• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSEDUR PENETAPAN ANGKA KREDIT DAN KENAIKAN PANGKAT JABATAN FUNGSIONAL-NON PENELITI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSEDUR PENETAPAN ANGKA KREDIT DAN KENAIKAN PANGKAT JABATAN FUNGSIONAL-NON PENELITI"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

PROSEDUR PENETAPAN ANGKA KREDIT DAN

KENAIKAN PANGKAT JABATAN FUNGSIONAL-NON

PENELITI

Sri Rachmawati dan Edeng Kalsid S . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

JI . Raya Pajajaran, Bogor

PENDAHULUAN

Ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia yang handal merupa-kan hal yang penting dalam suatu kegiatan penelitian . Dalam melaksanamerupa-kan kegiatan penelitian, selain para peneliti yang diharapkan aktif, juga diperlukan tenaga teknisi penelitian yang terampil serta tenaga fungsional lainnya . Untuk meningkatkan jenjang karier para staf non peneliti, maka dibentuklah suatu jenjang jabatan fungsional yaitu pranata komputer, pustakawan, arsiparis,

serta teknisi penelitian dan perekayasaan yang disingkat teknisi litkayasa . Untuk kenaikan setiap jenjang jabatan dan pangkat para pejabat fungsional tersebut, diperlukan angka kredit tertentu yang harus dikumpulkan dan dipenuhi, disamping syarat-syarat Iainnya yang sudah ditentukan . Untuk kelancaran pengembangan karier para pejabat fungsional tersebut tentunya setiap pejabat harus memahami betul tugas dan fungsinya serta prosedur penilaian dan kenaikan pangkat .

TUGAS DAN TIM PENILAIAN

Tenaga fungsional non peneliti tersebut di atas adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan tugas

1 . Pranata komputer mempunyai tugas : membuat, merawat dan mengem-bangkan sistem dan pengolahan dengan komputer .

2 . Pustakawan mempunyai tugas : menghimpun dan mengelola media infor-masi seperti buku, majalah, slide, data mikrofilm dan sebagainya .

3 . Arsiparis mempunyai tugas : melaksanakan kegiatan kearsipan, pengelola-an, pelayanan dan penyeleksian kearsipan .

(2)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

Tugas-tugas di atas telah dijabarkan dalam butir-butir kegiatan yang lebih rinci di dalam buku panduan masing-masing jabatan fungsional, dimana nilai bagi setiap butir kegiatan telah pula ditentukan . Penilaian terhadap para pejabat fungsional non peneliti Iebih didasarkan atas proses kerja yaitu hasil kegiatan per jam efektif selain penilaian yang didapat dari makalah yang dibuat dalam bidang tugasnya serta unsur penunjang lainnya . Bagi setiap pemangku jabatan fungsional non peneliti diharapkan agar mempelajari setiap butir kegiatan yang mendapatkan nilai angka kredit . Buku pedoman tersedia di urusan kepegawaian dan perlu dipelajari .

Sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No .3 tahun 1980 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan fungsional untuk kenaikan pangkatnya harus memenuhi angka kredit yang telah ditentukan . Angka kredit adalah nilai yang didapat seseorang pejabat fungsional yang dihitung berdasarkan pelaksanaan kegiatan . Untuk penilaian mated telah dibentuk suatu Tim Penilai yang berwenang menetapkan angka kredit yaitu Tim Penilai Pusat dan Tim Penilai Instansi bagi pranata komputer, pustakawan dan arsiparis sedangkan untuk teknisi litkayasa telah dibentuk Tim Penilai Instansi dan Tim Penilai Unit . Kedudukan Tim Penilai Pusat untuk pranata komputer adalah di Biro Pusat Statistik dan Tim Penilai Instansi di Pustaka Deptan . Tim Penilai Pusat dan Tim Penilai Instansi bagi pustakawan masing-masing adalah di Perpustakaan Nasional Jakarta dan Pustaka Deptan, sedangkan untuk arsiparis Tim Penilai Pusat berada di Arsip Nasional Jakarta dan Tim Penilai Instansi di Biro Rumah Tangga Deptan . Tim Penilai Instansi teknisi Litkayasa berkedudukan di Sekretariat Badan Litbang Pertanian yang bertugas menilai teknisi Iitkayasa jenjang jabatan ajun teknisi Iitkayasa madya sampai teknisi Iitkayasa madya (III/a-IV/a), yaitu teknisi Iitkayasa kelompok II . Tim Penilai Unit (TPU) ada di setiap Pusat/Puslitbang bertugas menilai teknisi Iitkayasa kelompok I dengan jenjang jabatan asisten teknisi Iitkayasa muda sampai ajun teknisi Iitkayasa muda (II/a- 11/d) .

Tenaga fungsional non peneliti di Puslitbang Peternakan yang terbanyak adalah kelompok teknisi Iitkayasa sejumlah 214 orang, yaitu 184 orang adalah termasuk kelompok I, 135 orang di unit kerja Balitnak, 76 orang di Balitvet dan 3 orang di kantor Puslitbang Peternakan . Jumlah tenaga pustakawan di lingkup Puslitbang Peternakan sebanyak 8 orang, pranata komputer 8 orang dan arsiparis 7 orang . Dengan adanya kelompok fungsional non peneliti ini maka peningkatan jenjang karir tersebut menjadi terbuka . Bagi seorang pejabat teknisi Iitkayasa dapat mencapai pangkat tertinggi IV/a, pranata komputer pangkat tertinggi sampai IV/d, pustakawan berprestasi dapat mencapai pangkat IV/e, sedangkan arsiparis terbuka peluang untuk mencapai pangkat tertinggi IV/d .

(3)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

-PENGUMPULAN ANGKA KREDIT DAN PROSEDUR PENETAPAN

Pengumpulan angka kredit perlu dilakukan oleh setiap pejabat fung-sional seara rutin dimulai dari pencatatan kegiatan harian dalam formulir tertentu yang telah diseragamkan dilanjutkan penyusunan laporan kegiatan

bulanan . Perhitungan angka kredit terhadap seiuruh kegiatannya balk dari unsur-unsur utama maupun penunjang dilakukan masing-masing pejabat fungsional untuk kemudian hasil penelitian ini diisikan dalam Daftar Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK) . Pengumpulan dan perhitungan angka kredit bagi pranata komputer mengacu kepada Surat Edaran Bersama Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara dan Kepala Biro Pusat Statistik No . 33/SE/1989 tanggal 29 Juni 1989 . Bagi pejabat fungsional arsiparis mengacu pada Surat Ederan Bersama Kepala Arsip Nasional dengan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No . 01/SE/1990 dan No . 40/SE/1990 tanggal 8 November 1990 . Teknisi Iitkayasa mengacu pada Surat Edaran Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi/ Ketua BPP Teknologi dan kepala BAKN No .256/M/VI/1991, No . 12/SE/1991 tanggal 6 Juni 1991 serta pedoman penilaian yang ditetapkan oleh Kepala Badan Litbang Pertanian atas nama Menteri Pertanian No . SK KP .420 .28 .1983, tanggal 14 Mel 1993 .

Konsep DUPAK bersama dengan lampiran penilaian serta bukti-bukti sah disampaikan kepada pemimpin unit kepegawaian, kelengkapan yang

harus dilampirkan pada DUPAK bagi teknisi Iitkayasa yaitu a . DP3

b . SK terakhir (kepangkatan dan jabatan)

c . Salinan sah ijazah dan STTPL yang diperoleh dalam masa penilaian

d . Surat pernyataan melakukan pelayan kegiatan penelitian dan perekayasaan yang ditanda tangani Kepala Balai

e . Surat pernyataan melakukan kegiatan pengembangan profesi teknisi Iitkayasa yang ditanda tangani Kepala Balai

f . Surat pernyataan melakukan kegiatan yang menunjang pelaksanaan tugas yang ditanda tangani Kepala Balai

Setelah persyaratan-persyaratan tersebut lengkap, urusan kepegawaian kemudian memproses lebih lanjut berkas pemeriksaan tersebut dan dikirimkan ke Sekretariat Tim Penilai Unit .

Tim Penilai Unit selanjutnya melakukan penilaian sebagai berikut a . Untuk Teknisi Litkayasa kelompok I

• Meneliti bukti-bukti dan menghitung kembali angka kredit berdasarkan bukti-bukti yang telah diteliti

(4)

Lokakarya Fungsiona/ Non Peneliti 1997

Ketua Tim Penilai menandatangani DUPAK

Membuat konsep Penetapan Angka Kredit (PAK) dan meneruskan kepada Kepala Pusat untuk pengesahannya

Gambar 1 . Bagan prosedur penetapan angka kredit

b . Untuk Teknisi Litkayasa kelompok II •

Meneliti bukti-bukti dan menghitung kembali angka kredit berdasarkan bukti-bukti yang telah diteliti

Hasil perhitungan angka kredit dilampirkan sebagai rekomendasi bagi Tim Penilai Instansi

Meneruskan DUPAK kepada Kepala Pusat untuk ditandatangani sebagai pejabat pengusul

Meneruskannya kepada Kepala Badan Litbang melalui Tim Penilai Instansi

Tim Penilai Instansi kemudian melakukan penelitian terhadap berkas-berkas penilaian yang diajukan kelompok II teknisi Iitkayasa sebagai berikut :

V TPI USUL Mengadakan penilaian P11 Kel. II M embuat PAK Kel . li KEPALA BADAN Penetapan angka kredit Got. III/a-IV/a TEKNISI UNIT KERJA TPU KEPALA PUSAT

Menyerahkan Kepala Unit M emeriksa berkas P enetapan -Lap . Kegiatan Kepegawaian usulan angka kredit Kel.l B ukti-bukti membuat : Membuat konsep M enandalangani Rekap S urat Mengadakan DUPAK Kel . II

kegiatan pernyataan penilaian Angka D aftar usul Hasil * Daftar Usul HP Kredit -* penetapan angka

penghitungan PAK M embuat konsep kredit untuk Gol .

- -~ angka kredit (DUPAK) PAK III/a-IV/a

M eneliti Menandatangani kebenaran DUPAK Kel . I berkas R ekomendasi

penilaian untuk Kel . II

(5)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

• Membahas bukti-bukti dan rekomendasi hasil perhitungan angka Tim Penilai Unit

• Hasil Pembahasan diisikan ke dalam DUPAK • Ketua TPI menandatangani DUPAK

• Membuat konsep PAK dan meneruskannya kepada Kepala Badan untuk disyahkan

Jadi PAK bagi teknisi litkayasa kelompok I dikeluarkan oleh Kepala Pusat sedangkan PAK kelompok II teknisi litkayasa ditetapkan, disyahkan oleh Kepala Badan Litbang Pertanian . Nilai dalam PAK yang telah memenuhi angka kredit minimal yang disyaratkan untuk kenaikan pangkat/jabatan kemudian dapat dijadikan dasar untuk kenaikan golongan/jabatan sesuai prosedur yang berlaku . Secara sistematis prosedur penetapan angka kredit dapat dilihat pada Gambar 1 .

PROSEDUR KENAIKAN PANGKAT

Usul kenaikan pangkat dan jabatan fungsional non peneliti diajukan oleh kepala unit kerja setelah pejabat fungsional tersebut dapat memenuhi angka kredit yang ditentukan dan minimal 2 tahun dalam pangkat/jabatannya . Prosedur yang berlaku adalah

a . Prosedur 1 bagi pegawai golongan II/d ke bawah melalui Kanwil BAKN . b . Prosedur 2 bagi pegawai golongan III/a ke atas melalui unit Eselon I dalam

hal ini Badan Litbang Pertanian .

Prosedur I

Bagi pegawai golongan II/d ke bawah (kelompok 1), usul kenaikan pangkat diajukan oleh Kepala Unit Kerja kepada Kepala Kantor Wilayah Deptan setempat, dan diteruskan kepada Kepala Kantor Wilayah BAKN setempat untuk diproses . Selanjutnya diterbitkan Nota Persetujuan Kenaikan Pangkat, untuk kemudian diproses kenaikan jabatan fungsionalnya melalui jalur Eselon I (Badan Litbang Pertanian) .

Prosedur 2

Usul kenaikan pangkat pejabat teknisi litkayasa golongan Ill/a ke atas diajukan oleh Kepala Unit Kerja kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, kemudian diteruskan kepada Kepala Biro Kepegawaian Deptan dan diteruskan lagi kepada Kepala BAKN untuk mendapat Nota Persetujuan dan SK Kenaikan Pangkat . Apabila Nota Persetujuan sudah diterima, maka Biro Kepegawaian akan menerbitkan SK Kenaikan Pangkat (SKPP) . Selanjutnya SKPP ini digunakan untuk kenaikan jabatan fungsionalnya sesuai dengan

(6)

tingkat golongan melalui unit eselon I Badan Litbang Pertanian sampai didapat SK Kenaikan Jabatan (SKKJ) .

Bagan Kenaikan Pangkat dan Jabatan Fungsional dapat dilihat pada Gambar 2 . P A K -1 UNIT KERJA

L

SKKP 10.

LokakaryaFungsional Non Penelifi 1997

ESELON I KANWIL DEPTAN . .• SKKP/ SKKJ 44 PERMASALAHAN

Masalah peningkatan jenjang karier pejabat fungsional non peneliti terutama timbul dalam pengumpulan angka kredit diantaranya adalah

1 . Masih banyak para pejabat fungsional yang belum memahami ketentuan-ketentuan yang berlaku dan hal-hal yang harus dilakukan untuk menempuh karier melalui jalur fungsional, misalnya perbedaan kenaikan pangkat secara reguler dengan kenaikan pangkat melalui jenjang fungsional .

2 . Para pejabat fungsional tidak terbiasa mencatat kegiatan hariannya secara teratur dan kontinyu .

PROSEDURI BIRO KEPEGAWAIAN DEPTAN KANWIL BAKN PROSEDURII Catatan

: menunjukkan jalur usul kenaikan jabatan menunjukkan jalur usul kenaikan pangkat NP

: Nota Persetujuan SKKP

: Surat Keputusan Kenaikan Pangkat SKKJ

: Surat Keputusan Kenaikan Jabatan

NP

4

Gam bar 2 . Bagan kenaikan pangkat dan jabatan fungsional BA KN

(7)

3 . Keterbatasan' kemampuan dan kegiatan yang menghasilkan angka kredit yang cukup tinggi .

4 . Sebagian besar tenaga fungsional non peneliti terutama yang berpangkat II/d ke atas belum mampu membuat karya tulis dalam bidangnya sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan padahal nilainya cukup besar .

DAFTAR BACAAN

Surat Keputusan MENPAN nomor 33/1990 tanggal 28 Maret 1990 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Teknisi penelitian dan perekayasaan .

Surat Keputusan MENPAN nomor 25/MENPAN/1989 tanggal 6 April 1989 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pranata Komputer .

Surat Edaran Bersama Menteri DEPDIKBUD dan Kepala BAKN nomor 53649/MPK/1988 dan nomor 15/SE/988 tanggal 29 Februari 1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pustakawan .

Surat Edaran Bersama Kepala ARNAS dan Kepala BAKN nomor 01/SEB/1990 dan nomor 46/SE/1990 tanggal 8 November 1990 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Arsiparis .

Surat Edaran Bersama Menteri Negara RISTEK/Ketua BPPT dan Kepala BAKN nonor 256/MNI/1991 dan nomor 12/SE/1991 tanggal 6 Juni 1991 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Teknisi Penelitian dan Perekaysaan . Pedoman Tata Cara Penyusunan dan Penilaian Jabatan Teknisi Litkayasa

(8)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

POTENSI DAN PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK

ASAL KOTORAN SAM

Entang Suganda

Balai Penelitian Ternak, P .O. Box 221, Bogor, 16002 PENDAHULUAN

Ketersediaan unsur hara dalam tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian, utamanya untuk tanaman pangan . Peranan unsur hara tersebut akan lebih nampak jelas apabila lahan yang dijadikan usaha tanaman pangan dikerjakan secara intensif. Penggunaan lahan yang secara terus menerus tanpa diimbangi dengan upaya mengembalikan unsur hara melalui pemupukan akan menyebabkan lahan garapan menjadi kurang/tidak produktif . Hasil panen yang diperoleh menjadi berkurang sampai saat tertentu lahan tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman . Dengan perkataan lain keberhasilan usaha pertanian tanaman akan dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman . Oleh karena itu pemupukan sangat penting artinya dalam usaha pertanian tanaman pangan/pakan hijauan .

Pupuk pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok, yakni pupuk kimia/anorganik dan pupuk organik atau sering disebut dengan kompos . Pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik secara tunggal dan terus menerus tanpa diimbangi dengan pupuk organik akan menyebabkan tanah menjadi padat/tidak gembur, penetrasi air, drainase, aerasi dan hara tanah menjadi terganggu . Hal tersebut di atas akan menyebabkan sifat fisik dan biologi mikroorganisme tanah menjadi terganggu, bahan organik tanah, partikel tanah akan tercuci dan hasil yang diharapkan tidak dapat tercapai . Oleh karena itu, untuk mencegah rusaknya sifat fisik dan biologi tanah maka perlu dilakukan usaha konservasi . Salah satunya adalah dengan cara pemupukan yang berimbang antara pupuk anorganik dan organik . Pupuk organik atau sering disebut sebagai kompos umumnya tersusun dari campuran limbah petanian, limbah dapur dan hasil sampingan pemeliharaan ternak (feses, urin dan sisa-sisa pakan) . Meskipun penggunaan kotoran ternak sudah banyak dipergunakan namun dalam pelaksanaannya sering belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan pemanfaatan pupuk organik asal kotoran ternak dipergunakan secara langsung dan belum melalui suatu proses pematangan . Pada kesempatan ini penulis mencoba mengutarakan potensi, proses pembuatan pupuk organik asal kotoran (terutama asal ternak sapi), pemanfaatannya serta sedikit tinjauan ekonomisnya .

(9)

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAPI

Hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi atau sering juga disebut sebagai kotoran sapi tersusun dari feses, urine dan sisa pakan yang diberikan (terutama untuk ternak yang dikandangkan) . Hasil sampingan ini merupakan bahan utama pembuatan kompos yang sangat balk dan cukup berpotensi untuk dijadikan pupuk organik serta memiliki nilai hara yang cukup balk. Pemeliharaan ternak sapi di Pulau Jawa dan Bali umumnya dilakukan secara intensif dengan cara dikandangkan dan penyediaan pakan dilakukan dengan sistem "potong angkut ". Jumlah pemilikannya pun sangat terbatas yakni antara 1 sampai 5 ekor. Dengan sistem demikian maka hasil sampingan tersedia di sekitar kandang dan sangat mudah dalam pengumpulannya . Apabila ternak sapi yang dipelihara memiliki bobot hidup rataan 250 kg maka setiap petani paling sedikit harus menyediakan pakan hijauan (tidak diberi konsentrat) 7,5 kg bahan kering (3% x 250 kg). Bila diasumsikan bahwa kandungan bahan kering pakan hijauan lapang sama dengan 20% maka jumlah tersebut setara dengan 37,5 kg (100 : 20 x 7,5 kg) . Angka tersebut harus ditingkatkan sebanyak 30% dari pemberian agar ternak mendapat kesempatan memilih pakan hijauan yang disenangi Dengan demikian jumlah tersebut menjadi lebih kurang 50 kg . Selanjutnya apabila tingkat kecernaan bahan pakan tersebut adalah 50% maka jumlah yang dikeluarkan kembali dalam bentuk feses segar adalah 25 kg . Dengan perkataan lain setiap tahunnya feses yang dihasilkan setiap ekor ternak sapi dapat mencapai 9 ton dan jumlah ini lebih rendah dari yang dilaporkan Sihombing (1990) . Selanjutnya dikatakan bahwa ternak sapi dapat menghasilkan feses sejumlah 10 -15 ton/ekor/tahun. Rendahnya jumlah yang diperoleh dalam perhitungan di atas kemungkinan disebabkan karena nilai sisa pakan belum diperhitungan . Dengan asumsi pengumpulan feses dilakukan setiap empat bulan sekali maka setiap petani dengan jumlah pemilikan ternak sapi sebanyak satu ekor dapat menyediakan bahan pupuk organik sebanyak 3 ton. Suatu jumlah yang cukup besar artinya bila dihubungkan dengan luas pemilikan lahan yang pada umumnya berkisar 0,2 - 0,5 Ha/petani (satu Ha membutuhkan pupuk kandang sejumlah 17,5 ton) .

Agar dapat memberikan manfaat yang maksimal maka hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi tersebut harus diproses sebelum dipergunakan sebagai pupuk. Umumnya proses pengolahan dimaksud terdiri dari dua

kelompok, yakni pengolahan secara terbuka dan tertutup . Pengolahan secara terbuka dilakukan hanya dengan menumpukan kotoran ternak sapi pada suatu area[ tertentu selama waktu yang tidak tentu . Namun pada umumnya dipergunakan menjelang musim tanam atau pada saat pengolahan tanah dilakukan . Cara ini tidak membutuhkan biaya yang terlalu banyak, karena biaya yang dikeluarkan hanya untuk tenaga kerja dan tidak diperhitungkan karena tenaga yang dipergunakan adalah tenaga keluarga. Pengolahan yang kedua adalah dengan proses tertutup . Cara ini dilakukan dengan

(10)

mem-Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

benamkan kotoran ternak ke dalam sebuah lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya . Pembuatan lubang/silo disarankan untuk dilakukan di bawah naungan dan areal yang tidak mudah tergenang air bila terjadi musim hujan . Di bawah naungan dapat diartikan sebagai tempat di bawah pohon yang rindang atau pun di bawah naungan atap yang memang disiapkan untuk tujuan tersebut. Pembuatan silo tersebut dapat dilakukan dengan kedalaman yang sesuai dengan volume yang diinginkan dan sebaiknya dinding silo tersebut tahan terhadap rembesan air dari samping . Tujuannya adalah selain mencegah masuknya air ke dalam kotoran juga berfungsi agar unsur hara seperti nitrogen, yang ada dalam kotoran tidak hilang tercuci air yang dapat masuk/merembes . Untuk dapat menampung kotoran sapi sebanyak 3 ton maka ukuran yang dibutuhkan adalah dua meter kali satu meter dengan kedalaman dua meter. Bila memungkinkan pembuatan silo dapat juga dilakukan dengan mempergunakan gorong-gorong berpenampang 1 meter dan disusun sebanyak tidak lebih dari 3 buah. Sesuai dengan ukuran gorong-gorong yang ada di pasaran maka, dua buah gorong-gorong-gorong-gorong ditempatkan di bawah permukaan tanah (sedalam 90 cm) dan sebuahnya lagi dapat ditumpuk di atas permukaan tanah (setinggi 100 cm). Dengan ukuran silo dapat menampung tiga ton kotoran sapi . Kotoran sapi yang tersedia selanjutnya diaduk agar tercampur secara merata antara feses, urine dan sisa pakan . Bila telah homogen maka kotoran sapi dapat dimasukan ke dalam silo secara baik agar cukup padat sampai hampir penuh . Selanjutnya dapat ditutup dengan menggunakan tanah galian lubang yang ada setinggi lebih kurang 30cm . Timbunan tersebut selanjutnya dibiarkan untuk suatu satuan waktu tertentu, misalnya 3 bulan (Mathius, 1994), namun pada umumnya disesuaikan dengan waktu penggunaannya, yakni disesuaikan dengan musim tanam . Setelah melewati waktu yang diinginkan diharapkan kotoran yang telah melewati proses perombakan/dekomposisi, dapat menjadi kompos yang diharapkan dan siap dibongkar . Kompos tersebut selanjutnya dapat dipergunakan secara langsung ke lahan pertanian atau pun dapat dianginkan/dikeringkan di bawah sinar matahari . Hasil pengeringan tersebut selanjutnya dihancurkan agar tidak menggumpal/padat dan dapat disaring dengan ayakan yang sesuai dengan ukuran-ukuran yang diinginkan . Untuk tujuan sebagai pupuk tanaman hias maka hasil ayakannya harus cukup kecil (2-3 mm), demikian juga bila ditujukan untuk tanaman rumput di lapangan golf. Sedangkan untuk tujuan pemupukan tanaman pangan setahun, maka hasil proses dekomposisasi tersebut dapat dipergunakan langsung ke lapang dan dibenamkan pada saat persiapan lahan sedang dikerjakan/diolah .

PEMANFAATANNYA UNTUK TANAMAN

Sebagai yang telah diutarakan terdahulu, kotoran sapi dapat diper-gunakan secara langsung ke lapang . Namun cara tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan dan bahkan cenderung dapat menurunkan produksi,

(11)

tertutama untuk tahun pertama pemupukan. Oleh karena itu penggunaannya disarankan setelah melalui proses dekomposisi . Cara penggunaannya dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan menabur ke lahan yang akan dipupuk atau dengan membenamkan pupuk tersebut pada saat lahan diolah . Cara pertama kurang balk, karena dengan sistem tersebut banyak unsur hara yang akan terbuang percuma . Hilangnya unsur hara tersebut disebabkan terjadinya penguapan atau pun tercuci oleh aliran air hujan. Jacobs yang dikutip oleh Mathius (1994) menyarankan untuk mendapatkan hasil yang balk dalam penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk maka kotoran tersebut sebaiknya dibenamkan di bawah permukaan tanah . Hal ini disebabkan selain unsur hara tidak terbuang/menguap maka derigan pembenaman tersebut kandungan humus tanah dapat meningkatkan, sifat fisik tanah menjadi lebih baik serta ketersediaan air yang ada dalam tanah dapat diikat oleh kompos dan slap dipergunakan oleh tanaman yang tumbuh di areal tersebut . Pengujian penggunaan pupuk kotoran sapi untuk tanaman pangan belum banyak dilaporkan . Namun hasil pengamatan Manurung dkk. (1975)

melapor-kan bahwa dengan penggunaan kotoran ternak secara tunggal memberimelapor-kan hasil yang terbaik terhadap produksi rumput gajah jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk organik/kimia, yakni 184 ton/Ha/tahun atau dua kali lebih banyak apabila dibandingkan dengan pemupukan menggunakan urea. Penggunaan secara bersama-sama antara pupuk organik dan anorganik memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik/kimia namun tidak sebaik bila dipergunakan secara tunggal (pupuk kandang) .

NILAI TAMBAH PUPUK ORGANIK KOTORAN SAPI

Sebagai hasil sampingan, kotoran sapi belum banyak diperdagangkan, meskipun pada kenyataannya telah banyak dipergunakan sebagai pupuk pada tingkat untuk memenuhi keperluan sendiri . Dengan asumsi harga jual pupuk organik Rp 30,- sampai Rp 40,- per kg maka setiap petani yang memiliki ternak sapi sebanyak satu ekor dapat memperoleh nilai tambah sejumlah Rp315.000,- setahun, yang pada umumnya nilai tersebut tidak pernah diperhitungkan . Mathius (1994) membandingkan harga pupuk kandang dengan nilai bell pupuk anorganik/urea atas dasar kandungan nitrogen dan menyatakan bahwa nilai jual nitrogen pupuk kandang lebih mahal daripada nilai bell nitrogen asal urea, bila diperhitungkan dalam satuan waktu sesaat (satu tahun). Namun bila diperhitungkan atas dasar daya pakai pupuk kandang maka akan sangat menguntungkan . Penggunaan pupuk urea dilakukan secara berulang setiap tahun dengan rataan jumlah sebanyak 300 kg/Ha/tahun . Sedangkan pupuk kandang dapat dipergunakan sekali untuk setiap 13 tahun (Peat dan Brown, 1962) dengan jumlah penggunaan sebanyak 17 .500 kg/Ha . Dengan demikian maka nilai bell pupuk kandang yang harus dikeluarkan untuk 13 tahun adalah Rp 612.500,- (17500 x Rp 35,-), sedangkan untuk pupuk urea

(12)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

adalah Rp 1 .365 .000,-(300 kg x Rp350,- x 13 tahun) . Dengan demikian nilai rupiah yang masih dapat diamankan sejumlah Rp 752 .000,- Nilai keuntungan ini akan menjadi lebih besar apabila produksi yang dihasilkan dari pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang turut diperhitungkan . Sebagai contoh, dapat kita pergunakan data yang dilaporkan Manurung dkk . (1975) . Dilaporkan bahwa dengan menggunakan pupuk kandang poduksi rumput gajah meningkat dua kali lebih banyak atau mencapai 100 % lebih tinggi jika dibandingkan bila hanya menggunakan pupuk anorganik/urea (90 ton vs 184 ton). Secara sederhana dan dengan asumsi nilai jual rumput gajah selama 13 tahun tetap sama yakni adalah Rp50, -/kg maka selama 13 tahun akan diperoleh pemapukan sebanyak Rp 58.500.000,-(90.000 x 13 tahun x Rp50,-), apabila menggunakan pupuk urea . Sedangkan apabila pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang maka nilai yang akan diperoleh adalah Rp119 .600.000,- (184.000 x 13 tahun x Rp50,-). Dari gambaran sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk kandang lebih balk dari pada hanya dengan pengggunaan pupuk anorganik .

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kotoran sapi memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dijadikan pupuk kompos dan mempunyai nilai tambah yang menguntungkan untuk digarap . Penggunaan kotoran kandang

-dapat menghemat pengeluaran biaya pembelian pupuk . Oleh karena itu disarankan pemanfaatan pupuk kandang perlu digalakkan, khususnya untuk tanaman pakan ternak .

DAFTAR BACAAN

Manurung T ., A. Djajanegara dan M .E. Siregar . 1975. Kombinasi pupuk kandang dengan pupuk buatan (N, P dan K) terhadap produksi hijauan rumput gajah (P. Purpureum var. Hawaii) Bull . LPP . 13:58-63.

Mathius, I-W. 1994. Potensi dan pemanfaatan pupuk organik asal kotoran kambing-domba. Wartazoa 3(2-4) :1-8.

Peat, J .E. and K.J . Brown. 1962. The yield response of rain grow cotton at Ukirigara in the lake Province of Tanganyika . 1 . The use of organic manure, inorganik fertilizers and cotton seed ash . Em. J . Exp. Agric., 30:215-231 .

Sihombing, D.T.H. 1990. Teknologi hasil penelitian pengembangan petemakan lahan pasang surut dan rawa . Aplikasi paket teknologi pertanian pada hari Krida Pertanian XVIII, 26-29 Juni 1990 di Palembang . Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan

(13)

PERANAN MIKROBA RUMEN PADA TERNAK

RUMINANSIA

Suwandi

Balai Penelitian Ternak Ciawi, P .O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN

Untuk memenuhi kebutuhan nasional akan protein hewani asal ternak, perlu dicari jalan keluar yang efektif dan efisien . Peningkatan produksi ternak hanya dengan peningkatan populasi, tanpa penyediaan makanan ternak yang cukup tidak mungkin berhasil (Agustin, 1991) . Hal tersebut disebabkan karena makanan ternak atau pakan merupakan salah satu unsur pembatas utama dalam usaha meningkatkan produksi ternak di Indonesia terutama untuk daerah-daerah padat penduduk seperti di Pulau Jawa .

Masalah peternakan merupakan masalah yang penting dewasa ini, hal ini semakin berkembang dengan bertambahnya penduduk karena sebagian besar ternak di Indonesia dipelihara secara tradisional, dilepaskan dan dibiarkan mencari makanan sendiri atau pun sengaja dipelihara di dalam kandang atau diikat di bawah pohon . Tujuan pemeliharaan selain mendapat-kan keuntungan juga sebagai salah satu komoditi yang diperjual belimendapat-kan, maka dengan sendirinya membutuhkan adanya suatu usaha yang lebih intensif untuk meningkatkan jumlah dan mutu ternak (Sabrani dkk ., 1982) .

Ternak-ternak di Indonesia khususnya ternak ash merupakan potensi plasma nutfah yang dapat dikembangkan tanpa mengabaikan kelestarian dan kemurniannya . Oleh karena itu peningkatan produksinya perlu diusahakan (Suhadji, 1992) . Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan ternak. Daerah Indonesia Bagian Timur merupakan lumbung ternak nasional, namun mempunyai kondisi yang kurang mengun-tungkan karena mengalami musim kemarau yang relatif panjang . Pakan di musim kemarau ditandai dengan ransum yang kaya serat kasar sehingga pengurangan bobot badan . Kondisi seperti ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jarak beranak yang panjang dan ini merupakan kerugian nasional (Winugroho dkk ., 1992) .

Pakan merupakan syarat utama bagi kelangsungan hidup dan ber-produksi dari seekor ternak . Aspek biologis yang berhubungan dengan pem-berian pakan merupakan salah satu faktor yang penting yang hares diper-hatikan mengingat pengaruh keadaan sekitar bersifat tidak tetap . Salah satu hal penting yang menyangkut aspek biologis ini adalah daya cema (Sulyono dkk., 1977) .

(14)

Kebugaran ternak ruminansia banyak dipengaruhi oleh proses dalam rumen . Ternak yang mempunyai tubuh yang balk, daging yang banyak tentunya mempunyai sistem pencernaan yang balk . Pada ternak ruminansia,

mikroorganisme terutama jenis-jenis bakteri selulolitik, bakteri yang mampu memecah selulosa dengan balk, mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen dan seluruh aspek dari penyerapan makanan oleh ternak (Russel, 1989) . Bakteri semacam ini sangat balk diperlukan terutama pada kondisi makanan yang buruk.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui mikroba yang ada di dalam rumen ternak ruminansia baik berupa jamur, bakteri maupun protozoa dan diharapkan diperoleh masukan berguna bagi kita serta memberikan sumbangan pengetahuan.

Proses pencernaan pada ternak ruminansia dibagi menjadi 3 yaitu: 1 . Pencernaan Mekanik yang terjadi di dalam mulut .

2 . Pencernaan Hidrolitik yang disebabkan oleh enzim pencernaan ternak itu sendiri.

3. Pencernaan Fermentatif yang dilakukan oleh mikroorganisme rumen (Gambar 1).

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 . Sistem pencernaan pada ternak ruminansia (Bath dkk., 1985) Pencernaan fermentatif merupakan proses yang dapat meningkatkan pencernaan bahan makanan dalam rumen, karena pada ternak ruminansia pencemaan makanan sangat tergantung pada aktifitas mikroorganisme .

(15)

PENCERNAAN DI DALAM RUMEN

Ruminansia merupaka poligastrik yang mempunyai lambung depan yang terdiri dari Retikulum (perut jala), Rumen (perut handuk), Omasum (perut kitab), dan lambung sejati , yaitu Abomasum (perut kelenjar) . Proses pencernaan di dalam lambung depan terjadi secara mikrobial . Mikroba memegang peranan penting dalam pemecahan makanan (Cole, 1962 ; Banerjee, 1978) . Sedangkan di dalam lambung sejati terjadi pencernaan enzimatik karena lambung ini mempunyai banyak kelenjar . Menurut Chuticul (1975) rumen merupakan tempat pencernaan sebagian serat kasar serta proses fermentatif yang terjadi dengan bantuan mikroorganisme, terutama bakteri anaerob dan protozoa. Di dalam rumen karbohidrat komplek yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan adanya aktifitas fermentatif oleh mikroba akan dipecah menjadi asam atsiri, khususnya asam asetat,

propionat dan butirat (Ranjhan dan Pathak, 1979).

Menurut (Aurora, 1989), rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba . Isi rumen pada ternak ruminansia berkisar antara 10-15% dari berat badan ternak tersebut . Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat hidup serta ditemukan di dalamnya . Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah . Temperatur dalam rumen adalah 32-42°C, pH dalam rumen kurang lebih tetap yaitu sekitar 6,8 dan adanya absorbsi asam lemak dan amonia berfungsi untuk mempertahankan pH (Aurora, 1989) . Proses pencernaan dalam rumen ini sangat bergantung pada species-species bakteri dan protozoa yang berbeda dan saling berinteraksi melalui hubungan simbiosis .

KEBERADAAN DAN BENTUK MIKROBA DI DALAM RUMEN

Ada tiga macam mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen, yaitu bakteri, protozoa dan sejumlah kecil jamur . Volume dari keseluruhan mikroba diperkirakan meliputi 3,60% dari cairan rumen (Bryant, 1970) . Bakteri merupakan jumlah besar yang terbesar sedangkan protozoa lebih sedikit yaitu sekitar satu juta/ml cairan rumen . Jamur ditemukan pada ternak yang digembalakan dan fungsinya dalam rumen sebagai kelompok selulolitik (Mc Donald, 1988) . bakteri merupakan biomassa mikroba yang terbesar di dalam rumen, berdasarkan letaknya dalam rumen, bakteri dapat dikelompok-kan menjadi

a. Bakteri yang bebas dalam cairan rumen (30% dari total bakteri) . b. Bakteri yang menempel pada partikel makanan (70% dari total bakteri) . c. Bakteri yang menempel pada epithel dinding rumen dan bakteri yang

(16)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

Jumlah bakteri di dalam rumen mencapai 1-10 milyar/mI cairan rumen. Selanjutnya (Yokoyama dan Johnson, 1988) menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk bakteri yaitu bulat, batang dan spiral dengan ukuran yang bervariasi antara 0,3-50 mikron . Kebanyakan bakteri rumen adalah anaerob, hidup dan tumbuh tanpa kehadiran oksigen . Walaupun demikian masih terdapat kelompok bakteri yang dapat hidup dengan kehadiran sejumlah kecil oksigen, kelompok ini dinamakan bakteri fakultatif yang biasanya hidup menempel pada dinding rumen tempat terjadi difusi oksigen ke dalam rumen (Czerkawski, 1988) .

JENIS-JENIS MIKROBA DAN PERANANNYA

Yokoyama dan Johnson (1988), mengklasifikasikan bakteri menjadi 8 kelompok didasarkan pada jenis bahan yang digunakan dan hasil akhir fermentasi . Berikut contoh-contoh species bakterinya :

Bakteri Selulolitik

Bakteri yang mempunyai kemampuan untuk memecah selulosa dan mampu bertahan pada kondisi yang buruk pada saat makanan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Contoh : Bacteroides sussinogenes (bentuk batang), Ruminococcus albus (bentuk bulat).

Bakteri Proteolitik

Mempunyai kemampuan untuk memecah protein, asam amino dan peptida lain menjadi amonia (Orskov, 1982) . Contoh : Bacteroides ruminocola, Selenomonas ruminantium .

Bakteri Methanogenik

Merupakan bakteri yang dapat mengkatabolisasi alkohol dan asam organik menjadi methan dan karbondioksida (Tjandraatmaja, 1981) . Contoh: Methanobacterium formicium, Methanobrevibacter ruminantium .

Bakteri Amilolitik

Merupakan bakteri yang dapat memfermentasikan amilum . Bakteri jenis ini relatif lebih tahan terhadap perubahan pH dibandingkan dengan bakteri selulolitik, dapat bekerja pada pH 5,7-7,0 (Orskov, 1982) . Contoh : Clostridium lochheaddii, Streptococcus bovis, Bacteroides amylophilus .

Bakteri yang memfermentasikan gula

Bakteri yang memfermentasikan amilum, sebagian besar mampu memfermentasikan gula sederhana . Contohnya : Eurobacterium ruminantium,

(17)

Bakteri Lipolitik

Merupakan bakteri rumen yang dapat menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak . Hal ini dapat berlangsung karena adanya enzim lipase yang dapat memecah lemak (Tamminga dan Doreau, 1991) . Contohnya : Anaerovibrio livolytica, Veillonella alcalescens .

Bakteri pemanfaat Asam

Contohnya : Selonomonas dan Veillonella alcalescens . Bakteri Hemiselulotitik

Hemiselulosa adalah karbohidrat yang terdapat dalam tanaman yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam dan alkali. Hemiselulosa ini terdapat dalam tanaman yang menjadi pakan temak dalam jumlah besar .

Contohnya : Ruminococcus sp, Butyrivibrio fibriosolvens.

Serta ditambah beberapa contoh spesies protozoa dan jamur diantaranya :

• lsotricha intestinalis (memfermentasi gula, pati dan pektin)

• Dasytricha ruminantium (pencerna pati, maltosa, dan glukosa)

• Entodinium caudatum dan Diplodinium sp.

Sedangkan jamur Neocalimastik sp dan Orpinomyces kelompok fungsi selulolitik (Winugroho dkk ., 1997) .

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut

Rumen selain sebagai media fermentasi, juga merupakan habitat istimewa. Di

dalamnya terdapat kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba yang kehadirannya sangat dikehendaki .

• Peranan mikroba rumen sebagai motor penggerak pencernaan bahan makanan sehingga ruminansia mampu mencema pakan yang tinggi kandungan seratnya dan berkualitas rendah .

Mikroba rumen dapat memanfaatkan dan mengubah bahan makanan yang

mempunyai ikatan kompleks menjadi ikatan yang sederhana dan me-ningkatkan pertambahan bobot badan.

(18)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997 DAFTAR BACAAN

Agustin, F . 1991 . Penggunaan Lumpur Sawit Kering (Dried Palm oil Sludged) dan Serat Sawit (Palm Fiber) Dalam Ransum Pertumbuhan Sapi Perah . Thesis Sarjana, IPB, Bogor .

Aurora, S .P . 1989 . Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia Srigondo, B (ed), Gajah Mada University Press .

Bryant, M .P. 1967 . Microbiology of the Rumen In Sweeson, M .J. 1970. Duke,s physiology of the Domestic Animal, Cornell University Press, London . Cole, H .H . 1962. Introduction to livestock Production, W .H. Freeman and Co,

San Fransisco .

Chutikul, K . 1975. Ruminant (Buffalo) Nutrition, in The Asiatic Water Buffalo, Proceeding of an International Syimposium heald at khon kaen . Thailand, March 31 - April 6. Food and Fertilizer Tecnology Centre, Taipei, Taiwan .

Czerkawski, J .W. 1988. An Introduction to Rumen Studies . 1 st. ed. Studies Pergamon Press . New York.

Hungate, R .E. 1966. The Rumen and its Microbes . Academic Press. New York.

McDonald, P . Edwards, R .A. Greenhalq, J.F.D. Animal Nutrition . 4 th ed Longman Scientific and tehnical, Hongkong .

OH . H .K. Longhurst, W .M . and Jones, M .B. 1969, Reaction Nitrogen intake to Rumen Microba Activity and Consumption Quality Roughoge by sheep . Animal Sci, 28 : 272.

Ogimoto K. and Imai, S. 1981 . Atlas of Rumen Microbiology . Japan Scientific Societies Press . Tokyo, Japan .

Orskov, O .R . 1982 . Protein Nutrition In Rument, Academic Press London . Preston and Leng . 1987 . Matching Ruminant Produktion Systems With

Available Resource in the Tropik and Sub Tropik Penambul Books Armidale. New South Wales, Australia .

Russel, JB. 1989 . Growth Independent Energy Dissipation by Ruminan Bacteria In : Hoshino, S . Onodera, R : Mimato, R. Itabashi, H . (ed) Japan Scientific Society Press . Tokyo.

Ranjhan, S .K. and Pathak, N.N. 1979. Management and Feeding of Buffalo, Vikas Publ House put, New Delhi .

(19)

Soehadji . 1992. Pembangunan Peternakan dalam Pembangunan Jangka Panjang dalam Sabrani, M . Proceeding Balai Penelitian Temak . BPT, Bogor.

Sabrani, M ., Sitorus, P., Rangkuti, M., Subandriyo, Mathius, I W ., Soedjana, T.D., Semali. 1982. Laporan survey Baseline ternak kambing dan Domba, BPT, Bogor.

Winugroho, M . Tanner, J .C, Pernabowo, P . 1992. Pemanfaatan Jerami Padi Melalui manipulasi Mikroba Rumen Domba dan Kerbau dalam Proceeding BPT Bogor .

Winugroho, M., Yantyati . W., Suharyono, Typuk Artiningsih, Yeni . W. dan Cornelia Hendratno . 1995/1997 . Laporan Riset Unggulan Terpadu Ill . Balitnak Ciawi Bogor.

Yokoyama, M. T . and Johnson, K.A. 1988. Microbiology of The Rumen and Intestin . Prentice Hall . New Jersey.

(20)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

PEMBUATAN KANTONG KOLEKSI FESES UNTUK

DOMBA

Suryana

Balai Penelitian Ternak Ciawi, P .O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN

Biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan adalah pakan . Agar memperoleh keuntungan yang optimal maka biaya yang dikeluarkan untuk aspek pakan harus ditekan . Pakan yang diberikan ke ternak sebaiknya mengandung nilai biologis/nutrisi yang tinggi agar benar-benar dapat dimanfaatkan oleh ternak, balk untuk pertumbuhan maupun untuk tujuan reproduksi . Oleh karena itu, pemilihan pakan, baik hijauan maupun konsentrat yang berkualitas dan tepat untuk diberikan ke ternak merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh agar biaya pakan/produksi dapat ditekan . Upaya tersebut banyak dilakukan oleh para peneliti, terutama yang berkecimpung dalam bidang makanan . Teknik yang umum dipergunakan untuk mengetahui kualitas pakan, utamanya untuk ternak ruminansia (kususnya domba) adalah dengan mempelajari nilai kecernaan pakan yang akan diuji . Untuk memudahkan dalam pelaksanaannya maka dipergunakan kandang meta-bolisme (Gambar 1). Kandang metameta-bolisme yang dipergunakan, dibuat sesuai dengan ukuran ternak yang akan dipergunakan (lihat Gambar 1) . Ternak domba yang dipergunakan pada umumnya telah dewasa dan ditempatkan dalam kandang metabolisme. Dalam kandang metabolisme, ruang gerak domba dibatasi dan hanya dapat mengkonsumsi pakan dan air yang telah disediakan pada tempatnya . Hasil metabolisme yang berupa feses dan urine dapat ditampung melalui saringan yang terbuat dari kawat kasa dan plat aluminium yang terletak di bawah kandang . Dengan teknik tersebut dan tingkat ketelitian pengamatan yang benar maka jumlah pakan yang dikonsumsi dan dikeluarkan baik dalam bentuk feses maupun urine dapat diketahui dengan pasti . Dengan demikian nilai pakan yang diuji dapat dihitung . Kelemahan teknik tersebut adalah feses yang berhasil ditampung pada umumnya tercemar oleh urine, sebagai akibat sistem penampungan melalui satu jalur. Keadaan tersebut akan menyebabkan data yang diperoleh balk untuk feses maupun urin akan bias, terutama kandungan nitrogen dan energi.

Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif agar produk limbah hasil metabolisme tersebut benar-benar tidak tercemar dan data yang diperoleh makin menjadi tepat . Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mempergunakan kantong yang ditempatkan dan tergantung pada bagian

(21)

belakang ternak yang dipergunakan . Kantong tersebut pada umumnya disebut sebagai fecal bag atau kantong feses .

1,

Gambar 1 . Kandang metabolisme, bila dilihat dari samping BAHAN DAN METODE

Hal yang perlu dilakukan untuk pertama kali adalah merancang model kantong feses yang cocok untuk ternak yang akan dipakai, dan dalam hal ini adalah ternak domba. Selanjutnya diujicobakan penggunaannya, sehingga dapat memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan .

Alat dan bahan

Kantong feses dibuat dari bahan kain yang tidak menyerap air, ringan, kuat dan murah harganya . Untuk itu ditetapkan bahwa kain poliester tipis

(lebih dikenal dengan nama pasar kain parazut) dipergunakan sebagai bahan kantong . Bahan lain yang juga dipergunakan adalah sumbu lampu tempel, benang plastik, gesper dan kancing . Kain parazut merupakan bahan utama pembuatan kantong, sedangkan sumbu lampu (lebar 2,5- 3 cm) berfungsi sebagai pengikat dan penahan beban agar kantong feses dapat tetap pada tempatnya/stabil. Gasper dipergunakan sebagai penghubung ujung-ujung sumbu lampu dan dapat disesuaikan dengan ukuran ternak yang akan dipergunakan, dan benang nilon untuk menjahit kantong serta tidak mudah rusak sebagai akibat kondisi basah selama dipergunakan .

Metoda pembuatannya

Alat ini terdiri dari dua bagian utama, yakni (i) bagian penahan beban dan menjaga kestabilan kantong (Gambar 2) dan (ii) bagian kantong (Gambar

(22)

Lokakarya Fungsiona!Non Peneliti 1997

3) . Bagian penahan beban terbuat dari sumbu lampu dan dirancang sebagai Gambar 2, dengan menjahit bagian tertentu dan mempergunakan benang nilon . Ukuran bagian penahan beban ini dapat disesuaikan dengan besar kecilnya ternak domba yang dipergunakan . Untuk mengatur ukuran tersebut diberikan gesper penghubung yang dapat disesuaikan dengan ukuran ternak .

iai

Qtm~~~~s• .'

101

6*40

1 j7s%%

~

Gambar 2. Sumbu lampu tempul yang telah dirancang sebagai penyandang beban kantong feses

9

1 0

(23)

Ukuran kantong dapat disesuaikan dengan selera pengguna, namun pada kesempatan ini penulis mempergunakan ukuran yang dapat menampung + 2 kg feses basah . Sebagai bahan penghubung antara kantong feses dan bagian penahan beban dipergunakan gesper agar memudahkan penyesuaian ukuran ternak dan mudah dalam pemasangan atau pun pelepasan kantong . Sedangkan untuk memudahkan pengambilan feses harian dipergunakan kancing yang dapat dilepas setiap waktu bila dipergunakan .

Cara kerja kantong feses

Untuk pemasangan kantong feses maka tahapan yang diperlukan adalah sebagai berikut :

(i) . Pemasangan penahan beban . Bagian penahan beban ditempatkan pada bagian punggung domba yang untuk selanjutnya ujung-ujung sumbu dihubungkan secara berpasangan dengan mengaitkan ujung gesper yang telah tersedia (Gambar 4) . Sumbu satu dikalungkan pada bagian leher, sumbu dua di bagian dada melalui bagian belakang kaki depan, sumbu tiga dilingkarkan di bagian perut sedangkan sumbu empat dan lima dihubungkan dengan bagian dari kantong feses .

Gambar 4. Ternak domba dengan perangkat kantong feses

(ii) .Pemasangan kantong feses . Kantong feses ditempatkan di bagian belakang ternak, tepat menutupi bagian anus dan ekor ternak. Selanjutnya ujung sumbu yang telah disiapkan dihubungkan dengan sumbu empat dan lima . Hubungan sumbu empat dengan kantong dilakukan tepat di atas punggung, sedangkan sumbu lima dihubungkan dengan gesper yang terdapat pada kantong melalui bagian dalam kaki belakang .

(24)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan dengan mempergunakan kandang metabolisme ter-nyata memberikan hasil yang belum memuaskan . Hal ini disebabkan terjadi-nya kontaminasi antara feses dan urine. Selanjutterjadi-nya dengan teknik gabungan, yakni mempergunakan kandang metabolisme dan kantong feses yang telah dimodifikasi menunjukkan bahwa feses dan urine dapat dipisahkan secara sempurna sehingga feses yang berhasil ditampung tidak tercemar oleh cairan urin . Penggunaan kantong feses pada ternak domba membutuhkan waktu dua hari untuk dapat beradaptasi. Hal ini disebabkan ternak belum merasa nyaman dan selanjutnya ternak telah dapat menyesuaikan diri/adaptasi . Hasil pengambilan feses yang dilakukan sekali dalam sehari ternyata mengalami sedikit gangguan, karena dengan frekuensi tersebut ternak keberatan untuk memikul jumlah feses tersebut . Selanjutnya dengan pengambilan feses dua kali sehari, yakni pada setiap pukul 17 .00 dan 07.00 lebih memberikan kenyamanan pada ternak sehingga kegiatan harian ternak dalam kandang metabolisme tidak terganggu . Selain kenyamanan ternak yang terjamin, keuntungan penggunaan kantong adalah feses terhindar dari kontaminasi oleh urin serta dapat dipergunakan berulang-ulang . Kelemahan yang terjadi dengan penggunaan kantong feses adalah hanya dapat dipergunakan untuk ternak jantan . Hal ini disebabkan sistem pembuangan sisa metabolisme pencernaan

pada ternak ruminansia betina yang berdekatan . Dengan perkataan lain penampungan feses pada ternak betina dengan mempergunakan kantong feses akan terkontaminasi oleh urine .

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan kantong feses cukup aman dan dapat dipergunakan sebagai alat dalam penelitian kecernaan pakan ternak . Namun demikian pengujian penggunaan alat ini perlu diteliti lebih lanjut terutama untuk ternak yang ditempatkan pada kandang kelompok ataupun pada ternak di lapang . Penggunaannya untuk ternak ruminansia besar perlu dimodifikasi dan disesuaikan dengan ukuran dan kekuatannya . Demikian pula penggunaan kantong untuk mengumpulkan feses pada ternak betina perlu dipikirkan Iebih lanjut .

DAFTAR BACAAN

ASAS. 1969 . Techniques and Procedures in Animal Research . Q Corporation 49 Sheridan Ave . Albany, N .Y. 12210.

Church, D .C . 1983. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants . Vol. 1 . Digestive Physiology . 2nd Ed. O .B. Books Inc.

(25)

PENCUKURAN BULU DOMBA

SECARA BERKALA

M. Sumantri

Balai Penelitian Ternak Ciawi, P .O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN

Salah satu upaya untuk mencapai keberhasilan dalam pemeliharaan temak domba antara lain dengan sistem tata laksana perawatan temak yang baik, salah satu faktor yang terkait dalam tata laksana tersebut adalah

pencukuran bulu.

Domba yang tidak pernah dicukur bulunya, terutama domba yang tidak pernah dimandikan, selain bulunya gembel juga lengket, kotor dan lembab . Kondisi bulu seperti ini merupakan tempat yang baik untuk bersarangnya kuman penyakit, parasit dan jamur yang dapat mengganggu kesehatan ternak . Domba yang dicukur, bulu kelihatan bersih, tidak kotor, bulu kelihatan tidak gembel, ternak kelihatan lincah, ternak tidak akan mengalami stress, ternak akan sehat karena tidak ada untuk bersarangnya bibit penyakit .

Bulu pada domba merupakan insulasi (perekat) yang dapat meng-hambat pembuangan panas tubuh melalui kulit, pencukuran bulu dapat

mengurangi insulasi, sehingga pembuangan beban panas tubuh melalui penguapan air dan radiasi permukaan kulit lebih mudah dilakukan, hal ini akan mengurangi stress (Bianca, 1968).

Ternak yang mengalami stress akan menderita kekurangan energi akibat menurunnya konsumsi makanan, oleh karena itu dengan pencukuran bulu secara berkala akan dapat menghindari dari stress tersebut .

MATERI DAN METODE

Pelaksanaan pencukuran bulu domba dilaksanakan di Lapangan Percobaan Bogor, domba sebelum dicukur sebaiknya dimandikan, agar bulunya tidak terlalu gembel . Kemudian dikering anginkan, sehingga me-mudahkan proses pencukuran (Gambar 1).

Pertama dicukur sebaiknya domba berumur 6 - 7 bulan (Small Ruminant - Collaborative Research Support Program, 1989), karena pada umur ini dianggap tidak akan mengalami stress bila kedinginan.

(26)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

Gambar I : Ternak domba yang belum dicukur

bulu yang

domba yang sudah sudah dicukur

dicukur nampaK bersih

Gambar 2. Ternak domba yang sedang dicukur dengan gunting biasa dan domba yang sudah dicukur

TEKNIK PENCUKURAN

(27)

Pencukuran bulu dengan gunting cukur/gunting biasa

- Domba yang telah dimandikan, bulunya sudah kering, kemudian domba ditidurkan dengan cara mengikat keempat kakinya, lalu dilakukan pencukuran . Ini jika dilakukan oleh seorang, bila pencukuran dilakukan oleh dua orang, domba dipegang agar tidak berontak/bergerak.

- Pencukuran dimulai dari bagian perut mengarah ke depan sejajar dengan punggung ternak .

- Pengguntingan bulu jangan sampai mengenai kulit agar tidak melukai, sebaiknya guntingan bulu disisakan ± 0,5 cm (Gambar 2)

Pencukuran bulu dengan gunting mesin/listrik

- Cara kerja pemakaian gunting mesin/listrik tidak berbeda dengan pencukuran memakai gunting biasa/gunting cukur, hanya perbedaan waktu/lama pencukuran .

- Pencukuran bulu domba dengan gunting mesin/listrik Iebih cepat, rata-rata 5 - 10 menit/ekor, sedangkan pencukuran dengan gunting biasa rata-rata 20 - 30 menit/ekor (berdasarkan pengamatan penulis di lapangan percobaan Bogor (Gambar 3).

Gambar 3 . Ternak Domba yang sedang dicukur dengan gunting mesin/listrik

KENDALA-KENDALA DALAM PENCUKURAN

-

Ternak selalu berontak/bergerak, sehingga proses pencukuran menjadi terhambat .

(28)

- Gunting cukur harus selalu tajam .

- Belum ada tempat/alat bantalan secara khusus, untuk domba ditidurkan selama proses pencukuran .

KEUNTUNGAN TERNAK DOMBA YANG DICUKUR - Bulu kelihatan bersih tidak kotor.

- Bulu kelihatan tidak gembel . - Ternak kelihatan Iincah .

- Ternak tidak akan mengalami stress.

- Ternak akan sehat karena tidak ada untuk bersarangnya bibit penyakit (Gambar 4).

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

Gambar 4. Ternak domba yang sudah dicukur PENGARUH KURANG BAIK SETELAH PENCUKURAN - Ternak kurang nafsu makan .

- Ternak agak lemah . - Ternak kurang Iincah .

(29)

penga-ULANGAN PENCUKURAN

Ulangan pencukuran dilaksanakan setelah 6 bulan (pencukuran bulu dilaksanakan 2 kali dalam setahun) .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Spedding (1970) domba pertama dicukur pada umur 5 bulan, sedangkan pada buku "Balai Penelitian Ternak/Small Ruminant -Collaborative Research Support Program", Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian Ternak Kambing dan Domba di Pedesaan (1989), domba pertama dicukur pada umur 6 - 7 bulan.

Kedua pendapat ini berbeda, hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan (faktor tata laksana perawatan ternak) karena faktor genetik sangat mempengaruhi kecepatan kenaikan bobot badan domba dan kecepatan pertumbuhan bulu, begitu pun faktor makanannya .

Pencukuran bulu domba biasanya dilakukan pada cuaca terang dan panas (Morrison, 1956), begitu juga domba yang dicukur jangan terlalu muda, karena domba yang masih muda perlu mempertahankan panas tubuhnya dari pengaruh dingin atau pun hujan (Spedding dkk., 1945) .

Pada musim panas, kelenjar minyak (oil) di bawah kulit akan berperan aktif, kemungkinan akan menutupi pori-pori pada kulit, sehingga sukar untuk melepaskan (membuang) panas tubuh pada ternak (Sutardi, 1980) dan akan mempengaruhi pertumbuhan/pertambahan bobot badan .

Domba yang tidak pernah dicukur, maka bulunya merupakan media tempat bersarangnya kuman penyakit, parasit dan jamur yang dapat mengganggu kesehatan ternak (Morisson, 1956).

Selain itu pada bulu domba yang kotor akan mudah berkembangnya kuman penyakit, karena berkontaminasi urine, feces domba mengandung Amonia (NH3) (Sutardi dkk ., 1983; Roffcer and Satter, 1981) .

KESIMPULAN

- Pencukuran bulu pada ternak domba, harus dilaksanakan secara ter-program rutin, agar ternak tidak mudah terserang penyakit dan kebersihan bulu domba akan terjamin .

- Sebaiknya melakukan pencukuran setelah ternak dimandikan . - Pencukuran dilakukan 2 kali dalam setahun .

(30)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997 SARAN

Perlu diadakan penyuluhan bagi petani petemak di pedesaan, sehingga pencukuran bulu pada ternak domba dapat dilaksanakan secara berke-sinambungan .

DAFTAR BACAAN

Balai Penelitian Ternak/Small Ruminant - Collaborative Research Support Program 1989.

Balai Penelitian Penyakit Hewan . 1994. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian .

Bianca, W. 1968. Thermoregulation dalam buku Adaption of Domestic Animal (Hafez, 1968). Lea and Febiger, Philadelphia P .97-118 .

Hor Lacher L .J . and Hammonds . 1945. Sheep the Interstate, Danville, Illionis Publisher .

Morrison. 1956. Feed and Feeding Morrison Publisher .

Spedding C.R.W. 1970 . Sheep Production and Grazing Management . Balliere, Tindall and Cassete London.

Sutardi J . 1980. Landasan Ilmu Nutrisi, Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor .

Sutardi dkk. 1983. Standardisasi mutu bahan makanan Ruminansia berdasarkan metabolisme oleh mikroba rumen, dilaksanakan atas biaya proyek pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi No .89/PPT/ DPPM/416/79, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Dept . P & K.

(31)

TEKNIK PENGGUNAAN CAMPURAN BELERANG

DAN OLI BEKAS UNTUK"PENGOBATAN SCABIES

Atmiyati

Balai Penelitian Ternak, Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002

PENDAHULUAN

Scabies, disebut juga buduk kudis, adalah penyakit kulit yang sangat mudah menular dan bersifat zoonosis . Scabies disebabkan oleh binatang beruas atau tungau (artropoda) antara lain Demodex, Sarcoptes dan Psoroptes . Pada ternak yang terserang scabies, tungau ini hidup di bawah jaringan kulit, yang lama kelamaan akan membentuk racun di dalam darah dan mengakibatkan kematian.

Penyakit scabies umumnya menyerang ternak kambing dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 3 bulan (Manurung dkk ., 1992) domba, anjing, kucing, babi dan kelinci . Sarcoptes scabiae salah satu penyebab kudis yang sering ditemukan di Indonesia menyerang ternak kambing di pedesaan (Manurung dkk ., 1992). Penyakit scabies pada sapi dan kerbau jarang ditemukan . Penularan scabies melalui kontak langsung . Scabies juga dapat menular pada manusia .

Pengobatan untuk ternak yang terserang scabies sangat sulit. Kesulitan yang dihadapi bagi peternak di pedesaan karena sulitnya mendapatkan obat dalam jumlah yang sedikit, kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan dan harga obat yang mahal tidak terjangkau oleh peternak . Pengobatan scabies dilakukan dengan menggunakan campuran oli bekas dan belerang . Pengobatan menggunakan Coumaphos kepekatan 0,05 - 0,1% dalam air yang diberikan secara mandi atau sebagai salep dengan kepekatan 1 - 2%, Ivermectin dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan yang diberikan secara suntikan di bawah Wit (Manurung dkk ., 1992). Obat tersebut memang telah terbukti memberikan hasil yang memuaskan namun petani petemak masih jarang menggunakan karena harganya mahal dan sulit didapat . Obat tradisional seperti campuran oli bekas dan belerang relatif lebih mudah

didapat, harga terjangkau bagi peternak dengan jumlah pemilikan 4 - 6 ekor. Dapat diperoleh di pasar dalam jumlah yang sedikit.

TANDA-TANDA

(32)

Lokakarya Fungsional Non Peneli6 1997

- Pada ternak yang sakit akan terlihat merah dan terjadi penebalan seperti kerak.

- Ternak akan merasakan gatal, gelisah dan selalu menggosok-gosokan bagian badan yang gatal pada dinding kandang .

- Pada umumnya penyakit ini menyerang bagian tertentu seperti ; muka, telinga, kepala, leher dan bagian pangkal ekor .

- Dapat juga menyerang ke seluruh bagian tubuh . Pada stadium ini ternak dapat mati karena Toxaemia (keracunan dalam darah) dan kekurusan .

PENCEGAHAN

Scabies pada ternak kambing sangat merugikan bagi petani peternak . Ternak yang terserang scabies harganya akan turun hingga 30 - 50% dibanding ternak yang sehat. Disamping itu dapat menimbulkan kematian dalam waktu tiga bulan jika tidak diobati. Untuk pencegahan penularan, ternak yang sakit harus diisolasi pada kandang yang terpisah dan agak jauh dari kandang ternak yang sehat. Bagi peternak sebaiknya memakai sarung tangan jika hendak mengobati, karena dapat menular pada manusia melalui kontak langsung . Kandang bekas ternak yang sakit sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan dahulu sebelum dipakai kembali.

PENGOBATAN

Pengobatan dengan memakai campuran belerang dan oli bekas . Bahan yang diperlukan

- Belerang halus sebanyak 25 gram

- 250 ml oli bekas dipanaskan hangat-hangat kuku

- Masukan belerang yang sudah dihaluskan ke dalam oli bekas yang sudah dihangatkan, aduk hingga rata.

- Campuran ini sudah dapat dipakai untuk mengobati luka akibat penyakit scabies.

CARA PENGGUNAANNYA

-

Ternak dimandikan pakai sabun atau desinfektan

- Luka dibersihkan dengan air hangat, kerak pada kulit yang menebal dikerok dan bulu dicukur.

(33)

- Oleskan campuran belerang dan oli bekas pada bagian yang luka.

- Pengobatan dapat dilakukan ke seluruh bagian tubuh, dioles tipis, dan tidak berbahaya pada ternak.

- Pengobatan diulangi setiap 3 had hingga tiga kali pengobatan, kemudian diulangi setiap 7 had hingga tiga kali pengobatan .

- Luka pada ternak akan terlihat Iebih balk, mengering dan sembuh dalam waktu satu bulan.

Jika belum sembuh benar maka pengobatan dapat diulangi setelah 7 hari dari pengobatan sebelumnya .

Keuntungan memakai campuran belerang dan oli bekas :

- Campuran belerang dan oli bekas tidak berbahaya bagi pengguna maupun ternaknya .

- Bahan yang diperlukan mudah diperoleh di pasaran .

- Harga relatif lebih murah dan terjangkau oleh petani yang memiliki ternak berkisar 3 - 5 ekor.

KESIMPULAN

Pengobatan ternak yang terserang scabies dengan menggunakan bahan campuran belerang dan oli bekas bagi peternak di pedesaan Iebih ekonomis dan efisien jika dibandingkan dengan Coumaphos, karena bahan campuran belerang dan oli bekas mudah diperoleh di pasar . Harga relatif murah, dapat dibeli dalam partai kecil sesuai dengan kebutuhan peternak yang memiliki ternak berkisar 3 - 5 ekor. Campuran belerang dan oli bekas tidak berbahaya bagi peternak maupun ternaknya .

DAFTAR BACAAN

Bulletin Penyakit Hewan Vol . XXIV No. 43 Semester I tahun 1992. Diktat Penyakit Hewan Menular Tahun 1974 .

Manurung dkk. 1992. Pengobatan Kudis pada kambing dengan Oli, vaselin, Belerang dan Daun Ketepang ; Penyempurnaan Percobaan.

(34)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

PEMBERIAN SUSU KAMBING PADA BALITA: SUATU

USAHA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN PROTEIN

HEWANI DI PEDESAAN

Siti Aminah

Balai Penelitian Ternak Ciawi, P .O . Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN

Salah satu syarat untuk hidup sehat adalah dengan memenuhi kebu-tuhan gizi . Kebukebu-tuhan protein hewani bagi penduduk di pedesaan, belum mencapai nilai standard yang diharapkan (BPS, 1987). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan bahwa Bayi Umur Lima Tahun (BALITA) yang berstatus gizi balk baru 48% anak laki-laki dan 60% perempuan . Sedangkan standar kebutuhan gizi baik untuk daerah perkotaan khususnya di Jawa Barat mencapai 74,3 untuk anak perempuan, 63,9% untuk anak laki-laki . Di daerah pedesaan standar gizi balk 60,1% perempuan, 45,9% untuk laki-laki. Rendahnya standard gizi baik yang dicapai di daerah pedesaan disebabkan oleh kurangnya masyarakat pedesaan mengkonsumsi protein hewani . Protein hewani sebetulnya tidak sulit untuk diperoleh melainkan karena keterbatasan penghasilan, maka protein hewani tersebut tidak dapat dibeli . Berdasarkan monografi desa Cadasngampar yang sebagian besar areal desa merupakan persawahan dan lahan kering yang umumnya ditanami dengan padi, singkong dan jagung, maka dilihat dari hasil produksinya per tahun tidak menutup kemungkinan untuk memanfaatkan sisa hasil hijauan untuk memelihara ternak sebagai usaha sambilan sekaligus merupakan tambahan pendapatan bagi keluarga . Hasil produksi persawahan desa Cadasngampar antara lain masing-masing 95, 135 dan 3,5 ton per tahun. Upaya pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani yaitu dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa untuk memelihara ternak yang dapat menambah pendapatan keluarga, contohnya yaitu dengan mengembangkan ternak sapi . Dalam kenyataannya upaya pemerintah ini kurang diminati oleh masyarakat, kendalanya antara lain modalnya tidak edikit kira-kira untuk membeli 1 ekor sapi betina yang berumur 1-1,5 tahun kurang lebih 1,5 juta rupiah. Disamping untuk menunjang keberhasilan usaha pemeliharaan sapi dibutuhkan lahan yang cukup luas . Alternatif lainnya untuk memenuhi kebutuhan protein yang bisa diterapkan di pedesaan adalah dengan pemberian susu kambing pada rawan gizi yang khususnya diberikan kepada BALITA yang rata berumur 26 s/d 27 bulan dan mempunyai rata-rata berat badan 8 s/d 9 kg .

(35)

Tabel 1 . Perbandingan komposisi kimia susu sapi, asi dan susu kambing

Sumber : Diem, K and C . Lentner, 1994

Kambing Peranakan Etawah atau sering disebut kambing PE adalah kambing hasil silang antara kambing lokal Indonesia dengan kambing Etawah . Kambing PE telah lama dipelihara sehingga sudah dianggap sebagai kambing lokal yang mempunyai kualitas genetik lebih baik . Seperti kambing Iainnya kambing PE mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan . Kemampuan optimal produksi susu antara 1,5 kg/had, pada laktasi had ke-8 sampai ke-90 (Sutama dkk ., 1995) . Pendapat Iainnya juga mengemukakan hal yang sama yaitu produksi susu kambing PE berkisar antara berkisar 0,5 -1,5 liter /ekor/hari (Ashari dkk ., 1995). Efisiensi produksi susu kambing PE 20% lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi . Keuntungan lainnya dalam memelihara kambing PE yaitu mempunyai postur tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan ternak sapi . Sedangkan untuk ketersediaan hijauan dapat diperoleh dengan cukup mudah, yaitu dengan memberikan daun-daunan yang tumbuh di sekitar halaman, atau di pinggir-pinggir jalan yang sengaja tidak ditaman . Pemeliharaan ternak kambing untuk produksi susu memang belum populer di Indonesia kecuali di daerah-daerah tertentu seperti Cirebon dan Tegal (Subandriyo, 1993). Dengan perluasan pemeliharaan kambing PE, diharapkan produksi susunya bisa dikonsumsi oleh kelompok rawan gizi yaitu : ibu hamil, menyusui dan anak BALITA . Menurut laporan Sri

Komposisi Sapi Asi Kambing

Air(g) 88,5 87,7 86,6 Protein (g) 3,2 1,03 3,6 Lemak (g) Total 3,7 4,4 4,2 poly unsaturated 0,1 0,3 -kolestrol 0,01 0,01-0,02 -Karbohidrat (kcal) 4,6 6,9 4,8 Vitamin A (11J) 140 330 120 B1 mg 0,04 0,01 0,05 B2 mg 0,15 0,04 0,12 B6 mg 0,05 0,02 0,027 Asam nicotin mg 0,07 0,18 0,2 Asam pantot mg 0,33 0,24 0,35 C mg 1 5 2 Mineral (mg) : K 139 50 180 Ca 133 33 129 Mg 13 3 13 Mn 0,002 - 0,008 Fe 0,04 0,05 0,1 Cu 0,01 0,05 0,04 P 88 14 103 S 29 14 16 CI 105 36 150

(36)

Lokakarya FungsionalNon Peneliti 1997

Wahyuni dkk . (1996), 95% dari anak BALITA, 83% dari Ibu hamil dan 73% dari ibu menyusui menyukai susu kambing . Ketidaksukaan sebagian ibu hamil dan ibu menyusui terhadap susu kambing PE nampaknya lebih disebabkan oleh faktor psikologis seperti pernyataan "bau amis" dan faktor "ketidak-biasaan" karena sebelum meminum mereka sudah menolak untuk meminum susu kambing . Berdasarkan laporan tersebut maka dari pemberian susu

kambing pada anak BALITA tidak ada masalah .

Komposisi kimia yang terdapat dalam susu kambing tidak berbeda jauh dengan susu sapi dan ASI (Tabel 1) bahkan lemak susu kambing lebih halus dibandingkan susu lainnya (Diem dkk., 1994).

Berdasarkan tabel diatas, kadar protein susu kambing paling tinggi dibandingkan dengan susu sapi dan Asi . Sebagai sumber mineral terdapat 5 macam mineral yaitu Cl, P, Fe, K dan Mn yang jumlahnya tertinggi pada susu kambing . Dengan demikian perlu diadakan pemasyarakatan dan pemanfaatan susu kambing bagi masyarakat pedesaan . Pada tulisan ini dibahas respon anak BALITA terhadap pemberian susu kambing, secara kontiyu .

METODE PENELITIAN

Lokasi : Desa Cadasngampar, Kecamatan Kedunghalang, Kabupaten Bogor. Desa ini dipilih karena penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu (Sri Wahyuni dkk., 1996). Sampel : 10 Anak BALITA.

CARA PRAKTIS PEMBERIAN SUSU

Pada kunjungan pertama susu kambing diberikan kepada 13 anak BALITA, kemudian pada kunjungan selanjutnya hanya 10 anak BALITA yang benar-benar menyukai susu kambing, ketidaksukaan terhadap susu kambing disebabkan oleh adanya gangguan mencret, muntah dan tidak mau meminum kembali dengan alasan faktor sugesti dan ketidakbiasaan . Pemberian susu susu diberikan setelah dicampur gula dan cokiat dengan perbandingan 1/10 bagian dari jumlah susu yang diberikan yaitu sebanyak kurang Iebih 250 -300cc (satu gelas) susu tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik,

kemudian dibagikan kepada 10 BALITA yang yang benar-benar menyukainya . Cara riembagikan susu tersebut tidak mengalami kesulitan karena anak-anak BALITA tersebut sudah berkumpul di POSYANDU setempat yaitu di POSYANDU KETAPANG . Selain diberi gula dan cokiat untuk menghilangkan aroma khas kambing dapat juga diberi es batu . Pemberian susu kambing biasanya dilakukan pada had Senin dan Kamis, dengan jumlah pemberian susu sebanyak 2 kali dalam seminggu dan setiap pemberian, susu harus diminum saat diberikan . Saat pembagian susu diamati apakah susu benar-benar diminum oleh anak yang bersangkutan . Pada saat tersebut sekaligus

(37)

tidak mau, muntah atau tidak dan mencret/diare atau tidak (Kegiatan Sri Wahyuni dkk., 1996). Disamping itu berat badan anak juga ditimbang 1 bulan sekali .

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Susu Kambing Terhadap Kesehatan

Mengingat banyak faktor yang berpengaruh untuk melihat pengaruh susu kambing terhadap kesehatan, maka berdasarkan hasil diskusi dengan dokter Puskesmas digunakan tolak ukur kenaikan berat badan . Dalam Penelitian Sri Wahyuni dkk. (1996) telah didapatkan data rata-rata pertambahan berat badan anak BALITA yang diberi susu kambing ditunjukkan

pada Tabel 2 .

Tabel 2. Rata-rata pertambahan berat badan anak BALITA yang diberi susu kambing

Dari Tabel 2 dapat dilihat bervariasinya kenaikan berat badan . Disadari bahwa adanya kenaikkan berat badan bukan merupakan faktor utama yang dapat menilai tinggi rendahnya status gizi anak. Walaupun belum dibuktikan secara ilmiah susu kambing dapat menyembuhkan penyakit tulang, rematik,

Nama Balita Umur

(Bln) Awal (Maret)Berat Badan Berat Badan/bulan Berat badanKenaikan April Mei Juni Juli

1 . Faridah 27 9,4 9,6 9,8 10,0 10,0 0,6 2 . Mamah 22 8 .0 8,2 8,6 9,0 9,0 1,0 3 . Halimah 24 7,6 8,2 8,6 9,0 10,0 2,4 4 . Munah 24 8,9 9,0 9,5 10,0 10,1 1,2 5 . Latif 48 13,5 13,8 14,0 14,0 14,0 0,5 6 . Hendar 20 8,5 8,5 8,5 8,6 8,6 0,1 7 . Bedih 26 7,2 8,0 8,0 8,0 8,0 0,8 8 . Sari 24 9,0 9,0 9,0 9,1 9,1 0,1 9 . An 31 10,0 10,0 10,0 10,0 10,1 0,1 10.Saeful 22 8,0 8,2 8,4 8,6 9,0 1 .0 Total 7,8 Rata-rata 0,78

(38)

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

asma dan pula mempercepat pengeringan pada penyakit gatal-gatal koreng (Sri Wahyuni, 1994) .

KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PEMBERIAN SUSU KAMBING Kendala yang dihadapi balk oleh masyarakat desa maupun masyarakat perkotaan mengenai pemanfaatan susu kambing adalah belum terbiasanya mengkonsusmsi, hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang berkaitan dengan kebiasaan makan (Suradisastra, 1993), yaitu faktor-faktor ekonomi, status sosial dan upacara-upacara keagamaan dan upacara perkawinan, yang terpenting lagi adalah adanya faktor psikologis dad pada masyarakat yang beranggapan bahwa susu kambing itu baunya sangat menyengat serta untuk mendapatkannya di pasaran agak jarang . Untuk membiasakan masyarakat mengkonsumsi susu kambing diperlukan usaha-usaha tersebut di atas yaitu pemasyarakatan pemanfaatan.

KESIMPULAN

1 . Mensosialisasikan pemanfaatan susu kambing untuk masyarakat pedesaan sejak anak balita dirasakan perlu agar mereka terbiasa mengkonsumsi . 2 . Pengembangan usaha kambing Peranakan Etawah perlu ditingkatkan

ter-utama sebagai penghasil susu disamping sebagai penghasil daging, serta berperan pula sebagai tabungan keluarga dalarn mengatasi jumlah pen-dapatan

3 . Perlunya diadakan penyuluhan secara kontinyu kepada masyarakat tentang pentingnya gizi yang terdapat dalam susu kambing .

DAFTAR BACAAN

Suradisastra, K. 1993. Aspek-aspek Sosial dari Produksi Kambing dan Domba dalam Produksi Kambing Domba di Indonesia, Sebelas Maret. Univ. Press. Surakarta .

Subandriyo . 1983. Raising Goats for Milk and Meat . A Heifer Project int . Training Course . Arkansas .

Sutama, I . K . 1995. Studi Kinerja Produksi dan Reproduksi Kambing PE . Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak Bogor .

Sri Wahyuni . 1994. Susu Kambing dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Di pedesaan . Seminar Peranan Peternakan Dalam Pembangunan Desa Tertinggal Universitas Diponogoro, Semarang .

(39)

Sri Wahyuni, Sri Nastiti, Ashari, Syahril Mawi, Dewi A., E Juarini. 1996 . Laporan Kegiatan Penelitian Pemasyarakatan Susu Kambing dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Tani Melalui Pemeliharaan

Kambing Perah, Puslitbangnak .

Roswita S., Triyantini, B. Setiadi, H . Setiyanto . 1992. Upaya Mempopulerkan dan Meningkatkan Penerimaan Susu Kambing dan Domba . Dalam Kambing dan Domba untuk Kesehatan Masyarakat Proc . Saresehan Usaha Ternak Domba Menyongsong Era PJPT II ISPI dan HPDKI, Bogor.

(40)

Bahan

Penggemukan ayam buras dengan skala 2.000 ekor (jantan dan betina) melalui beberapa fase penelitian dengan sistem perkandangan yang berbeda

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

ANALISA USAHA PENGGEMUKAN AYAM BURAS

DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN SECARA

INTENSIF

Erwanto

Balai Penelitian Ternak Ciawi, P .O . Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN

Ayam buras merupakan ayam lokal yang banyak dipelihara oleh petani di pedesaan . Laju perkembangan ayam ini sangat lambat karena produktifitas-nya sangat rendah dan manajemen pemeliharaan masih sangat sederhana .

Mansyur dan Martodjo (1977) melaporkan bahwa berat badan ayam buras pada umur 10 minggu dengan sistem pemeliharaan terkurung dan pemberian pakan yang rasional akan mencapai 552,34 ± 41,44 gr, dan pada umur 20 minggu adalah sebesar 1441 ± 54,01 gr. Astuti dkk. (1978), melapor-kan bahwa berat badan ayam buras yang dipelihara dengan pemberian pamelapor-kan yang rasional dapat mencapai 713,45 gr pada umur 12 minggu. Kingston (1979) melaporkan bahwa berat badan ayam buras berumur 10 minggu sebesar 454 gr, dan pada umur 20 minggu sebesar 1027 gr.

Ayam buras mempunyai berbagai keuntungan yaitu kestabilan harga yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengusaha besar dan mempunyai

keunggulan kualitas daging yang kenyal dan rendah kadar kolesterolnya . Ayam buras merupakan komoditi unggas yang paling aman untuk diusahakan karena hampir tidak terjadi fluktuasi harga . Seorang sumber grosir besar ayam buras di Jakarta mengatakan, bahwa untuk tahun 1997, pasokan ayam buras dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat kurang . Dengan sendirinya tidak terjadi penurunan harga ayam buras .

Peluang pasar untuk ayam buras sangat cerah, namun sangat sulit bagi peternak di desa untuk merubah sistem pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan semi intensif atau secara intensif, karena dibutuhkan modal yang besar serta ketergantungannya terhadap pabrik pakan ternak . Oleh sebab itu berbagai pihak yang terkait pada bidang peternakan mulai mengangkat ayam buras sebagai usaha yang dapat diandalkan.

Gambar

Gambar 2. Sumbu lampu tempul yang telah dirancang sebagai penyandang beban kantong feses
Gambar 4. Ternak domba dengan perangkat kantong feses
Gambar I : Ternak domba yang belum dicukur
Gambar 3 . Ternak Domba yang sedang dicukur dengan gunting mesin/listrik KENDALA-KENDALA DALAM PENCUKURAN
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pemeriksaan jumlah leukosit darah merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang cepat dan murah untuk dapat menentukan diagnosa apendisitis akut dan apendisitis

In all essays you must give specific points to support your argument. Sometimes a topic will be quite abstract and it is important to realise that you need to use examples

Terdapat perbedaan antara jumlah leukosit darah pada apendisitis akut dengan kejadian apendisitis perforasi di RSUP Dr.

Pada rekam medis (RM) tidak terdapat data yang lengkap mengenai pemeriksaan laboratorium leukosit darah pasien pre

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (a) Pengajaran dengan menggunakan teknik tutor sebaya dikategorikan sangat

Situasi sosial yang tidak diinginkan oleh sejumlah orang karena dikhawatirkan akan mengganggu sistem sosial dan perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah perilaku

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijua 40,212 c Bagiabagian efektif dari perubahan nilai wajar -a. Pajak