• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, sebagai seorang yang amat akrab dengannya, sebagai seorang yang bersatu erat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sendiri, sebagai seorang yang amat akrab dengannya, sebagai seorang yang bersatu erat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, dua pribadi yang memilik i kesepadanan satu terhadap yang lain. Antara pria dan wanita ada dorongan untuk saling membantu, saling melengkapi untuk hidup dalam persekutuan cinta. Wujud dari persekutuan ini adalah perkawinan dan berlangsung seumur hidup1. Kitab Kejadian menyatakan bahwa pertemuan seorang pria dan seorang wanita dalam perkawinan terjadi karena dorongan Allah sendiri. Karena itu tidak mengherankan bahwa pria mengakui wanita itu sebagai istrinya sendiri, sebagai seorang yang amat akrab dengannya, sebagai seorang yang bersatu erat dengannya: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2: 23a). Seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sebagai satu manusia baru. Dengan persatuan yang erat itu, tidaklah mengherankan bahwa keduanya telanjang namun tidak merasa malu sebab mereka saling mengenal satu dengan yang lain.2

Kesepadanan antara pria dan wanita yang diwujudkan dalam ikatan perkawinan, menunjukkan satu model penghayatan cinta antara dua manusia yang sepadan, yang memilik i hakikat yang sama hanya dengan “tampilan” yang berbeda, namun perbedaan itu menumbuhkan daya tarik untuk saling memenuhi, saling bersatu untuk mencapai puncak kebahagiaan.3 Cinta mensyaratkan kebebasan dan tanggungjawab. Cinta bukan pertama-tama adalah dorongan nafsu, rasa simpati atau asmara, melainkan suatu keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya. Perkawinan pertama-tama merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam

1 Dr. Dori Wuwur Henderikus, SVD., Patnership: Tonggak Kebahagiaan Suami-Istri, (Maumere , LPBAJ, 2001), hal.1

2 Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, ( Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal. 13-14

(2)

kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh hidup.4 Gaudium Et Spes membenarkan hal ini bahwa persekutuan hidup suami-istri dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Hal ini berarti segala tindakan manusiawi yakni saling menyerahkan diri dan menerima antara suami-istri mendapat keteguhannya berdasarkan ketetapan ilahi5.

Perkawinan terjadi karena adanya kesepakatan yang terjadi di antara seorang pria dan seorang wanita melalui janji untuk saling menyerahkan dan menerima satu terhadap yang lain seumur hidup.6 Hal ini berarti hanya melalui kesepakatan, perkawinan menjadi valid. Kesepakatan untuk membentuk persekutuan hidup dalam perkawinan berarti secara psikologis seorang pria dan seorang wanita sudah mampu secara emosional, afektif, pikiran untuk membentuk persatuan dalam ikatan yang tak dapat ditarik kembali. Gereja memandang kesepakatan sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian perkawinan. Kalau kesepakatan tidak ada, perkawinan tidak jadi. Kesepakatan harus merupakan kegiatan kehendak dari setiap pihak yang mengadakan perjanjian.7

Setiap orang yang ingin memasuki suatu ikatan perkawinan mendambakan hidup bahagia dan sejahtera bukan untuk menderita. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 bahwa salah satu tujuan dari perkawinan adalah hidup bahagia.8 Tujuan ini hanya tercapai apabila suami-istri sungguh-sungguh saling memberi diri secara utuh dalam kesetiaan satu dengan yang lain. Dengan kata lain mesti ada pengorbanan. Melalui pengorbanan satu terhadap yang lain dalam kehidupan sehari-hari dapat menumbuhkan kesejateraan bersama karena tanpa

4 Drs. T.Gilarso SJ.,(edit), Membangun Keluarga Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 9 5 Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dunia Dewasa Ini, ”Gaudium Et Spes” (4 Desember 1963) dalam Robert Hardawiryana (penerj.) (Jakarta: Obor, 1993), Artikel.48. Selanjutnya disingkat

GS, diikuti Artikelnya.

6 Ioannis Pauli PP. II (Promulgatus ), Codex Iuris Canonici M. DCCCC. L. XXX.III, dalam R.D.R. Rubiyatmoko. (Edit.) Kitab Hukum Kanonik 1983, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2006), Kanon 1057, §2. Selanjutnya disingkat KHK 1983, diikuti nomor kanonnya.

7 Ioannis Pauli PP.II, Catechismus Catholicae Ecclesiae, Katekismus Gereja Katolik, dalam P. Herman Embuiru, SVD (penerj.) ( Ende: Nusa Indah, 2007) No. 1626. Selanjutnya disingkat KGK, diikuti Nomornya.,bdk,

KHK 1983, Kan. 1057 §2

(3)

pengorbanan, maka tidak ada kebangkitan.9 Namun perlu disadari bahwa untuk mencapai kehidupan yang sejahtera itu tidaklah mudah. Banyak persoalan dan tantangan hidup selalu datang silih berganti. Ada banyak pasangan yang berusaha menyelesaikan persoalan-persoala n itu dengan mengedepankan cinta dan kesetiaan, namun di sisi lain tidak sedikit juga pasangan yang tidak mampu mewujudkannya. Pandangan antropologi menyatakan bahwa manusia mengalami perpecahan internal di dalam diri. Manusia dihambat dalam mencapai panggilannya dengan bantuan yang berasal dari hasratnya sendiri. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan situasi ini: ”setiap orang mengalami dosa sekelilingnya dan di dalam dirinya . ”10 Pengalaman ini dirasakan dalam relasi antara pria dan wanita. Persatuan mereka selalu terancam oleh perpecahan, ketidaksetiaan, kecemburuan yang meningkat menjadi kebencian dan perpisahan.11

Dalam kaitannya dengan masalah relasi suami-istri, Al. Bagus Irawan dalam penelitiannya terhadap keluarga-keluarga yang mengalami masalah relasi suami-ist r i mengemukakan bahwa penyebab dari masalah relasi suami-istri antara lain berasal dari dalam diri suami-istri sendiri dan juga berasal dari luar diri suami-istri. Pertama, masalah yang berasal dari dalam diri suami- istri mencakup: ketidakdewasaan pribadi dari salah satu atau kedua-duanya. Ketidakdewasaan pribadi menunjukkan bahwa suami atau istri belum mampu membentuk pandangan yang cukup mengenai arti perkawinan. Selain itu juga disebabkan karena usia menikah muda. Ketidakcocokkan watak, perbedaan pandangan yang sulit disatukan umumnya disebabkan karena baik suami maupun istri tidak pernah memaksima lka n dialog yang terbuka. Lunturnya rasa tertarik atau cinta satu sama lain.12 Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio menegaskan bahwa lunturnya rasa tertarik

9 Dr. Dominikus G.B. Kusumawanto, Pr, Analisis Yuridis “Bonum Coniugum” Dalam Perkawinan Katolik, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hal.7

10 KGK., No. 408

11 Dr. Dominikus G.B. Kusumawanto, Pr, Op.Cit., hal. 245

12 Al. Bagus Irawan, MSF, Menyikapi Masalah-Masalah Keluarga, (Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hal.75

(4)

atau cinta kasih suami-istri disebabkan oleh egoisme dan apa yang disebut dengan “cinta bebas”. Egoisme menurut Pimpinan Gereja Katolik ini adalah bahaya-bahaya yang membahayakan peradaban kasih, sebab egoisme mengandaikan suatu penggunaan kebebasan di mana ia sendirilah menetapkan kebenaran yang dianggap berguna dan menyenangka n. Selanjutnya, yang bertentangan dengan peradaban kasih adalah gejala yang disebut “cinta bebas”. Cinta bebas ini sangat berbahaya karena mengikuti perasaan-perasaan seseorang, tetapi sebenarnya merusak cinta.13

Kedua, masalah yang berasal dari luar suami- istri yakni; masalah kehadiran mertua. Masalah ini disebabkan karena mertua masih terikat secara emosional dengan anaknya dan juga masih memiliki hak atas anaknya yang sudah menikah. Anak dianggap sebagai bagian dari dirinya. Oleh karena itu mertua merasa hak- hak atas anaknya direbut oleh menantu sehingga terjadi perebutan “cinta kasih” antara mertua dan menantu. Selain itu juga kebanyakan suami-istri tidak suka hidup serumah dengan orang tua karena merasa tidak enak, tidak bebas, sungkan, serba salah. Keberadaan mertua seolah menghadirkan perasaan terbelenggu sekaligus membungkam kebebasan berumah tangga.14 Masalah yang berikut berkaitan dengan ekonomi, mental, kehidupan seksual. Perbedaan baik dalam segi materi, mental maupun seksual telah membentuk dinding pemisah antara suami-istri. Sering pula ketidaksesuaian ini memberi kesempatan bagi terbentuknya hubungan segitiga yakni suami mempunyai wanita idaman lain (WIL) ataupun sebaliknya istri mempunyai pria idaman lain (PIL).15

Dengan melihat semua masalah yang dihadapi oleh suami-istri kita bisa melihat bahwa dalam perkawinan tidak ada yang namanya bebas dari masalah atau krisis hidup. Suami-ist r i

13 Paus Yohanes Paulus II, Tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern, “Familiaris Consortio”, dalam A, Widyamartaya, (penerj.), ( Yogyakarta: Kanisius, 2011), Artikel 14. Selanjutnya disingkat FC diikut i nomor artikelnya. bdk, Al. Bagus Irawan, MSF, Op. Cit., hal. 86

14 Deni Mahardika, Problem solving of Masalah Keluarga, (Yogyakarta : Saufa, 2015), hal. 166 15 Al. Bagus Irawan, MSF, Op. Cit., hal.73

(5)

yang bahagia bukan suami-istri tanpa masalah. Perselisihan pendapat, argumen, konflik, krisis keuangan, ketidaksetiaan, kurang berhasil, kegagalan dan penderitaan adalah bagian hidup perkawinan. Hanya hubungan pribadi yang dibuat-buat yang dapat mulus tanpa ketegangan.16

Jika suami-istri mengatasi masalah-masalah ini melalui pengorbanan dan pelepasan diri, mereka akan mampu memperdalam komitmen mereka satu sama lain. Mereka akan dapat saling mengenal dengan memperdalam relasi mereka sebagai pribadi yang mampu mewujudkan rasa tanggungjawab bersama. Jadi menikah tidak berarti otomatis mencapai kebahagiaan perkawinan karena “bonum coniugum” tidak selalu ada dalam genggaman suami-istri. Dengan menerima tantangan hidup suami-istri mengembangkan “ bonum coniugum” dalam relasi mereka.17

Mengingat relasi interpersonal suami-istri sebagai cara untuk membangun kehidupan yang harmonis, sejahtera dan bahagia maka penulis akan mendalami tema ini karena mengingat keluarga-keluarga kristen saat ini sedang dalam krisis hidup dalam membina rumah tangga dengan menjadikan Kitab Hukum Kanonik 1983, khususnya dalam Kanon 1055 §1 sebagai titik tolak. Penulis akan berupaya mendalami peran sentral relasi interpersonal suami-ist r i dalam mencapai kesejahteraan hidup bersama dibawah rangkuman judul: MEMBANGUN BONUM CONIUGUM DENGAN MEMBINA RELASI INTERPERSONAL DALAM

HIDUP BERKELUARGA MENURUT KANON 1055 §1 KITAB HUKUM KANONIK 1983

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, maka penulis dihantar untuk merumuska n masalah- masalah yang akan dikaji, sebagai berikut:

1.2.1 Apa itu Perkawinan Katolik?

16 Dr. Dominikus G.B. Kusumawanto, Pr, Op.Cit., hal. 246 17 Ibid., hal.247

(6)

1.2.2 Apa itu Bonum Coniugum dalam Perkawinan Katolik? 1.2.3 Apa itu Relasi Interpersonal?

1.2.4 Bagaimana cara membina relasi interpersonal suami-istri untuk mencapai bonum

coniugum dalam terang kanon 1055 §1 Kitab Hukum Kanonik 1983? 1.3 Tujuan Penulisan

Menyadari bahwa keluarga kristiani sekarang ini sering mengalami krisis hidup bersama dalam membina keharmonisan maka, penulis akan memaparkan bahwa relasi interpersonal adalah dasar untuk membangun hidup bahagia suami istri.

1.4 Kegunaan Penulisan 1.4.1 Bagi Umat Kristiani

Agar umat kristiani sungguh-sungguh menyadari tujuan dari perkawinan sebenarnya. Bahwa relasi kebersamaan (suami-istri, anak-anak, orang tua-anak) menjadi dasar untuk membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia.

1.4.2 Bagi Fakultas Filsafat

Sebagai sumbangan bagi UNWIRA-Kupang pada umumnya dan Fakultas Filsafat agar memperluas wawasannya tentang pentingnya membina relasi yang sehat dengan lingkunga n sekitar agar bisa terciptanya kesejahteraan bersama.

1.4.3 Bagi Penulis

Agar penulis mampu memahami lebih mendalam peranan dan manfaat dari proses membina relasi interpersonal suami-istri dalam membangun kesejahteraan bersama dan kesejahteraan keluarga. Juga menjadi bagian yang sangat penting dalam pelayanan pastoral kelak sebagai imam.

(7)

Dalam proses penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian pustaka. Di sini penulis membuat sebuah studi kepustakaan berdasarkan sumber-sumber yang ada untuk mendukung tulisan ini.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan akhir ini diuraikan menjadi lima bab sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, dimana penulis memberikan uraian latar belakang permasalahan sebagai dasar pengkajian. Pada bab dua, penulis memaparkan mengena i pandangan umum bonum coniugum dalam perkawinan Katolik. Sedangkan pada bab tiga penulis menguraikan tentang relasi interpersonal suami-istri dalam hidup berkeluarga.

Sedangkan pada bab empat penulis menguraikan tentang bagaimana membangun

bonum coniugum dengan membina relasi interpersonal dalam hidup berkeluarga yang bertolak

pada kanon 1055 §1 Kitab Hukum Kanonik 1983, kemudian bab lima berisi kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat diatas, maka yang disebut pendidikan menurut saya adalah suatu proses interaksi yang ditandai oleh keseimbangan antara pendidik dengan peserta

22 Pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law karena pengaturan harta benda

Tegangan dengan menggunakan perata lebih kecil daripada tidak menggunakan perata, karena arus yang mengalir ditahan atau disimpan, dimana perata atau kapasitor

[r]

(3) rata-rata persentase jumlah siswa yang melakukan aktivitas yang diharapkan mencapai 100% dan hal ini berarti aktivitas siswa telah mencapai kriteria aktif (4) angket respon

12.03.060.02.071 ELIDAWARNI SIREGAR, SP Pargarutan Julu/ v S1 v Kantor SUMUT TAPSEL Angkola Selatan Sihuik-kuik Jln.Siondop Anggota 02-12-1969 Rumah SUMUT P.Sidimp. Utara Lusung

1 Pembangunan jalan 1 Peningkatan Jl Ampel - Nambo 2 Rehab Jl Kaligandu - Terondol 3 Rehab Jl Heo Tarnaya 4 Rehab Jl Kasemen - Margasana 5 Rehab Jl Penancangan - Warung Jaud 6 Rehab

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan