• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Bangsa Indonesia dalam rangka mencapai cita-cita tersebut, membutuhkan suatu pembangunan nasional di segala bidang kehidupan secara berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terarah,1 termasuk diantaranya pembangunan kesehatan yang merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan, hal itu sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”; Kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.2

Negara Republik Indonesia dalam mewujudkan tugas kontitusionalnya membuat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 1

1

Indra Bastian dan Suryono, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta, hlm. 16.

2

Ferdika, Lestari dkk, 2012, Kitab Undang-Undang tentang Kesehatan dan Kedokteran, Tim penerbit Buku Biru, Yogyakarta, hlm. 245.

(2)

angka 1 Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa kesehatan adalah “Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan eknomi”.3

Di berbagai daerah di Indonesia, terdapat banyak tempat yang menyediakan pelayanan kesehatan, diantaranya rumah sakit. Rumah Sakit adalah “Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”.4 Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks karena berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Dokter dan dokter gigi adalah salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama di sebuah rumah sakit, karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.5

Seseorang yang berobat ke rumah sakit atau ke tempat praktek seorang dokter, dapat dikatakan bahwa orang itu meminta bantuan kepada orang lain. Orang yang kemudian menjadi pasien, walaupun meminta bantuan, tetapi bantuan itu tidak cuma-cuma didapatkannya, melainkan ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi antara lain berkewajiban untuk membayar biaya perawatan dan pengobatan. Oleh sebab itu maka rumah sakit atau dokter berkewajiban pula untuk memenuhi hak pasien dengan tidak memperlakukan pasien

3

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 4

Pasal 1 angka1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

5

(3)

wenang tanpa persetujuannya.6 Dahulu memang hubungan antara dokter dengan pasien bersifat paternalistik, posisi dokter karena ilmu pengetahuan dan keahliannya lebih kuat dibanding posisi pasien yang berada dalam keadaan sakit dan membutuhkan bantuan dokter. Namun seiring dengan perkembangan zaman keadaan itu berubah, kalau dulu pasien selalu mengikuti apa yang dikatakan dokter, sekarang pasien dan dokter mempunyai kedudukan yang sama secara hukum. Pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu, begitupun sebaliknya pada dokter.7

Dilihat dari aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi terapeutik atau kontrak terapeutik. Disini tiap-tiap pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receiver) mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati.8 Ikatan demikianlah menimbulkan adanya permasalahan terkait persetujuan tindakan kedokteran atau sekarang disebut Informed Consent, di satu sisi tim dokter mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangan mereka, dan disisi lain pasien atau keluarga pasien mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan atau informasi tentang apa yang akan dilakukan dokter.9

Persetujuan tindakan kedokteran atau Informed consent merupakan hal utama yang mendukung adanya tindakan kedokteran dalam transaksi terapeutik karena persetujuan yang diberikan secara sukarela oleh pasien merupakan salah satu

6

Moh.Hatta, 2013, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Liberty, Yogyakarta, hlm.71. 7

Rio Christiawan, 2003, Aspek Hukum Kesehatan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 7. 8

Indra Bastian dan Suryono, op.cit, hlm. 44. 9

M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 2012, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm.73.

(4)

syarat untuk terjadinya atau sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, yaitu “Sepakat mereka yang mengikatkan diri”.10

Adapun yang dimaksud dengan persetujuan tindakan kedokteran adalah: “Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien dan penjelasan itu sekurang-kurangnya meliputi diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, tujuan tindakannya, alternatif tindakan dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, serta perkiraan pembiayaan, yang dijelaskan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman”.11

Bentuk pemberian persetujuan tindakan kedokteran oleh pasien bisa dinyatakan secara jelas (express) yaitu secara lisan dan tertulis, dan dianggap diberikan (implied) yaitu dalam keadaan biasa ataupun keadaan gawat darurat.12

Persetujuan tindakan kedokteran atau Informed consent terdapat dua hak pasien yang sangat penting dalam hubungannya dengan dokter. Hak tersebut adalah hak atas informasi (Informed) dan hak atas persetujuan (consent).13 Hak

pertama tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yaitu “Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat pasien, baik diminta maupun tidak diminta”. Hak kedua terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

10

Rio Christiawan, op.cit, hlm. 8. 11

Pasal 1 angka 1, Pasal 7 ayat (3), Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

12

M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, op.cit, hlm. 74-75. 13

Husein Kerbala, 1993, Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 11.

(5)

290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yaitu “Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien, tidak selamanya pasien atau keluarganya bersedia memberikan persetujuan mengenai suatu tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter, hal ini karena pihak pasien diperkenankan secara hukum untuk menolak atau menerima suatu tindakan kedokteran. Sehingga dalam keadaan yang demikian, pihak dokter harus memahami bahwa pasien atau keluarganya mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan.

Pernyataan penolakan pasien atau keluarga itu disebut dengan istilah informed

refusal, jika penolakan ini terjadi yang kemudian dikukuhkan dalam suatu

penandatanganan pada formulir informed refusal, hal ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik, sehingga apa yang terjadi di belakang hari tidak lagi menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit.14

Adanya Informed consent dimaksudkan untuk mengurangi tindakan malpraktek dalam profesi kesehatan serta membimbing tenaga kesehatan untuk lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sehingga pasien tidak merasakan tindakan kesewenang-wenangan dari tenaga kesehatan.15 Kasus sengketa kesehatan mengenai persetujuan tindakan kedokteran atau

Informed consent yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya kasus Prita

Mulyasari, pasien di Rumah Sakit Omni Internasional pada tahun 2008 yang merasa tidak mendapatkan haknya atas informasi yang jelas dan lengkap mengenai penyakitnya serta adanya tindakan berupa suntikan yang dilakukan

14

M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, op.cit, hlm. 72. 15

(6)

tanpa penjelasan tentang tujuan tindakan tersebut.16 Salah satu kasus yang menjadi topik pembicaran di tahun 2013 yaitu kasus dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani dkk, dimana menurut Mahkamah Agung yang menangani kasus tersebut, dokter telah melakukan tindakan operasi caesar (cito secsio sesaria) tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari keluarga pasien yang ada pada saat itu, sedangkan tindakan tersebut adalah tindakan yang berisiko tinggi. Adanya kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa ternyata masih terdapat kendala-kendala di dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Kendala tersebut secara umum dapat berasal dari pihak rumah sakit/dokter selaku penyedia layanan kesehatan (health provider) maupun dari pihak pasien selaku penerima layanan kesehatan (health receiver).

Salah satu sumber utama pelayanan kesehatan di Rumah Sakit adalah Instalasi gawat darurat (IGD). IGD merupakan bagian dari rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Selain itu juga, merupakan salah satu dari unit kesehatan yang paling padat modal, padat karya, serta padat teknologi yang didalamnya dapat ditemukan dokter dari berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan juga asisten dokter yang saling berinteraksi.17Maka hal tersebut menjadikan IGD rentan terhadap munculnya permasalahan atau sengketa antara

16

Syahrul Salam, “Inilah kronologis Kasus Prita Mulyasari”,

http://www.sumbanews.com,diakses tanggal 20September 2014.

17

Andriani Yulianti, 2011, Evaluasi Customer Focus Sebagai Bentuk Penerapan Continuous Quality Improvement di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta,Tesis Manajemen Rumah Sakit, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(7)

pihak pasien atau keluarga dan tenaga kesehatan salah satunya dengan adanya persetujuan tindakan kedokteran atau Informed Consent.

Seorang pasien yang mengalami kondisi gawat darurat di IGD membutuhkan pertolongan segera dari dokter demi menyelamatkan jiwa pasien serta mencegah terjadinya kecacatan. Pada kondisi ini bagi pasien yang tidak sadarkan diri dan tidak didampingi oleh keluarga maka tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yaitu: “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.

Namun lain halnya jika pasien yang dalam keadaan gawat darurat itu dalam keadaan sadar dan didampingi oleh keluarganya, karena pada situasi tersebut harus membutuhkan persetujuan tindakan kedokteran atau Informed Consent dari pasien atau keluarga. Pada unit IGD permasalahan yang sering muncul mengenai pemberian persetujuan adalah pengambilan keputusan yang masih diintervensi oleh pihak lain seperti keluarga. Hal ini terjadi karena asas kekeluargaan yang sudah mengakar dan tumbuh di masyarakat,18 sehingga pada pasien dalam kondisi gawat darurat yang dalam keadaan sadar dan didampingi oleh keluarga yang seharusnya pada saat itu berhak memberikan persutujuan tindakan kedokteran, akan tetapi karena di keluarganya ada salah seorang anggota keluarga yang dipercayakan dalam setiap pengambilan keputusan menjadikan tindakan

18

(8)

pertolongan yang seharusnya sudah diterima pasien menjadi tertunda demi menunggu anggota keluarga yang dipercayakan tadi, sehingga waktu yang terbuang untuk menunggu tersebut dapat merugikan pasien. Pada situasi tersebut pula dokter akan mengalami dilema, karena di satu sisi seorang dokter yang melihat keadaan demikian menginginkan memberikan pertolongan segera demi menyelamatkan jiwa dan mengurangi kecacatan pasien, sedangkan di sisi lain, seorang dokter untuk dapat melakukan tindakan kedokteran membutuhkan persetujuan untuk melakukan tindakan kedokteran dari pihak pasien atau keluarganya.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yang merupakan satu-satunya Rumah Sakit di Kabupaten Wakatobi, pernah mengalami masalah dalam pelaksanaan Informed consent, dari hasil observasi dan pra survey yang dilakukan penulis di RSUD tersebut, melakukan wawancara dengan Direktur RSUD, bahwa pernah terjadi 2 kasus terkait persetujuan tindakan kedokteran yang terjadi di unit IGD menjadikan dokter dan RS dituntut dan digugat oleh pihak pasien, namun kasus tersebut dapat diselesaikan secara mediasi. RSUD Kabupaten Wakatobi merupakan Rumah Sakit yang bertanggung jawab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan menghargai hak-hak pasiennya, maka sepantasnyalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengoptimalkan pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran atau Informed

Consent yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

(9)

kepentingan pasiennya terlindungi khususnya dalam mendapatkan hak atas informasi dan hak menentukan nasib sendiri, serta rumah sakit atau dokter mendapatkan perlindungan hukum dari segala tuntutan maupun gugatan. Berawal dari permasalahan terkait maka mendorong keinginan penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran di Instalasi Gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran di unit IGD RSUD Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi dokter dan pasien di unit IGD RSUD Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan

(10)

Tindakan Kedokteran di unit IGD RSUD Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan bentuk perlindungan hukum bagi dokter dan pasien di unit IGD RSUD Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang mengkaji tentang implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran di IGD RSUD Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, sepanjang penelusuran penulis di perpustakan Pusat Universitas Gadjah Mada, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, serta melalui media internet, belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga sifatnya adalah asli, namun terdapat beberapa penelitian terkait dengan persetujuan tindakan kedokteran atau Informed Consent, yaitu:

1. Pada tahun 2009, Ezwandra melakukan penelitian mengenai Hubungan Komunikasi Efektif Dokter-Pasien dan Penjelasan saat Penandatanganan

Informed Consent terhadap Kepuasan Pasien di RSUD Dr. M. Zein Painan.

Masalah yang diangkat dalam penelitiannya yakni (1) apakah terdapat hubungan antara variabel komunikasi dokter-pasien terhadap tingkat kepuasaan?; (2) apakah ada hubungan antara penjelasan saat penandatangan

(11)

penelitian yang dilakukan Ezwandra yaitu (1) Komunikasi efektif dokter-pasien mempunyai hubungan yang signifikan terhadap tingkat kepuasan pasien, komunikasi mampu memprediksi tingkat kepuasan pasien lebih tinggi dibandingkan dengan penjelasan dokter saat penandatangan Informed

Consent; (2) Komunikasi efektif dokter-pasien dan penjelasan dokter saat

penandatanganan Informed Consent terhadap tingkat kepuasan pasien, ternyata mampu memprediksi 51,8% tingkat kepuasan pasien, dengan kata lain komunikasi dan penjelasan saat penandatanganan Informed Consent lebih besar mempengaruhi tingkat kepuasan pasien dibandingkan hal-hal lain yang diluar penelitian ini.19

2. Pada tahun 2011, Istri Yuliani melakukan penelitian tentang Analisis Korelasi Tingkat Pengetahuan Bidan tentang Aspek Hukum Informed Consent dan Implementasinya pada Pelayanan Persalinan oleh Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman. Penelitian ini mengangkat masalah tentang (1) Bagaimanakah tingkat pengetahuan Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman tentang aspek hukum Informed Consent?; (2) Bagaimanakah implementasi Informed Consent pada pelayanan persalinan oleh Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman?; (3) Bagaimanakah hubungan antara faktor pendidikan, informasi budaya, lingkungan organisasi, pengalaman dan usia bidan dengan implementasi Informed Consent pada pelayanan persalinan oleh Bidan Praktek Swasta di Kabupaten Sleman?; dan (4) Bagaimanakah hubungan antara tingkat pengetahuan bidan tentang aspek hukum Informed

19

Ezwandra, 2009, Hubungan Komunikasi Efektif Dokter-Pasien dan Penjelasan saat Penandatanganan Informed Consent terhadap Kepuasan Pasien di RSUD Dr. M. Zein Painan.Tesis Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

(12)

Consent dengan implementasinya pada pelayanan persalinan oleh Bidan

Praktik Swasta di Kabupaten Sleman?. Hasil yang di peroleh dari penelitian yang dilakukan Istri Yuliani yaitu (1) Tingkat pengetahuan Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman khususnya di wilayah Sleman Tengah tentang aspek hukum Informed Consent dilihat dari aspek pengertian, bentuk, informasi, tujuan, penolakan dan aspek hukum lebih dari 50% responden dalam kategori tinggi, sehingga menggambarkan bahwa sebagian besar Bidan Praktik Swasta di wilayah Sleman Tengah sudah mengetahui dan memahami aspek hukum Informed Consent, terbukti Bidan Praktik Swasta di wilayah Sleman Tengah mampu menjelaskan dan menginterpretasikan aspek hukum

Informed Consent; (2) Sebagian besar Bidan Praktik Swasta di Kabupaten

Sleman khususnya di wilayah Sleman Tengah patuh terhadap peraturan per Undang-undangan, hal ini karena 73,9% telah mengimpelentasikan Informed

Consent dengan baik; (3) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan

antara faktor pendidikan, informasi, budaya dan lingkungan organisasi, pengalaman dan usia bidan dengan implementasi Informed Consent pada pelayanan persalinan oleh Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman khususnya di wilayah Sleman Tengah, hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendidikan, informasi, budaya dan lingkungan organisasi, pengalaman bidan akan semakin baik pula implementasi Informed

Consentnya: (4) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat

(13)

implementasinya pada pelayanan persalinan oleh Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman khususnya di wilayah Sleman Tengah.20

3. Pada tahun 2011, Mianita melakukan penelitian tentang Kedudukan Hukum

Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainal Abidin Banda Aceh. Permasalahan yang diangkat dalam penelitiannya, yaitu (1) Bagaimanakah kedudukan hukum Informed Consent dalam perjanjian terapeutik?; (2) Bagaimanakah konsekuensi hukum atas tidak dilaksanakannya Informed Consent seperti diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokeran?. Hasil yang di peroleh dari penelitian yang dilakukan Mianita yaitu (1) kedudukan hukum Informed Consent dalam perjanjian terapeutik menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah sebagai syarat perjanjian terapeutik, Informed Consent merupakan perwujudan dari consensus dan sebagai syarat sahnya perjanjian terapeutik atau keabsahan transaksi terapeutik sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata; (2) Konsekwensi hukum atas tidak terlaksananya Informed Consent seperti diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jika ditinjau dari hukum perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya persetujuan dari pasien sedangkan pasien dalam keadaan sadar dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan

20

Istri Yuliani, 2011, Analisis Korelasi Tingkat Pengetahuan Bidan tentang Aspek Hukum Informed Consent dan Implementasinya pada Pelayanan Persalinan Bidan Praktik Swasta di Kabupaten Sleman,Tesis Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

(14)

medis dapat dipersalahkan karena melakukan wanprestasi, selanjutnya Rumah Sakit perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pelayanan kesehatan atau tindakan medik terutama dalam hal Informed Consent sebelum dokter melakukan tindakan medik.21

Perbedaan mendasar pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian-penelitian ini lebih menekankan pada implementasi dan bentuk perlindungan hukum bagi pasien dan dokter di IGD RSUD Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dalam keadaan gawat darurat, karena di IGD sering terjadi permasalahan mengenai persetujuan tindakan kedokteran atau Informed Consent, dan salah satunya karena intervensi dari pihak lain atau keluarga lain, padahal pada saat itu pasien mempunyai hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan terhadapnya atau dalam kondisi gawat darurat yang dialami pasien dalam keadaan tidak sadar, terdapat anggota keluarga yang menurut ketentuan hukum yang ada, dia berhak dalam memberikan persetujuan, namun karena kebiasaan dari keluarga tersebut yang selalu mempercayakan pengambilan keputusan kepada satu orang yang sangat dihormati di dalam keluarganya, sehingga harus menunggu anggota keluarga tersebut akhirnya harus menunda pemberian persetujuan tindakan kedokteran.

21

Mianita, 2011, Kedudukan Hukum Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di RSUD Dr. Zainal Abidin Banda Aceh,Tesis Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

(15)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan yaitu diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum kesehatan di Indonesia, dan secara khusus pada Magister Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, serta dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai persetujuan tindakan kedokteran.

2. Manfaat bagi pembangunan Negara dan Bangsa yaitu diharapkan dapat memberikan masukan kepada para praktisi hukum dan praktisi bidang layanan kesehatan berkaitan dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Informed

Referensi

Dokumen terkait

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Sistem pinjam pakai induk khususnya ikan Gurami di Nagari Mungo merupakan peminjaman indukan ikan kepada sesama pembudidaya yang telah lama berlangsung sekitar

Seperti Data Tindak Pidana di Bidang Perikanan Tahun 2015, Putusan Pengadilan Negeri Kandangan terkait tindak pidana perikanan, Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai

Mikroorganisme pelarut fosfat dapat diisolasi dari tanah yang kandungan fosfatnya rendah terutama di sekitar perakaran tanaman, karena bakteri ini menggunakan fosfat dalam

Hal tersebut dikarenakan penelitian yang dilakukan berupa penyelidikan untuk mencari informasi atas implementasi kebijakan pembebasan sebagian pajak hiburan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh penggantian Bovine Serum Albumin (BSA) dengan putih telur dalam pengencer dasar CEP-2 terhadap kualitas

Hasil evaluasi akhir menunjukkan bahwa 80% peserta pelatihan mampu menguasai teknik yang dilatihkan, sehingga dapat dikatakan bahwa program pelatihan pembuatan nata de

Respon udang pasca adaptasi terhadap cekaman salinitas rendah ditunjukkan dengan tingkat sintasan dari yang tertinggi ke rendah berturut-turut ditunjukkan pada