• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang secara resmi berdiri pada 10 Januari 1973 merupakan penggabungan atau fusi dari lima partai politik, yakni: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)1.

Pemusian partai ini tidak terlepas dari keinginan rezim Orde Baru untuk menyederhanakan sistem kepartaian.

Masing-masing partai yang berfusi menjadi PDI tersebut memiliki latar belakang dan ideologi yang berbeda, sehingga tali pengikat partai dengan basis massa pendukungnya setelah fusi mengalami keterputusan. Dalam keadaan demikian, hubungan antara partai dengan basis massa pendukung bersifat longgar, tidak ada tali pengikat. Tambahan lagi, terdapat kecenderungan kepemimpinan partai berorientasi ke atas bukan ke bawah (massa partai). Hal ini juga karena siapapun yang menjadi pemimpin partai pada masa Orde Baru harus mendapat restu dari penguasa.

1 Persetujuan pembentukan PDI ditandatangani oleh wakil-wakil setiap

unsur pada Pukul 24.00 WIB, 10 Januari 1973. Mereka adalah: Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI), S. Mubantoko dan John Pakan (Murba), Achmad Sukarmadidjaja dan M. Sadrie (IPKI), Ben Mang Reng Say dan F.S. Wignjosoemarsono (Partai Katolik), A. Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo). Cornelis Lay, Laporan Penelitian: Proses Kelahiran Partai Demokrasi Indonesia

(2)

2

Kebijakan fusi pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai pemutusan hubungan ideologis antara partai dengan basis massa pendukung. Dengan demikian maka sejak terbentuknya PDI melalui fusi, basis massa pendukung partai ini berada dalam kondisi yang dilematis. Banyak diantara pendukung salah satu unsur, baik PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba dan IPKI, tetap menyatakan diri sebagai pendukung unsur tersebut, tetapi tidak sebagai anggota PDI. Hal ini menunjukkan bahwa PDI sebagai wadah kegiatan politik masih asing di hadapan sebagian basis massa pendukung kelima unsur yang bergabung di dalamnya.

Dengan latar belakang ideologi dan sejarah pembentukan yang berbeda-beda, PDI sulit menjadi partai yang solid dalam hal identitas partai. Hal ini mengakibatkan PDI bukan saja kehilangan elemen perekat yang dapat menyatukan, melainkan juga memengaruhi eksistensi PDI di muka basis massa pendukungnya. Perbedaan basis legitimasi dan identitas antara berbagai unsur yang bergabung di dalamnya menyulitkan partai ini dalam mencapai perumusan tentang siapa dirinya terhadap massa.

Adapaun upaya untuk menjelaskan ideologi partai atau identitasnya, PDI menyatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa PDI berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia, Kebangsaan Indonesia, dan Keadilan Sosial yang perjuangannya berlandaskan Pancasila2. Meskipun demikian, penjelasan tersebut

masih kabur atau belum cukup kuat untuk menjadi suatu penegasan tentang identitas yang dicari. Karena ketidakmampuannya merumuskan identitas partai

(3)

3

secara konkret, maka PDI kurang menumbuhkan proses identifikasi dirinya dengan masyarakat.

Oleh karena itu, hubungan antara PDI dengan basis massa pendukungnya pada awal proses fusi memperlihatkan ciri sebagai hubungan antara massa pendukung dengan sebuah partai massa. Kekuatan partai ditentukan jumlah massa pendukung. Dalam kondisi demikian, kualitas atau kemampuan kader-kader partai menjadi pertimbangan nomor dua. Kondisi tersebut tidak menguntungkan dalam pola hubungan dengan basis massa, perekrutan kader-kader partai tidak akan berjalan dengan baik.

Selain itu, PDI mencari usaha lain untuk memperjelas identitas partainya. Misalnya mengangkat kembali identitas dan atribut-atribut yang pernah dipakai oleh PNI sebagai partai yang dominan di dalam PDI. PDI menggunakan simbol kepala banteng, warna merah dan hitam, dan memunculkan kembali figur Soekarno saat kampanye pemilu. Penghadiran kembali figur Soekarno juga dilakukan dengan menampilkan keluarga Soekarno dalam PDI. Itu dilakukan dengan merekrut anak-anak Soekarno untuk menjadi kader PDI.3

Meskipun demikian, pengidentikan PDI dengan PNI menimbulkan persoalan baru buat PDI. Memang pengidentikan itu menguntungkan, karena dapat mempertahankan dan menarik massa pemilih PNI. Namun, penggunaan simbol-simbol PNI tersebut menimbulkan rasa cemburu di kalangan unsur non-PNI. Bagi pemerintahan Orde Baru, pemunculan simbol-simbol PNI dan figur Soekarno dimaknai sebagai warisan Orde Lama.

3 Sejak 1987, PDI merekrut Megawati Soekarnoputri dan Guruh

(4)

4

Selain persoalan identitas partai, hubungan PDI dengan massa pendukungnya dipengaruhi juga oleh konflik internal dan faktor eksternal. Konflik intern disebabkan oleh persaingan antarusnur dan antarindividu. Mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur PNI.4 Konflik

internal di tubuh PDI berlangsung mulai sejak fusi partai hingga berakhirnya pemerintahan Orde Baru.

Selain itu, faktor eksternal yang dimaksud adalah keberadaan sejumlah peraturan perundang-undangan tentang pemilu dan organisasi sosial politik yang tidak menguntungkan kehidupan parpol dan di dalamnya termasuk sikap birokrasi yang cenderung “mempersempit” ruang gerak parpol. Undang-undang, seperti UU tentang asas tunggal atau pun massa mengambang telah mengebiri aktivitas partai politik.

Kebijakan perundang-undangan ini memutus hubungan partai politik dengan massa pendukungnya sehingga lahirlah massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini kemudian dijustifikasi dengan keluarnya UU No. 3/1975 dan kemudian diperbaharui dengan UU No. 3/1985. Organisasi politik hanya diizinkan aktif sampai tingkat ibukota kecamatan yang menyebabkan parpol kehilangan basis dukungan dari massanya di desa-desa.

Pada awalnya kebijakan massa mengambang ini bertujuan untuk mengeliminasi konflik-konflik politik di desa serta menghapuskan kesan “politik adalah panglima” yang pernah ada pada masa Orde Lama. Namun dalam perkembangan selanjutnya, justru kebijakan ini menghambat proses kaderisasi

4 Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan

(5)

5

parpol, khususnya PDI. PDI yang terbentuk dari partai yang mengakar di rakyat banyak, seperti PNI, jelas kehilangan basis dukungannya karena kebijakan ini. Hal yang sama ternyata tidak berlaku bagi Golkar. Identifikasi Golkar dengan birokrasi memudahkan Golkar melakukan kaderisasi sampai ke aparat pada level terbawah.

Di tengah-tengah persoalan yang dialami oleh PDI, ada dua hal yang unik dan menarik dari perjalanan politik berlambang banteng ini dalam kaitannya dengan massa pendukung, yakni antusiasme kalangan muda dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan PDI dan penonjolan simbol-simbol Soekarno. Pemunculan gambar Bung Karno dalam kampanye PDI dikaitkan dengan kebutuhan generasi muda terhadap tokoh atau figur idola.5 Meskipun demikian, pimpinan PDI mengaku tidak pernah secara resmi menganjurkan kepada para pendukung agar membawa poster atau gambar Bung Karno.6

Besarnya antusiasme golongan muda ini terlihat sejak penyelenggaraan Pemilu 1987. Dalam kampanye Pemilu 1987, diperkirakan lebih dari satu juta orang yang sebagian besar orang muda memadati jalan-jalan, membawa gambar banteng dan Bung Karno.7 Maka, masuk akal ketika PDI bisa dikatakan sukses meraih suara dalam Pemilu 1987. Keberhasilan PDI dalam pemilu juga dilanjutkan pada 1992.

5 Majalah Tempo, 2 Mei 1987, hlm. 38.

6 Menurut Soerjadi, secara formal dan informal, PDI tak pernah

menginstruksikan untuk membawa gambar Bung Karno. Lihat Majalah Tempo, 16 Mei 1987, hlm. 65.

(6)

6

Di tengah-tengah konflik dualisme kepemimpinan antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati sejak 1996, banyak masyarakat menaruh simpati dan dukungan kepada PDI pro Megawati dengan mendirikan posko-posko PDI di berbagai wilayah. Bahkan sebagian masyarakat secara suka rela menyerahkan harta miliknya sebagai bentuk pembelaan terhadap PDI pimpinan Megawati. Megawati dijadikan sebagai simbol perubahan dan perjuangan rakyat. Kedekatan PDI dengan “wong cilik” pada akhirnya mengarah pada golongan menengah sehingga semakin mengokohkan citra PDI. Dukungan ini terus berlangsung hingga berdirinya PDI Perjuangan pada1 Februari 1999 hingga dalam Pemilu 1999 yang mengantarkan partai banteng sebagai pemenang dengan perolehan 34 persen suara atau 36 juta pemilih.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara PDI (Perjuangan) dengan massa pendukungnya. Kelompok massa pendukung yang dijadikan obyek penelitian ini adalah pemuda dalam pengertian politik. Wilayah yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, dan Sumatera Utara. Pilihan ini didasarkan pada alasan bahwa wilayah tersebut adalah daerah basis PDI (Perjuangan). Meskipun demikian, Jakarta sebagai pusat perpolitikan merupakan wilayah kajian utama dalam penelitian ini.

Selanjutnya, periode yang dipilih pada penelitian ini adalah 1973-1999. Dipilihnya tahun 1973 sebagai batasan awal karena pada tahun inilah berdirinya

(7)

7

PDI yang merupakan fusi dari lima partai politik. Pasca fusi inilah PDI mengalami persoalan yang serius dalam membangun hubungan dengan massa pendukungnya. Tulisan ini dibatasi sampai tahun 1999, dimana pada tahun ini, PDI kubu Megawati Soekarnoputri mendirikan PDI Perjuangan. Pada tahun ini juga PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu.

Untuk itu disusun beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana hubungan PDI dengan massa pendukungnya setelah fusi partai tahun 1973 hingga berdirinya PDI Perjuangan?

2. Apa program dan strategi PDI (Perjuangan) untuk menggerakkan roda partai serta menarik dukungan massa khususnya dari kaum muda?

3. Mengapa golongan muda mendekatkan diri dengan PDI (Perjuangan)? 4. Mengapa PDI Perjuangan bisa memenangkan Pemilu 1999?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menguraikan hubungan PDI dengan massa pendukungnya sebelum dan setelah fusi partai hingga berdirinya PDI Perjuangan.

2. Menguraikan program dan strategi PDI (Perjuangan) untuk menggerakkan roda partai serta menarik dukungan massa khususnya dari kaum muda. 3. Menjelaskan faktor pendorong sehingga golongan muda mendekatkan diri

dengan PDI (Perjuangan).

4. Menjelaskan kemenangan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999. Manfaat dari penelitian ini adalah:

(8)

8

1. Menambah wawasan pembaca mengenai perjalanan politik PDI (Perjuangan) dalam peta politik nasional.

2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah politik guna membuka ruang atau pun merangsang penulisan sejarah politik yang berikutnya.

3. Memberikan pelajaran bagi pembaca khususnya partai politik agar menjadi cermin dalam berdemokrasi.

D. Tinjauan Pustaka

Penulisan sejarah politik khususnya sejarah partai politik sudah banyak dilakukan oleh penulis. Mereka yang menulis sejarah partai politik pada umumnya berlatar belakang ilmu politik atau pun praktisi politik. Penulisan tentang PDI (Perjuangan) sendiri pun sudah banyak dilakukan, hanya saja belum ada secara spesifik yang menulis tentang hubungan PDI (Perjuangan) dengan basis massa pendukungnya khususnya pemuda.

Dalam penulisan ini ada beberapa referensi yang relevan digunakan berkaitan dengan topik penelitian. Dalam buku “Perjalanan Partai Politik Di

Indonesia: Sebuah potret pasang-surut”8 yang ditulis oleh Rusli Karim,

menjelaskan kehadiran partai politik di Indonesia yang secara garis besar adalah sebagai aktualisasi dari tiga aliran yaitu Islam, Nasionalisme, dan Marxisme/Sosialisme. Buku ini bisa dikatakan buku wajib bagi siapa pun yang mengkaji sejarah partai politik di Indonesia, karena buku tersebut memaparkan

8 Rusli Karim. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret

(9)

9

perjalanan partai politik di Indonesia sejak lahirnya partai politik hingga masa Orde Baru. Bahkan di dalam buku itu juga dijelaskan proses fusi partai politik. Namun demikian, buku ini hanya secara umum mengkaji sejarah partai politik di Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga Orde Baru.

Berbicara mengenai sejarah PDI (Perjuangan) tentu tidak bisa dilepaskan dari perjalan politik PNI. Hal ini karena salah satu partai politik terbesar yang berfusi menjadi PDI adalah PNI. Selain itu, tokoh-tokoh PNI merupakan kelompok yang dominan di dalam PDI. Di mana jabatan ketua umum selalu menjadi jatah PNI sebagai unsur terbesar dalam PDI di tingkatan pusat, sedangkan jabatan ketua yang terdiri dari enam orang dibagi antara kelima unsur. Dalam buku kedua yaitu “Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI

1946-1965”9 yang ditulis oleh J. Eliseo Rocamora, menjelaskan bahwa PNI

merupakan satu-satunya partai yang mendasarkan keberadaannya semata-mata pada apa yang diyakininya sebagai kebenaran nasionalisme. Dalam buku ini secara rinci menguraikan pasang surut perjalanan politik PNI yang sarat dengan pertikaian-pertikaian. Pertikaian di dalam tubuh PNI menandakan bahwa partai ini adalah partai yang dinamis. Bahkan pertikaian di antara eksponen-eksponennya masih terus berlanjut setelah partai ini meleburkan diri ke dalam PDI.

Ada hal yang menarik dari konflik internal PDI sebagaimana dijelaskan dalam buku “Melawan Negara: PDI 1973-1986”10 yang ditulis oleh Cornelis

9 J. Eliseo Rocamora. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan

Runtuhnya PNI 1946-1965, Jakarta: Grafiti, 1991.

10 Cornelis Lay. Melawan Negara: PDI 1973-1986, Yogyakarta: Research

(10)

10

Lay. Buku ini memberikan cara pandang yang berbeda melihat konflik internal PDI. Lay melihat konflik internal tersebut sengaja diciptakan oleh PDI sebagai bentuk perlawanan atas negara. Penciptaan konflik internal tersebut adalah salah satu metode perlawanan PDI yang menguras energi ekonomi, politik, dan moral negara. Sesuai dengan kurun waktunya, buku tersebut menjelaskan latar belakang dan proses pembentukan PDI pada tahun 1973, konflik internal PDI, hingga hadirnya figur baru yakni Soerjadi sebagai ketua umum PDI pada tahun 1986. Kehadiran Soerjadi sebagai pemimpin di kandang banteng membawa harapan baru bagi PDI.

Selanjutnya dalam buku “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia”11 yang

merupakan kumpulan pilihan artikel Prisma, menyajikan sejumlah analisa kekuatan politik di Indonesia. Buku ini terdiri dari tiga bagian, yakni: militer dan negara, pemuda dan politik, dan partai-partai politik di Indonesia. Manuel Kaisiepo dalam artikelnya “Dilema Partai Demokrasi Indonesia: Perjuangan

Mencari Identitas” menguraikan latar belakang dan proses pembentukan PDI,

struktur organisasi dan pola rekrutmen, identitas yang kabur, konflik-konflik intern, dan upaya mencari identitas baru. Konflik di dalam tubuh PDI secara umum dibagi dalam tiga tipe, yaitu: konflik di tingkat pusat, konflik yang terjadi antar unsur, dan konflik antara pimpinan partai dengan anggota-anggotanya di DPR. Selain itu, perbedaan identitas masing-masing partai politik yang berfusi ke

11Farchan Bulkin., dkk, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia Pilihan

(11)

11

dalam PDI menyebabkan PDI kesulitan mengidentifikasi dirinya terhadap massa pendukungnya.

Berbicara partai politik, tentu juga tidak bisa dilepaskan dari pemimpinnya. Terpilihnya Soerjadi sebagai ketua umum PDI pada tahun 1986-1993 menandakan berakhirnya kiprah generasi tua dalam tubuh PDI. Di bawah kepemimpinan Soerjadi, PDI berupaya mencari figur yang efektif menarik massa dan membangkitkan memori kolektif tentang Soekarno. Dalam buku“Membangun

Citra Partai: Profil Drs. Soerjadi Ketua Umum 1986-1993”12 yang ditulis oleh

Ohiao Halawa, menguraikan profil dan kepemimpinan Soerjadi dalam menggerakkan roda partai khususnya mengajak kalangan muda untuk mendukung PDI. Sejak kepemimpinan Soerjadi, PDI selalu diidentikkan dengan partainya orang muda.

Soerjadi pun berhasil mengajak Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra masuk PDI. Kepemimpinan Soerjadi-Nico Daryanto berupaya mencari dukungan massa dengan memunculkan dan memanfaatkan nama besar Bung Karno yang melekat pada diri anak-anaknya. Dalam buku “Megawati

Soekarnoputri Dari Rumah Tangga Sampai Istana Negara”13 yang ditulis oleh

Sumarno, menguraikan biografi Megawati Soekarnoputri hingga pilihannya terjun ke panggung politik, serta bayang-bayang Soekarno yang ada pada dirinya.

12 Ohiao Halawa. Membangun Citra Partai: Profil Drs. Soerjadi Ketua

Umum 1986-1993, Jakarta: PT. Nyiur Indah Alam Sejati, 1993.

13 Sumarno, Megawati Soekarnoputri: Dari Ibu Rumah Tangga Sampai

(12)

12

Mengenai aktivitas Megawati di PDI lebih lengkap dijelaskan dalam buku “Megawati Soekarnoputri: Menolak Politik Anti Nurani”14 yang ditulis oleh

Cornelis Lay. Bagi penguasa Orde Baru, kehadiran Megawati Soekarnoputri dalam politik (PDI) merupakan sebuah kekhawatiran hidupnya kembali paham Soekarnoisme. Sedangkan bagi PDI dan arus bawah, Megawati adalah harapan baru dan simbol perjuangan rakyat.

Sedangkan buku kedelapan yang penulis gunakan berjudul “PDI Dan

Prospek Pembangunan Politik”15 yang ditulis oleh Adriana Elisabeth Sukamto,

Ganewati Wuryandari, dan M. Riza Sihbudi. Buku ini menguraikan proses pemilu pada 1987, dimana PDI berhasil menarik simpati masyarakat yang ditandai dengan perolehan suara yang melonjak tajam dibandingkan dengan perolehan suara yang diperoleh pada Pemilu sebelumnya. Selain itu, buku ini juga mengkaji konflik intern yang dialami PDI, upaya penyelesaian konflik, serta masalah-masalah PDI yang lain, seperti identitas partai, kemandirian, dan kaderisasi.

Selanjutnya dalam buku “PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia”16

yang ditulis oleh Arif Zulkifli, mengkaji perjalanan PDI dalam konteks politik pada masa Orde Baru, mulai dari latar belakang fusi PDI, konflik, persoalan-persoalan yang dialami oleh PDI sebagai partai nasionalis, dan hubungannya dengan golongan menengah Indonesia. Golongan menengah yang dimaksud di

14 Cornelis Lay., dkk, Megawati Soekarnoputri: Menolak Politik Anti

Nurani, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2009.

15 Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan

Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo, 1991.

16 Arif Zulkifli. PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta:

(13)

13

sini adalah intelektual, mahasiswa, kelompok profesional, pemimpin surat kabar, dan pengusaha/pedagang.

Berdasarkan beberapa karya di atas dapat diketahui bahwa kajian tentang hubungan.PDI (Perjuangan) dengan basis massa pendukungnya masih terbatas. Oleh karena itu, tesis ini mencoba memaparkan hubungan PDI (Perjuangan) dengan basis massa pendukungnya. Secara khusus, basis massa pendukung yang dimaksud adalah pemuda.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima tahapan, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.17 Pada tahap

pengumpulan sumber (heuristik), penulis mempergunakan buku-buku dan sumber tertulis lainnya seperti seperti arsip, majalah (Prisma, Tempo, Gatra, Pedoman, Basis), dan surat kabar yang berhubungan dengan topik penulisan.

Sumber-sumber ini akan didapatkan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Pusat UGM, Pusat Studi Asia Tenggara UGM, Perpustakaan Ignatius, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Jogja Library Center, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Center for Strategic and International Studies (CSIS), Pusat Informasi Kompas, Kantor Pusat PDI Perjuangan, dan dari internet.

17Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka,

(14)

14

Selain itu, penulis akan melengkapinya dengan melakukan studi lapangan dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh pemuda dan pimpinan PDI (Perjuangan) serta masyarakat sesuai dengan periode kajian penulis. Kemudian setelah data terkumpul memadai, penulis akan mengadakan kritik sumber (verifikasi), secara intern (kredibilitas) maupun ekstern (original). Setelah dilakukan kritik maka langkah selanjutnya adalah interpretasi berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Sebagai langkah akhir, penulis akan merangkai peristiwa sejarah secara kronologis maupun sistematis dalam bangunan tulisan (historiografi).

F. Landasan Konseptual

Tulisan yang berjudul “Pemuda di Kandang Banteng: Hubungan antara PDI (Perjuangan) dengan Massa Pendukungnya” ini, adalah tulisan sejarah politik. Sebagaimana dikemukanan oleh Sartono Kartodirdjo, proses politik sebagai kompleksitas hubungan antara pemimpin dan pengikut, otoritas dan ideologi, ideologi dan mobilisasi, solidaritas dan loyalitas, akan mampu mengungkapkan pola distribusi pengaruh dan kekuasaan dalam kaitannya dengan pola distribusi komoditi serta dengan pola distribusi hubungan sosial.18

Menurut Max Weber, partai politik didefenisikan sebagai organisasi publik yang membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya

18 Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi

(15)

15

untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut.19 Hal yang senada juga

disampaikan oleh Carl J. Friedrich. Menurut Friedrich, partai politik adalah sekolompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.20 Dengan demikian, partai

politik berhubungan erat dengan kekuasaan.

Setidaknya partai politik memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sarana komunikasi politik untuk menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat; (2) sebagai sarana sosialisasi politik melalui ceramah, kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya; (3) sebagai sarana rekrutmen politik untuk memperluas partisipasi politik masyarakat dan mempersiapkan golongan muda yang nantinya akan menggantikan pimpinan lama; dan (4) sebagai sarana pengatur konflik untuk mengatasi mengatasi konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.21

Meskipun demikian, fungsi-fungsi ini seringkali tidak dijalankan oleh partai politik karena berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar.

PDI sebagai salah satu partai politik yang merupakan fusi dari lima partai, pada awal pendiriannya bukanlah didasari oleh tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan. Partai ini berdiri bukanlah

19 Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi

Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Obor, 2011, hlm. 67.

20 Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 2006.

Hlm. 160.

21 Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 2006.

(16)

16

kehendak anggota-anggotanya yang secara sadar dan terorganisir untuk bersatu dengan orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Pendirian atau pemusian partai ini adalah kehendak dari rezim Orde Baru, sehingga terkesan dipaksakan.

Bagi PDI, pemusian yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru ini menimbulkan persoalan mendasar yang salah satunya adalah terganggunya hubungan partai dengan massa pendukungnya. Karena PDI kesulitan dalam menentukan identitas ideologi yang bisa diterima oleh semua massa pendukung partai yang ikut berfusi. Selain itu, ditambah lagi dengan perundang-undangan yang dibuat penguasa semakin menjauhkan partai politik (PDI) dengan massa pendukungnya, sehingga muncullah massa mengambang. Padahal sebelum ada fusi partai, masing-masing kelima partai tersebut memiliki massa pendukung yang jelas dengan ikatan primordial.

Dalam tulisan ini, massa pendukung yang dimaksud adalah pemuda. Berdasarkan UU No. 40/2009, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Tetapi dalam tulisan ini, pemuda yang dimaksud bukan hanya pengertian pemuda yang dibatasi oleh usia, melainkan juga pemuda dalam arti politik. Menurut H.A.R. Tilaar, pemuda identik dengan pemberontak, berani, dinamik, penuh gairah. Jadi, pemuda dalam pengertian ini adalah berdasarkan pikiran-pikiran perubahan meskipun memang ide-ide baru tersebut populer di kalangan yang berumur muda.

Sejarah Indonesia pada abad ke-20, tidak bisa dipisahan dengan peranan pemuda. Taufik Abdullah sendiri menulis mengenai peranan pemuda dalam

(17)

17

sejarah politik Indonesia, yang membaginya dalam angkatan 08, 28, 45, dan 66. Hal senada juga disampaikan oleh B. Anderson, bahwa Revolusi 45 adalah Revolusi Pemuda. Pada 1945, Belanda menyebut aktivis-aktivis yang menentang Belanda sebagai “pemuda”.

Dengan demikian, konsep pemuda yang dipakai dalam penelitian ini adalah: orang-orang yang berusia 16-30 tahun atau lebih, dengan catatan bahwa orang yang berusia lebih dari 30 tahun tersebut secara psikologis mempunyai jiwa kepemudaan dan semangat perubahan. Sementara konsep “kandang banteng” dalam penelitian itu maksudnya adalah PDI itu sendiri di mana simbol PDI adalah kepala banteng yang artinya demokrasi Indonesia. Jadi “Pemuda di Kandang Banteng” berarti hubungan antara pemuda dengan PDI.

G. Sistematika Penulisan

Tulisan ini secara sistematis terbagi dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan. Pada bab ini berisikan: latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, landasan konseptual, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas mengenai sejarah ringkas partai politik (PNI, Partai Katolik, Parkindo, Murba, dan IPKI) yang menjadi unsur-unsur dalam fusi PDI tahun 1973. Selain itu juga menguraikan proses fusi PDI dan struktur organisasi PDI.

Selanjutnya dalam Bab III membahas mengenai hubungan PDI dengan basis massa pendukungnya khususnya kaum muda pasca fusi tahun 1973.

(18)

18

Dinamika Politik PDI pasca fusi meliputi hubungannya dengan sayap organisasi, berbagai persoalan yang memengaruhi hubungannya dengan basis massa pendukung, serta dampak dari persoalan tersebut terhadap perolehan suara. Dalam bab ini juga diuraikan mengenai lahirnya PDI Perjuangan serta kemenangannya dalam Pemilu 1999.

Kemudian dalam Bab IV membahas mengenai program dan strategi PDI (Perjuangan) untuk menggerakkan roda partai serta menarik dukungan massa khususnya kaum muda. Selain itu, dalam bab ini juga menjelaskan faktor pendorong sehingga kaum muda mendekatkan diri dengan PDI sejak 1987.

Dalam Bab V berisi kesimpulan atas pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan kondisi keuangan perusahaan mulai memengaruhi harga saham ditahun 2013, yaitu rata-rata harga saham Rp3.885,- dan dilihat dari profitabilitas di tahun 2013

1) Kegiatan penilaian surat masuk sebenarnya sudah mulai dilaksanakan pada tahap pencatatan, yaitu pada waktu menilai sementara apakah surat masuk termasuk yang

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kanker serviks, menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di

Dalam penelitian ini dilakukan skrining potensi isolat bakteri endofit asal tanaman kayu jawa terhadap bakteri patogen MRSA untuk menemukan sumber potensial baru dari

Seperti halnya model Kemp, model lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk terkait dengan pembelajaran adalah model Pengembangan Dick &

Identifikasi Dan Aplikasi Strain Azolla Asal Bondowoso Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah ( Oryza sativa L ) Fakultas Pertanian: Universitas Muhammadiyah

Negara Tiongkok telah berhasil dalam menciptakan label bahwa Panda merupakan simbol penyelamatan dan pelestarian lingkungan, maka diplomasi Panda pun juga dilakukan

Pandangan MUI NTB yang tidak menyalahkan intervensi Pemerintah provinsi NTB melalui SE Gubernur yang mengatur tentang batas usia minimal menjadi 21 tahun syarat usia menikah