• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan

Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran ini berawal dari setidaknya tiga jalur: a) dari Sunan Kalijaga. Persinggahan Sunan Kalijaga ke Kasuran lalu beristirahat serta meminta agar salah satu penduduk menyiapkan kasur untuk tidurnya, dari sini kemudian cerita tersebut dialihrupakan (misrecognized) menjadi jangan tidur di atas kasur kapuk. Versi Sunan Kalijaga ini dipegang oleh otoritas pedukuhan yang dimotori oleh Wartilah selaku kepala Dukuh, hal ini yang kemudian banyak diikuti para warga sehingga posisi Wartilah di Kasuran semakin dihormati dan disegani, disamping karena dia sendiri adalah seorang yang aktif dalam berbagai kegiatan, utama kegiatan-kegiatan pertanian; b) dari agama Hindu. Hindu adalah agama yang eksis sebelum Islam muncul. Perkembangan Hindu di Kasuran tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Pura Srigading yang terletak di Kasuran Kulon. Praktik tidur tanpa kasur ini menurut kelompok Hindu, telah eksis jauh sebelum Islam itu muncul. Untuk menghindari konflik terbuka dengan versi cerita Islam, Suharso, salah satu tokoh senior agama Hindu, warga Kasuran Kulon, menyatakan bahwa ia tidak membenarkan ataupun menyalahkan awal mula praktik (mitos) dari Islam. Namun ia menegaskan bahwa hal ini sudah ada jauh sebelum Islam. Ia menegaskan bahwa praktik ini telah hadir sejak masa kerajaan Majapahit; c) dari pasukan Pangeran Diponegoro. perang Diponegoro

(2)

yang terkenal dengan Perang Jawa ini memang menghabiskan energi baik dari pihak Belanda maupun pasukan Diponegoro. Kekalahan yang diderita oleh pasukan Diponegoro telah membuat sebagian pasukan bersembunyi dan bergerilya. Salah satu tempat yang menjadi persembunyiannya adalah di dusun Kasuran. Penderitaan yang diderita pasukan itu bersama keluarga mereka selama masa persembunyian telah membuat mereka bersumpah untuk tidak hidup enak dan nyaman sebelum perang berakhir. Salah satu hal yang tersisa hingga saat ini adalah dengan pantang tidur di atas kasur. Kasur pada zaman dahulu adalah salah satu simbol kenyamanan dan malas-malasan, sehingga mereka menghindarinya. Agen yang aktif dalam versi ini adalah Noor Siddiq yang menjadi kepala Dukuh dusun Kasuran Wetan. Ketiga jalur ini sama-sama mengakumulasi praktik pantang tidur di dusun Kasuran yang direproduksi terus menerus oleh para leluhur dusun Kasuran hingga sampai pada generasi saat ini. Hal ini kemudian menjadi praktik dan habitus yang turun temurun direproduksi.

Kedua, praktik dan habitus tidur tanpa kasur di dusun Kasuran telah membagi masyarakat Kasuran dalam beberapa kategori hirarkhis. 1) elit kultural, kelompok ini adalah kelompok yang fanatik pada praktik/mitos/tradisi itu dan memiliki posisi strategis, seperti yang diwakili oleh Wartilah, Suwardi, dan Suharso. 2) kaum elit organisasional yang memiliki posisi struktural namun menentang praktik, seperti Juremi yang menjadi wakil dari Muhammadiyah. Mirip dengan kaum elit kultural, kelompok ini juga mempertahankan posisinya melalui kerjasama saling memahami satu sama lain namun antar kelompok tak jarang terjadi konflik. 3) kelompok semi

(3)

periperi yang fanatik tapi tidak memiliki posisi. Seperti orang-orang NU di Kasuran. Dianggap sebagai semi periperi karena syarat utama pembentukan habitus, yakni posisi tidak dimiliki oleh kelompok ini. Mereka hanya mengikuti disposisi dari orang yang memiliki posisi institusional (elit kultural) dalam struktur masyarakat Kasuran. 4) kelompok periperi atau marginal. Karena menurut Bourdieu “kelas sosialmu menentukan seleramu” atau “posisimu menentukan disposisimu” maka begitulah Wartilah, Noor Siddiq dan lainnya menjadi bourjuis kultural, dan masyarakat awam menjadi proletar kultural. Peran kelompok ini ada dua, pertama mendukung disposisi kelompok elit organisasional, namun dukungan mereka terkendala oleh posisi mereka yang tidak punya efek pada disposisi itu sendiri; dan kedua, mereka turut bertarung dalam arena, namun potensi keberhasilannya sangat terbatas.

Dalam konteks habitusnya Bourdieu, praktik tidur tanpa kasur ini adalah satu praktik yang telah berlangsung sangat lama dan menjadi satu bagian dari hidup masyarakat Kasuran, bahkan ia telah menjadi identitas masyarakat Kasuran. Praktik ini menjadi kebiasaan turun temurun dikarenakan faktor para agen yang selalu mempraktikkan hal ini secara turun temurun serta masyarakat Kasuran yang cenderung menerima hal ini, baik itu karena mereka sudah terbiasa sejak kecil, maupun karena takut akan konsekuensi-konsekuensi hukuman yang akan diterima jika melanggar. Di samping itu, peranan tokoh agama, semisal Islam (NU) dan Hindu mendukung hal ini sehingga ia terpelihara dengan baik di dusun Kasuran. Pada tataran agen pendukung, para agen menyokong hal ini sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan social recognition.

(4)

Ketiga, secara teoretis teori Bourdieu sangat menarik untuk dipakai sebagai pisau analisis dalam melihat kontestasi antar agen dalam perebutan kekuasaan tertentu. Dengan menggunakan teori ini seorang peneliti dapat melihat bagaimana agen ’bertarung’ untuk memperebutkan social recognition, dengan berbagai strategi dan modal yang dimilikinya. Posisi Wartilah yang begitu dominan di Kasuran telah menunjukkan hal ini. Baik disadari atau tidak olehnya, dia telah berhasil mengakumulasi berbagai modal melalui praktik larangan tidur tanpa kasur di dusun Kasuran ini. Sosok yang awalnya bukanlah seorang asli warga Kasuran, orang yang biasa-biasa saja namun kemudian menjadi sosok yang menjadi referensi utama di dusun tersebut karena ’memainkan’ praktik larangan tidur tanpa kasur ini. Dari sini pula, masyarakat kemudian menghormatinya dan cenderung patuh terhadap apa yang dikatakannya. Bagi sosok seperti Wartilah, social recognition merupakan satu hal yang harus dia dapatkan. Seorang kepala dukuh harus memiliki ’sesuatu’ yang bisa membuat masyarakat yang dipimpinnya mendengarkan apa yang dia omongkan, dawuhkan, atau praktik yang ia lakukan.

Namun demikian, penulis melihat bahwa masalah tidur tanpa kasur ini lebih merupakan persoalan yang sifatnya spiritual. Jika melihat cara masyarakat mengekspresikan keyakinannya atas tradisi ‘tidur tanpa kasur’ itu berbeda-beda, penulis melihat bahwa istilah religius secara literal memang tidak bisa mencakup perbedaan keyakinan itu. Dibanding modal religius, modal spiritual tampak lebih sesuai untuk mengekspresikan keyakinan individu-individu yang berspiritual berbeda itu (hetero-spiritualists). Modal spiritual juga bisa menutupi ketidakcukupan empirik

(5)

modal religius yang—bagi Bourdieu—cenderung berpijak pada institution. Jika Bourdieu menganggap modal religius hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki posisi kelembagaan tertentu, maka modal spiritual bisa dimiliki oleh siapapun. Nilai dari modal spiritual ditentukan bukan hanya oleh profesional dan spesialis, melainkan juga masyarakat awam, dan kondisi ini pelan-pelan akan mengusik otonomi arena religius. Modal spiritual bisa menjadi nilai tukar yang lebih kuat dibanding modal religius, dan masyarakat awam bisa memanfaatkan kekuatan spiritual melalui modal simbolik yang telah mereka akumulasikan di arena yang lain. Sehingga, memperhitungkan modal spiritual dibanding modal religius memungkinkan suatu modal bisa dirasakan bersama oleh masyarakat, tanpa memandang posisi mereka dalam pranata keagamaan tertentu. Di samping itu, tentu hal ini akan lebih membuka peranan yang lebih luas para agen yang terlibat di dalamnya, sehingga tidak hanya didominasi oleh para agen yang berbasis pada kepemilikan institusi tertentu, organisasi keagamaan, misalnya. Jika modal religius samar-samar melegitimasi keberadaan pranata kebudayaan dan keagamaan yang dominan, maka modal spiritual akan merayakan subkultur dan subreligius (baca: spiritualitas) yang marjinal itu tadi untuk diperhitungkan dalam arena.

B. Penutup

Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang mencoba mempergunakan teori Bourdieu untuk menganalisis realitas praktik tidur tanpa kasur di dusun Kasuran. Gagasan-gagasan yang telah tertuang dalam disertasi ini sejatinya bukan satu gagasan

(6)

yang final mengenai Kasuran. Tulisan ini tidak hanya mencoba untuk mengurai berbagai bentuk perspektif yang simpang siur mengenai praktik ini, namun juga menjelaskan ketidakcukupan teori Bourdieu dalam menganalisis satu masalah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kritik penulis itu masih perlu ditelaah dan dikaji kembali secara akademik.

Namun disisi lain, terdapat satu hal yang penulis dapatkan setelah menulis disertasi ini. Yakni satu gagasan bahwa satu statemen tertentu apalagi pada masa lampau seringkali misrecognized. Kajian mengenai disertasi ini, jika dikembalikan kepada posisi penulis sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi Islam, mirip mengkaji sebuah hadis. Hadis memang masih bisa dilihat sumber-sumber matarantai sanadnya, namun isi pesan hadis (matan) bisa bervariasi praktiknya di masyarakat. Tentu hal ini dipengaruhi oleh modal dan ranah dimana hadis tersebut dicerap dan dipraktikkan. Dari disertasi ini pula terdapat satu contribution to knowledge yang sangat penting bagi pengembangan ilmu hadis. Habitus Muhammad, begitu nanti penulis menyebutnya, merupakan satu disposisi yang berasal dari Muhammad, baik berupa al-Quran maupun hadis, yang kemudian dari sini praktik umat Islam di seluruh dunia kadang-kadang berbeda satu sama lain. Hal ini semata-mata karena modal dan ranah dari agen yang berbeda-beda. Gagasan ini rencananya menjadi satu penelitian selanjutnya yang diilhami oleh disertasi ini.

Namun, kendatipun demikian, disertasi ini bukanlah satu disertasi sempurna yang nihil kritik, sehingga kritik dan saran membangunnya akan senantiasa penulis tunggu.

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan manusia akan rasa aman baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang tidak akan ada habisnya. Rasa khawatir akan keselamatan hidup, kesehatan, pendidikan

Metode penelitian pada dasarnya merupakan sebagai cara ilmiah, mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian sangat penting dalam sebuah

Pada waktu tiba di danau tersebut mereka tidak mengurus diri masing-masing tetapi mereka mempunyai “ketua” sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka sudah membangun

Melibatkan akusisi atas bisnis-bisnis yang berkaitan dengan perusahaan yang mengakusisi dalam teknologi, pasar atau produk. Bisnis-bisnis baru yang terpilih memiliki

- Tim konsultan memberikan petunjuk teknis dan perintah kepada kontraktor pelaksana dan senantiasa memberikan informasi kepada Pengguna Jasa tentang rencana

Orang tua sebaiknya bisa menjadi filter bagi anaknya tentang informasi apa saja yang diperoleh anak dari menonton televisi,dengan demikian bahaya televisi dapat dikendalikan

Jika Anda sedang diwawancara oleh salah satu pesaing perusahaan Anda yang sekarang, mereka mungkin berusaha untuk membuat Anda mengatakan sesuatu yang lebih dari seharusnya,

Dalam penelitian fenomena pola komunikasi interpesonal orang tua dan anak remaja pecandu narkoba, dapat dikembangkan kembali dengan klasifikasi sudut pandang yang