• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal tersebut"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal tersebut (Kridalaksana, 1984:106).

2.1.1 Kesantunan

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama” (Sibarani, 2004:170). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.

2.1.2 Imperatif

Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah, keharusan atau larangan melaksanakan perbuatan (Kridalaksana, 2001:81). Perintah tidak hanya diartikan sebagai perintah untuk melakukan sesuatu, tetapi juga sebagai perintah untuk tidak melakukan sesuatu yang disebut larangan.

2.1.3 Novel 2

Novel 2 diterbitkan pertama kali tahun 2011 karya Donny Dhirgantoro. Novel ini berkisah tentang seorang anak bernama Gusni yang kelebihannya adalah kekurangannya. Berkat keyakinan dan kerja kerasnya, Gusni berhasil membawa

(2)

nama baik Indonesia dalam pertandingan khatulistiwa bulu tangkis terbuka. Sebuah keberhasilan di tengah kekurangan hidupnya. Novel ini mengajak pembaca untuk tidak pernah berputus asa dengan segala ketidaksempurnaan yang ada disekitar kita. Ketidaksempurnaan yang harus disyukuri dan dicintai agar manusia terus berani berjuang meraih mimpi.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pragmatik

Di dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1984:159) disebutkan: pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; pragmatika adalah 1. cabang semiotika yang mempelajari asal-usul, pemakaian dan akibat lambang dan tanda; 2. ilmu yang menyelidiki pertuturan, konteksnya, dan maknanya.

Definisi di atas memberikan gambaran bahwa pragmatik sebagai bidang linguistik berusaha mengungkapkan kaidah-kaidah yang ada dalam pertuturan, hubungan antara tuturan dengan konteks, serta makna kata yang diambil sebagai akibat dari perhubungan antara tuturan dengan konteksnya.

Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations

Yule (2006:3) berpendapat bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Pragmatik berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa

(3)

yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur yang perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan.

2.2.2 Kalimat Imperatif

Istilah ”imperatif ” lazim digunakan untuk menunjuk salah satu tipe kalimat bahasa Indonesia, yakni imperatif. Alisjahbana (dalam Rahardi, 2010) mengartikan sosok kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksudkan di dalam perintah itu. Berdasarkan maknanya, yang dimaksudkan dengan aktivitas memerintah itu adalah praktik memberitahukan kepada mitra tutur bahwa penutur menghendaki orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang sedang diberitahukannya.

Wujud imperatif adalah realitas maksud imperatif. Wujud imperatif dalam bahasa Indonesia mencakup dua macam, yakni (1) wujud imperatif formal atau struktural dan (2) wujud imperatif pragmatik atau nonstruktural. Wujud formal imperatif adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia menurut ciri struktural atau ciri formalnya. Sedangkan, wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya. Makna yang demikian itu sangat ditentukan oleh konteks situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu.

Contoh:

(4)

Informasi indeksal:

Tuturan seorang kepala negara kepada masyarakat umum di dalam acara televisi pada saat isu akan diseminarkannya pidato Nawaksara semakin merebak.

Secara linguistik, tuturan di atas berkontruksi imperatif yang digunakan untuk menyatakan maksud persilaan. Namun, dari sisi pragmatiknya tuturan tersebut ditafsirkan sebagai sebuah perintah larangan untuk tidak mengadakan seminar tersebut.

Menurut Rahardi ada 17 macam makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia, antara lain:

1. makna pragmatik imperatif perintah; secara struktural, makna imperatif perintah ditandai oleh pemarkah kesantunan sudi kiranya dan sudilah kiranya. 2. makna pragmatik imperatif suruhan; secara struktural, makna imperatif

suruhan ditandai oleh pemarkah kesantunan coba.

3. makna pragmatik imperatif permintaan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan tolong dan mohon.

4. makna pragmatik imperatif permohonan; struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan mohon, dimohon dan partikel -lah

5. makna pragmatik imperatif desakan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan harus dan harap.

6. makna pragmatik imperatif bujukan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan ayo dan tolong.

7. makna pragmatik imperatif imbauan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan harap, mohon, dan partikel -lah.

(5)

8. makna pragmatik imperatif persilaan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan silakan dan dipersilakan.

9. makna pragmatik imperatif ajakan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan mari dan ayo.

10. makna pragmatik imperatif permintaan izin; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan boleh dan biar.

11. makna pragmatik imperatif mengizinkan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan silakan.

12. makna pragmatik imperatif larangan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan jangan, dilarang, tidak diperkenankan, dan tidak diperbolehkan. 13. makna pragmatik imperatif harapan; secara struktural ditandai oleh pemarkah

kesantunan semoga dan harap.

14. makna pragmatik imperatif umpatan; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan mampus.

15. makna pragmatik imperatif pemberian ucapan selamat; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan selamat.

16. makna pragmatik imperatif anjuran; secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan hendaknya, hendaklah dan sebaiknya.

17. makna pragmatik imperatif ngelulu (larangan melakukan sesuatu); secara struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan jangan.

(6)

2.2.3 Kesantunan Berbahasa

Terdapat tiga macam teori yang dapat dijadikan dasar atau pijakan di dalam penelitian kesantunan pragmatik tentang imperatif dan pemakaian tuturan imperatif di dalam bahasa Indonesia. Ketiga teori itu adalah (1) teori tindak tutur, (2) teori pranggapan, implikatur, dan entailment, dan (3) teori kesantunan bahasa.

John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat tiga macam tindak tutur, antara lain tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusi. Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur.

Terdapat dua cara dalam menyampaikan imperatif, yakni dengan tuturan langsung dan tuturan tidak langsung. Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh, yakni jarak antara titik ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri si mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya, semakin dekat jarak tempuhnya akan semakin langsunglah tuturan itu. Selain itu, tingkat kelangsungan tuturan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatiknya. Adapun yang dimaksud dengan kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa semakin tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin langsunglah maksud tuturan tersebut. Sebaliknya,

(7)

semakin tidak tembus psndang maksud tuturan tersebut akan semakin tidak langsunglah maksud tuturan itu. Apabila kejelasan pragmatik itu dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak santunlah tuturan itu, demikian sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud suatu tuturan akan menjadi semakin santunlah tuturan itu.

Makna pragmatik tuturan di dalam pertuturan tidaklah hanya didapatkan dari tuturan tersebut, tetapi juga didapatkan dari informasi indeksalnya. Dengan perkataan lain, makna yang tersurat pada sebuah tuturan tidaklah selalu sama dengan makna yang tersirat dalam pertuturan itu. Makna yang tersirat itu dapat diperoleh dengan mencermati konteks yang menyertai munculnya tuturan itu, yakni melalui praanggapan, implikatur, dan entailment.

Menurut Kridalaksana (1984:159) praanggapan adalah syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat; misalnya ’ia bergadang’ adalah praanggapan bagi kebenaran kalimat ’barang dagangannya sangat laku.’ Praanggapan pragmatik adalah apabila dalam suatu ucapan mempunyai praanggapan yang menyatakan siapa pembicara atau pendengar, seperti keadaan dengan honorifik, misalnya pemakaian kata ’beliau’ di bahasa Indonesia mempunyai praanggapan pragmatik bahwa yang dibicarakan adalah seseorang yang terhormat.

Suatu percakapan dapat berlangsung berkat adanya kesepakatan bersama. Kesepakatan itu antara lain berupa kontrak tak tertulis bahwa ihwal yang dibicarakan itu harus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terungkapkan secara literal pada masing-masing kalimat. Makna dibalik apa yang diucapkan tersebut sangat erat hubungan

(8)

kaitannya dengan konteks di mana ke dua kalimat itu diucapkan, misalnya ’rumahmu bagus sekali’ yang memiliki implikatur pujian. Inilah yang disebut implikatur percakapan.

Menurut Yule (2006: 43) Entailmen adalah sesuatu yang secara logis ada atau mengikuti apa yang ditegaskan di dalam tuturan. Yang memiliki entailmen adalah kalimat, bukan penutur.

Kesantunan bahasa menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itu, penutur menggunakan strategi dalam melakukankan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar. Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan. Dengan kata lain, suatu ujaran dikatakan santun atau tidak berdasarkan batasan-batasan yang dilakukan oleh peserta tutur (komunikasi) mengenai apa yang boleh dikatakan dan bagaimana cara mengujarkannya. Oleh karena itu, konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur sangat menentukan kesantunan sebuah bentuk bahasa. Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragma

Di dalam model kesantunan Leech (1993:194), setiap maksim interpersonal dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Skala kesantunan yang disampaikan Leech, antara lain:

tik.

1. Cost-benefit scale (skala kerugian dan keuntungan)

Skala ini ditujukan kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan

(9)

tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

Contoh:

“Hidupkan kipas angin, jika AC-nya rusak!”

Tuturan di atas merupakan tuturan yang tidak santun karena maksud perintah yang disampaikan oleh penutur tersebut memberikan kerugian kepada mitra tutur untuk melakukan apa yang diinginkan oleh penutur dalam tuturannya. 2. Optionality scale (skala pilihan)

Skala ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.

Contoh:

“Baik, hari ini kita akan belajar tentang pragmatik. saya minta kalian baca buku kalian hal 30-35 selama 10 menit. Kemudian kita akan diskusi. Silakan!”

(10)

Tuturan di atas merupakan tuturan yang santun karena maksud persilaan yang disampaikan oleh seorang dosen kepada mahasiswanya memberikan banyak alternatif atau pilihan tindakan kepada mahasiswanya ketika belajar suatu mata kuliah, yakni membaca dan mendiskusikan tentang pragmatik.

3. Indirectness scale (skala ketidaklangsungan)

Skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

Contoh:

“Dimohon sabar, semua akan dilayani”

Penanda kesantunan mohon pada tuturan tersebut sudah dapat menyatakan bahwa tuturan di atas merupakan tuturan yang santun, dimana maksud permohonan dari tuturan tersebut dinyatakan secara tidak langsung kepada orang yang sebenarnya tidak sabar untuk segera dilayani.

4. Authority scale (skala keotoritasan)

Skala ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

(11)

Contoh:

“Maaf Pak, kemarin saya tidak dapat mengikuti ujian. Mohon Bapak dapat memberikan ujian susulan kepada saya.”

Tuturan di atas merupakan tuturan permohonan yang santun. Mahasiswa sebagai penutur dalam tuturan di atas memiliki status yang lebih rendah daripada dosennya sebagai mitra tuturnya, sehingga mahasiswa secara otomatis akan menyampaikan maksud dari tuturannya secara santun.

5. Social distance scale (skala jarak sosial)

Skala ini menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

Contoh:

“tenang..tenanglah dulu, Pong!”

Tuturan di atas dituturkan oleh teman Pong, yang saat itu melihat Pong tergesa-gesa akan meluapkan emosi kepadanya. Hubungan keakraban di antara keduanya membuat tuturan di atas tidaklah santun.

(12)

Berdasarkan ketiga teori di atas, maka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kesantunan bahasa. Adapun alasan pemilihan teori tersebut karena teori inilah yang sampai saat ini dijadikan tolak ukur untuk menilai kesantunan suatu bahasa. Teori kesantunan berbahasa merupakan sebagian kiat berbahasa yang mendukung keberhasilan penyampaian pesan (berkomunikasi) yang juga berhubungan dengan kebudayaan masyarakat penuturnya terhadap citra diri seseorang di tengah masyarakatnya.

2.2.4 Konteks Situasi

Konteks situasi atau peristiwa tutur merupakan interaksi linguistik dalam suatu ujaran atau lebih melibatkan dua pihak, yakni penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 1995: 47). Suatu konteks harus memenuhi delapan komponen yang diakronimkan sebagai S-P-E-A-K-I-N-G oleh Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 48). Komponen tersebut adalah :

1. S (setting dan scene), setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung, scene adalah situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepakbola pada waktu pertandingan sepakbola dalam situasi ramai anda bisa berbicara keras-keras, berbeda dengan pembicaraan di ruangan perpustakaan pada waktu banyak orang membaca, anda harus berbicara seperlahan mungkin.

(13)

2. P (participants), pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dengan penerima pesan. Dua orang yang bercakap dapat berganti peran sebagai pendengar dan pembicara, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicaradan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan berbicara terhadap teman-temannya.

3. E (ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruangan pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

4. A (act sequences), mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

5. K (keys), mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, serius, singkat, sombong, mengejek, dan bergurau. Hal ini juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

(14)

6. I (instrumentalies), mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.

7. N (norm of interaction an interpretation), mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

8. G (genres), mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada beberapa sumber yang didapat untuk dikaji dalam penelitian ini, antara lain:

Nelly S Sitohang (2010) meneliti kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba. Ia menyimpulkan bahasa Batak Toba memiliki dua wujud kesantunan imperatif, antara lain: wujud formal kesantunan imperatif dan wujud pragmatik kesantunan imperatif. Wujud formal kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba meliputi dua macam yaitu; imperatif aktif dan imperatif pasif dan wujud pragmatik kesantunan bahasa Batak Toba terdiri dari tujuh belas macam berupa wujud konstruksi tuturan imperatif dan berupa wujud konstruksi nonimperatif.

(15)

Irma Sofiana sinaga (2011) meneliti struktur dan pemarkah kalimat imperatif dalam lirik lagu Ebiet G Ade tahun 1980-an. Dia menyimpulkan lirik lagu Ebiet G Ade tahun 1980 memiliki struktur kalimat imperatif yang memiliki 36 konstruksi kalimat dan pemarkah kalimat imperatif dapat diklasifikasikan sebagai perintah, perintah negatif, kehendak, permohonan, perizinan, ajakan, pembiaran dan permintaan.

Hasibuan (2005) mengkaji tentang perangkat tindak tutur dan siasat kesantunan bahasa dalam bahasa Mandailing. Ia mengemukakan jenis-jenis tindak tutur versi Searle, yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Dia juga membahas jenis tindak tutur langsung dan tidak langsung.

Referensi

Dokumen terkait

o Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D&K dilanjutkan dengan pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan... o Bila pasien

Pengaruh dosis radiasi sinar gamma terhadap persentase hidup tunas Nepenthes pada umur dua bulan setelah perlakuan (atas) dan umur lima bulan pasca perlakuan pada

Analisis Kandungan Protein Terlarut Daun Kedelai Edamame (Glycine max (L.) Merr) Hasil fermentasi Oleh Aspergillus niger.. Noni Anwar

• Jangan biarkan kabel jaringan listrik bersentuhan atau mendekati pintu peralatan atau ditempatkan di rongga bawah peralatan, terutama saat beroperasi atau pintu peralatan

– Cantumkan semua attribute dari relationship R sebagai attribute biasa dalam skema relasi – Primary key dari S biasanya berupa kombinasi dari semua FK yang terbentuk di atas.

Kontras lainnya adalah bahwa penganut teori struktural fungsional melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh nilai-nilai, norma-norma, dan moralitas

Peradilan militer di Indonesia saat ini merupakan penjelmaan dari Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan aturan hukum yang ada

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·