• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN WISATA BAHARI PANTAI KARANG JAHE DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN WISATA BAHARI PANTAI KARANG JAHE DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN WISATA BAHARI PANTAI KARANG JAHE

DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

Julita Budi Prasetyo1,2, Fuad Muhammad2, Denny Nugroho Sugianto3,4

1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro 2Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro

3Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Diponegoro 4Center for Coastal Disaster Mitigarion and Rehabilitation Studies. Diponegoro University e-mail : 1arjunarimba77.bp@gmail.com, 2fuad.muh@gmail.com, 3dennysugianto@yahoo.com

ABSTRACT

Coastal ecosystems are dynamic ecosystems and biodiversity, both on land and at sea, and interact between these habitats. But behind its great potential, coastal areas are vulnerable to the impact of human activities. Development activities, in general, directly and indirectly have an adverse impact on coastal ecosystems. In addition to biodiversity, coastal areas also have resource productivity and environmental services as well as accessibility. In these conditions, the coastal region finds its relevance as a potential place for the development of various development activities intensively. However, on the other hand, it is also very vulnerable to various forms of negative impacts caused by development activities both within the coastal areas and those on the upper and the high seas. Thus, the fundamental and critical challenge for the coastal area planners and managers is how to facilitate economic development, while minimizing the negative impacts of development activities in accordance with the carrying capacity of the coastal environment. Coastal tourism becomes one potential alternative that can be developed

.

This article aims to examine the development of marine ecotourism in support of sustainable development. This study takes place in the tourist area of Karang Jahe Beach, Rembang Regency. The study was conducted qualitative descriptive based on existing literature studies. Studies show that natural resource-based tourism activities, including marine tourism, are tools to support sustainable development. The growth of ecotourism activities promotes economic growth and community welfare and conservation of natural resources.

Keywords : Carrying capacity, Coastal ecosystem, Sustainable development INTISARI

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Namun di balik potensinya yang besar, wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak kegiatan manusia. Kegiatan pembangunan, pada umumnya secara langsung dan tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir. Selain keanekaragaman hayati, kawasan pesisir juga mempunyai produktivitas sumber daya dan jasa-jasa lingkungan serta kemudahan (accessibility). Pada kondisi tersebut, kawasan pesisir menemukan relevansinya sebagai tempat potensial berkembangnya aneka kegiatan pembangunan secara intensif. Namun di sisi lain, juga sangat rentan terhadap berbagai bentuk dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan baik yang berlangsung di dalam wilayah pesisir maupun yang berada di lahan bagian atas dan laut lepas. Dengan demikian, tantangan mendasar dan kritikal bagi perencana dan pengelola wilayah pesisir adalah bagaimana memfasilitasi pembangunan ekonomi, dan pada saat yang sama meminimalkan dampak negatif dari kegiatan pembangunan sesuai dengan daya dukung lingkungan pesisir. Salah satu potensi yang bisa dikembangkan pada kawasan pesisir adalah wisata bahari. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan ekowisata bahari dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Studi ini mengambil lokasi pada kawasan wisata Pantai Karang Jahe Kabupaten Rembang. Studi dilakukan secara kualitatif deskriptif berdasarkan studi literatur yang ada. Kajian menunjukkan bahwa kegiatan wisata berbasis sumber daya alam, termasuk wisata bahari, merupakan alat (tools) untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan kegiatan ekowisata mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta kegiatan konservasi sumber daya alam. Kata Kunci: Daya dukung, Ekosistem pesisir, Pembangunan berkelanjutan

(2)

1. PENDAHULUAN

Secara global, industri perjalanan dan pariwisata memberikan kontribusi positif terhadap tingkat PDB (Produk Domestik Bruto) serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat (WTTC, 2017b), termasuk di Indonesia (WTTC, 2017a). Nizar (2011) mencoba untuk menganalisis pola kausal hubungan antara pertumbuhan pariwisata (penerimaan pariwisata) dan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya menunjukkan beberapa kesimpulan: (i) pertumbuhan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kausal timbal balik. Namun, dampak pertumbuhan pariwisata (penerimaan) akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan jeda waktu 5-6 kuartal, sementara peningkatan pertumbuhan PDB akan mendorong peningkatan pertumbuhan pariwisata di kuartal berikutnya. Penelitian ini juga menemukan bahwa kebijakan promosi pariwisata akan mempengaruhi pariwisata.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD-Organization for Economic

Co-operation and Development) dalam rilisnya menyebutkan bahwa pariwisata merupakan sektor ekonomi utama, secara langsung memberikan kontribusi, rata-rata, 4,2% dari PDB, 6,9% lapangan kerja dan 21,7% dari ekspor jasa di negara-negara anggota OECD. Pembangunan berkelanjutan dari sektor pariwisata sangat tergantung dari kemampuannya untuk beradaptasi dengan tren ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan teknologi yang muncul. Pengembangan kebijakan yang tepat, strategi terpadu, struktur kerjasama antar pemerintahan dan mekanisme yang melibatkan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya (masyarakat) dalam pengelolaan sektor pariwisata sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan potensi pariwisata sebagai mesin pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan (OECD, 2018).

Ekosistem pesisir merupakan salah satu ekosistem dengan karakteristik yang unik. Keanakeragaman hayati, produktivitas sumber daya, keindahan lansekap dan aneka jasa lingkungan serta kemudahan (accessibility) pada ekosistem pesisir menjadi alasan relevan berkembangnya aneka kegiatan pembangunan secara intensif, termasuk pengembangan wisata berbasis alam. Namun di sisi lain, menilik kondisinya yang berada di antara matra laut dan matra darat, kawasan ini juga sangat rentan terhadap berbagai kegiatan-kegiatan pembangunan. Menyelaraskan kegiatan pembangunan agar memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, namun memberikan dampak negatif sekecil mungkin bagi ekologi dan sosial budaya setempat serta sesuai dengan daya dukung lingkungan menjadi tantangan dilematis dan kritikal bagi perencana dan pengelola ekosistem pesisir.

Pengembangan ekowisata bahari menjadi salah satu alternatif kebijakan yang bisa dikembangkan untuk menegakkan tiga pilar pembangunan, yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Artikel ini mencoba mengkaji pengembangan ekowisata bahari dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk isu dan tantangan yang dihadapi.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan wisata bahari Pantai Karang Jahe Desa Punjulharjo Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang. Penelitian dilakukan selama bulan Juli - Agustus 2018. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini menurut Sugiyono (2014) digunakan untuk memahami dan menjelaskan dinamika dan kompleksitas suatu situasi sosial, dalam hal ini pengelolaan pariwisata dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah literatur

(3)

tentang pengelolaan pariwisata dan pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, dilakukan analisa untuk menjelaskan isu dan tantangan dalam pengelolaan wisata bahari.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Pengembangan Wisata Bahari Pantai Karang Jahe

Kabupaten Rembang merupakan salah satu kabupaten pesisir di Pantai Utara Jawa Tengah. Posisi Kabupaten Rembang yang memanjang dari barat ke timur dan berbatasan dengan Laut Jawa serta berada pada jalur utama pantai utara (pantura) Pulau Jawa menjadi keunggulan geografis Kabupaten Rembang. Ada beberapa lokasi wisata bahari yang potensial dikembangkan di Kabupaten Rembang, salah satunya wisata bahari Pantai Karang Jahe.

Pantai Karang Jahe merupakan salah satu pantai tujuan wisata yang ada di Rembang. Pantai Karang Jahe terletak di Desa Punjulharjo Kecamatan Rembang. Pantai ini memiliki pasir putih sepanjang kurang lebih 1,5 km dengan deretan pohon cemara yang berada di pinggir pantai. Pantai ini juga sangat mudah diakses karena berada tidak jauh dari jalan utama pantura Jawa. Asal nama Karang Jahe adalah karena di pantai ini banyak serpihan karang seperti jahe. Aktifitas wisata bahari yang ada saat ini adalah aktifitas berenang dan rekreasi. Di Desa Punjulharjo juga terdapat Situs Perahu Kuno. Situs ini adalah tempat di mana ditemukan Kapal Kuno milik Ki Ageng Maloko, Kakak dari Sunan Bonang. Situs ini telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BP3J) berdasarkan UU No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya melalui Surat Kepla BP3J Nomor 1480/101-SP/BP3/P-VIII/2008. Dengan demikian situs ini menjadi benda yang dilindungi dan dilestarikan (Abdillah, 2017). Menurut penelitian Indrayati & Setyaningsih (2017), Pantai Karang Jahe termasuk salah satu obyek wisata di kepesisisran Kabupaten Rembang yang layak dan siap untuk dikembangkan sebagai destinasi Geowisata. Obyek wisata Pantai Karang Jahe berdasarkan asal usul bentukan lahannya termasuk obyek bentuk lahan asal marine (aktivitas laut), yaitu berupa pantai berpasir.

Secara geografis, Pantai Karang Jahe terletak pada koordinat 06041’ 44,84” LS dan 111024’ 2,68’’ BT.

Kawasan ini berada pada ketinggian 0-6 mdpl dengan kelas kemiringan lahan pada 0-80. Kawasan ini termasuk

kategori landai, sehingga menurut Yulianda (2007) sesuai untuk kegiatan rekreasi dan berenang. Bathimetri atau kedalaman laut pada pantai utara Kabupaten Rembang hingga 12 mil dari garis pantai paling dalam 45 meter. Geologi laut di perairan Rembang mayoritas substrat dasar lautnya adalah lumpur. Tipe pasang surut di perairan Pantai Utara Jawa Tengah terutama di Kabupaten Rembang dan Demak adalah pasang surut harian tunggal (diurnal tide) dengan periode pasang surut rata-rata sekitar 12 jam 24 menit dan nilai Formzahl masing-masing sekitar 6.85 dan 3.48. (DKP Prov. Jateng, 2017).

Berdasarkan hasil pengukuran DKP Prov. Jateng (2017), sifat fisik–kimia air laut di Perairan Pantai Utara Jawa Tengah, termasuk perairan di Kabupaten Rembang secara umum masih memenuhi baku mutu berdasarkan Kep MENLH Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota laut, wisata bahari maupun pelabuhan, sebagaimana tersaji pada Tabel 1.

(4)

Tabel 1. Nilai kisaran sifat fisik – kimia air laut di Perairan Jawa Tengah

No Parameter Satuan Nilai

Kisaran

Baku Mutu Air untuk Wisata

Bahari*

Keterangan

1 Suhuc 0C 29,7 – 33,1 Alami 3 (c) Memenuhi BM

2 Kecerahana m 0,8 – 4,8 > 6 Tidak memenuhi BM

3 Salinitas ‰ 27,3 – 33,5 Alami 3 (e) Memenuhi BM

4 Derajad keasaman (pH)d 7,5-8,3 7 - 8,5 d Memenuhi BM

5 COD mg/l 116-350 -

-6 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5,7 – 8,7 > 5 Memenuhi BM

Sumber : DKP Prov. Jateng (2017) Keterangan:

* : Baku mutu berdasarkan Kep MENLH Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut

3 : Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)

a : Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic

c : Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d : Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

e : Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman

Beberapa faktor yang relevan dalam perencanaan pengembangan pariwisata berkelanjutan di Pantai Karang Jahe adalah:

1. Ekonomi

Dari aspek ekonomi, hasil penelitian Abdillah (2017) menyebutkan bahwa potensi nilai ekonomi

intangible wisata Pantai Karang Jahe adalah Rp 305.720.768.951,00 per tahun dengan tingkat

pemanfaatan aktual sebesar Rp 26.410.002.605,00 pertahun (8,6 % dari potensi ekonomi yang ada). Studi yang sama menunjukkan bahwa nilai surplus konsumen ekowisata Pantai Karang Jahe lebih besar daripada biaya aktual rata-rata yang dikeluarkan pengunjung. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung mendapat manfaat jasa lingkungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Nilai ekonomi potensial yang besar harus disertai dengan upaya untuk menjaga kualitas lingkungan. Hasil Analisa SWOT merumuskan strategi pertumbuhan dengan arahan strategi melalui integrasi horizontal. Integrasi horizontal maksudnya kerjasama multi stakeholder dengan cara mengkolaborasikan kemampuan masing-masing pihak untuk mencapai hasil dan tujuan yang sama. Strategi ini ditempuh dengan mempraktekkan manajemen adaptif dengan memandang tindakan manajemen sebagai bagian dari pengalaman, dengan tujuan mencapai konsensus di antara stakeholders tentang seberapa besar pengaruh yang dapat diterima dan seberapa luas Kawasan yang dapat dikembangkan untuk wisata.

Salah satu strategi prioritas yang diusulkan adalah menentukan arah wisata alam Pantai Karang Jahe menjadi pariwisata alam yang berkelanjutan, meningkatkan komitmen dalam menjaga kualitas lingkungan melalui sosialisasi ataupun penegakan peraturan yang ada, menentukan program pengelolaan jangka panjang yang terukur dan melibatkan seluruh stakeholder.

2. Sosial

Dari aspek sosial, relevansinya bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam mengelola wisata bahari Pantai Karang Jahe. Tahun 2002 adalah tahun dimana dicanangkannnya Tahun Ekowisata dan

(5)

Pegunungan di Indonesia. Ada 5 (lima) prinsip dasar pengembangan ekowisata di Indonesia yang dirumuskan dari berbagai workshop dan diskusi para ahli pada tahun tersebut, yaitu pelestarian, pendidikan, pariwisata, perekonomian dan partisipasi masyarakat setempat (UNESCO, 2009). Pembentukan Badan Pengelola Karang Jahe Beach merupakan salah satu upaya untuk mendorong pengembangan ekowisata di kawasan tersebut. Selain itu untuk mensikronisasi dengan kegiatan pembangunan desa maka dibentuk badan usaha milik desa. Data dari Badan Pengelola Karang Jahe Beach menyebutkan bahwa penyelenggaraan wisata bahari telah menyerap 500 lebih tenaga kerja. 3. Lingkungan

Dari aspek lingkungan, daya dukung kawasan sebagai akibat meningkatnya jumlah kunjungan harus menjadi perhatian Badan Pengelola Karang Jahe. Rata-rata kunjungan selama Tahun 2015-2017 meningkat dari 939 orang/hari pada Tahun 2015 menjadi 1.900 orang/hari (2016) dan 2.761 orang/hari (2017). Pesatnya pertumbuhan wisatawan di Pantai Karang Jahe selama 3 (tiga) tahun terakhir harus dimaknai dari berbagai sudut pandang. Kondisi tersebut mendorong meningkatnya perekonomian masyarakat. Namun kondisi tersebut harus menjadi perhatian serius bagi pengelola wisata Pantai Karang Jahe. Pariwisata menciptakan tekanan pada lingkungan alam dan budaya, mempengaruhi sumber daya, struktur sosial, pola budaya, kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di masyarakat lokal. Meningkatnya jumlah kunjungan dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan ataupun kerusakan habitat dan nilai estetika kawasan.

4. Legal

Dari aspek legal, pengembangan wisata bahari Pantai Karang Jahe harus sesuai dengan arahan perencanaan wilayah. Menurut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017-2037, kawasan ini termasuk zona pariwisata sub zona wisata alam pantai/pesisir. Arahan pemanfaatan zona pariwisata dilakukan dengan cara, a) meningkatkan daya tarik dan destinasi wisata; b) meningkatkan sarana dan prasarana kepariwisataan; c) meningkatkan produk wisata yang sesuai dengan sifat dan karakteristik; d) meningkatkan manajemen kepariwisataan; dan e) mengendalikan dampak negatif kegiatan pariwisata di wilayah pesisir (DKP Prov. Jateng, 2017). Menurut Peraturan Daerah No 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang Tahun 2011-2031, salah satu strategi pengembangan potensi sektor perikanan dan kelautan di bagian utara adalah mengembangkan kawasan wisata bahari terpadu. Namun sayangnya, kawasan wisata Pantai Karang Jahe yang berada di Desa Punjulharjo Kecamatan Rembang belum dimasukkan ke dalam kawasan wisata bahari terpadu. Kawasan ini merupakan perwujudan pengembangan kawasan yang berupaya mengelola kawasan pesisir secara terpadu beberapa sektor potensi yaitu pengembangan sektor perikanan kelautan, sektor industri pengolahan perikanan, pengembangan pariwisata bahari dan penataan permukiman. Kawasan wisata Pantai Karang Jahe yang berada di Kecamatan Rembang, termasuk ke dalam kawasan kota pantai unggulan (seafront city). Kawasan ini merupakan perwujudan pengelolaan kawasan pesisir menjadi kawasan kota pantai unggulan melalui pengembangan pusat kegiatan dan jaringan prasarana transportasi jalan dan transportasi laut dalam keterpaduan pengembangan kawasan pariwisata, kawasan perikanan dan kawasan industri Kabupaten Rembang (Regent of Rembang, 2011).

(6)

Tantangan lain dari aspek legal adalah kemungkinan terjadinya konflik norma antara Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu implikasi dari UU No 23/2014 adalah undang-Undang tersebut tidak sepenuhnya memberikan kewenangan atau mengurangi kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil terhadap Kabupaten/Kota. Pada pembagian urusan pemerintahan konkuren (lampiran) Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah kewenangan kabupaten/kota hanya diberikan untuk mengelola perikanan tangkap dan perikanan budidaya (diluar perairan pesisir). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan penafsiran terhadap peraturan tersebut. UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berspirit memberikan kewenangan kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil secara komprehensif. Kewenangan yang dilimpahkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (termasuk pemberian izin), konservasi dan perlindungan, monitoring dan evaluasi, penelitian dan pengembangan sampai pemberdayaan masyarakat. Untuk perencanaan, daerah diberikan kewenangan untuk menyusun Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi (Simarmata & Firdaus, 2016).

3.2. Hubungan antara Pariwisata dan Sustainable Development Goals (SDGs)

Pada Tahun 1987, The World Commission on Environment and Development merilis laporan bertajuk Our

Common Future yang menginisiasi diskursus tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Laporan yang dikenal juga sebagai Brundtland Report merumuskan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah bentuk pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini mengintegrasikan kepentingan lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam satu framework strategi pembangunan. Thus economics and ecology must be completely integrated in decision making and lawmaking processes not just to protect the environment, but also to protect and promote development. Economy is not just about the production of wealth, and ecology is not just about the protection of nature; they are both equally relevant for improving the lot of humankind (WCED, 1987).

Pembangunan berkelanjutan, termasuk di dalamnya pariwisata berkelanjutan, pada dasarnya mengatur hubungan antara manusia dan lingkungan. Dari pandangan tersebut lahirlah beberapa konsep pariwisata yang menghubungkan antara pariwisata dan lingkungan, misalnya alternative tourism, wisata berbasis alam

(nature-based tourism) dan ekowisata (ecotourism) (Aall, 2014). Pada Tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

mengadakan Konferensi Rio yang berhasil merumuskan “Agenda Pembangunan Berkelanjutan 21”, yang dilanjutkan presentasi rencana implementasi pariwisata berkelanjutan oleh United Nations World Tourism

Organisation (UNWTO). Selanjutnya berbagai konferensi dan pertemuan dunia tentang pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) diadakan selama rentang akhir Tahun 1990-an, salah satunya menghasilkan Deklarasi Berlin yang mengaitkan keragaman hayati dan pariwisata berkelanjutan. UNWTO pada

Euro-Mediterranean Conference on Tourism and Sustainable Development (1993) mendefiniskan pariwisata

(7)

Gambar 1. Road map hubungan antara pariwisata berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan secara global: prinsip-prinsip, deklarasi, konvensi, pernyataan dan kode.

Keterangan: WSSD (World Summit on Sustainable Development) ; UNWTO (United Nations

World Tourism Organization) ; CSD (Commission for Sustainable Development) ; WTTC (World Travel and Tourism Council) ; UNEP (United Nations Environment Programme), TIES (The International Ecotourism Society) and EC (the Earth Council)

wisata pada saat ini sekaligus melindungi dan meningkatkan peluang pengembangan untuk masa depan. Hal ini menyangkut upaya manajemen sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika dapat dipenuhi dengan tetap menjaga integritas budaya, proses ekologi penting, keanekaragaman hayati, dan sistem pendukung kehidupan (UNEP, 2009).

Selanjutnya pada Tahun 2002, The World Ecotourism Summit merumuskan Deklarasi Quebec tentang Ekowisata. Deklarasi ini menyatakan bahwa ekowisata memuat prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan tentang dampak ekonomi, sosial dan lingkungan kegiatan pariwisata. Deklarasi ini juga merumuskan prinsip-prinsip spesifik ekowisata seperti kontribusi terhadap konservasi alam dan warisan budaya, keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata, dan edukasi tentang alam dan warisan budaya

kepada pengunjung (UNEP/WTO, 2002). Seiring dengan menguatnya isu perubahan iklim, maka pada Tahun

2007 diumumkan Deklarasi Davos tentang Climate Change and Tourism responding to Global Challenges. Dekarasi ini menegaskan bahwa sektor pariwisata sangat sensitif terhadap dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Sektor pariwisata diperkirakan berkontribusi sekitar 5% dari emisi CO2global. Mengingat

(8)

penting untuk segera mengadopsi serangkaian kebijakan yang mendorong pariwisata yang benar-benar berkelanjutan dengan mempertimbangkan respon lingkungan, sosial, ekonomi dan iklim (UNWTO, 2007). Gambar 1 menunjukkan road map hubungan antara pariwisata berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan, baik dalam bentuk prinsip-prinsip, deklarasi, konvensi, pernyataan dan kode secara global (Pan et al., 2018).

Dari jejak hubungan antara pariwisata dan pembangunan berkelanjutan pada road map tersebut , para ahli meyakini bahwa pariwisata berkelanjutan dapat menjadi alat (tool) untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Pada Tahun 2015, menjadi tonggak bagi pembangunan global karena perintah dunia telah mengadopsi Agenda baru sebagai panduan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, yang secara resmi dikenal dengan

Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development. Sektor pariwisata memiliki potensi

untuk berkontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable

Development Goals-SDGs). Secara keseluruhan ada 17 SDGs, namun secara khusus, sektor pariwisata terkait

dengan SDGs 8, 12 dan 14 yang mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, konsumsi dan produksi berkelanjutan dan penggunaan berkelanjutan dari lautan dan sumber daya laut (UNWTO, 2015).

Majelis Umum PBB ke-70 telah menetapkan 2017 sebagai Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan untuk Pembangunan (A/RES/70/193) (General Assembly, 2017). Penetapan Tahun Internasional merupakan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran para pengambil kebijakan, swasta dan masyarakat tentang kontribusi pariwisata berkelanjutan untuk pembangunan, serta memobilisasi semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam membuat pariwisata sebagai katalis untuk perubahan positif. Dalam konteks Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Tahun Internasional mendukung perubahan dalam kebijakan, praktik bisnis dan perilaku konsumen menuju sektor pariwisata yang lebih berkelanjutan yang dapat berkontribusi pada SDG di lima bidang utama (UNWTO/UNDP, 2017), yaitu:

1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;

2. Inklusivitas sosial, pekerjaan dan pengentasan kemiskinan;

3. Efisiensi sumber daya, perlindungan lingkungan dan perubahan iklim; 4. Nilai-nilai budaya, keragaman dan warisan; dan

5. Saling pengertian, perdamaian dan keamanan.

3.3. Implikasi

Memfasilitasi pembangunan ekonomi dan meminimalkan dampak negatif kegiatan pembangunan menjadi tantangan mendasar dan kritikal bagi perencana dan pengelola wilayah pesisir. Salah satu kegiatan pembangunan yang potensial dikembangkan di kawasan pesisir adalah wisata bahari. Para ahli sepakat bahwa pariwisata yang berkelanjutan dapat menjadi salah satu alat (tool) untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya mengatur tentang hubungan manusia dan lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Maka tantangan kritikal bagi para pengambil kebijakan adalah bagaimana menjamin keberlanjutan, kualitas dan isu-isu terkait manusia dan lingkungan dalam sektor pariwisata.

Manusia sebagai entitas pelaku pembangunan memegang peranan penting untuk menentukan arah pembangunan. Salah satu isu penting dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah kesetaraan gender. Diskriminasi peran perempuan nampak dalam kesempatan kerja dan pengambilan keputusan. Penelitian Das & Chatterjee (2015) menemukan kenyataan bahwa hal pekerjaan formal, perempuan lokal sering diabaikan. Dalam

(9)

beberapa kasus, perempuan bahkan terjerumus dalam kegiatan prostitusi di sekitar daerah wisata. Maka tantangan kritikal adalah memastikan bahwa perempuan mendapatkan porsi yang layak dalam penghidupan dan pengambilan keputusan dalam pengembangan pariwisata.

Masalah lain dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah kompatibilitas pariwisata berkelanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah tentang peningkatan produksi dan konsumsi barang dan jasa. Ini melibatkan peningkatan populasi dan atau konsumsi per kapita, di mana konsumsi mengacu pada konsumsi bahan dan energi oleh perusahaan, rumah tangga, dan pemerintah. Sayangnya, banyak pertumbuhan pariwisata, seperti halnya pertumbuhan ekonomi secara umum, sudah tidak lagi ekonomis (Hall, 2015). Pertumbuhan ekonomi seringkali disertai dengan penurunan sumber daya alam. Pariwisata berkelanjutan harus dipahami dari perspective steady-state economy, bahwa perkembangan ekonomi, termasuk pariwisata, tergantung pada stok modal alam. Pariwisata dalam keadaan stabil (steady-state) merupakan sistem pariwisata yang mampu mendorong peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia tanpa merugikan modal alam (Hall, 2009).

Pada prinsipnya, pembangunan berkelanjutan tegak di atas 3 (tiga) dimensi utama, yaitu lingkungan hidup (ekologi), sosial dan ekonomi. Ketiga pilar tersebut haruslah mendapatkan pendekatan yang sama untuk memastikan hasil yang berkelanjutan (Rogers, et.al., 2008). Pendekatan ekonomi diarahkan untuk memaksimalkan pendapatan dengan tetap mempertahankan persediaan modal yang konstan atau meningkat, pendekatan ekologis diarahkan untuk mempertahankan ketahanan dan kelestarian fisik lingkungan; pendekatan sosio-budaya diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem sosial dan budaya, meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat.

Pengelolaan wisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism/CBT) memiliki dampak yang signifikan terhadap keadaan sosial, politik dan budaya serta pengembangan komunitas. CBT bermanfaat untuk menyamakan persepsi dan visi masyarakat dalam pengembangan wisata, sehingga mengurangi potensi konflik dan kesalahpahaman di masa depan. CBT memberikan pengetahuan, pengalaman dan pemahaman pengelolaan pariwisata sesuai dengan dinamika masyarakat setempat. Pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat, dari pengalaman-pengalaman ini, kemudian menjadi bahan pembelajaran dalam pengambilan keputusan untuk mencapai cita-cita, nilai-nilai dan minat mereka dalam proses perencanaan pariwisata (Sammy, 2008).

Pada aspek lingkungan, pengembangan pariwisata berimplikasi terhadap isu perubahan iklim, perubahan penggunaan dan penutupan lahan, perencanaan wilayah dan daya dukung lingkungan. Pariwisata tidak bisa dipisahkan dari isu global tentang perubahan iklim. Pariwisata bisa sebagai korban sekaligus contributor pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan terjadinya kenaikan muka air laut, penggurunan dan kelangkaan air, deforestasi dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, serta mencairnya salju dan gletser. Kondisi tersebut menjadikan sektor pariwisata sebagai korban dari pemanasan global. Di sisi lain, pariwisata juga berkontribusi terhadap pemanasan global, walaupun belum ada perhitungan yang tepat untuk itu. Pariwisata bertanggung jawab atas sekitar 5% emisi gas CO2global dan berkontribusi terhadap 4,6% pemanasan

global. Sektor transportasi udara menjadi kontributor utama sektor pariwisata terhadap pemanasan global. Sektor ini bertanggung jawab untuk 40% dari total emisi karbon karena sektor ini, dan 54-75% dari pemancar radiasi (UNWTO, n.d.).

(10)

Pariwisata pada dasarnya merupakan fenomena geografis, yaitu meliputi pergerakan dan aliran manusia (dari sudut pandang permintaan) dan pola distribusi spasial yang berkaitan dengan penggunaan lahan (dari sudut pandang penawaran) (Boavida-Portugal, et.al., 2016). Pengembangan wisata mensyaratkan akses terhadap lahan. Lahan dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas pariwisata serta bisnis dan jasa yang terkait dengan pariwisata. Luas lahan yang terbatas, pertumbuhan populasi dan pertumbuhan kegiatan ekonomi di kawasan wisata telah meningkatkan tekanan pada pemilik lahan, hak kepemilikan lahan, pengelolaan lahan dan investasi di masa depan (ADB, 2015). Pembangunan yang dipengaruhi pariwisata telah menyebabkan terjadinya fragmentasi lanskap, degenerasi vegetasi, erosi pantai (Wang & Liu, 2013), peningkatan permintaan secara kuantitatif untuk lahan konstruksi dan gangguan spasial yang berkelanjutan dengan bentang alam (Mao,

et.al., 2014).

Pariwisata dan perencanaan wilayah terkait satu sama lain. Secara spasial, pariwisata menempati suatu wilayah tertentu dengan karakter spasial yang khas. Pada suatu lansekap yang sama bisa jadi ada beberapa sektor yang saling berkepentingan. Misalnya pada kawasan pesisir, ada beberapa kegiatan yang bisa dikembangkan pada satu lansekap yang sama, termasuk salah satunya pariwisata. Perencanaan wilayah berperan sebagai alat untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan penggunaan lahan pada suatu wilayah. Sustainability menjadi isu kompleks dan mempunyai banyak faktor (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan), karena itu sulit untuk memastikan keberlanjutan tanpa pendekatan spasial yang benar dan konsisten (Dede & Ayten, 2012).

Kegiatan pariwisata, terutama wisata bahari, sangat tergantung dari kualitas sumber daya alam yang sangat sensitif terhadap perubahan dan intervensi manusia. Sektor pariwisata juga dapat mempengaruhi aktifitas sosial, ekonomi lokal, gaya hidup masyarakat setempat hingga pengambilan kebijakan publik. Pertumbuhan wisatawan yang hampir eksponensial dan penyebarannya ke wilayah yang sebelumnya cukup terpencil jangan sampai mempengaruhi struktur dan proses ekosistem dan menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Akibatnya pengelolaan pariwisata justru bisa menjadi paradoks dalam pengelolaan pariwisata berbasis sumber daya alam (Lacitignola, et.al., 2007). World Tourism Organization (WTO) mendefiniskan daya dukung wisata sebagai jumlah maksimum orang yang dapat mengunjungi tujuan wisata pada saat yang sama tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan fisik, ekonomi atau sosial budaya dan penurunan kualitas kepuasan wisatawan yang tidak dapat diterima (Coccossis, et.al., 2001). Definisi ini mengimplikasikan berbagai kapasitas: fisik, ekonomi, perseptual, sosial, ekologi, dan politik (Getz, 1983).

4. KESIMPULAN

Wisata bahari Pantai Karang Jahe selama ini berlangsung dengan tipologi wisata massal. Tipologi wisata massal lebih berorientasi pada pendekatan ekonomi dan pariwisata seringkali merupakan instrument untuk meningkatkan pendapatan baik swasta maupun pemerintahan. Tipologi wisata seperti ini sangat rentan membawa dampak negatif terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bentuk pariwisata alternatif, seperti ekowisata menjadi jawaban atas dampak negatif dari pariwisata massal. Kodhyat dalam Ariana (2013) menyebutkan pilihan wisata alternatif mempunyai karakteristik tertentu yang lebih memperhatikan daya dukung, menerapkan pengembangan berkelanjutan serta pengambilan keputusan melibatkan masyarakat lokal. Deklarasi Quebec tentang Ekowisata pada Tahun 2002 menyebutkan dengan jelas prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan tentang dampak ekonomi, sosial dan lingkungan kegiatan pariwisata. Agenda 2030 menjadi tonggak penting

(11)

peran sektor pariwisata untuk berkontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs).

Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya mengatur tentang hubungan manusia dan lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Maka tantangan kritikal bagi para pengambil kebijakan adalah bagaimana menjamin keberlanjutan, kualitas dan isu-isu terkait manusia dan lingkungan dalam sektor pariwisata. Dari aspek manusia, isu pariwisata berkelanjutan terakait dengan kesetaraan gender, kebijakan politik ekonomi serta kapasitas dan kapabilitas masyarakat. Sedangkan dari aspek lingkungan, isu-isu pariwisata berkelanjutan terkait dengan perubahan iklim, perubahan penggunaan dan penutupan lahan, perencanaan wilayah dan daya dukung. Perencanaan pengembangan pariwisata berkelanjutan harus menjadi perhatian serius parapihak, termasuk wisata bahari di Karang Jahe Beach, mengingat kekayaan ekosistem di kawasan pesisir, potensi ekonomi serta kompleksitas pengelolaan pariwisata di kawasan pesisir. Perencanaan pengembangan pariwisata berkelanjutan di Karang Jahe Beach menjadi relevan dilihat dari beberapa sudut pandang 1) ekonomi, 2) sosial, 3) lingkungan dan 4) legal. Pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan wisata bahari Pantai Karang Jahe harus memperhatikan daya dukung yang bersifat kompleks dan dinamis.

DAFTAR PUSTAKA

Aall, C. (2014). Sustainable Tourism in Practice : Promoting or Perverting the Quest for a Sustainable Development ? Sustainability, 6, 2562–2583. https://doi.org/10.3390/su6052562

Abdillah, R. F. (2017). Penilaian Manfaat Ekonomi dan Pengelolaan Lingkungan Wisata Pantai Karangjahe

Kabupaten Rembang. Universitas Diponegoro.

ADB. (2015). Understanding Land Issues and Their Impact on Tourism Development: A political economy

analysis of Pohnpei, Federated States of Micronesia.

Ariana, I. N. J. (2013). Wisatawan kurang minat ke hutan bambu sebagai atraksi ekowisata di Desa Penglipuran Kabupaten Bangli. Analisis Pariwisata, 13(1), 73–85.

Boavida-Portugal, I., Rocha, J., & Ferreira, C. C. (2016). Exploring the impacts of future tourism development on land use / cover changes. Applied Geography, 77, 82–91. https://doi.org/10.1016/j.apgeog.2016.10.009 Coccossis, H., Mexa, A., Parpairis, A., & Konstandoglou, M. (2001). Defining, Measuring and Evaluating

Carrying Capacity in European Tourism Destinations B4-3040/2000/294577/MAR/D2 Final Report. Methodology. Athens.

Das, M., & Chatterjee, B. (2015). Ecotourism : A panacea or a predicament ? Tourism Management

Perspectives, 14, 3–16. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2015.01.002

Dede, O. M., & Ayten, M. (2012). The role of spatial planning for sustainable tourism development : A theoretical model for Turkey. Tourism, 60(4), 431–445.

DKP Prov. Jateng. (2017). Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah. Semarang.

General Assembly. (2017). International Year of Sustainable Tourism for Development, 2017 (Vol. A/RES/70/1). New York.

Getz, D. (1983). Capacity to absorb tourism. Concepts and implications for strategic planning. Annals of

(12)

Hall, C. M. (2009). Degrowing Tourism : Décroissance , Sustainable Consumption and Steady-State Tourism.

Anatolia : An International Journal of Tourism and Hospitality Research, 20:1, 46–61.

https://doi.org/10.1080/13032917.2009.10518894

Hall, C. M. (2015). Changing Paradigms and Global Change : From Sustainable to Steady-state Tourism.

Tourism Recreation Research, 35:2(April), 131–143. https://doi.org/10.1080/02508281.2010.11081629

Indrayati, A., & Setyaningsih, W. (2017). Mengungkap Potensi Kabupaten Rembang sebagai Geowisata dan

Laboratorium Lapangan Geografi. Jurnal Geografi, 14(1), 1–17. Retrieved from

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet

Lacitignola, D., Petrosillo, I., Cataldi, M., & Zurlini, G. (2007). Modelling Socio-Ecological Tourism-Based Systems for Sustainability. Ecological Mode, 6, 191–204. https://doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2007.03.034 Mao, X., Meng, J., & Wang, Q. (2014). Land Use Policy Modeling the effects of tourism and land regulation on

land-use change in tourist regions : A case study of the Lijiang River Basin in. Land Use Policy, 41, 368– 377. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2014.06.018

Nizar, M. A. (2011). Tourism effect on economic growth in Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 6(2), 195–211.

OECD. (2018). OECD Tourism Trends and Policies 2018. Retrieved from http://www.oecd.org/cfe/tourism/ Pan, S., Gao, M., Kim, H., Shah, K. J., Pei, S., & Chiang, P. (2018). Advances and challenges in sustainable

tourism toward a green economy. Science of the Total Environment, 635, 452–469. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.04.134

Regent of Rembang. Urban Land Use Plan Rembang Regency 2011-2031, Pub. L. No. 14 (2011). Regional Secretariat of Rembang Regency.

Rogers, P. P., Jalal, K. F., & Boyd, J. A. (2008). An Introduction to Sustainable Development. London: Earthscan.

Sammy, J. (2008). Examples of Effective Techniques for Enhancing Community Understanding of Tourism. In G. Moscardo (Ed.), Building Community Capacity for Tourism Development (pp. 75–85). Oxfordshire-UK: CABI Publishing.

Simarmata, R., & Firdaus, A. Y. (2016). Pemberlakuan UU No 23/2014 dan Desentralisasi: Kajian di Bidang

Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta. Retrieved from http://www.huma.or.id

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

UNEP/WTO. (2002). World Ecotourism Summit 2002. Final Report. Canada.

https://doi.org/10.1080/14724040208668128

UNEP. (2009). Sustainable Tourism Development in UNESCO Designated Sites in South-Eastern Europe. Bonn-Germany.

UNESCO. (2009). Ekowisata: Panduan dasar pelaksanaan. Jakarta.

UNWTO/UNDP. (2017). Tourism and the Sustainable Development Goals – Journey to 2030. Madrid: UNWTO.

UNWTO. (n.d.). FAQ - Climate Change and Tourism.

UNWTO. (2007). Davos declaration: climate change and tourism responding to global challenges. Davos, Switzerland. Retrieved from sdt.unwto.org/sites/all/files/docpdf/decladavose.pdf

(13)

UNWTO. (2015). Tourism and the Sustainable Development. Madrid.

Wang, J., & Liu, Y. (2013). Tourism-Led Land-Use Changes and their Environmental Effects in the Southern Coastal Region of Hainan Island , China. Journal of Coastal Research, 29(5), 1118–1126. https://doi.org/10.2112/JCOASTRES-D-12-00039.1

WCED. (1987). Our Common Future. United Nations - World Commission on Environment and Development. WTTC. (2017a). Travel & Tourism Economic Impact 2017: Indonesia. London. Retrieved from www.wttc.org WTTC. (2017b). Travel & Tourism Economic Impact 2017: World. London. Retrieved from www.wttc.org Yulianda, F. (2007). Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi.

(14)
(15)

Gambar

Tabel 1. Nilai kisaran sifat fisik – kimia air laut di Perairan Jawa Tengah
Gambar 1.   Road  map  hubungan  antara  pariwisata  berkelanjutan  dan  pembangunan  berkelanjutan  secara  global: prinsip-prinsip, deklarasi, konvensi, pernyataan dan kode.

Referensi

Dokumen terkait

Elemen Packet Switched adalah Serving GPRS Support Node (SGSN) merupakan interface yang berfungsi sama dengan MSC tetapi digunakan untuk layanan packet switched dan

Pergantian masa membuat banyak perubahan, terutama bagi kaum perempuan.Perempuan yang dahulunya hanya bekerja di dalam rumah (ranah domestik), sekarang sudah

Éta Sang Hiang Galuh, kocapkeun kagungan istri, nya geulis ku hade polah, nama rajung raja Mantri, ti dinya kagungan putra, tuluy sahiji the istri. Nu kocap Prabu Galuh,

Sesuai perumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana mekanisme penyusunan perencanaan dan

sementara BBNB dan bahan teriradiasi. Rak penyimpanan BBNB yang terdapat pada KH-IPSB3 ditunjukkan pada Gambar 1. Rak Penyimpanan BBNB dalam kolam KH-IPSB3[1] Reaktor Serba

Dalam penelitian ini data primer diperoleh secara langsung dari pelaku perkawinan anak di bawah umur, pejabat desa serta para ulama Desa Tegaldowo, KUA kecamatan Gunem

Wirid remaja dan didikan subuh ini telah menjadi icon pendidikan keagamaan dalam bentuk pendidikan non formal dalam wajah pendidikan di Kota Padang. Instruksi walikota sebagai

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) harus dibuat dengan terperinci, sesuai dengan gambar rencana dan item-item yang terdapat di dalam spesifikasi. Pada tahapan penyusunan