• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. suatu permasalahan publik yang tidak dapat terhindarkan. Permasalahan publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. suatu permasalahan publik yang tidak dapat terhindarkan. Permasalahan publik"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kejahatan, dan lain sebagainya menjadi suatu permasalahan publik yang tidak dapat terhindarkan. Permasalahan publik tersebut sepintas dapat dilihat dengan mudah untuk dikenali, sehingga permasalahan tersebut dengan mudah untuk diketahui dan mendapatkan penanganan secara langsung. Beberapa permasalahan publik memiliki karakteristik terselubung sehingga membutuhkan penanganan khusus untuk menggambarkan adanya permasalahan ini ke ranah publik.

Penanganan permasalahan publik ini salah satunya dapat dilakukan dengan advokasi. Dalam hal ini terdapat masalah publik, namun belum memiliki solusi yang jelas dalam penyelesaiannya. Selain itu, permasalahan publik juga menyangkut hak masyarakat untuk hidup sejahtera yang terenggut dan telah berkembang sedemikian rupa, namun belum mendapatkan perhatian. Adanya keadaan dari keadaan yang tidak mendapatkan perhatian ini kemudian memunculkan ketidakadilan di dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan Undang-Undang Republik Indonesia pasal 28 H ayat (3) bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Kemiskinan yang menjerat masyarakat ini menyebabkan mereka tak mampu (unable) dan/atau tak mau (unwilling) memperjuangkan hak atau kepentingannya sendiri.

(2)

2 Adanya permasalahan tersebut, maka advokasi memiliki beberapa tujuan yang diungkapkan oleh SAMPARK dalam Pamungkas et al (2010) sebagai berikut:

1. Menarik perhatian para pembuat kebijakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi kelompok marjinal.

2. Mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi dari kebijakan-kebijakan yang ada.

3. Memberi pemahaman kepada publik tentang detail dari berbagai kebijakan, sistem-sistem yang ada serta skema-skema kesejahteraan sosial. 4. Meningkatkan ketrampilan dan cara pandang individu maupun kelompok-kelompok sosial agar kebijakan bisa diimplementasikan secara baik dan benar.

5. Menciptakan sistem pemerintahan yang berorientasi pada rakyat.

6. Mendorong tumbuhnya aktivis-aktivis keadilan sosial yang muncul dari kekuatan masyarakat sipil.

Terkait dengan adanya tujuan dari advokasi tersebut, maka dalam hal ini advokasi sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk mempublikasikan permasalahan yang ada. Selain itu, advokasi juga berguna untuk mempengaruhi keputusan dari para elite politik maupun aparatur negara terkait dengan permasalahan yang ada. Hal ini seperti yang diungkapkan Jenkins dalam Mosley (2010) bahwa advokasi kebijakan didefinisikan sebagai usaha untuk mempengaruhi keputusan dari elite-elite institusional atas nama kepentingan kolektif. Mosley (2010) juga mengungkapkan bahwa advokasi dapat dipahami sebagai taktik proaktif yang digunakan oleh organisasi-organisasi untuk mendesak maupun mempengaruhi lingkungan mereka dan untuk mengatur hubungan mereka dengan para pembuat keputusan.

(3)

3 Secara sederhana, advokasi dapat dipahami sebagai serangkaian tindakan yang diarahkan terhadap para pembuat kebijakan untuk mendukung isu kebijakan tertentu (THE POLICY Project dalam Pamungkas et al, 2010). Sedangkan menurut Topatimasang et al. dalam Pamungkas et al ( 2010), advokasi adalah suatu usaha yang sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju (incremental).

Advokasi ini sangat dibutuhkan dari berbagai segi, seperti halnya dalam kehidupan berorganisasi. Hal ini dikarenakan permasalahan juga timbul karena tidak ada akses pada sumber daya yang ada, bahwa ketika sumber daya tersebut dimonopoli oleh sebagian pihak, serta menyebabkan ketidakadilan yang harus diadvokasi untuk memecahkan permasalahan tersebut.

“Advokasi merupakan kunci utama bagi organisasi untuk meyakinkan para pemimpin untuk menerima dan mendukung posisi-posisi kebijakan mereka, selain itu juga untuk menaikkan akses pada sumber daya dan penerimaan dari pandangan moral yang mereka miliki.” (Mosley, 2010).

Selain itu, advokasi juga digunakan sebagai strategi dalam mengondisikan situasi dalam lingkungan organisasi maupun dalam lingkup publik itu sendiri terkait dengan pelayanan. Advokasi juga dapat berperan penting dan dapat menyentuh bukan hanya untuk mempublikasikan suatu permasalahan publik yang tidak terekspos, akan tetapi dapat digunakan sebagai alat untuk memanajemen suatu kondisi dalam organisasi yang terkait pelayanan dalam organisasi tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Mosley (2010), bahwa:

“Advokasi merupakan bagian penting dalam taktik untuk mengatur kondisi lingkungan karena advokasi menaikkan dukungan untuk pandangan organisasi mengenai teknologi pelayanan, seperti jenis-jenis dari penyediaan pelayanan dan bagaimana mereka menyediakan dan untuk siapa.”

(4)

4 Adapun advokasi memiliki berbagai bentuk dalam pelaksanaannya. Bentuk-bentuk advokasi ini memiliki strategi tertentu pada setiap Bentuk-bentuknya. Terkait dengan hal tersebut, Mosley (2010) berpendapat bahwa advokasi kebijakan mengandung taktik-taktik, dari melobi para legislator untuk berpartisipasi dalam protes dan boikot, dan menargetkan aktor-aktor pada level-level tertentu (lokal, negara atau federal). Dalam melakukan lobi kepentingan kepada aktor-aktor tersebut dapat dilakukan advokasi melalui berbagai variasi advokasi yang dapat dipilih sebagai upaya untuk mencapai tujuan dari advokasi itu sendiri.

“Dalam upaya untuk mencapai tujuan yang tersebut, maka berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau organisasi pengusaha seperti penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok usaha, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi pengusaha, serta kegiatan lobby maupun demo dalam menyuarakan aspirasinya.” (KADIN Indonesia, 2015)

Dewasa ini bentuk advokasi dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini yaitu memasuki era digital. Hal ini mempengaruhi cara dalam beradvokasi saat ini dalam dilakukan dalam bentuk digital yaitu internet, yang pada saat ini semua elemen masyarakat tidak dapat terlepas dari internet itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, cara dalam beradvokasi di era digital saat ini yaitu dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada internet itu sendiri. Dalam perkembangan dunia internet saat ini membuat tidak ada batasan antar manusia dan informasi itu sendiri. Pasalnya, internet saat ini menyediakan fitur media sosial yang dapat menghubungkan informasi dengan cepat dari satu individu ke individu lainnya.

(5)

5 Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Weiser dalam Suryani (2014) bahwa aktivitas yang dapat dilakukan dalam jejaring sosial dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu komersial, informasi, dan sosial komunikasi. Sehingga dalam melakukan advokasi melalui sosial media atau jejaring sosial ini, informasi dan komunikasi sosial yang menjadi komponen penting dalam menentukan keberhasilan dari advokasi itu sendiri.

Adapun media sosial yang dapat digunakan untuk beradvokasi antara lain Instagram, facebook, line, whats app, snapchat, twitter, tumbler, dan lain sebagainya. Media sosial menjadi terobosan baru sebagai media dalam beradvokasi yang baru ini tentunya berbeda dengan media komunikasi yang lama. Obar et al. (2012) mengatakan bahwa media sosial membantu kelompok-kelompok untuk mengumpulkan aksi kolektif dalam kampanye pada isu-isu yang dulu tidak dapat tersampaikan atau terekspos dengan model komunikasi yang lama.

Adapun advokasi melalui media sosial ini telah menuai banyak keberhasilan yang sudah diterapkan diberbagai negara. Mulai dari negara maju hingga negara berkembang menggunakan media sosial sebagai sarana dalam melakukan advokasi tersebut. Jika melihat penggunaan media sosial sebagai sarana advokasi di negara maju, maka dapat dilihat dari Jonathan A. Obar, Paul Zube, dan Clifford Lampe yang melakukan penelitian berkaitan dengan penggunaan media sosial sebagai alat dalam beradvokasi oleh berbagai kelompok advokasi. Penelitian tersebut kemudian dituangkan ke dalam jurnal yang berjudul “Advocacy 2.0: An Analysis of How Advocacy Groups in The United States Perceive and Use Social Media as Tools for

Facilitating Civic Engagement and Collective Action”, dalam penelitian tersebut

(6)

6 hampir setiap hari dilakukan. Selain itu, dalam penelitian tersebut dapat diketahui bahwa media sosial mampu mengakomodasi advokasi dan tujuan-tujuan organisasi yang berimbas pada aktivitas spesifik yang dihasilkan.

Penggunaan media sosial sebagai advokasi ini tidak hanya digunakan di negara maju saja, akan tetapi negara berkembang pun juga menggunakan hal yang sama. Seperti halnya Indonesia sebagai negara berkembang yang menggunakan media sosial sebagai sarana advokasi oleh masyarakat yang dapat disebut sebagai netizen. Hal ini dapat diketahui dari penelitan oleh Dewantara (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesukarelawanan Kaum Muda di Sosial Media Dalam Membentuk Gerakan Sosial Baru” mengatakan bahwa media sosial mempunyai keunggulan dalam hal kecepatan dalam mendistribusikan pesan dan media sosial telah menjadi ruang publik baru bagi masyarakat untuk sekedar sharing atau berdiskusi mengenai suatu isu. Kaum muda sebagai segmen pengguna media sosial terbesar memanfaatkan ruang tersebut untuk gerakan mereka dalam mendistribusikan isu dan informasi untuk mencari dukungan dari publik dan juga sebagai tanda eksistensi mereka dalam dunia online.

Penelitian lainnya yaitu karya Astirini (2013) dengan judul “MEDIA BARU DALAM KAMPANYE SOSIAL: Studi Kasus Penggunaan Twitter dan Blog dalam Kampanye Sahabat Lokananta”. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan media baru yang mempunyai cakupan luas dan cepat dalam menyebarkan informasi. Fitur-fitur yang terdapat pada Twitter seperti reply, retweet, mention, dan hashtag juga merupakan faktor yang menunjang penyebaran kampanye

(7)

7 Melihat adanya trend penggunaan media sosial sebagai sarana advokasi maupun mengkomunikasikan tujuan yang ingin dicapai ini muncul juga di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui media sosial Instagram, Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” memaparkan keadaan yang dapat dibilang belum mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah itu sendiri. Melalui sebuah akun di media sosial Instagram yaitu sebuah akun Instagram @ketimbang.ngemis.yogyakarta yang berbeda dengan akun Instagram pada umunya. Akun @ketimbang.ngemis.yogyakarta yang diprakasai oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” bukanlah merupakan akun Instagram yang memuat kegiatan yang berbau komersial, akan tetapi berisikan gambaran mengenai kaum-kaum minoritas yaitu kaum Lanjut Usia (Lansia) yang terjerat kemiskinan namun berdaya yang berada di kawasan DIY. Kemunculan akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini merupakan salah satu sub akun dari sebuah akun yaitu akun “Ketimbang Ngemis”. Akun “Ketimbang Ngemis” itu sendiri telah memiliki beberapa akun yang mewakili regionalnya seperti akun “Ketimbang Ngemis Jakarta”, “Ketimbang Ngemis Bali” dan lain sebagainya.

Akun “Ketimbang Ngemis” ini berfokus pada isu mengenai kemiskinan yang dialami pada masyarakat lanjut usia. Hal ini juga digambarkan oleh akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” yang khusus mengangkat isu lansia yang terjerat kemiskinan namun berdaya ini di area Yogyakarta. Para lansia ini digambarkan oleh akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” yang terjerat dalam kemiskinan dan harus bekerja untuk menyambung hidupnya dan bertahan pada kondisi kemiskinan yang terjadi dimasa senja mereka tanpa harus mengemis pada orang lain seperti yang dilakukan para pengemis namun dilakukan dengan usaha mereka sendiri.

(8)

8 Keadaan mengenai lansia dalam lingkup kemiskinan yang bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya ini bukan tanpa sebab, khususnya di DIY sendiri hal ini dapat dikaitkan dengan adanya fenomena perubahan demografi yang terjadi di Indonesia yang membawa dampak di DIY. Kondisi yang menunjukkan adanya penuaan struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk lanjut usia bersamaan dengan penurunan tingkat fertilitas yang membawa dampak pada jumlah penduduk usia muda yang menurun (Kiswanto, 2016). Data menunjukkan bahwa 470.271 penduduk lansia di DIY dengan angka harapan hidup masyarakat DIY pada periode 2010 hingga tahun 2020 yaitu sebesar 74,7 menunjukkan angka tertinggi di Indonesia (BPS, 2013). Kondisi ini dapat dilihat secara absolut, jumlah penduduk lansia pada tahun 2010 lebih banyak perempuan, yaitu 255.483 jiwa (56 persen) dibandingkan dengan laki-laki sebanyak 200.912 jiwa (44 persen) (Kiswanto, 2016).

Adanya jumlah penduduk lansia tertinggi di Indonesia dan terlebih didukung dengan usia harapan hidup, seharusnya penanganan terhadap kaum lansia di Yogyakarta tersebut mendapatkan perhatian yang lebih dari pihak pemerintah. Akan tetapi dalam akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini menunjukkan gambaran bahwa masih terdapat lansia di DIY yang terjerat kemiskinan, dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi tersebut kemudian memaksa para kaum lansia ini untuk berdiri sendiri demi melanjutkan hidup dengan tubuh renta mereka. Hal ini juga dipaparkan dalam penelitian yang berjudul “Evaluasi Program Jaminan Sosial Lanjut Usia” oleh Setyo Sumarsono, dkk. Dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa sebagai konsekuensi pembangunan (terutama di bidang kesehatan) terjadi peningkatan usia harapan hidup. Akibatnya jumlah lanjut usia meningkat, dan hal ini berimplikasi

(9)

9 pada keterlantaran lansia tersebut dengan data Kementerian Sosial RI (2008) mencatat jumlah lanjut usia terlantar sebanyak 1.644.002 jiwa, dan pada tahun 2009 bertambah menjadi 2,994.330 jiwa yang mengalami kenaikan sebesar 82,1% (Sumarno et al., 2011).

Kemiskinan yang tidak dapat mereka hindari seharusnya mendapatkan penanganan yang lebih krusial dari pemerintah. Hal ini dikarenakan, kaum lansia ini merupakan penduduk yang membutuhkan banyak penanganan khusus mulai dari kesehatan, tempat tinggal, bahkan hingga aspek keamanan. Hal ini juga terkait dalam pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2008, disebutkan, bahwa pemenuhan hak lansia meliputi: (1) pelayanan keagamaan dan mental spiritual; (2) pelayanan kesehatan; (3) pelayanan kesempatan kerja; (4) pelayanan pendidikan dan pelatihan; (5) kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum; (6) kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; (7) perlindungan sosial; dan (8) bantuan sosial (Hermawati, 2015).

Kondisi seperti ini seharusnya dapat ditangkap dengan mudah oleh para birokrat. Pasalnya, seperti yang terpampang di akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” tersebut terlihat bahwa para lansia yang terjerat kemiskinan namun berdaya ini menjajakan dagangannya di tempat-tempat strategis seperti pasar, kampus, studio foto, di jalan yang mereka lakukan untuk berjualan keliling, bahkan ada yang duduk dipinggir trotoar demi menunggu pelanggan datang membeli dagangan mereka yang tidak seberapa. Kemudahan untuk menemukan lansia dengan kondisi yang seperti dipaparkan diakun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini, tetap saja birokrasi seakan tidak bergeming. Birokrasi dalam posisi ini seakan tidak

(10)

10 responsive bahkan tidak ramah terhadap lansia yang berada dalam jeratan kemiskinan ini. Seakan-akan menunjukkan bahwa birokrasi dengan segala perangkatnya tidak dapat ditembus dengan isu lansia yang yang terjerat kemiskinan ini, dan seakan birokrasi tertutup dengan kondisi yang sebenarnya mudah dikenali ini.

Melalui akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini, lansia yang terjerat dalam kemiskinan dan jauh dari perhatian pemerintah ini pada akhirnya mereka terangkat dikhalayak umum. Hal ini dikarenakan Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” menggambarkan kondisi lansia yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, selain itu akun instagram tersebut berisikan masyarakat luas yang menggunakan media sosial Instagram. Kemudahan ini masyarakat justru lebih tanggap terhadap isu yang dihadapi, dan akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” memiliki andil dalam membagikan informasi ini secara terperinci sesuai dengan apa yang diinformasikan oleh informan.

Kondisi memprihatinkan dari para kaum lansia yang terjerat kemiskinan namun berdaya dalam sektor ekonomi ini kemudian diunggah melalui akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” itu sendiri. Menggunakan kekuatan media sosial Instagram, akun ini secara kekinian melakukan advokasi kepada khalayak dunia maya bahwa di lingkungan sekitar terdapat kondisi yang memprihatinkan ini. Keunikan dari komunitas ini adalah mereka menggunakan media sosial instagram sebagai sarana dalam menyalurkan advokasi. Padahal pada umumnya, instagram digunakan untuk berbagi foto yang menunjukkan kegiatan sehari-hari yang menggambarkan kegiatan anak muda zaman sekarang, iklan barang dagangan, maupun sebagai tempat untuk bertransaksi atau jual-beli. Hal yang menarik ketika, konten yang disajikan oleh

(11)

11 Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” tidak termasuk dalam kriteria kegiatan sehari-hari anak muda maupun perdagangan seperti pada umumnya, akan tetapi komunitas tersebut menunjukkan adanya kemiskinan yang menjerat kaum lansia. Kemiskinan yang menjerat kaum lansia memang tidak semenarik kegiatan anak muda maupun berdagang, akan tetapi respon yang didapatkan komunitas tersebut melalui instagram sangat positif. Respon yang positif ini menjadi keberhasilan dalam advokasi yang dilakukan oleh komunitas tersebut.

Respon yang sangat postif tersebut berupa perhatian dari para netizen yang berselancar di dunia maya khususnya media sosial Instagram itu sendiri dan. Dilansir dari akun instagram yang dimiliki dan dikelola oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” yaitu akun instagram @ketimbang.ngemis.yogyakarta (www.instagram.com/ketimbang.ngemis.yogyakarta), telah memiliki pengikut sekitar 25.300 akun Instagram aktif dengan 158 foto per November 2016 yang telah menggambarkan kondisi lansia di daerah DIY yang terjerat kemiskinan dimasa senjanya namun tetap berusaha dengan bekerja tanpa menjadi pengemis. Selain itu, respon yang sangat besar ditunjukkan masyarakat setiap komunitas ini membuka pendaftaran terbuka bagi para volunteer melalui akun LINE yang dimiliki komunitas tersebut. Pembukaan pendaftaran secara terbuka tersebut selalu penuh dan terlihat minat masyarakat sangat besar. Respon yang positif yang ditunjukkan oleh netizen berupa permohonan kepada Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” untuk membuka pintu donasi bagi para lansia berdaya yang telah dipublikasi melalui akun instagram komunitas tersebut. Sehingga dalam hal ini Komunitas “Ketimbang Ngemis

(12)

12 Yogyakarta” dapat dikatakan berhasil dalam advokasi maupun menyampaikan pesan melalui konten yang disajikan melalui media sosial instagram.

Konten yang disajikan oleh komunitas ini yaitu mendidik masyarakat untuk mengapresiasi para masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan khususnya dalam hal ini para lansia, untuk tidak mengemis melainkan berjualan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya asumsi masyarakat selama ini bahwa lansia dalam memperoleh pundi-pundi uang mengingat usianya yang sudah senja hanya dapat dilakukan dengan memintai-minta atau mengemis di sepanjang jalan atau tempat-tempat publik pada umumnya. Asumsi masyarakat tersebut didasari pada kaum lansia yang memiliki fisik yang rentan karena faktor usia. Sehingga masyarakat beranggapan bahwa lansia dalam memperoleh penghasilannya hanya dapat dari mengemis di jalan, emperan toko, bahkan ke rumah-rumah warga. Dalam hal tersebut, penggambaran berbeda ditunjukkan oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” tersebut bahwa asumsi masyarakat mengenai lansia ini terpecahkan dengan kehadiran para lansia yang tetap bekerja dan tidak mengemis.

Hal ini kemudian menjadi slogan yang digunakan oleh akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” yaitu “SAY NO TO MENGEMIS” yang diikuti dengan quote “Sesungguhnya beliau bekerja keras untuk menghindari sifat meminta-minta”. Jelas saja dengan slogan dan quote tersebut yang menjadi nilai dasar dalam akun tersebut berimplikasi pada isi dari postingan di akun tersebut. Postingan dalam akun tersebut menunjukkan adanya penolakan pada kegiatan mengemis atau meminta-minta, akan tetapi mereka mengapresiasi bagi para lansia yang berdaya tanpa mengemis.

(13)

13 Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” mempublikasikan pesan yang disampaikannya melalui akun instagram @ketimbang.ngemis.yogyakarta. Data yang ditunjukkan oleh akun instagram @ketimbang.ngemis.yogyakarta, terdapat 158 buah foto yang telah diposting ke media sosial Instagram. Dari ke 158 tersebut terlihat bahwa kesemuanya merupakan foto para lansia yang terjerat kemiskinan namun berdaya dengan berbagai jenis usaha yang mereka dagangkan. Kemudian, keseluruhan dari foto tersebut menceritakan bahwa para lansia ini berdagang mulai dari makanan tradisional ala kadarnya hingga sapu rumah yang mereka jajakan sepanjang hari demi memenuhi kebutuhan mereka. Menurut pengakuan mereka yang tertera diketerangan foto yang diunggah pada akun tersebut, dapat terlihat bahwa para kaum lansia ini yang memiliki kebutuhan khusus dan perhatian yang lebih daripada masyarakat usia produktif, akan tetapi dalam keterbatasan mereka ini diharuskan untuk mencari nafkah demi menyambung hidup walaupun hanya untuk sekedar makan saja.

Kepekaan terhadap isu utama dalam advokasi yang dilakukan oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” tersebut menuai keberhasilan. Keberhasilan advokasi yang dilakukan oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendukungnya. Menurut (Obar et al., 2012) media sosial memiliki kemampuan memberdayakan dan menghubungkan antar individu, selain itu media sosial mampu untuk memperkuat pergerakan soial dan efek dari perubahan. Penggunaan media sosial termasuk instagram sebagai sarana untuk advokasi memiliki kemampuan untuk komunikasi dalam penyampaian pesan. Obar et al. (2012) mengatakan bahwa memiliki kemampuan untuk memfasilitasi segala

(14)

14 bentuk komunikasi politik. Dalam hal ini, advokasi termasuk dalam salah satu bentuk advokasi politik tersebut.

Advokasi melalui media sosial instagram oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” menuai keberhasilan dari berbagai faktor. Pertama, seperti yang dikatakan oleh Obar et al. (2012) bahwa media sosial itu sendiri telah memiliki kekuatan yang mendorong keberhasilan dalam advokasi. Kedua, konten yang disajikan mampu menarik perhatian netizen yang dibuktikan dengan adanya tanggapan yang besar dalam setiap foto yang diunggah. Dilansir dari akun instagram komunitas tersebut, menunjukkan data berupa jumlah tanda suka yang diberikan oleh netizen rata-rata 3000an perfoto, dan jumlah kolom komentar yang diberikan netizen rata-rata 160 perfoto yang diunggah. Hal ini menunjukkan adanya keberhasilan pesan yang disampaikan oleh Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta”.

Penggunaan media sosial ini telah berhasil mengumpulkan para pengguna Instagram mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat sipil biasa. Hal ini terlihat pada followers dari akun “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” yang aktif dalam mengisi komentar di kolom komentar yang terdapat dibawah foto yang di-upload. Selain itu, Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini juga

mempublikasikan maupun mempromosikan akun instagramnya melalui media lain seperti radio lokal hingga strasiun tv nasional. Sehingga dalam hal ini, akun Instagram dari Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” ini dapat dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.

Hal ini menjadi menarik karena, isu kemiskinan dapat dikemas melalui media baru yang berbeda dengan media yang lama. Media lama menggunakan demo

(15)

15 maupun melobi yang hanya melibatkan orang-orang tertentu saja, akan tetapi dengan media baru seperti penggunaan media sosial justru melibatkan banyak masyarakat dalam pelaksanaan advokasi ini. Penggunaan media baru dalam beradvokasi juga belum dapat menjamin keberhasilannya. Hal ini tentunya membutuhkan strategi yang diformulasikan secara benar oleh para pelaku advokasi, dalam hal ini Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” memiliki strategi tersendiri dalam advokasi isu para lansia di DIY yang bekerja keras tanpa mengemis diusia senjanya.

Keberhasilan advokasi dalam mencapai perubahan tersebut tentunya menggunakan strategi advokasi yang tepat. Advokasi terdiri dari strategi-strategi yang berbeda yang bertujuan untuk mempengaruhi pembuat keputusan pada organisasi, lokal, provinsi, nasional dan level internasional (Sharma, 1997). Strategi advokasi yang tepat akan menghasilkan keberhasilan dalam advokasi terkait dengan kepentingan maupun isu perubahan yang disampaikan. Isu yang diadvokasi kepada pihak pembuat keputusan akan mempengaruhi keputusan yang akan dibuat. Sehingga hal ini akan menciptakan perubahan pemikiran pada para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan sesuai dengan isu maupun kepentingan yang telah diadvokasi. Seperti yang diungkapkan oleh Coates & David (2002) bahwa keragaman dalam strategi-strategi advokasi yang dapat digunakan untuk mencapai perubahan.

Penggunaan strategi dalam advokasi penting untuk diidentifikasi. Hal ini dikarenakan strategi dalam advokasi akan menentukan jalannya advokasi dan merupakan hal yang penting dalam advokasi. Strategi juga menentukan keberhasilan sebuah advokasi dalam menyampaikan pesan kepada target advokasi mengenai suatu

(16)

16 isu. Selain itu, penggunaan strategi-strategi advokasi dapat dgunakan untuk mencapai tujuan. Hal ini dikarenakan strategi dalam advokasi tentunya telah mengetahui kondisi lingkungan target advokasi, dengan mengetahui kondisi lingkungan dan strategi yang telah diformulasikan maka advokasi dengan mudah dilakukan dan mengurangi hambatan.

Meskipun strategi sangat mendukung keberhasilan dalam advokasi dan sebagai cara untuk mencapai tujuan advokasi, namun strategi akan berdampak negatif jika menggunakan strategi yang salah. Penempatan strategi yang salah dalam advokasi akan menciptakan kegagalan dalam advokasi seperti tidak tercapainya tujuan maupun timbulnya masalah baru. Sebaliknya, jika pelaku advokasi mampu menggunakan strategi advokasi yang tepat sesuai dengan isu, kondisi lingkungan, dan permasalahan yang ada, maka advokasi yang dilakukan dapat mencapai keberhasilan bahkan perubahan yang diinginkan.

Sehingga dalam advokasi perlu mengidentifikasi strategi yang sesuai dengan tujuan hingga kondisi lingkungan yang diadvokasi. Hal ini tentunya akan memunculkan manfaat tersendiri dan tercapainya hasil akhir yang maksimal dari advokasi yang dilakukan. Selain itu, strategi yang matang dapat mencegah timbulnya masalah yang terjadi selama advokasi dilakukan. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui strategi advokasi Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” terhadap lansia yang berdaya di Yogyakarta melalui media sosial instagram.

(17)

17 1.2 Rumusan Masalah

Uraian tersebut mengantarkan pada suatu rumusan masalah dalam penelitian ini mengenai:

Bagaimanakah strategi advokasi “Komunitas “Ketimbang Ngemis Yogyakarta” mengenai lansia berdaya di Yogyakarta melalui media sosial Instagram?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kekuatan dan kelebihan maupun kelemahan dari strategi komunitas Ketimbang Ngemis Yogyakarta untuk membuka ruang publik mengenai isu lansia yang terjerat kemiskinan namun berdaya melalui akun instagram.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara akademik penelitian ini akan mengungkapkan pengetahuan mengenai advokasi yang baru di era digital ini, sehingga dapat digunakan sebagai landasan penelitian selanjutnya yang serupa.

2. Secara praktis, hasil penelitian menggambarkan strategi advokasi yang beradaprasi dengan kemajuan zaman, sehingga hal ini dapat dijadikan referensi bagi komunitas maupun masyarakat sipil yang ingin melakukan advokasi dengan menyesuaikan perkembangan zaman khususnya teknologi.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bertujuan mendapatkan ekstrak antosianin dari kulit ubi jalar ungu sebagai bahan dasar pembuatan pewarna

Firdausi, Annas,” Pengaruh Supervisi dan Kepercayaan Diri Terhadap Kepuasan Kerja Guru SMKN di Jakarta Timur”, jurnal Manajemen Pendidikan 2 No 3 (2018): h... Glickman, Carl D.,

Peserta harus melaporkan secara tertulis kepada PKL dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh

Dan kedua contoh di atas cukup memberi gambaran kepada kita, peranan lingkungan yang mirip telah menyebabkan dua spesies yang berasal dari nenek moyang yang berbeda

“Perfomance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggungjawab masing-masing, dalam

Manajer marketing mengkoordinasikan kepada kepala cabang, kepala bagian marketing pembiayaan, staff marketing pembiayaan bina.. agrobisnis untuk melakukan penjaringan

 Penetrasi jaringan listrik yang sangat tinggi, sehingga dapat digunakan untuk penyediaan layanan broadband dengan mudah tanpa harus. membangun

99 SMAK 7 PENABUR JONATHAN ELDRIAN FISIKA LULUS. 100 SMAK 7 PENABUR OLIVIA ERIKA