• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. maka masyarakat tersebut akan tersesat dan masuk ke dalam kondisi yang antah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. maka masyarakat tersebut akan tersesat dan masuk ke dalam kondisi yang antah"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Tujuan Hukum

Didalam kehidupan sosial masyarakat, terdapat pelbagai petunjuk hidup dalam bersikap, berprilaku dan berhubungan antar individu masyarakat yang disebut dengan norma (kaidah). Tanpa adanya kaidah di dalam unsur masyrakat maka masyarakat tersebut akan tersesat dan masuk ke dalam kondisi yang antah

berantah. ada dua bagian norma dalam masyarakat secara prinsipil yaitu nomo dinamis (norma Susila, norma agama, dan norma kesopanan) dan nomo statis

(norma hukum).

Norma (kaidah) ditujukan pada sikap atau perbuatan lahir manusia.14 Norma

hukum memuat das sein (apa yang seyogyanya), sebab dalam hukum yang terpenting adalah bukan apa yang menjadi sebab atau apa yang terjadi (das sollen), melainkan apa yang seharusnya terjadi.15 Norma hukum memuat perintah-perintah yang sifatnya Imperatif, dan juga berisikan perkenaan atau kebolehan yang sifatnya

fakultatif.16 Norma hukum inilah yang disebut sebagai norma hukum positif, yang

berlaku pada suatu negara dalam ruang dan waktu tertentu atau dinamakan juga dengan Ius Constitutum.

Utrecht, dalam buku Rasa Keadilan sebagai Dasar Segala Hukum mengemukakan definisi hukum sebagai “himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyaraka, dan oleh

14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 12 15 Ibid, hlm. 16

(2)

karena itu harus ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan.17 Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro mengemukakan definisi hukum adalah sebagai “rangkaian peraturan- peraturan mengenai tingkah laku orang sebagai anggota masyarakat”18 Kemudian Soerjo Wignjodipoero lebih konkret menjelaskan dengan unsur-unsurnya hukum adalah “himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.19

Kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum adalah kata yang seringkali digaungkan di ruang-ruang akademis. Yang perlu ditinjau ialah bagaimana sebenarnya arti dan penggunaannya di dalam budaya berhukum masyarakat. Seringkali orang secara umum mendahulukan kemanfaatan diatas kepastian, ataupun kepastian diatas kemanfaatan walaupun pada muaranya ialah keadilan itu sendiri.

Pernah dikatakan oleh Gustav Radbruch seseorang yang mencencetuskan tiga nilai dasar hukum dari Jerman dimana hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Maka, walau kesemuanya merupakan nilai dasar daripada tujuan hukum, akan tetapi ada tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya yang dimiliki oleh masing-masing nilai dasar tersebut, sehingga kesemuannya itu mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut

(Spannungsverhältnis).20

17 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 15 18 Ibid, hlm 16

19 Ibid

(3)

Oleh karena itu, dimana keadilan adalah satu muara daripada hukum itu sendiri, Radbruch menegaskan dimana suatu tata hukum harus diukur tingkat keadilannya. Oleh karenanya, keadilan itu mempunyai sifat normative sekaligus konstitutif bagi hukum. Dalam hal ini, keadilan merupakan landasan/basis daripada moralitas hukum dan juga sebagai tolok ukur sistem hukum positive. Maka dapat disimpulkan, bahwa hukum positif berpangkal pada keadilan,. Sedangkan makna keadilan sebagai sifat konstitutif, adalah dimana keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum. Artinya, tidak boleh ada hukum jika tidak bersandar pada keadilan.21

Kata “keadilan” dapat dijadikan analog term, sehingga kita akan mengenal istilah keadilan prosedural, keadilan legalis, keadilan komutatif, keadilan distributve, keadilan vindikatif, keadilan kreatif, keadilan substantif, dan lain sebagainya. Keadilan prosedural, sebagaimana Nonet dan Selznick mengstilahkannya untuk menyebut salah satu indikator dari tipe hukum otonom, misalnya, ternyata setelah dicermati bermuara pada kepastian hukum demi tegaknya

the rule of law. Jadi, pada konteks ini keadilan dan kepastian hukum tidak

berseberangan, melainkan justru bersandingan.22

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality before

21Kasus Bethany, Perkara Menarik Perhatian Publik Kok Dihentikan.,

http://www.surabayapagi.com/index.php

22 Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan,Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 3.

(4)

the law). Penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan dapat berarti harus

mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam alasan dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala ketentuan yang hidup dalam masyarakat

berupa kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus perkara yang dihadapi.23 Keadilan,

dalam literatur sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan untuk mencapai dan didasari pada keadilan adalah sebuah keadilan, begitupun sebaliknya

Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang ditujukan untuk kebahagiaan masyarakat adalah adil, walaupun kita dapat merepresntasikan keadilah sebagai sama rata sama rasa ataupun keadilan sifatnya proporsionalsks. Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan.

Ukuran keadilan sebagaimana di singgung di atas sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah cita, dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna yang masuk dalam tataran filosofis

(5)

yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling dalam, bahkan Kelsen menekankan pada filsafat hukum Plato, bahwa keadilan didasarkan pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik. Pengetahuan akan hal yang baik secara fundamental merupakan persoalan di luar dunia. Hal tersebut dapat diperoleh dengan kebijaksanaan

Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia. Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu sendiri, di samping kepastian hukum dan kemanfaatan.

Mensikapi adanya beberapa permasalahan (baca: kasus) hukum yang terjadi di negara Indonesia yang kemudian dituangkan dalam beberapa putusan hakim sehingga membawa pada satu perenungan bahwa terminologi keadilan yang notabene ada dalam kajian filsafat dapatkah dijadikan sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya.24

24 Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Jurnal Dinamika Hukum Vol.

(6)

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.25

Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat.26

Konsep kepastian hukum mencakup sejumlah aspek yang saling mengkait. Salah satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang diberikan pada individu terhadap kesewenang-wenangan individu lainnya, hakim, dan administrasi

25 Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing. 2014,

hlm 74. 26

Jaka Mulyata S.H., M.H., keadilan, kepastian, dan akibat hukum putusan mahkamah konstitusi republik indonesia Nomor : 100/puu-x/2012 tentang judicial review pasal 96 undang-undang nomor : 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UNS Surakarta, 2015, http://www.digilib.uns.ac.id, tanggal akses 30 November 2019

(7)

(pemerintah). Adalah kepercayaan akan kepastian hukum yang seharusnya dapat dikaitkan individu berkenaan dengan apa yang dapat diharapkan individu akan dilakukan penguasa, termasuk juga kepercayaan akan konsistensi putusan-putusan hakim atau administrasi (pemerintah).27

Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku bagi semua orang. Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam kesewenangan hakim28

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang - Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

27 I.H. Hijmans, dalam Het recht der werkelijkheid, dalam Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hal 208.

28 A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum,

(8)

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan kepastian hukum.29

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahu apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.30

Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiens.

Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen sebagaimana dikutip

29 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58 30 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999, hlm. 23

(9)

Mohamad Aunurrohim mengatakan bahwa, “...hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.”31

Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah, bagaimana hukum itu seharusnya, melainkan apa hukumnya.32

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.33 Menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh Mohamad Aunurrohim mengatakan, “hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak- banyaknya orang.”34

Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakalah hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarahkan pada kemanfaatan bagi kepentingan pihak- pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya, hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya nanti,

31 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia” dikutip

dari http://www.academia.edu.com, diakses 30 November 2019, hlm. 6 dan 7.

32 Ibid., hlm. 7.

33 Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,,Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm.

160.

(10)

apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak.35

B. Tinjauan Tentang Mahkamah Agung

B.1. Teori Tentang Kedudukan Mahkamah Agung

Dalam buku “L’esprit des lois” (1748) karangan Montesquieu, disebutkan bahwa kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang, yaitu : (i) Legislatif sebagai pembuat hukum Undang-Undang, (ii) Eksekutif sebagai pelaksana hukum Undang- Undang, (iii) Yudikatif sebagai yang menghakimi atau yang memiliki kekuasaan untuk menghakimi.36 Pemikiran Montesquieu sejalan dengan aliran John Locke yang telah menerangkan pembagian 3 (tiga) kekuasaan dalam suatu negara, namun beliau hanya menerangkan mengenai fungsinya. Seorang sarjana belanda bernama Van Vollenhoven membagi pemisahan kekuasaan dalam suatu negara menjadi 4 (empat) fungsi, antara lain ; (i) Regeling sebagai pembuat aturan, (ii) bestuur sebagai peranan eksekutif, (iii) rechtspraak sebagai Lembaga peradilan, dan, (iv) politie sebagai penjaga ketertiban.37

Kekuasaan kehakiman, yang pada beberapa teori menyebutkannya sebagai peradilan, yudikatif adalah merupakan pilar ketiga daripada system kekuasaan negara modern, di dalam bahasa belanda disebut dengan judicatief, di dalam bahasa inggris dikenal dengan sebutan judiciary, judicial, ataupun judicature.38 Sebuah Lembaga yudikatif dalam segala jenis madzhab system hukum yang dua baik

35 Sudikno Mertokususmo, Op.Cit.., hlm. 160.

36 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2009, hlm. 283

37 Ibid, hlm. 284 38 Ibid, hlm. 310

(11)

common law dan civil law, letaknya ialah tersendiri dan tidak bersinggungan dengan

Lembaga legislative maupun eksekutif. Hal ini didasari hak kekuasaan menghakiminya yang harus independent dan imparsial (tidak memihak).

Pengadilan di Indonesia menganut rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan pada ketentuan hukum Undang-Undang dan tertulis atau biasa kita sebut dengan hukum positif (geschreven wetgeving). D Indonesia sendiri ada empat lingkungan peradilan yaitu : Peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer yang berpuncak pada Mahkamah Agung.39

Mahkamah Agung adalah organ/Lembaga peradilan yang tertinggi di Indonesia, dan wilayah hukumnya pun meliputi seluruh wilayah yang ada di Republik Indonesia. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara.40 Susunan struktur organisasi yang ada di Mahkamah Agung meliputi pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.41 Hakimnya disebut hakim agung, dan yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman didalamnya adalah Ketua, wakil ketua, para ketua muda, serta hakim-hakim anggota Mahkamah Agung.42

B.2. Tentang Kewenangan Mahkamah Agung

Di dalam rechtstaat diperlukan sebuah Mahkamah Agung (Supreme Court) sebagai penegak hukum dan ketertiban yang telah digariskan oleh rakyat dalam konstitusinya. Mahkamah agung merupakan peradilan yang berwenang mengadili

39 Ibid, hlm. 313-314

40 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 41 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 42 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(12)

perkara di tingkat kasasi dan berwenang mengawasi badan-badan peradilan dibawahnya.43 Mahkamah agung juga berwenang mengadili perkara yang sifatnya

pengujian materiil dan formiil peraturan Perundang-Undangan yang berada di bawah Undang-Undang.44

Dasar hukum dimana Mahkamah Agung berwenang sebagai pengadilan

judex juris terletak pada pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman beserta alasan-alasan mengapa Mahkamah Agung diberi tugas untuk memeriksa penerapan Hukum Pengadilan dibawahnya. Mahkamah Agung berwenang mengadili segala jenis perkara atau sengketa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir tentang wewenang mengadili :

a. Antara pengadilan di lingkungan satu dan pengadilan di lingkungan peradilan lain

b. Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama

c. Antara dua pengadilan tingkat banding yang berada di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan.45 Mahkamah Agung pada umumnya memutus permohonan kasasi terhadap putusan dari pengadilan yang tingkatnya berada dibawahnya, baik pengadilan tingkat banding dari Pengadilan Tinggi maupun tingkat pertama di Pengadilan Negeri.46

Pengadilan pada tingkat kasasi adalah dimana Mahkamah Agung akan

43 Moh. Kusnardi, S.H., Harmaily Ibrahim, S.H., Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat studi Hukum

Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988, hlm. 227

44 Ibid, hlm. 227

45 Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H., Hukum Acara Perdata dan kekuasaan Kehakiman, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm. 27-28

(13)

membatalkan putusan-putusan dari pengadilan sebelumnya baik banding maupun tingkat pertama. Dua tingkat pengadilan dibawawhnya bersifat judex factie yang mana sedangkan Mahkamah Agung bersifat judex juris.

Judex factie dan Judex Juris di dalam Hukum Indonesia dikenal sebagai

“dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan”.47

Judex factie adalah dimana hakim di tingkatan pengadilan itu mengambil keputusan dengan menggali fakta-fakta dan bukti mana yang benar, serta menentukan nilai hukum dari fakta-fakta yang diajukan kepadanya. Sedangkan pengadilan judex juris mengambil keputusan dan menentukan hukum dengan cara memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh judex factie.48

B.3. Tentang Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali

Upaya hukum ialah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas atas adanya putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, tidaklah sesuai dengan apa yang diinginkan, karena hakim itu juga seorang manusia yang bisa secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan salah mengambil keputusan atau memihak kepada salah satu pihak.

Upaya Hukum untuk menyelsaikan sengketa, secara garis besar terdapat dua model penyelesaian sengketa keperdataan, yaitu secara litigasi dan non-litigasi.

47 Yahya Harahap, Op.Cit , Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 418 48 Ibid

(14)

kedua macam model penyelesaian sengketa ini sebagai antisipasi ketika sengekta tidak dapat dislesaikan hanya dengan satu model penyelesaian saja.

Upaya Hukum litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga. Sedangkan Jalur litigasi adalah penyelesaian masalah hukum melalui jalur pengadilan.

Kasasi adalah upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan Pengadilan Tinggi, karena pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan yang diberikan padanya. Permohonan kasasi tersebut dapat diajukan kepada Mahkamah Agung. Diajukannya permohonan kasasi, maka putusan Pengadilan Tinggi pada tingkat banding tersebut belum dapat dilaksanakan karena masih belum memperoleh kekuatan hukum tetap.49

Asal muasal kata kasasi diserap dari kata “Casser” yang berarti membatalkan atau memecahkan, sehingga bilamana permohonan kasasi ke Mahkamah Agung tersebut diterima, maka bila putusan itu telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung , putusan pengadilan yang berada di tingkat bawahnya akan dibatalkan, karena dianggap telah salah dalam menerapkan hukum50, dan pemeriksaaan kasasi di dalam Mahkamah Agung tidak lagi akan memeriksa alat-

49 Putra Halomoan Hasibuan, Tinjauan Yuridis tentang Upaya-upaya Hukum, Yurispudentia

Volume I Nomor 1 Juni 2015, Jurnal IAIN Padangsidimpuan, hlm. 45

(15)

alat bukti maupun keterangan serta fakta-fakta yang dihadirkan di muka hakim, namun hanya memeriksapenerapan hukumnya.

Dalam sejarah perjalanan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949) tidak dapat ditemukan mengenai pengaturan daripada kasasi. Namun pada 1950 tepatnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) baru terdapat ketentuan mengenai kasasi51, yang mana putusan kasasi atas putusan-putusan pengadilan lain daripada Mahkamah Agung dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung itu sendiri.52 Walaupun peraturan lain yang mengatur sedemikian rupa tentang kasasi terhadap UUDS 1950 itu belum ada.

Kemudian pada pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman baru dijelaskan kembali mengenai pengaturan Kasasi dan mengilhami lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terkhusus pada pengaturan dimana Mahkamah Agung melaksanakan dan berwenang atas Kasasi. Dan dapat disimpulkan bahwa : (i) Kasasi harus diatur Undang-Undang, (ii) Perintah pengaturan kasasi ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, (iii) Undang-Undang tersebut mengilhami lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, (iv) dengan berlakunya kedua Undang-Undang diatasmaka menghapuskan fungsi Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965, (v) kasasi pada masa ini kemudian diatur secara kuat dan eksplisit pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang

51 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 203

(16)

Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, serta Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.53

Secara konsepsi, Mahkamah Agung bukan disebut sebagai pengadilan yang tingkatnya tertinggi, namun yang tertinggi adalah putusan yang dikasasi. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan suatu contoh dimana dalam suatu putusan, seorang hakim menyatakan pada satu keadaan tertentu telah terbukti kebenarannya dengan melihat dan mempertimbangkan alat bukti berupa keterangan seorang saksi tanpa melihat alat bukti lain. Mahkamah Agung akan menilai bahwa putusan itu telah tidak menerapkan hukum dengan benar, dimana seorang saksi bukan saksi (Ullus testis

nullus testis). Namun jika yang alat bukti yang dipertimbangkan adalah keterangan

dua hingga tiga orang saksi maka Mahkamah Agung tidak menyentuh putusan tersebut walaupun di satu sisi Mahkamah meyakini salah satu keterangan saksi tersebut tidak dapat dipercaya, hal ini didasari oleh hukum yang dipakai oleh hakim sebelumnya telah benar untuk diterapkan.54

Adapun beberapa alasan diajukannya upaya hukum kasasi sebagaimana ketentuan pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 antara lain :

1) Pengadilan dibawahnya tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya, contoh : Pengadilan TUN memeriksa perkara perceraian. Dan Pengadilan

53 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 205 54 Ibid,hlm. 207

(17)

Negeri Jakarta Pusat mengadili perkara pencurian yang Locus delicti- nya berada di Malang.

2) Salah menerapkan atau menggunakan hukum yang berlaku, contoh : suatu pengadilan atas perkara pidana memakai alat bukti surat sebagai alat bukti utama dengan berdasarkan pasal 164 HIR. Dan suatu pengadilan perdata memakai system pembuktian negative.

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam batalnya putusan itu jika tidak dipenuhi, contoh : putusan tidak memuat irah-irah “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”55

Para pihak ketika mendapatkan Salinan putusan Banding dari Pengadilan Tinggi, kemudian merasa tidak puas atau menilai Pengadilan tidak tepat dalam menerapkan hukum, maka para pihak boleh mengajukan permohonan upaya hukum kasasi kepada Pengadilan tingkat pertama dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon sebagaimana ketentuan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dalam mengajukan upaya hukum kasasi, diperlukan kepatuhan untuk melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia, antara lain :

(18)

1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon secara tertulis ataupun lisan kepada kepaniteraan di Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan tata Usaha Negara, Pengadilan Militer/Militer Tinggi) serta melunasi biaya perkara yang diharuskan. Permohonan kasasi dapat diajukan oleh pihak yang berperkara sendiri atau orang lain yang mendapat kuasa khusus untuk itu, yang kemudian diajukan secara tertulis maupun secara lisan melalui panitera Pengadilan Negeri yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama, dengan tenggang waktu 14 hari sesudah putusan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon. Apabila di dalam tenggang waktu 14 hari telah lewat tanpa ada permohonan kasasi dari pihak yang berperkara, maka pihak yang berperkara tersebut dianggap telah menerima putusan yang bersangkutan.

2) Pengadilan tersebut akan meregister permohonan kasasi tersebut di buku daftar, dan membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas-berkas yang diajukan oleh pemohon (pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Permohonan kasasi dicatat oleh panitera Pengadilan Negeri dalam buku daftar setelah pemohon kasasi membayar biaya berperkara. Dalam tenggang waktu 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan, panitera Pengadilan Negeri harus memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan kasasi itu kepada pihak lawan.

(19)

3) Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi deregister, Pengadilan tersebut harus memberitahukan secara tertulis pada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

4) Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi deregister, maka pemohon kasasi tersebut wajib membuat memory kasasi yang berisikan alasan-alasan permohonan kasasi. (pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Dalam pemeriksaan tingkat kasasi pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi dalam waktu tenggang 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar. Penyampaian memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi merupakan syarat mutlak untuk dapat diterimanya permohonan kasasi.

5) Kepaniteraan pengadilan tersebut wajib menyerahkan Salinan memory kasasi dari pemohon tadi kepada pihak lawan paling lambat 30 hari terhitung sejak memory kasasi didaftarkan oleh pemohon kasasi tersebut (pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

6) Pihak lawan berhak mengajukan kontra memory kasasi sebagai perlawanan atas memory kasasi pemohon kepada Pengadilan tersebut dalam tenggang waktu 14 hari sejak pihak lawan menerima Salinan

(20)

memory kasasi (pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

7) Setelah menerima memory kasasi dan kontra memory kasasi (jika ada) dari kedua pihak, maka berkas—berkas dari pemohon tersebut akan dikirimkan dari Pengadilan tingkat pertama kepada Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari (pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat kasasi adalah putusan yang secara langsung akan mengikat kedua belah pihak (incracht van gewijsde), artinya jika dimungkinkan untuk diajukan permohonan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK), putusan kasasi tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu.

Upaya hukum Peninjauan Kembali sudah menjadi hal umum yang diketahui di lingkungan praktisi hukum sebagai upaya hukum luar biasa. peninjauan kembali disebut juga sebagai request civil yang dimaksudkan untuk melihat kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal atau alat bukti baru (novum) yang dahulu tidak bisa dilihat oleh hakim, yang mana hal-hal tersebut disinyalir akan menyebabkan isi putusan berubah atau mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan dan menentukan hukum.56

Peninjauan kembali diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila terdapat hal-hal yang diatur oleh Undang- Undang terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht

(21)

van gewijsde) dapat dimohonkan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Dan alasan-alasannya antara lain:

1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada

yang dituntut;

4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata57

Dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Diajukan oleh pihak yang berperkara

2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) 3. Membuat surat permohonan disertai dengan alasan-alasannya, atau disebut

memory Peninjauan Kembali

4. Membayar biaya panjar yang diharuskan

(22)

5. Menghadap ke kepaniteraan pengadilan tingkat pertama58

C. Tinjauan Tentang Surat Pemberitahuan C.1.Tentang Pengertian Surat Pemberitahuan

Pemberitahuan menurut bahasa berasal dari kata “Tahu” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa berarti “mengerti sesudah melihat”, “mengenal”, atau “mengindahkan”59. Menurut istilah dan memandang tujuan dari

pada pemberitahuan itu sendiri adalah “segala perbuatan/hal yang bertujuan membuat tahu/mengerti kepada seseorang”. Artinya adalah setiap pemberitahuan memiliki tujuan utama yaitu untuk membuat agar sasaran atau seseorang yang dimaksud atau kita inginkan untuk tahu dapat mengetahui apa yang ingin kita sampaikan. Dan pemberitahuan dalam bahasa belanda disebut dengan convocatie atau bijeenroeping sedang dalam bahasa perancis disebut dengan exploot.60

Secara yuridis, pemberitahuan dalam istilah hukum dapat diartikan sebagai Surat panggilan (relaas) yang dikeluarkan oleh Pengadilan. merupakan penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan61.

Relaas merupakan instrumen vital dalam berkas perkara. Ia merupakanakta autentik62 yang menjadi kunci bagi hakim untuk dapat meneruskan atau tidak

58 Ibid, hlm. 51

59 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tahu, tgl. Akses 13 Januari 2020

60 Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta, Prenada Media, 2005, hlm. 103 61 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 213.

62 Karena dibuat oleh pejabat berwenang berdasarkan aturan perundangan (Pasal 103 Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989), lihat juga Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet, Ke-6 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group) hlm. 136.

(23)

meneruskan sebuah pemeriksaan perkara. Tanpanya, mustahil sebuah perkara dapat diperiksa, diadili, dan diputuskan.

Dalam implementasinya, pemberitahuan secara normatif dilakukan oleh Juru Sita Pengadilan, hal ini tertuang dalam pasal 390 ayat (1) HIR “Tiap-tiap surat

jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang

yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya, dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum”. Atau secara

sederhana, pemberitahuan atau surat panggilan itu disebut juga sebagai tiap-tiap

surat jurusita.

C.2. Tentang Jenis-Jenis Surat Pemberitahuan

Pemberitahuan memiliki cakupan yang luas, meliputi63: 1. Panggilan sidang pertama pada para pihak;

2. Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak yang pada sidang sebelumnya tidak hadir;

3. Panggilan terhadap saksi;

4. Pemberitahuan (aanzegging) putusan PT/PTA/MA, pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding, pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding, serta pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi;

(24)

Dan bentuk dari Pemberitahuan/surat panggilan dapat juga dibuat dengan setidaknya 3 (tiga) bentuk, yakni : secara lisan, secara tertulis, ataupun melalui media massa/elektronik.

Referensi

Dokumen terkait

tempat lain yang dapat mengapung dan tidak menjadikan bertumpuk apabila diisi oleh Anemon. Cara pengambilannya ialah dengan cara memahat sekeliling tempat menempel- nya

Berdasarkan pengamatan di lapangan selama peneliti menjalankan program praktik pengalaman lapangan (PPL) di SMA Negeri 19 Palembang, permainan sepak bola

Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, pada tahun 2016 Balai Besar Kerajinan dan Batik melaksanakan kegiatan yang terdiri dari empat (5) Sasaran Strategis

Membaca Memori Kasasi tanggal 28 November 2017 dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut sebagai Pemohon Kasasi I, yang diterima di Kepaniteraan

Automatic Meter Reading (AMR) merupakan suatu teknologi yang digunakan pada PLN untuk mengurangi kendala pada sistem outsourching dimana dapat melakukan metering

” Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan

Dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan merupakan kegiatan memperbandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka dengan angka

Dalam bidang ahli hukum yang pada umumnya berkaitan dengan proses alih debitur untuk kedepannya dapat memperoleh jawaban yang jelas mengenai, pengaturan tentang