• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Suatu Kajian Hubungan Kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Suatu Kajian Hubungan Kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Daerah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Supremasi, Volume III Nomor 2, Oktober 2008

KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

”Suatu Kajian Hubungan Kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Daerah” ANDI KASMAWATI

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Sistem ketatanegaraan Indonesia, pemerintahan terdiri dari pemerintahan

pusat dan pemerintahan daerah, hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bab VI dengan Judul ”Pemerintahan Daerah”. Kebijakan Desentralisasi pada intinya adalah ”penyerahan (devolution)” kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan kekuasaan yang merupakan inti dari kebijakan desentralisasi memerlukan penegasan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih seimbang tentang karakter desentralisasi di negara – negara sedang berkembang khususnya di Indonesia. Perlunya pengkajian kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah, agar tetap pada bingkai negara kesatuan, maka pengaturan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memerlukan batasan – batasan kebijakan sesuai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan adalah: 1) Bagaimana karakteristik kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan 2) Bagaimana bentuk pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kata Kunci: Desentralisasi, pemerintahan daerah, hubungan kekuasaan. PENDAHULUAN

Berdasarkan sistem ketatanegaraan Indonesia, pemerintahan terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bab VI dengan Judul ”Pemerintahan Daerah”. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Serikat 1949, ketentuan mengenai hal itu termaktub dalam pasal 42-67 dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 131 dan 132. Bahkan sejak sebelum mengenai persoalan pemerintahan di daerah dan persoalan yang berkaitan dengan soal desentralisasi (Jimly Asshiddiqie, 2007:395).

Begitu pentingnya pengaturan mengenai pemerintahan daerah, sehingga dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia senantiasa mengaturnya, bahkan hingga saat ini pengaturan mengenai pemerintah daerah mendapat perhatian secara

mendalam dengan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan, sebagai konsekuensi pelaksanaan reformasi disegala bidang termasuk reformasi dibidang hukum dan pemerintahan.

Sejak digulirkannya reformasi tahun 1997, Perundang-Undangan tentang pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dari undang-undang No.5 tahun 1974, dirubah menjadi undang-undang No.22 Tahun 1999, dan dirubah menjadi undang-undang No.22 tahun 1999, dan dirubah lagi menjadi undang-undang No.32 tahun 2004, dari perubahan ini nampak adanya kebijakan untuk melakukan perubahan pada pemerintahan daerah dengan memberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing dalam kerangka negara kesatuan.

Meskipun Pranata hukum yang mengatur pemerintahan daerah telah banyak

(2)

dibuat, namun secara filosofis upaya pembentukan pemerintahan daerah di Indonesia menurut Legge (1963) masalahnya masih sangat kompleks, secara spesifik adalah persoalan regionalisme di Indonesia terletak pada adanya kontradiksi antara kebutuhan untuk memuaskan daerah (pada satu sisi) dan keinginan untuk membangun suatu pemerintahan pusat yang kuat dan stabil (pada sisi lain), pada tingkat realits terdapat kecenderungan yang kuat bahwa kebutuhan untuk memuaskan daerah telah dihalangi atau bahkan dikalahkan oleh kepentingan untuk membangun pemerintah pusat yang kuat dan stabil (Syarif Hidayat, 2007:258).

Adanya kontradiksi sebagaimana dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa dalam penerapan pemerintahan daerah terjadi hubungan kekuasaan yang tidak mudah dipisahkan antara kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah, hal inilah yang membutuhkan penyesuai-penyesuai kebijakan sehingga pengaturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan dalam koridor negara kesatuan.

Pada kondisi tersebut kebijakan Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan kebijakan terkandung dalam berbagai peraturan, yang sejak dulu dianggap sesuatu yang niscaya sangat diperlukan dalam menata hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

Fenomena yang terjadi di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, mengenai gagasan desentralisasi, sejatinya diperkenalkan oleh pemerintah – pemerintah kolonial sebagai suatu strategi untuk mengulur dan mengekalkan hegemoni kekuasaan mereka. Setelah kemerdekaan, sekalipun terdapat reformasi yang signifikan tentang kebijakan desentralisasi tuntutan akan hal tersebut bukan berasal dari pemerintah – pemerintah daerah, tetapi lebih merupakan refleksi dari tuntutan kepentingan pemerintah pusat.

Kebijakan Desentralisasi pada intinya adalah ”penyerahan (devolution)” kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan kekuasaan yang merupakan inti dari kebijakan desentralisasi memerlukan penegasan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih seimbang tentang karakter desentralisasi di negara – negara sedang berkembang khususnya di Indonesia.

Perlunya pengkajian kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah, agar tetap pada bingkai negara kesatuan, maka pengaturan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memerlukan batasan – batasan kebijakan sesuai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan adalah: 1) Bagaimana karakteristik kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan 2) Bagaimana bentuk pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

B. PEMBAHASAN 1. Pemerintahan Daerah

Secara historis asal usul dari struktur pendidikan daerah yang kita kenal saat ini berakar dari Eropa diabad ke 11 dan ke 12, istilah yang digunakan untuk pemerintahan daerah berasal dari Junani dan Latin Kuno yaitu Kinotes (Komunitas) dan Demos (Rakyat atau Distrik).(Sarungdajang, 2002:22). Dalam perkembangannya, pemerintah daerah kemudian dipandang sebagai unit organisasi pemerintahan berbasis geografis tertentu yang ada dalam suatu negera berdaulat, seperti Indonesia. Konsep Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang No.5 tahun 1974 mengacu pada suatu organisasi pemerintahan berbasis wilayah dan penduduk tertentu yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan yang telah diserahkan kepadanya oleh pemerintah diatasnya (Sarungdajang, 2002:22). Adanya

(3)

Supremasi, Volume III Nomor 2, Oktober 2008 Pendelegasian kewenangan pemerintah lebih diatas kepada pemerintahan dibawahnya, maka apa yang telah digariskan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1974 merupakan refleksi dari apa yang telah diatur dalam UU Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Menurut Philipus Hadjon (2005:177) dalam UU Negara Republik Indonesia tahun 1945 menganut pola pembagian kekuasaan negara, yaitu pembagian kekuasaan negara secara horisontal dan secara vertikal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa: kekuasaan negara secara horisontal adalah pembagian kekuasaan negara kepada organ negara yang dalam ketatanegaraan kita sebut Lembaga Negara, pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disamping kedua kekuasaan yang secara tegas disampaikan melalui interpretasi sistematis, masih terdapat kekuasaan lain yaitu kedaulatan.

Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan dalam konteks negara kesatuan, berdasarkan UU Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat (1) ”Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Ketentuan ini merupakan suatu kenyataan bahwa para pendiri negara ini telah menentukan pilihan bahwa negara Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara Kesatuan.

Menurut Kusnardi dalam Titik Triwulan Tutik dan Bintan R Saragih (2005:177), disebut Negara Kesatuan apabila kekuasaan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan pemerintah pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingannya dari badan legilatif pusat dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan Pemerintah di daerah bersifat derivatif (tidak langsung) dan sering berbentuk otonomi yang luas.

Uraian mengenai negara kesatuan bila dikaitkan dengan pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945, ide negara kesatuan sesungguhnya bukanlah Sentralistik. Perubahan kedua pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa : Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah Provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pengaturan wilayah-wilayah dalam pasal 18 ayat (1) tersebut, masing-masing satuan pemerintahan daerah tersebut selanjtnya mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut prinsip otonomi seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sudah jelas bahwa pemerintahan daerah harus dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan negara, oleh karena itu menurut Suhino, dalam Titik Triwulan Tutik (2005:179), sistem pemerintahan daerah pada prinsipnya harus menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan pusat, yang pad umumnya sistem tersebut telah ditegaskan dalam UUD sepanjang negara itu mempunyai UUD.

Menurut Bagir Manan dalam Titik Triwulan Tutik (2005:179) adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state eenheidstaat), Otonomi adalah fenomena negara kesatuan.

Pengaturan dalam undang-undang dasar negara mengenai pemerintahan daerah, serta pembagian wilayah dan Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak lain tujuannya adalah untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

2. Karakteristik Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

Sudah menjadi keharusan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena

(4)

merupakan tuntutan konstitusi sebagaimana ditetapkan oleh pendiri negara. Karakteristik desentralisasi berbeda dari satu periode pemerintahan dengan periode lainnya, hal ini dapat kita lihat pada pembahasan mengenai karakteristik desentralisasi pada:

a. Periode Pemerintahan Orde Lama

Menurut Legge dalam Syarif Hidayat (2007:259), kebijakan desentralisasi pada masa pemerintahan orde lama adalah pada persiapan pembentukan pemerintahan daerah adalah berkaitan dengan esensi otonomi daerah, secara esensial otonomi daerah di Indonesia lebih merupakan amalgamasi dari keinginan pemerintah pusat untuk memenuhi tuntutan daerah dan kepentingan untuk menjalankan pemerintahan umum yang stabil, sehingga sejak awal gagasan otonomidaerah selalu diikuti oleh kontrol pemerintah pusat yang relatif ketat atas daerah, dan pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah yang sangat dibatasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa: 1) Pada tingkat tertentu, upaya untuk membangun pemerintah daerah yang tangguh dan mandiri di Indonesia terkendala oleh bentuk negara (negara kesatuan). 2) Kontroversi tuntutan untuk menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah dan kebutuhan untuk memperketat kontrol pemerintahan pusat atas daerah, dengan jalan menempatkan pejabat-pejabat di daerah (pamong praja); mengangkat kepala pemerintahan, ”memandulkan” peran Dewan Perwakilan Rakya Daerah (DPRD); serta melalui kontrol langsung atas implementasi kebijakan tertentu. 3) Sekalipun investasi pemerintah pusat dan daerah) pada periode awal kemerdekaan) cukup dominan, pada batas tertentu, tuntutan dari pemerintah daerah juga telah dipertimbangkan oleh administrasi pusat.

b. Periode Orde Baru

Orde Baru pada tahap awal pemerintahannya adalah kenyataan tentang adanya ketimpangan antardaerah yang sangat besar. Kondisi ini sulit dipungkiri telah

menghadapkan orde baru pada suasana yang sangat dilematis ketika harus mengimple-mentasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan keniscayaan dalam rangka menerapkan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mendukung percepatan ekonomi di daerah, namun pada sisi lain praktik desentralisasi dan otonomi daerah juga sangat berpotensi untuk melahirkan instabilitas pemerintahan atau bahkan dapat memacu munculnya kembali gerakan daerah.

Menurut Kuntjara Jakti dalam Syarif Hidayat (2007:264), menghadapi hal tersebut pemerintah orde baru memilih kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tetap di implementasikan, namun pada saat yang sama, juga dilakukan kontrol yang ketat terhadap militer dan birokrasi, dengan demikian kondisi menjadi terkendali. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dirancang orde baru lebih difungsikan sebagai alat untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa relasi pusat dan daerah pada masa orde baru lebih cenderung bergerak kearah kutub sentralisasi daripada kekutub desentralisasi.

c. Periode Reformasi (Pasca Soeharto)

Langkah fundamental yang dilakukan pemerintah pusa dalam merevisi Undang-Undang Pemerintahan daerah (UU No. 22 dan No 25 Tahun 1999) selanjutnya direvisi menjadi UU No.32 dan No.33 tahun 2004, seolah-olah telah menyodorkan sejumlah janji kepada daerah untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. namun demikian, dibalik ini semua sangat memungkinkan untuk menengarai sejumlah faktor yang secara langsung ataupun secara tidak langsung dapat mengancam pencapaian espektasi seperti maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) ditingkat lokal.

Dilakukannya Reformasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah disebabkan

(5)

Supremasi, Volume III Nomor 2, Oktober 2008 karena berbagai alasan yaitu: 1) Dalam rangka desentralisasi pemerintahan. Indonesia menyadari bahwa demokratisasi pada tingkat nasional tidak dapat bertahan lama tanpa ditopang oleh hal serupa (demokratisasi) ditingkat daerah. 2) Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. melalui reformasi desentralisasi diyakini akan mampu memangkas rigiditasi birokrasi dan meningkatkan otoritas pemerintahan daerah sehingga pelayanan masyarakatpun akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk selanjutnya tercipta suatu tatanan pemerintahan yang responsif, akuntabel dan terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam proses perurusan kebijakan. Keinginan kuat UU. No.22 Tahun 1999 untuk menggeser ”pendulum” sentralisasi kekuasaan kearah desentralisasi antara lain ditunjukkan secara eksplisit oleh fomulasi definisi desentralisasi itu sendiri, yang secara tegas menyebutkan ”Desentralisasi adalah Penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah kepada Pemerintah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi desentralisasi dalam UU No. 22 tahun 1999 semakin dikonkritkan pada pasal 7 ayat (1) yang mengatur tentang konsep dasar relasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara singkat disebutkan bahwa: ”Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”.

Karakter Kebijakan Desentralisasi pada periode ini, sebagai konsekuensi logis praktek desentralisasi dalam negara kesatuan, relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah lebih didasarkan pada prinsip sharing of power (berbagi kekuasaan), bukan separation of power (pemisahan kekuasaan), hak pemerintahan pusat memiliki ”kewenangan lain” tersebut merupakan suatu keniscayaan. Kalaupun harus dipertanyakan,

perdebatan seharusnya lebih difokuskan pada mempersoalkan proses dan mekanisme penetapan ”kewenangan lain” yang dimiliki pemerintah pusat tersebut daripada mempertanyakan kebebasan dari eksistensinya. Secara teoritis, penetapan ”kewenangan lain” yang dimiliki pemerintah pusat itu seharusnya didasarkan atas negosiasi dan kesepakatan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Atau dengan kata lain, tidak diputuskan (ditetapkan) secara sepihak oleh pemeritah pusat.

Karakteristik Desentralisasi yang diungkapkan dari periode pemerintahan orde lama hingga sekarang ini nampak adanya perbedaan kebijakan sesuai dengan strategi pemerintahan yang ditetapkan, menurut penulis bila dilihat dari karakteristik masyarakat dan budaya yang ada di Indonesia begitu beraneka ragam serta ditetapkannya negara Kesatuan, sesungguhnya sangatlah sulit untuk mewujudkan secara penuh, oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan desentralisasi disesuaikan saja dengan pengaturan kewenangan antara pusat dan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perudang-undangan.

3. Bentuk Pembagian Kekuasaan Pemerintahan Dalam Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah

Undang-Undang No.22 tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis pada tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah negara kesatuan Republik Indonesia nerada dipersimpangan jalan. Oleh karena itu, dapat dikatakan melakukan perubahan yang sangat mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan otonomi seluas-luasnya. Hubungan Provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi bersifat hierarkis, seperti dalam undang-undang No. 22 Tahun 1999 gubernur/kepala daerah provinsi tidak mengontrol bupati/ walikota yang dicirikan oleh tidak ada lagi peran gubernur dalam proses pemilihan

(6)

bupati/walikota, akibatnya gubernur kesulitan mengkoordinir bupati/ walikota dalam melaksanakan pemerintahan, apalagi sumber daya yang ada di daerah berada dalam wilayah kewenangan bupati/ walikota. Oleh karena itu, dilakukanlah perubahan UU.No.22 tersebut dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 adalah untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh akibat kelemahan UU.No. 22 tahun 1999.

Diundangkannya UU.No.32 Tahun 2004 banyak perubahan yang sangat penting yang terjadi, diantaranya adalah soal hubungan antara pusat dan daerah provinsi dan kabupaten kota. Mengenai hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dihidupkan kembali sebagaimana mestinya.

Dalam hubungan hirarki antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten kota, berada pada tataran pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 18 ayat (5), (6), dan ayat (7). Pemerintahan daerah dimaksud dapat mengatur dan mngurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Kemudian dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pemerintah daerah sebagaimana disebutkan pada pasal 18 UUD 1945 adalah a) pemerintah daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi, dan b) pemerintah daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Sedangkan yang dimaksud pemerintahan daerah adalah terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2007: 433), Hubungan kewenangan (kekuasaan)

antara pemerintah daerah provinsi dan pemerintah dan pemerintah kabupaten kota saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.

Sebagai konsekuensi adanya peme-rintahan daerah, sebagaimana diatur dalam undng-undang No.32 tahun 2004, Bab.III pasal 10 sampai pasal 20. Inti dari isi pasal tersebut yaitu: 1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. 2) Dalam menja-lankan kewenangannya pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, berdasarkan asas otonomi dan tugas pem-bantuan.

Berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Maka dalam Sistem desentralisasi dikenal ada tiga ajaran yang menentukan pembagian penyelenggaraan pemerintahan negara sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie 2007:424), yaitu:

a. Ajaran Rumah Tangga Materiil

Menurut ajaran rumah tangga materiil adalah untuk mengetahui yang mana urusan yang masuk rumah tangga daerah atau pusat, seseorang harus melihat kepada materi yang ditentukan akan diurus oleh pemerintah pusat atau daerah masing-masing. Setiap pemerintahan apa pusat atau daerah hanya akan mampu menyelenggarakan urusan tertentu dengan baik. Jadi pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan sesuatu urusan karena urusan itu termasuk materi yang hanya dianggap dapat dilakukan oleh daerah. Dalam praktek ajaran Rumah Tangga Materiil dapat diperahankan sepanjang sifat pemerintahan daerah masih sederhana, sedangkan untuk menghadapi sifat pemerintahan yang sudah maju, yang semakin kompleks dan modern, agak sulit bagi kita menilai secara obyektif menilai urusan mana yang sebaiknya diselenggarakan oleh pusat atau oleh daerah.

b. Ajaran Rumah Tangga Formil

Ajaran Rumah Tangga Formil muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan yang

(7)

Supremasi, Volume III Nomor 2, Oktober 2008 ada Ajaran Rumah Tangga Materiil, untuk mencari pegangan yang tegas tepat pada ketentuan-ketentuan yang bersifat formal yang mengatur bahwa suatu hal itu merupakan urusan rumah tangga pemerintah pusat dalam hal lainnya merupakan urusan rumah tangga daerah. Penyerahannya dilakukan secara formil dengan peraturan undang-undang, sehingga hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah dipertegas rinciannya dalam undang-undang, demikian orang dapat melihat bahwa suatu urusan merupakan urusan rumah tangga daerah karena oleh pusat telah dilakukan penyerahannya dengan undang-undang.

c. Ajaran Rumah Tangga Riil

Istilah ajaran Rumah Tangga Riil dapat dijumpai dalam penjelasan undang-undang no.1 tahun 1957 tentang pokok Pemerintahan Daerah. Juga dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966, terdapat istilah yang sama dengan tambahan kata-kata ”seluas-luasnya”. Yang dimaksud dengan urusan rumah tangga riil, yaitu urusan rumah tangga yang didasarkan pada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata. Umpamanya pada suatu hal, karena keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya, suatu urusan yang menjadi wewenang pemerintah daerah dikurangi karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional dinilai perlu diselenggarakan oleh pemerintah pusat.

Pembagian penyelenggaraan pemerin-tahan negara dalam sistem desentralisasi sebagaimana disebutkan diatas oleh penulis merupakan penjabaran secara terperinci mengenai pembagian kekuasaan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bila kita amati jenis ajaran tersebut, maka yang dominan kita gunakan adalah ajaran Rumah Tangga Formil, karena apa yang telah digariskan dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

telah mencukupi aspek-aspek dalam ajaran Rumah Tangga Formal.

PENUTUP

Dari uraian pendahuluan hingga pembahasan terhadap permasalahan yang muncul dalam penulisan makalah ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Karakteristik Kebijakan Desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat bervariasi, sesuai strategi pemerintahan yang sedang dijalankan. 2. Bentuk Pembagian Kekuasaan dalam

hubungan kekuasaan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, adalah berdasarkan pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta.

Dicey A. V. 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Nusamedia Ujungberung, Bandung.

Fukuyama Francis, 2005, Memperkuat Negara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hidayat Syarif, 2007, Too Much Too Soon, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kartawidjaja, R. Pipit, 2006, Pemerintahan

Bukan Negara, Studi Komparansi Pemerintahan RI dengan negara Jerman, Graha Pena Building, Surabaya.

Sarungdajang, S.H. 2002, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Tinjauan Khusus Pemerintahan Daerah Di Indonesia: Perkembangan Kondisi dan Tantangan, Sinar Harapan, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Metode deteksi tgt pd bgmn sinyal optis DICAMPUR dgn osilator lokal (homodyne atau heterodyne) dan sinyal listrik DIDETEKSI (sinkron dan asinkron):.. PENCAMPURAN sinyal informasi

Pelaksanaan (implementing) Hasil proses observasi dan wawancara terhadap subjek penelitian mengenai pelaksanan kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini di PIAUD-RA Ibnu

Kelemahan pemahaman masyarakat di dalam memaknai asas hukum pertanahan yaitu hak atas tanah bersifat mutlak, kuat dan abadi, sehingga pemikiran mereka hak

menggunakan dua skenario, dimana skenario pertama modal yang digunakan adalah modal sendiri dan skenario kedua modal berasal dari pinjaman bank, yaitu sebesar Rp74.750.000,00, dengan

Sebagai pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian PT. KAI mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keselamatan penumpang atau pengguna jasa perkeretaapian. Dalam hal

Isi perjanjian Piagam Sungai Baung dirasakan sangat merugikan Kesultanan Melayu Jambi. Menjelang akhir tahun 1833 M, Belanda berhasil menguasai loji dagang di

Sel parietal sebagai penghasil HCL (asam hidroklorida), menyisipnya sel tersebut hingga ke bagian basal area gastric glands diduga untuk menjangkau setiap sel chief

Untuk mencapai tujuan tersebut manajemen Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo secara terus menerus berupaya dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat,