• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam setiap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam setiap"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam setiap kehidupannya. Dalam berhubungan dengan orang lain, manusia membutuhkan alat komunikasi agar dapat menyampaikan gagasan yang dipikirkannya. Alat komunikasi tersebut dikenal dengan sebutan bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari bahasa.

Salah satu fitur bahasa yang sangat sensitif dalam hubungannya dengan komunikasi adalah pemilihan kata sapaan (Bonvillain, 2008: 84). Dengan sapaan dapat diketahui penutur bertutur sapa kepada siapa lawan tuturnya. Apabila pemilihan kata sapaan terhadap seseorang kurang tepat maka komunikasi tidak akanbisa berjalan dengan baik dan lancar.

Kartomoharjo (1988 :238) menyatakan bahwa sapaan merupakan salah satu komponen bahasa yang penting karena dapat menentukan suatu interaksi tertentu akan berlanjut atau tidak . Dikatakan pula bahwa tiap kelomponk masyarakat mempunyai pedoman berupa kebiasaan dan norma-norma yang ditetapkan bersama oleh masyarakatnya untuk mengatur warganya, dan pedoman yang mengatur masyarakat tersebut juga berlaku dari bahasa yang digunakannya.

Salah satu pedoman itu terlihat dari variasi sapaan yang beraneka macam yang disesuaikan dengan siapa lawan tuturnya. Dalam masyarakat yang selalu berhubungan dengan orang lain , orang dituntut untuk menentukan sikap kepada lawan tuturmya, apakah perlu menghormati lawan tuturnya atau tidak

(2)

(Poedjosoedarmo, 2001:177). Jika lawan tutur adalah orang yang perlu dihormati dari segi status maka sesorang biasanya akan memakai ragam sopan dan memakai sapaan bentuk hormat (honorifik).

Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dan menerapkan sopan santun berbahasa terlihat dari ketepatan sapaan yang digunakan penutur pada mitra tuturnya. Sebagai contoh, seorang guru yang sedang mengajar di dalam kelas boleh saja memanggil murid dengan kata ganti kamu seperti dalam kalimat “Kamu, jawablah pertanyaan nomor satu! “ , namun seorang murid tidak mungkin membalas panggilan tersebut dengan resiprokal menyapa dengan menggunakan kata ganti kamu kepada gurunya karena sangat tidak sopan memakai kata kamu kepada orang yang lebih tua dan berstatus lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dalam kelas guru memiliki status yang lebih tinggi daripada murid terlebih lagi usianya lebih tua dari murid sehingga murid biasanya akan memanggil dengan sapaan hormat Bapak atau Ibu guru.

Begitu pula dengan bahasa Jepang yang memiliki norma-norma dan adat istidat tersendiri dalam masyarakatnya. Masyarakat Jepang menjunjung tinggi kesopanan dan etika dalam komunikasi.Masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang menekankan pada ciri homogenitas atau satu ras (Nakane, 1970) dan memiliki struktur sosial yang yang bercorak hierarki atau berjenjang yang menyebabkan adanya status dan peran yang secara vertikal memiliki status berbeda. Hubungan secara horisontal pun menghasilkan adanya penggolongan uchimono (ingroupness „orang dalam‟) dan sotomono (outgroupness „orang luar‟).

(3)

Dengan adanya perbedaan hubungan tersebut sedikit banyak mempengaruhi masyarakat Jepang dalam memilih kata sapaan yang akan digunakan dalam menyapa orang lain. Penggunaan sapaan yang tepat dapat mempererat hubungan penutur dan lawan tutur, sebaliknya jika sapaan yang digunakan tidak tepat maka dapat merusak hubungan sosial antar penutur dan lawan tutur. Penggunaan sapaan sangat erat hubungannya dengan sosial budaya dari masyarakat tutur bahasa yang bersangkutan. Sehingga dapat dimasukkan ke dalam kajian sosiolinguistik. Pemakaian sapaan ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik saja, namun dipengaruhi pula oleh faktor nonlinguistik seperti faktor sosial maupun situasional

Suwito (1985:3) menyatakan bahwa faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain adalah status sosial, pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Sementara faktor non linguistik menurut Keraf (2001) mencakup hubungan antara masyarakat dan konteks sosial.

Adapun contoh pemakaian sapaan bahasa Jepang terlihat pada tuturan berikut.

(1) Okaasan, onegai kore katte.

ibu tolong ini beli.

„Ibu , tolong belikan ini untukku.‟

konteks : seorang anak bernama Azuki meminta dibelikan tas.

(4)

(2) Maruko : Hanawa-kun wa nani kaku no? Hanawa-kun apa menulis „Hanawa-kun mau menulis tentang apa?‟

konteks : seorang anak bernama Maruko bertanya mengenai tugas kepada temannya yang bernama Hanawa.

(CMC 00:02:42) (3) Anta, hana ga ii wa ne.

sapaan hidung bagus/baik

„Kamu, penciumanmu tajam juga ya?‟

konteks: seorang Ibu berbicara kepada anak perempuannya.

( CMC 00:04:16) (4) Sacho-san chotto ii desuka?

Sapaan ada waktu sebentar „ Direktur-san , ada waktu sebentar?‟

konteks : Seorang anak buah yang ingin membicarakan sesuatu kepada atasannya.

(LS 01:41:57) (5) Sensei , daijobu desuka?

sapaan baik-baik saja

„Pak Guru, apa anda baik-baik saja?‟

konteks : seorang bawahan yang bertanya mengenai keadaan atasannya. (LS 00:34:21)

(5)

(6) Senpai wa saki kara nani wo yatterun desuka? Sapaan dari tadi apa melakukan

„Senior (kakak kelas) dari tadi sedang melakukan apa?‟

konteks : seorang adik kelas yang sedang berbicara kepada kakak kelasnya. (KSJN 00:01:16) (7) Ojisan, ichimai totte kureru?

paman selembar mengambil gambar „paman, tolong fotokan saya‟

konteks : seorang anak yang meminta foto kepada Ayah dari teman dekatnya.

(CMC) Dari contoh tuturan di atas dapat diketahui sapaan bahasa Jepang dapat berbentuk kata sapaan kekerabatan sebagaimana terlhat pada data (1) yang memakai sapaan okaasan yang bermakna „ibu‟ , pada data (2) penutur menyapa mitra tuturnya dengan menggunakan sapaan Hanawa-kun yakni nama yang ditambah –kun. pada data (3) penutur memakai sapaan kata ganti anta „kamu‟ untuk menyebut lawan tuturnya, Pada data (4) penutur menggunakan sapaan jabatan sacho „presiden direktur ” yang ditambah dengan –san. Pada data (5) memakai sebutan gelar pada sapaan sensei „guru‟ dalam kalimat tersebut. dan pada data (6) seorang penutur menyapa lawan tuturnya dengan sebutan senpai yang berarti kakak kelas. Pada data (7) memakai sebutan kekerabatan semu ojisan „paman‟ untuk menyapa ayah dari temannya.

(6)

Dari contoh-contoh tersebut dapat diketahui bahwa terdapat berbagai macam cara untuk menyapa orang lain dan memiliki banyak bentuk dan jenis sapaan yang bermacam-macam sehingga peneliti tertarik untuk meneliti mengenai sistem sapaan bahasa Jepang dilihat dari kajian sosiolinguistiknya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah klasifikasi sapaan bahasa Jepang berdasarkan bentuk?

2.Bagaimanakah klasifikasi sapaan bahasa Jepang jika dilihat dari segi makna referen dan fungsi?

3.Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan bahasa Jepang dan bagaimana kaidah sapaannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan klasifikasi sapaan bahasa Jepang sesuai dengan bentuk linguistiknya.

2. Mendeskripsikan klasifikasi sapaan bahasa Jepang jika dilihat dari makna referen dan fungsinya.

3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan bahasa Jepang .

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang sapaan dalam bahasa Jepang diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Lebih lanjut akan dijelaskan sebagaimana berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, kajian ini bermanfaat untuk (1) memberikan gambaran tentang bentuk dan makna sapaan dalam bahasa Jepang, (2) menambah khazanah pengetahuan dalam bahasa Jepang khususnya mengenai sapaan (3) dapat memberikan sumbangsih terhadap pengembangan ilmu sosiolinguistik, khususnya yang berhubungan dengan sistem sapaan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk (1) membantu di dalam proses pembelajaran bahasa Jepang dan (2) dapat memberikan referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai sapaan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti bahasa terdahulu. Namun yang meneliti mengenai sapaan bahasa Jepang dan menerankan kaidah sosiolinguistiknya belum pernah penulis temukan.

Diawali dengan penelitian Brown dan Gilman (1960) yang meneliti sapaan di Eropa. Dalam penelitian tersebut Brown dan Gilman meneliti aspek semantik dari kata ganti orang kedua T (tu) dan V (vous). Kemudian linguis Amerika Brown dan Ford meneliti sapaan yang dipakai oleh pekerja di sebuah perusahaan di Boston, Amerika. Dari penelitiannya tersebut, Brown dan Ford menemukan

(8)

bahwa sapaan yang sering dipakai oleh para pekerja itu adalah nama diri (first name), nama akhir (last name) dan pemakaian gelar yang diikuti dengan nama akhir (title +last name). Penelitian serupa dilakukan oleh peneliti wanita Ervin- Tripp (via Fishman,1972 yang menyebutkan bahwa dalam pemakaian kata sapaan dalam bahasa Inggris di Amerika Serikat terdapat dua kaidah yang harus diperhatikan. Kaidah pertama disebut dengan kaidah alternasi (alternation rule). Kaidah alternasi menyangkut bagaimana seorang pembicara memilih bentuk kata secara benar, sesuai dengan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya. Kaidah kedua disebut kaidah kookurensi (co-occurence rule) yakni kaidah mengenai munculnya bentuk sapaan yang satu dengan bentuk sapaan yang lain.

Penelitian tentang sapaan merupakaan salah satu kajian yang menarik untuk diteliti oleh para linguis. Baik di dalam maupun luar negeri. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa penelitian terkait kata sapaan. Beberapa peneliti tersebut telah meneliti bahasa sapaan di daerah – daerah di Indonesia misalnya Sulaiman, dkk (1990) meneliti sistem sapaan bahasa Aceh; Sulistyowati (1999)meneliti sapaan bahasa Jawa di kalanan keraton Jogjakarta; Mahmud dkk (2003) meneliti sistem sapaan bahasa Simeulue; Mansyur (2013) meneliti sistem sapaan dalam bahasa Wolio; Suminar (2013) meneliti mengenai sistem sapaan bahasa Sunda. Penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan sistem sapaan yang beraneka ragam pada setiap bahasa daerah di Indonesia baik dilihat dari segi bentuk, makna, fungsi maupun pola penggunaannya.

Penelitian di luar bahasa Indonesia mengenai sistem sapaan telah ditulis oleh Nimanuppap (1994) yang membandingkan sistem panggilan bahasa Melayu

(9)

dan Thai yang terdapat dalam dua novel Melayu; Merpati Putih Terbang Tinggi karya Khadijah Hasyim dan Seluang Menodak Baung karya Shannon Ahmad dan dua novel Thai yaitu; Kahmphiphaksa „Korban Fitnah‟ karya Chart Korbjiitti dan Poonpodthhong „Emas yang ditutup dengan Semen‟ karya Krisana Asoksin. Bentuk panggilan dalam novel yang digunakan dalam novel tersebut adalah nama diri, kata ganti nama diri, nama panggilan kekerabatan, rujukan kehormatan, gelar sosial dan gelar kerajaan. Sistem panggilan kedua bahasa tersebut dilatarbelakangi dengan sistem feodal. Gelar kerajaan dalam bahasa Thai mulai berkurang karena negara Thailand telah berubah sistem pemerintahan. Dan penelitian lain yang meneliti sistem sapaan yakni Yanyi (2013) dalam tesisnya yang berjudul Sistem Sapaan Kekerabatan Bahasa Mandarin (Kajian Sosiolinguistik) yang meneliti tentang sapaan kekerabatan (kinship) dalam bahasa Mandarin.

Penelitian mengenai sistem sapaan bahasa Jepang sendiri juga pernah diteliti oleh Suzuki (1978) dalam buku berjudul Word in Context pada bab yang membahas words for self and others atau sapaan untuk diri dan orang lain. Dalam buku tersebut Suzuki menjelaskan bagaimana kompleksnya sapaan bahasa Jepang dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa Eropa yang lain dikarenakan pengaruh budaya Jepang yang berbeda dengan negara-negara Eropa. Secara umum dalam masyarakat Jepang generasi yang lebih tua memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan generasi yang lebih muda. dan di kalangan generasi muda, yang membedakan status adalah perbedaan usianya.

Selain penelitian tersebut, Yui (2002) dan Mogi (2002) juga pernah membahas sapaan bahasa Jepang. Dalam jurnal yang berjudul “Japanese Ways of

(10)

Addressing People”, Mogi meneliti mengenai berbagai bentuk dan penggunaan sapaan dalam bahasa Jepang. Sedangkan Yui (2002) meneliti mengenai fungsi sapaan bahasa Jepang dibandingkan dengan sapaan bahasa Inggris dan analisis datanya menggunakan data dari skenario film yang dituangkannya dalam jurnal berjudul “The Function of Address Terms in English and Japanese: Analysis Using Scenarios.” Kedua penelitian tersebut meneliti tentang sapaan bahasa Jepang namun hanya bagian luarnya saja dan belum terlalu mendalam.

Selain itu terdapat skripsi mengenai variasi sapaan bahasa Jepang dalam tuturan anak yang ditulis oleh Hiskia (2004) yang meneliti sapaan bahasa Jepang khususnya dalam tuturan anak yang mengambil data dari komik dan cerita anak.

1.6 Landasan Teori

Dalam mengkaji sistem sapaan bahasa Jepang. beberapa konsep penting yang menjadi acuan atau landasan dalam teori berfikir diantara adalah : (1) konsep sosiolinguistik yang menjadi dasar kajian (2) konsep sapaan (3) etnografi komunikasi

1.6.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang sangat erat. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kegiatan sosial ataupun gejala sosial dalam suatu masyarakat, sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil objek bahasa sebagai objek kajiannya. Sosiolinguistik menurut Kridalaksana (1982) merupakan ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan diantara para

(11)

bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu didalam suatu masyarakat bahasa. Sedangkan menurut Nababan (1993) Sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan.

Pride dan Holmes via Sumarsono (2002) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Trudgill memberikan batasan bahwa sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan kebudayaan. Nababan (1984:2) menjelaskan bahwa sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Karena itu dapat ditekankan bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat, yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardaugh 1984 :4; Holmes 1991 :1; Hudson 1996:2)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kajian sosiolinguistik meliputi tiga hal yaitu bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Penelitian sosiolinguistik memperhitungkan pemakaian bahasa dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial tertentu seperti usia, jenis kelamin, status sosial, dan sebagainya. Di samping itu wujud bahasanya juga dipengaruhi oleh faktor situasional.

Sistem sapaan bahasa Jepang adalah salah satu masalah bahasa yang menjadi objek kajian sosiolinguistik. Sebagaimana Pateda (1987 :5) menjelaskan dua bagian yang menjadi ruang lingkup sosiolinguistik yaitu (1) mikro sosiolingustik yang berhubungan dengan kelompok kecil misalnya sistem tegur

(12)

sapa dan (2) makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur sosial. Karena itu, masalah sistem sapaan bahasa Jepang yang dibahas dalam penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik.

1.6.2 Konsep Sapaan

Kata sapaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kata atau gabungan kata yang digunakan untuk menyapa lawan tutur dalam suatu tuturan langsung yakni dalam artian terjadi komunikasi langsung antara pesapa dengan lawan sapa. hal ini untuk membatasi antara sapaan dengan sebutan, sapaan digunakan untuk merujuk orang yang disapa sedangkan sebutan digunakan untuk merujuk orang ketiga atau orang yang dibicarakan.

Pengertian sapaan semacam ini mengacu pada teori sapaan yang dikeluarkan oleh Pateda (1987:69) yang menyatakan kata sapaan adalah kata atau ungkapan yang dipakai dalam sistem tutur sapa. Namun pengertian ini sedikit berbeda jika dibandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1978:15) yang mengatakan bahwa sistem tutur sapa adalah sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa, orang ketiga termasuk kedalam kategori sapaan.

Beberapa ahli telah memberikan definisi tentang kata sapaan. Crystal (2001) mengatakan bahwa sapaan adalah cara mengacu seseorang yang dilakukan secara langsung. Kridalaksana (2008) mendefinisikan sapaan sebagai morfem, kata, atau frasa yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam suatu pembicaraan sesuai dengan bentuk hubungan antara pembicara yang satu dengan yang lainnya.

(13)

Terkait dengan bentuk sapaan, semua bahasa di dunia mempunyai apa saja yang disebut dengan sistem tutur sapa. Chaer (2011: 107) menyatakan bahwa sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Kridalaksana (1982: 14) menyatakan bahwa sistem tutur sapa merupakan suatu sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyapa para pelaku dalam suatu peristiwa. Sejalan dengan pendapat Kridalaksana, Crystal (2008: 10) juga berpendapat bahwa sistem sapaan dalam setiap bahasa memang berbeda. Perbedaan itu tergantung pada aspek sosiokultural setiap masyarakat pengguna.

Dalam pembahasan sistem sapaaan terdapat dua istilah penting yakni kata sapaan (terms of address) dan kata acuan (terms of reference) (Koentjaraningrat: 1980). Kata sapaan dipakai untuk menyapa lawan bicara atau persona kedua, sedangkan kata pengacu dipakai untuk mengacu ke pihak lain yang dibicarakan atau persona ketiga dan pembicara atau persona pertama. Selain itu harus dibedakan antara sapaan (address), salam (greeting), dan panggilan (summon). Perbedaan tersebut pernah diteliti oleh Chaika (1982: 45-52) yang menyatakan bahwa sapaan( address) hampir selalu digunakan untuk menyatakan kebersamaan dan kekuasaan. Seringkali sapaan merupakan bagian dari salam (greetings), sedangkan salam itu sendiri merupakan suatu ungkapan yang digunakan untuk mengawali dan mengakhiri suatu interaksi verbal. Salam memiliki bentuk yang bervariasi tergantung pada suasana batin orang yang memberi salam. Sementara itu, panggilan adalah suatu ungkapan yang biasanya digunakan untuk menarik perhatian seseorang. Panggilan biasanya akan dilanjutkan dengan percakapan dan

(14)

ditandai dengan intonasi naik. Sejalan dengan pernyataan tersebut Sulistyowati (1999:7) dalam tesisnya menerangkan bahwa perbedaan sapaan, salam, dan panggilan terletak pada potensi keberulangan atau kerepetitifannya. Menurutnya, sapaan dan salam biasanya disampaikan dengan jarak yang relatif dekat. Panggilan biasanya disampaikan oleh penutur untuk menarik perhatian mitra tutur, diucapkan dengan intonasi naik, dengan jarak yang relatif berjauhan, dan disertai dengan tindakan dari mitra tutur.

Brown dan Gilman (1972) meneliti pemakaian sapaan kata ganti yang dilihat dari segi unsur kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). kekuasaan ditentukan oleh status sosial, jenis kelamin, usia, dan faktor lain yang menyebabkan adanya hubungan atasan dan bawahan. Hubungan ini secara vertikal, semakin besar kekuasaan semakin besar pula jarak sosialnya. Sementara itu kebersamaan menentukan jarak psikologis secara horisontal dan memiliki atribut yang sama yakni keakraban. Kekuasaan dan solidaritas ini menunjukkan perbedaan dalam keresiprokalan bentuk sapaan yang digunakan oleh penutur. Mereka meneliti pemakaian kata sapaan dalam beberapa bahasa di Eropa khususnya Bahasa Prancis, Italia , Jerman, dan Spanyol.

Dalam penelitian lain, Ervin-Tripp (dalam Fishman,1972) menyebutkan bahwa dalam pemakaian kata sapaan dalam bahasa Inggris di Amerika Serikat terdapat dua kaidah yang harus diperhatikan. Kaidah pertama disebut dengan kaidah alternasi (alternation rule). Kaidah alternasi menyangkut bagaimana seorang pembicara memilih bentuk kata secara benar, sesuai dengan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya. Kaidah kedua disebut kaidah kookurensi

(15)

(co-occurence rule) yakni kaidah mengenai munculnya bentuk sapaan yang satu dengan bentuk sapaan yang lain. Penggunaan kata-kata tertentu disesuaikan dengan situasi dan kedudukan lawan tutur.

Secara garis besar penelitian Ervin Tripp dapat digambarkan sebagaimana berikut.

Bagan 1. Sistem Sapaan dalam Bahasa Inggris Amerika menurut Ervin – Tripp

(via Suhardi,2009: 26) Penelitian tentang sapaan dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Kridalaksana (1982). Kridalaksana mencatat terdapat 9 jenis kata sapaan dalam bahasa Indonesia yakni (1) kata ganti (2) nama diri (3) istilah kekerabatan (4) gelar/pangkat (5) kata benda agentif (peN + verba) (6) bentuk nominal + kata –ku

(16)

(7) deiksis, (8) nomina lain dan (9) ciri nol. Pemakaian kata sapaan ini bergantung pada beberapa faktor yakni : (1) kontak: sebentar atau lama, serius atau tidak; (2) jarak sosial :jauh,sedang,dekat ; (3) ingroupness : seusia, sekelas, seasal (4) identitas persona kedua : jenis kelamin, usia, kedudukannya.

Menurut Kridalaksana kata sapaan yang digunakan pembicara dalam menyapa lawan bicaranya bervariasi. Meskipun demikian, jenis kata sapaan yang paling banyak digunakan adalah istilah kekerabatan (Kridalaksana, 1982:193). Pemilihan suatu bentuk kata sapaan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni status dan fungsi. Status dapat diartikan sebagai posisi sosial lawan bicara terhadap pembicara. Status ini juga dapat diartikan seebagai usia. Adapun fungsi yang dimaksud adalah jenis kegiatan atau jabatan lawan bicara dalam pembicaraan.

Secara garis besar penelitian Kridalaksana dapat digambarkan sebagaimana bagan berikut.

(17)

Bagan 2 .Sistem Sapaan Bahasa Indonesia menurut Kridalaksana (via Suhardi , 2009:28) Penelitian serupa mengenai sapaan bahasa Indonesia juga pernah ditulis oleh Wijana (1991: 4). Wijana menyatakan dalam pengguanaan sapaan bahasa Indonesia terdapat tujuh jenis sapaan yakni pemakaian kata ganti oramg pertama, kedua dan ketiga, sapaan kekerabatan, transpotitional adjektives, sapaan pekerjaan atau profesi, sapaan nama, sapaan persahabatan, dan sapaan keagaaman. Bahasa Jepang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat tutur memiliki ciri kebahasaan khusus yang menonjol di masyarakat Jepang. Ciri tersebut adalah pemakaian gelar setelah penyebutan nama. Gelar tersebut dapat berupa sufiks yang melekat pada nama seperti san/chan/kun/sama ataupun gelar hormat untuk profesi tertentu. Poedjosoedarmo (1982) menjelaskan bahwa gelar dan bentuk sapaan tertentu dapat menunjukkan status orang yang disapa lebih rendah dari penutur. Tingkat keakrabannya dihubungkan dengan tingkat tutur. Gelar dan bentuk sapaan yang mencerminkan status yang tinggi, derajat perbedaannya dihubungkan dengan honorifik.

Menurut Evans-Prichard (1964-221), nama dan gelar dalam sapaan merupakan faktor penting dalam berbahasa, karena dapat menunjukkan posisi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain di sekitarnya, sehingga dengan penggunaan nama atau gelar tersebut status penyapa dan orang yang disapa dengan mudah dapat dikenali. Penggunaan gelar-gelar tertentu dapat menunjukkan status yang tinggi atau rendah dalam suatu hubungan sosial.

(18)

Suzuki (1978) merumuskan tiga hal penting tentang penggunaan kata sapaan dalam lingkup keluarga Jepang. Suzuki merumuskan bahwa kata sapaan berupa pronomina persona dapat digunakan terhadap anggota yang lebih muda, sedangkan terhadap anggota yang lebih tua, pronomina persona tidak dapat digunakan.

Hal kedua yang dirumuskan oleh Suzuki adalah bahwa kata sapaan berupa istilah kekerabatan dapat ditujukan kepada anggota yang lebih tua, dan ada istilah kekerabatan yang tidak lazim bila digunakan oleh anggota keluarga yang lebih tua terhadap anggota yang lebih muda.

Kemudian hal ketiga adalah bahwa kata sapaan berupa nama diri dapat diucapkan oleh anggota keluarga yang lebih tua kepada anggota yang lebih muda, sedangkan penyapaan nama diri terhadap anggota yang lebih tua oleh anggota yang lebih muda dianggap tidak biasa.

Mizutani Osamu (Osamu :1983) mengungkapkan bahwa pemakaian kata sapaan dalam bahasa Jepang merupakan hal yang kompleks, misalnya dalam konteks pembicaraan yang makin meluas, terkadang ada kebimbangan sendiri dalam arti pembicara tentang kata sapa apa yang cocok digunakan untuk lawan bicara dan kata pengacu apa yang pas ditujukan untuk diri sendiri.

Dalam sistem sapaan bahasa Jepang, penggunaan pronomina persona, nama diri, istilah kekerabatan, istilah dalam status sosial (misalnya dokter, guru) tidak bisa digunakan secara serta merta, melainkan harus diperhatikan pula kepada siapa kata sapaan ditujukan dan siapa yang mengucapkan kata sapaan tersebut.

(19)

1.6.3 Etnografi Komunikasi (Komponen Tutur)

Kajian etnografi komunikasi merupakan salah satu kajian sosiolinguistik. Etnografi yakni kajian tentang kebudayaan suatu masyarakat atau etnik. Jika sosiolinguistik mengungkapkan tentang pemakaianan bahasa, etnografi komunikasi dipersempit lagi kepada pemakaian bahasa pada suatu tuturan atau pada komunikasi yang menggunakan bahasa ( Sumarsono, 2009:310) .

Pengkajian penggunaan sapaan merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa yang dalam pemakaiannya harus disesuaikan dengan bentuk dan pemilihan ragam bahasa yang biasa disebut dengan komponen tutur.

Hymes (via Sumarsono,2009:325) menyatakan terdapat 16 komponen tutur yang harus ada dalam setiap penggunaan bahasa yakni bentuk pesan (message form), isi pesan, (message content), latar (setting), suasana (scene), penutur (speaker), pengirim (addressor), pendengar (hearer), penerima (adddresse), maksud hasil (prpose-outcome), maksud tujuan (purpose-outcome), maksud-tujuan (purpose-goal), kunci (key), saluran (channel), bentuk tutur (form of speech), norma interaksi (norm of interaction), norma interpretasi (norm of interpretasion) , dan genre. Namun karena terlalu banyak dan sulit untuk dihafal maka untuk memudahkannya Hymes mengelompokkan dua tiga komponen yang berdekatan lau menggabungkannya dan untuk mempermudah mengingatnya istilah-istilah tersebut dijadikan akronim SPEAKING.

SPEAKING diambil dari huruf masing-masing komponen yakni setting, participant, enda, act sequences, key, instrumentalities, norm, dan genre. Pengertian SPEAKING ini akan diuraikan secara ringkas sebagaimana berikut.

(20)

Setting berhubungan dengan latar tempat dan waktu saat pertuturan berlangsung. Latar waktu berhubungan dengan kapan dan suasana yang tepat digunakannya sebuah tuturan.

Participant berhubungan dengan siapa saja pengguna bahasa tersebut (penutur, mitra tutur, pendengar). End berhubungan dengan maksud dan tujuan penutur dalam berbicara.Act sequence berhubungan dengan bentuk dan isi tuturan.Key berhubungan dengan sikap, nada suara, intonasi , dan cara berbicara.Instumentalities berhubungan dengan saluran bentuk bahasa yang digunakan. Norms berhubungan dengan norma interaksi dan interpretasi. Genre merupakan kategori yang dapat ditentukan lewat bentuk bahasa yang digunakan.

1.6.4 Analisis Komponensial

Dalam ilmu semantik elemen makna yang menyusun sebuah kata disebut komponen makna (Wijana, 2008:88). Untuk membedakan komponen makna yang satu dengan yang komponen makna yang lain maka digunakanlah analisis komponensial.

Komponen makna mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri atas beberapa komponen yang kemudian bersama-sama membentuk makna dari sebuah kata atau makna dari unsur leksikal tersebut.

Sebagai contoh membedakan antara sapaan ayah dan ibu digunakakan analisis komponenseial sebagaimana berikut. ayah mengadung komponen makna :+ insan + dewasa, +jantan dan +kawin. sedangkan ibu mengandung komponen makna +insan, +dewasa, -jantan, +kawin. Yaang membedakan antara kata ayah dan ibu hanya pada komponen makna jantan. ayah memiliki makna

(21)

jantan sedangkan ibu tidak memiliki makna jantan. Jika dibuat tabel akan terlihat sebagaimana tabel berikut

Komponen makna Insan Dewasa Jantan Kawin

Ayah + + + +

Ibu + + - +

Tabel 1. contoh analisis komponensioal dari kata ayah dan ibu keterangan: + mempunyai komponen makna

- tidak memiliki komponen makna tersebut

Parera ( 2004 :158) menyatakan tujuan dari analisis komponensial adalah menemukan kandungan makna kata atau komposisi makna kata. Prosedur untuk menemukan komposisi makna kata dapat disebut dekomposisi kata. Untuk menemukan komposisi unsur-unsur kandungan makna kata menurut Parera dapat dilakukan dengan cara berikut :

(1) Pilih seperangkat kata yang sekiramya berhubungan. (2) Temukan analogi-analogi antara kata yang berhubungan itu.

(3) Cirikan komponen semantik atau komposisi semantik atas dasar analogi tadi. Dengan menganalisis komponen makna dengan menggunakan matrik, maka digunakan tanda (+) untuk menandai komponen makna yang sesuai dan tanda (-) untuk komponen makna yang tidak sesuai . selain menggunakan matrik dengan tanda plus minus juga dapat menggunakan deskrispsi leksikal maupun dengan diagram pohon (Nida, 1975:40). Kontras semantik dalam bentuk sapaan sebagaimana dikatakan Wijana (1991:2) dan Holmes (1992:303) dapat didasarkan pada tingkat keformalan, jenis kelamin, usia, status perkawinan, dan tingkat keakraban.

(22)

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam metode ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan catatan berupa pemerian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1988: 62). Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga tahap seperti yang dikemukakan Sudaryanto (1995 :5-7) yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data (3) tahap penyajian hasil analisis data.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Pada tahap penyediaan data, peneliti mengumpulkan data yang berupa semua bentuk kata atau gabungan kata yang digunakan oleh masyarakat berbahasa Jepang sebagai sapaan. Hal –hal yang akan dibahas antara lain bentuk, referensi, faktor penentu pemilihan sapaan, serta kaidah pemakaian sapaan bahasa Jepang

Karena sapaan erat hubungannya dengan sosiokulutural dan situasi terjadinya sebuah tuturan maka diperlukan data yang dapat menunjukkan situasi tersebut. Jika dibandingkan dengan mengumpulkan data dengan teknik wawancara atau kuisioner yang kurang bisa menunjukkan secara gamblang mengenai situasi tuturan dan hubungan antara penutur dengan lawan tutur dalam sebuah percakapan, maka dipilihlah data yang berasal dari percakapan dalam film dengan alasan lebih mudah diketahui situasi dan konteks tuturan jika data tersebut berasal dari percakapan dalam film yang merupakan representasi dari tuturan asli masyarakat tutur berbahasa Jepang serta lebih mudah diketehui konteks dari sebuah percakapan antara penutur dan lawan tutur.

(23)

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode simak yang dilakukan dengan menyimak film-film berbahasa Jepang. Teknik yang digunakan dalam metode simak ini adalah teknik catat. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45). Sumber data adalah subtitle bahasa Indonesia pada film-film berbahasa Jepang yang mengandung kata sapaan. Data-data tersebut dicatat kemudian diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan makna sapaan.

Adapun beberapa film yang dipakai sebagai sumber data yakni film Chibi Maruko Chan (CMC), Tonari no Yamada (TY), Kindaichi Gakumon Juku Satsujin Jiken (KGJSJ), Lucky Seven (LS), Ama-chan (AC), dan 99.9 Keiji Senmon Bengoushi (KSB). Film-film tersebut dipilih berdasarkan usia dari penutur utama film yang mewakili 3 generasi umur, yakni anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Penulis meyakini bahwa film-film tersebut telah dapat mereprentasikan tuturan asli sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Jepang.

1.7.2 Metode Analisis Data

Setelah data tersedia, metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode padan. Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu di luar bahasa yang bersangkutan. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah sapaan dalam bahasa Jepang, oleh sebab itu metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referensial, padan translasional, dan dan pragmatis. Metode padan referensial dilakukan dengan metode pilah unsur

(24)

penentu untuk mengklasifikasikan bentuk sapaan berdasarkan ciri fonologis, ciri morfologis dan ciri sintaksis. Metode padan translasional digunakan berhubungan dengan objek penelitian ini adalah bahasa Jepang yang harus dijelaskan dalam bahasa Indonesia sebagai media deskripsinya. Selain itu penelitian ini menggunakan metode padan pragmatis mitra tutur sebagai alat penentunya dikarenakan sapaan melibatkan penutur dan mitra tutur.

1.7.3 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data

Tahap selanjutnya yaitu tahap penyajian hasil analisis data. Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode formal dan informal. Menurut Sudaryanto (1993: 145), metode informal dilakukan dengan menggunakan kata-kata biasa.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I berisi tentang pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan. Pada bab II berisi uraian tentang bentuk-bentuk sistem sapaan bahasa Jepang. Pada bab III berisi tentang klasifikasi sapaan bahasa Jepang berdasarkan referensi dan fungsi. Pada Bab IV berisi penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan bahasa Jepang. Dan bab V sebagai bab terakhir akan berisi tentang kesimpulan dan saran.

(25)

Gambar

Tabel 1. contoh analisis komponensioal dari kata ayah dan  ibu  keterangan: + mempunyai komponen makna

Referensi

Dokumen terkait

(pengalaman yang melibatkan banyak orang, di mana Ilma menjadi seorang Narasumber, di sebuah talk show atau forum yang diikutinya) • Sambil menceritakan pengalamannya,

Penulis berharap dengan dilakukannya penelitian ini dapat berguna dan menambah pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya manusia serta dapat memberikan suatu

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di peroleh, maka dapat disimpulkan bahwa Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Rawat Jalan Pusat

Dengan menggunakan parameter asba>b al-khat}a>’ fi> al-tafsi>r (sebab- sebab kesalahan dalam tafsir) seperti yang sudah ditunjukkan oleh para pakar

Salah satu bentuk argotik yang muncul pada kosakata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam komik Titeuf adalah argotik vulgar Para tokoh dalam komik

Titik Ekuilibrium Matematika SIRS 0 I 0 V 0 pada Penyebaran Flu Burung (Avian Influenza) dari Unggas ke Manusia dengan Pengaruh Vaksinasi pada Unggas ... Bilangan Reproduksi

Hasil kali elementer A  hasilkali n buah unsur A tanpa ada pengambilan unsur dari baris/kolom yang sama...

Berdasarkan hasil analisa tingkat risiko menggunakan matrik risiko, maka sumber risiko yang memerlukan penanganan utama adalah risiko yang muncul dengan tingkatan risiko sangat