkan antara kuil dengan pemukiman manusia. Torii berfungsi menjadi pembatas serta pelindung kuil yang merupakan wilayah kami dari kegare yang dapat terbawa manusia. Tujuan digambarkannya motif torii pada Kamon adalah untuk menyampaikan hasil makna pada para penerima tanda bahwa

(9)

torii merupakan penanda secara simbolik dari wilayah kuil yang disucikan menurut kepercayaan Shintō.

Kamon bermotif daun nagi memiliki hasil makna bahwa helai daun nagi yang dijadikan motif pada Kamon menjadi bentuk simbolik penggunaan daun nagi di kalangan peziarah Kumano yang hanya sehelai. Nagi merupakan sejenis pohon evergreen yang dianggap suci hanya di daerah Kumano. Di daerah ini, baik pohon dan daunnya memiliki peranan penting, terutama daunnya. Peziarah Kumano menggunakan helai daun nagi di topi mereka. Fungsinya adalah sebagai jimat dan penanda bahwa yang mengenakan daun tersebut adalah seorang peziarah Kumano. Tujuan dibuatnya motif Kamon di atas adalah untuk membuktikan dan menyatakan kepada para penerima tanda bahwa daun nagi menjadi bagian penting dari kuil dan peziarah, terutama para peziarahnya dalam pelaksanaan ziarah di Kumano.

Kamon bermotif kuda putih mempunyai hasil makna bahwa kuda putih menjadi persembahan kuil dan bentuk doa kepada kami. Kuda putih yang menjadi motif dari Kamon memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat Jepang. Kuda putih dianggap binatang keramat dan mengantar pesan pada para kami. Kuda digunakan dalam upacara-upacara Shintō hingga sekarang, meskipun tidak banyak kuil yang melakukannya. Kuda yang digunakan dalam upacara disebut dengan shinme. Tujuan digambarkannya Kamon dengan motif kuda putih adalah untuk membuktikan dan menyatakan bahwa kuda merupakan bagian dari kehidupan religius masyarakat Jepang. Meskipun fungsi kuda sebagai shinme digantikan ema yang lebih mudah digunakan dan praktis di sebagian besar kuil di Jepang, masih ada kuil-kuil tertentu yang masih memelihara dan mempertahankan tradisi memberikan kuda ke kuil.

Kamon yang diambil untuk menjadi data dan untuk penelitian ini berjumlah lima buah. Konsep-konsep dari Shintō kemudian akan dihubungkan dengan kelima Kamon tersebut. Penulis akan meneliti dengan menggunakan metode semiotika Peirce mengenai segitiga semiotika yang terdiri dari representamen, objek, dan interpretan. Proses penelitian ini digunakan hingga mendapatkan hasil makna atau triadic dan tujuan dari digambarkannya kelima Kamon berdasarkan konsep-konsep Shintō. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapat sebuah kesimpulan bahwa tiap-tiap Kamon memiliki hasil makna mengenai Shintōo dan dipengaruhi konsep-konsep Shintō.

Saran

Masih banyak bagian mengenai Kamon yang masih dapat dieksplorasi. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang ingin meneliti Kamon untuk meneliti Kamon dengan motif yang lain tetapi masih mengandung suatu filosofi, nilai, bahkan konsep tertentu yang masih berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan Shintō. Misalnya Kamon bermotif karasu (gagak), Kamon bermotif niwatori (ayam), Kamon bermotif asa (ganja), dan lain-lain.

Jika hendak melakukan penelitian yang memiliki tema agak berbeda, penulis menyarankan para peneliti selanjutnya untuk meneliti Kamon yang mengandung filosofi atau konsep yang memiliki hubungan dengan kehidupan atau kebudayaan masyarakat Jepang. Misalnya Kamon bermotif sakura karena mirip dengan prinsip samurai mengenai kehidupan yang singkat namun bermakna, Kamon bermotif take (bambu) karena merupakan simbol pembawa keberuntungan dan oleh karenanya seringkali digunakan dalam festival-festival Shintō, Kamon bermotif suzu (lonceng) yang digunakan juga dalam upacara-upacara Shintō sebagai alat upacara, dan lain-lain.

REFERENSI

Abe, Chikara. (2003). Impurity and Death: A Japanese Perspective. United Stated of America:

Dissertation. Com. Diakses 13 Maret 2014 dari

http://books.google.co.id/books?id=FlZxh5OaZxoC&printsec=frontcover&dq=abe+chikara&hl= en&sa=X&ei=_a0CVLHTB9K_uATVyoH4CQ&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=abe%2 0chikara&f=false.

Amimoto, Koetsu. (2013). Kamon to Myouji Shireba Shiruhodo Omoshiroi. Japan: Saitousha.

Baroroh, Ali. (2008). Trik-trik Analisis Statistik SPSS 15+CD. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Diakses 5 Maret 2014 dari

(10)

=en&sa=X&ei=OKf-U8J80LC4BNjbgagD&redir_esc=y#v=onepage&q=ali%20baroroh&f=false.

C Sorina, O Bogdan - Romanian Economic Business Review. (2007). The Legacy of the Kamon in the Japanese Management - rebe.rau.ro. Diakses 27 Agustus 2013 dari http://ideas.repec.org/a/rau/journl/v2y2007i1p83-92.html.

Crawford, Neta. (2002). Argument and Change in World Politics: Ethics, Decolonization, and Humanitarian Intervention. United Kingdom: Cambridge University Press. Diakses 19

Desember 2013 dari

http://books.google.co.id/books?id=VMF_-

aVJSE4C&printsec=frontcover&dq=neta+crawford&hl=en&sa=X&ei=pKf-U63LBsXIuASt0IHgDg&ved=0CCQQ6AEwAQ#v=onepage&q=neta%20crawford&f=false. Endraswara. Suwardi. (2009). Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: MedPress. Diakses 8

Januari 2014 dari

http://books.google.co.id/books?id=xJBm9bWYcd8C&printsec=frontcover&dq=endraswara&hl

=en&sa=X&ei=xLP-U_GNBM_luQT67IDgDg&ved=0CCIQ6AEwAQ#v=onepage&q=endraswara&f=false. Gomi, Fumihiko. Toriumi, Yasushi. (2013). Mouichido Yomu Yamagawa Nihonshi. Japan: Magusa

Shiki Kaisha Yamakawa Shuppansha.

Goto, Shikido. (2012). Yomudake de Sukkari Wakaru Nihonshi. Japan: Magusa Shiki Kaisha Takarajimasha.

Hartz, Paula. (2009). Shintō, Third Edition. New York: Infobase Publishing. Diakses 18 Maret 2014 dari

http://books.google.co.id/books?id=8YuAKMTu2GUC&printsec=frontcover&dq=paula+hartz&

hl=en&sa=X&ei=5a_-U_CQHMHHuATTlQI&ved=0CCgQ6AEwAg#v=onepage&q=paula%20hartz&f=false. Hatta,Yukio. (1991). Kamigami to Butsu no Sekai. Japan: Magusa Shiki Kaisha Hirakawashuppansha. Iha, Nanako. Hidari Mitsu-tomoemon wo Chuushin Ni. Kobijutsu Gakka Geijutsu Gaku Senkou.

Diakses 17 Juli 2014 dari http://www.okigei.ac.jp/geijutsu/.

Itou, Miro. (2013). Nihon no Kamon to Seishi- Dentoubi to Keifu. Japan: Seibundōshinkōsha.

Kaminishi, Ikumi. (2006). Explaining Pictures: Buddhist Propaganda And Etoki Storytelling in Japan. United Stated of America: University of Hawa’I Press. Diakses 6 April 2014 dari http://books.google.co.id/books?id=QAAuOkCJxHQC&printsec=frontcover&dq=ikumi+kamini

shi&hl=en&sa=X&ei=aLT-U_77A4WjugSztIGICg&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=ikumi%20kaminishi&f=false. Kusudo, Yoshiaki. (2001). Nihonjin Kokoro ga Mieru Kamon. Japan: Mainichi Shinbunsha.

Liszka, James Jakób. (1996). A General Introduction to the Semiotic of Charles Sanders Peirce.

United Stated of America. Diakses 23 Januari 2014 dari

http://books.google.co.id/books?id=7QwrDAvL8TcC&printsec=frontcover&dq=liszka&hl=en& sa=X&ei=fz0AVJvHG9CwuAS9joCIBw&redir_esc=y#v=onepage&q=liszka&f=false.

Maruyama, Manabu. (2012). Senzo wo Sennen, Sakanoboru-Myouji・Koseki・Haka・Kamon de

Wakaru Anata no Ruutsu. Japan: Gentōsha Shinsho.

Nadeau. (1996). Dimensions of Sacred Space in Japanese Popular Culture. Diakses 4 Juli 2014 dari http://www.uri.edu/iaics/content/1996v6n1/07%20Randall%20L.%20Nadeau.pdf.

Nakayama, Kaneyoshi. (1990). The Beauty of Japan. Japan: Gakken Co. Ltd. Nishimura, Masami. (2010). Kamon Shugi Sengen. Japan: Marikasha.

(11)

Ono, Sokyo. (1998). Shintō: The Kami Way. Japan: Charles E. Tuttle Company.

Picken, Stuart. D. (1994). Essentials of Shintō: An Analytical Guide to Principal Teachings. United States of America: Greenwood Publishing Group, Inc.

Picken, Stuart. D. (2006). The A to Z of Shintō. Maryland: The Scarecrow Press, Inc.

Rankin, Aidan. (2010). Shintō: a Celebration of Life. United Kingdom: John Hunt Publishing, Ltd.

Diakses 21 April 2014 dari

http://books.google.co.id/books?id=rg8UWWZPxw4C&pg=PR10&dq=rankin+aidan+tomoe&hl

=en&sa=X&ei=E7b-U7a7HtShugSZoYDwBw&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=rankin%20aidan%20tomoe& f=false.

Takemaeru, Naoko. (2010). Women in the Language and Society of Japan: The Linguistic Roots of Bias. United States of America: McFarland & Company. Diakses 18 Maret 2014 dari http://books.google.co.id/books?id=iI9Rq50f52gC&printsec=frontcover&dq=naoko+takemaru&

hl=en&sa=X&ei=g7D-U9OyJNKouwT7jYD4BA&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=naoko%20takemaru&f=fals e.

Takemitsu, Makoto. (2007). Shitte Okitai Nihon no Myouji to Kamon. Japan: Kadokawa Gakukeishuupan.

Takemitsu, Makoto. (2013). Nihonjin Shiranai Kamon no Monogatari. Japan: Yamato Shobou. Tinarbuko, Sumbo. (2009). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Percetakan Jalasutra.

Yamakage, Motohisa. (2006). The Essence of Shintō: Japan's Spiritual Heart. Japan: Kodansha International, Ltd.

Yusa, Michiko. (2002). Japanese Religions. London: Laurence King Publishing Ltd.

RIWAYAT PENULIS

Irma Rachmi Yulita lahir di Jakarta pada 31 Juli 1990. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Sastra Jepang pada tahun 2014. Saat ini penulis tengah merintis usaha kecil hortikultura yang terletak di Bandung.

Gambar

Gambar 2. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif sakaki dan gohei.
Gambar 3. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif mitsu-tomoe.
Gambar 5. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif sehelai daun nagi.
Gambar 6. Segitiga semiotika dari Kamon bermotif kuda putih.

Referensi

Dokumen terkait

Budaya Tiongkok dengan konsep keseimbangan yang merupakan asosiasi dari bentuk yin dan yang, erat kaitannya dengan tema berbentuk segi delapan yang memiliki makna

ditempat kerjanya. Pendapat ini dituangkan dari angka 1-5, semakin besar angka yang dipilih semakin baik persepsi tentang keselamatan pasien. b) Frekuensi pelaporan

Nilai probabilita pada persamaan variabel Log(Q) dan ED yang bernilai lebih besar dari nilai α menunjukkan bahwa tidak terjadi permasalahan heteroskedastisitas.

Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti yaitu kawasan wisata belanja Kota Bandung dalam penelitian ini Kawasan

Mengetahui kesenjangan antara kinerja penerapan dan harapan pengguna jasa konstruksi terhadap setiap faktor dalam hal penerapan SMM ISO 9001:2008 di perusahaan

16.930.985.137 yang di dapat dari penerapan perencanaan pajak yaitu memberikan kompensasi secara tunai kepada karyawan dalam pos pengobatan dan dokter,

Jika pada versi 1.0 data hasil pengukuran dapat dilihat pada file data.txt atau pada nama file yang diberikan melalui opsi FDATA, maka pada versi 1.6 data hasil pengukuran

Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora dapat dilihat dari sel yang mampu membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun