• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat maritim, yang terdiri dari dua buah kata yang memiliki makna tersendiri. Maritim yang merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat maritim, yang terdiri dari dua buah kata yang memiliki makna tersendiri. Maritim yang merupakan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Masyarakat maritim, yang terdiri dari dua buah kata yang memiliki makna tersendiri. Maritim yang merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga. Sedangkan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut ( Horton et. Al,1991).

Indonesia adalah negara berbentuk kepulauan dengan wilayah yang luas terbentang dari Aceh sampai Papua. Kondisi komunitas masyarakat di masing-masing wilayah sangat beragam dan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut di antaranya letak geografis, kondisi sosial, budaya, ekonomi, sarana dan prasarana wilayah serta pendidikannya. Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang membentang dari barat sampai timur dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km serta luas wilayah laut sekitar 5,9 juta km2. Indonesia juga terletak pada posisi silang yang sangat strategis di antara benua Asia dan Australia dimana di dalamnya terkandung kekayaan sumber daya alam, energi, mineral, hayati dan hewani yang beraneka macam.

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menempatkan sektor transportasi laut sebagai jalur utama penghubung pulau-pulau di Indonesia. Namun, selama ini potensi laut tersebut belum termanfaatkan dengan baik dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa pada umumnya, dan pemasukan devisa negara khususnya. Bahkan, sebagian besar hasil pemanfaatan laut selama ini justru “lari” atau “tercuri” ke luar negeri oleh para nelayan asing yang memiliki perlengkapan modern dan beroperasi hingga perairan Indonesia secara ilegal. Dalam konteks inilah kerjasama dalam pengelolaan potensi sumberdaya tersebut sangat diperlukan, karena yang diinginkan bukan saja peningkatan hasil pemanfaatan laut, tetapi juga pemerataan hasil pemanfaatan yang dinikmati seluas-luasnya oleh masyarakat. Berdasarkan materi pembelajaran kami kali ini, kami akan mengulasnya lebih lanjut.

1.2. Rumusan Masalah

▸ Baca selengkapnya: terdapat kurang lebih 200 ekor penguin kelompok kata yang digarisbawahi memiliki makna

(2)

1. Mengetahui konsep-konsep dari masyarakat maritim Indonesia? 2. Mengetahui karakteristik dari masyarakat maritim?

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Konsep Masyarakat Maritim

Masyarakat, menurut Koentjaraningrat (1980), ialah kesatuan hidup manusia yang beinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat ialah berupa kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethnic group) atau masyarakat negara bangsa (nation state). Interaksi yang kontinyu ialah hubungan pergaulan dan kerja sama antar anggota kelompok atau golongan, hubungan antar warga dari komunitas, hubungan antar warga dalam satu suku bangsa atau antar warga negara bangsa. Adat istiadat dan identitas ialah kebudayaan masyarakat itu sendiri.

Selain itu, menurut Ralph Linton (1956), dalam Sitorus et.al. (1998) mengartikan masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Sementara itu, Soejono Soekanto (1990) merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut: 1. Manusia yang hidup bersama 2. Bercampur dalam waktu yang lama 3. Sadar sebagai suatu kesatuan 4. Sadar sebagai suatu sistem hidup bersama.

Konsep suku bangsa mengacu pada kesatuan hidup manusia yang memiliki dan dicirikan dengan serta dasar akan kesamaan budaya (sistem-sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, pola ekonomi, teknologi, seni, kepercayaan). Contoh dari kesatuan hidup manusia yang disebut suku bangsa seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Minagkabaau, Batak, Aceh, Bali, Dayak, Bugis, Makassar, Ambon, Asmat, dan lain-lain. Di Indonesia, menurut macam bahasa yang diucapkan, terdapat krang lebih 600 buah suku bangsa. Bagian terbesar diantaranya terdapat di Irian, Sulawesi, Maluku, dan NTT.

Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil dan pantai-pantai terpencil hampirtidak dikenal oleh sebagian besar oleh orang di Nusantara ini, hal tersebut telah menyebabkanmereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan kebangsaan, karena itu perlu ada upaya mengenali kebudayaannya. Kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan menghadapi lingkungan tertentu (lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk dapat melangsungkan

(4)

kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu, seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint (cetak biru) ataudesain menyeluruh kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972) Agar mampu melakukan adaptasi diri, maka perlu dikenali ciri-ciri suatu tindakan sosial. Pertama, yang bersifat faktual, yaitu suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada orientasi atau dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua, tindakan sosial yang bersifat tradisional, yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau dipengaruhi olehadanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, tindakan sosial yang bersifat afektual, yaitu tindakan sosial yang berorientasi atau sangat dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas atau tidak pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau tidak bangga, dan lain sebagainya.

Masyarakat dan kebudayaan, karena itu, merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan, meskipun dapat diuraikan untuk dipahami kesatuan fungsionalnya. Jadi, masyarakat bahari/maritim dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa kelompok-kelompok kerja (termasuk satuan-satuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku bangsa, kesatuan administratif, berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan negara atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan nonhayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan baharinya.

1.2. Karakteristik Sosial Masyarakat Maritim Pengertian Masyarakat

Menurut PETER L. BERGER, masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan.

Menurut HAROLD J. LASKI Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.

(5)

Jadi dapat di simpulkan bahwa Masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi dan berhubungan serta memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang kuat untuk mencapai tujuan dalam hidupnya.

Pengertian Pesisir

Menurut (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001), Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan. Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut.

Pertama, masyarakat pantai tersebut menggantungkan mataa pencahariannya dari eksploitasi laut. Artinya bahwa mereka hidup dari sumber daya dan alam ynag masih berlimpah di dekat sekitar pantai. Dalam perkembangannya, hasil sumber daya laut yang antara lain dari hasil ikan, kerang dan sebagaainya. Kedua, ciri khas yang menonjol masyarakat maritim adalah sifat keterbukaan dalam menerima unsur-unsur dari luar. Sebagai contoh berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16 di Indonesia atau Nusantara, adalah melalui daerah-daerah atau kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Gresik, Tuban dan lain-lain. Ketiga, dalam hal religi yang berorientasi kepada kepercayaan adanya dunia roh dan lebih khusus lagi penghormatan kepada roh nenek moyang mereka. Pada masyarakat pantai, terutama masyarakat nelayan atau pelaut, upacara-upacara semacam itu juga ditujukan kepada tokoh-tokoh mistis penjaga laut, seperti Ratu Pantai Selatan dan Pantai Utara, agar mereka diberi keselamatan dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan atau pelaut. Keempat, ciri masyarakat penduduk pantai suka melakukan hubungan interaksional dengan penduduk pantai lainnya maupun

(6)

terhadap masyarakat pedalaman. Kalau masyarakat pantai dengan masyarakat pantai lainnya yaitu dalam bentuk perdagangan dan pelayaran. Sedangkan dengan masyarakat pedalaman yaitu dengan tukar-menukar hasil laut dengan bahan makanan pokok seperti beras.

Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian dari masyarakat yang pluraristik tapi masih memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akultrasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya. Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat/ karakteristik tertentu yang khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, msim, dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.

1.3. Makassar Sebagai Kota Maritim

Munculnya Makassar salah satu etnis maritim dalam percaturan politik ekonomi Nusantara tidak terpisahkan dari usaha kerajaan Gowa membangun diri sebagai kerajaan maritim utama di Indonesia Timur. Usaha-usaha itu antara lain adalah menguasai daerah-daerah pedalamam Bugis penghasil beras dan hasil hutannya. Itulah sebabnya terjadi perang penaklukkan atas kerajaan-kerajaan Bugis di pedalaman sejak awal abad 16. Gowa sebagai simbol kerajaan Gowa yang berdaulat juga menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di Indonesia Timur dengan menempatkan Somba Opu sebagai pelabuhan transito utama bagi perdagangan rempah dari Maluku. Dalam memperkuat posisinya itu Kerajaan Gowa berusaha menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar dan menjadikan Somba Opu sebagai benua Maritim dengan menempatkan Kerajaan Tallo sebagai pusat teknologi perkapalan. Untuk mewujudkan sebagai kerajaan maritim yang kuat maka dibangun angkatan perang yang kuat dengan sistem birokrasi yang modern. Untuk meningkatkan ekonomi maka kerajaan Gowa juga memperdagangkan Budak. Perdagangan budak ini dianggap penting karena dapat memberi penghasilan yang tinggi pada kerajaan tanpa perlu bekrja keras, karena komoditas budak diperoleh sejalan dengan perang penaklukan dari berbagai wilayah di Indonesia Timur.

(7)

Sampai tahun 1669 perdagangan budak masih merupakan mata dagangan utama yang secara formal dikelola oleh kerajaan Gowa. Jaringan perdagangan ini meliputi Kalimantan Utara, Timur, Manggarai, Tanimbar, sula dan Alor. Budak-budak dari daerah ini diperdagangkan ke Banjarmasin, ke Palembang, Jambi, Aceh, Johor, Sukadana, dan Batavia, Perdagangan budak ini dilakukan melalui sistim berter dengan berbagai produk luar. Cindai dan sutra, dua di antara komoditas barter yang utama, Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang-orang Makassar memperoleh juga budak dari Buton, ternate, Kepulauan Sulu dan pulau-pulau sekitarnya. Dalam subuah catatan disebut bahwa, ditahun 1665 sekitar 200 armada perahu dagang Makassar yang dilengkapi persenjataan dan prajurit menjelajah dikepulauan Sulu melakukan “penaklukan” dan penangkapan penduduk untuk dijadikan budak. Dalam expedisi tahun 1665 orang-orang Makassar memperoleh lebih seribu orang “Budak” (Coolhous 1960 – 71.111,526). Karena melimpahnya budak di pasaran, terutama yang berasal dri Indonesia Timur dan Bali, muncul kecurigaan di Batavia dan menyebar issu yang mengarah larangan agar tidak membeli budak dari Makassar dan Bali. Kecurigaan itu berasal dari dugaan bahwa orang-orang yang diperdagangkan sebagai budak, ternyata bukan budak dalam arti yang susungguhnya, tetapi orang-orang yang ditangkap secara paksa dengan kekerasan, ditaklukkan,diikat dan dijual sebagi budak, Sekalipun kerajaan Gowa jatuh 1669, tetapi jaringan perdagangan budak di Indonesia timur masih berlangsung hingga abad ke 19.

Dalam kapastiannya selaku pusat perdagangan Indonesia Timur. Kerajaan Gowa sebenarnya tidak hanya didukung oleh faktor geografisnya sebagai pintu gerbang Indonesia Timur, tetapi juga karena kekuatan armada lautnya yang mampu mengontrol kawasan perdagangan seluas itu. Semua ini dapat terjadi karena adanya tradisi kemaritiman orang-orang Makassar yang sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa sampai saat ini belum ada yang dapat menandingi keahlian tradisional orang-orang Makassar Bugis dalam bidang industri semacam itulah mempercepat terjadinya/adanya pengakuan-pengakuan internasional tentang perang Kerajaan Gowa yang berpusat di Somba Opu sebagai pusat kegiatan perdagangan Indonesia Timur di abad 16-17.

Dalam Naskah lontarak huruf serang berbahasa melayu milik Imam Bojo disebutkan bahwa datangnya migram Melayu di tahun 1548 yang dipimpin oleh “Seorang Kapten Kapal Jawa” yang bernama “Nakhoda Bonang”. Mereka datang

(8)

dan meminta kepada Raja Gowa Tunipallangga (1548 –1566) agar para pedagang-pedagang asal Melayu diizinkan tinggal di Somba Opu. Mereka juga meminta perlindungan dan jaminan keamanan di kawasan itu.

Adapun permintaan Nakhoda Bonang kepada Raja Gowa, yaitu: Jangan memasuki halaman kami tanpa seizin kami, Jangan naik ke rumah tanpa seizin kami, Jangan memperlakukan hukuman “Nigayung” pada anak-anak kami, Jangan memperlakukan hukuman Nirappung bila ada diantara kami yang bersalah.

Keempat poin merupakan hak teritorial dan kekebalan diplomatik atas pedagang-pedagang Melayu yang dikeluarkan oleh kerajaan Gowa abad ke 16 ini dapat menjadi petunjuk betapa majunya budaya kemaritiman ketika itu. Perjanjian ini juga dapat dianggap sebagai satu kesepakatan politik dalam diplomasi perdagangan tertua di Indonesia Timur. Dalam satu dialog ketika perjanjian itu akan disyakan Raja Gowa bertanya kepada Nakhoda Bonang : “Berapa jenis (orang) yang kau maksudkan dalam permintaan itu” Nakhoda Bonang menjawab: semua kami yang bersarung ikat (Ma’lepa baraya) Mereka adalah orang Pahang, orang Petani, orang Campa, orang Minangkabau dan Orang Johor”. Sejak saat itulah orang-orang Melayu menetap dan mempunyai perkampungan maritim Makassar. Banyak di antara mereka kemudian menjadi petinggi di Kerajaan Gowa, sebagai jabatan Syahbandar, Juru tulis, dan penasehat raja didominasi oleh orang Melayu sedangkan orang-orang Makassar lebih banyak menguasai teknologi di bidang kemaritiman, sebutlah misalnya Karaeng Patingalloang.

1.4. Dinamika Struktural Masyarakat Maritim

Di Sulawesi Selatan, tempar kediaman dan asal sul komunitas-komunitas nelayan Bugis, Bajo, dan Makassar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama nelayan yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi(P-Sawi) yang menurut keterangan dari setiap desa telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawi juga dignakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat, dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis, Makassar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia. Struktur inti/elementer dari kelompok organisasi ini ialah P.Laut atau juragan dan Sawi. P.laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan

(9)

dan keterampilan manajerial, sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/prodiksi semata.

Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dibawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras, disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami sebagai modal sosial).

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Asba, Rasyid. 2006. Citra Maritim Makassar. Makassar.

Frizka. 2012. Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administratif Kepulauan. http://dosen.narotama.ac.id/wp-

content/uploads/2012/03/Optimasi-Pengelolaan-dan-Pengembangan-

Budidaya-Ikan-Kerapu-Macan-pada-Kelompok-Sea-Farming-di-Pulau-Panggang-Kabupaten-Administratif-Kepulauan.pdf. Diakses pada tanggal 1 Mei 2015. Makassar.

Prasetyo, Wahyu. 2010. Sosialogi Masyarakat Pesisir.

http://kurcacibegundal.blogspot.com/2010/06/sosiologi-masyarakat-pesisir.html. Diakses pada tanggal 1 Mei 2015. Makassar.

Sastrawidjaja. 2006. Serba-Serbi Masyarakat Maritim. Jakarta. Tim Pengajar WSBM. 2012. Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM). Makassar.

Wahyudin, Yudi. 2008. Sistem Sosial Ekonomi.

http://komitmenku.files.wordpress.com/2008/06/20031205-sistem-sosial-ekonomi-dan-budaya-masyarakat-pesisir.pdf. Diakses pada tanggal 1 Mei

Referensi

Dokumen terkait

melakukan penyiapan bahan dalam rangka koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang

IB: Dengan menjumlahkan semua panjang sisi bangun segitiga. Dari uraian diatas dapat diperoleh penjelasan bahwa cara yang digunakan IB dalam mengerjakan soal tidak perlu

keanekaraaman 1ansa Ind7nesia5 Be1erapa tradisi seni tari seperti > tarian Bali0 tarian =a4a0 tarian Sunda0 tarian #inanka1au0 tarian (alem1an0 tarian #elayu0 taruan A6eh0

Memang secara umum, titik tekan pengertian komunikasi tidak dapat melepaskan diri dari model komunikasi klasik yang pernah diungkapkan Aristoteles bahwa inti dari komunikasi adalah

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden menurut lama penggunaan daun sambiloto , menunjukkan bahwa wanita menopause penderita hipertensi pengguna daun

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.. Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang

STANDARISASI DAN EKSTRAKSI BAHAN ALAM I.1 Ekstraksi dan Aplikasi Pektin Berbahan Dasar Limbah Kulit Pisang untuk Inhibitor Korosi pada Media Larutan Pembersih Pipa Boiler

Hasli kajian telah menunjukkan bahawa faktor terbesar yang mendorong pelajar menggunakan kamus adalah untuk mencari makna perkataan Bahasa Arab yang mereka tidak ketahui. Perkara