• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH NAHWU Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SEJARAH NAHWU Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih - Test Repository"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH NAHWU

Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih

(2)

SEJARAH NAHWU

Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih

Sri Guno Najiib Chaqoqo, M.A.

Edior: Muhamad Hasbi, M.A.

Cetakan Pertama: Oktober 2015 16 x 23,5 cm; vi+169 hlm.

Penerbit:

LP2M-Press,

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga Email: lp2miainsalatiga@gmail.com

ISBN 978-602-73757-4-1

All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang.

(3)

ميحرلا نمحرلا للهامسب

هلأ ىلعو دمحم انديس ىلع ملاسلاو ةلاصلاو نيبم يبرعب نأرقلا لزنأ ىذلا للهدمحلأ

نيعمجا هباحصأو

S

egala puji bagi Allah yang telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya, hingga penulis ber kesempatan menyelesaikan tulisan ini. Kasih sayang dan keagungan semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang kepadanya diwahyukan al-Qur’an men jadi pe doman bagi manusia.

Tulisan ini merupakan karya tulis penulis saat me nyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ber harap bisa menyum bang kan pemikiran dalam sejarah peradaban ke-ilmuan Islam dalam bidang sejarah kodifikasi nahwu. Tulisan ini me­ motret sejarah nahwu dalam kaitan dengan masuk nya filsafat Yunani ke wilayah yang menjadi daerah ke kuasaan Islam saat itu meliputi Baghdad, Bashrah, Kufah, Iskandariyah, dan Andalus. Kajian ini dibingkai dalam masa hidup tokoh nahwu terkenal yaitu Imam Sibawaih. Sidang pem-baca akan menemukan berbagai hal yang bisa memperkaya infor masi mengenai sumbangan dan saling memberikan kontribusi antara per-kem bangan pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam yang ber­ kembang pesat, termasuk pemikiran atas nahwu.

(4)

Penulis harus berterimakasih kepada Bapak Menteri Agama RI, yang telah memfasilitasi studi penulis di SPs UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, juga kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A., Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Dr. Fuad Jabali, M.A., Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dr. Udjang Thalib, M.A..

Tidak lupa kepada Prof. Dr. Muhammad Matsna HS, M.A., yang telah memberikan masukan bagi kesempurnaan tulisan ini. Juga kepada Dr. Muhbib Abdul Wahab, yang penulis beberapa kali berdiskusi, telah memberikan pencerahan dan wawasan bagi penulisan ini. Ayahanda Nadjmudin dan Ibunda Rumini (Allâhuyarham), yang telah mendidik penulis dari tidak tahu apaapa, membesarkan dan semua yang tidak ter -hitung. Kasih sayang keduanya adalah energi penulis untuk terus me-ning katkan pengetahuan. Kakanda K. Hamam Suryadin (alm), Jundan Umarsyah, Hadi Mushthofa, Sholikhan Abadi, dan semua keluarga, yang semua turut mendidik dan memberikan dorongan.

Juga kepada Istri tercinta, Ukhti Nurfajariyah, S.Pd., yang harus rela ditinggalkan semenjak awal menikah untuk menyelesaikan studi penulis.

Jazâkum Allah Khairan Katsîran.

Tidak lupa kepada Pusat Penelitian dan Penerbitan (LP2M) IAIN Salatiga yang sudi menerbitkan karya penulis ini. Semoga dengan di-terbitkannya karya penulis ini akan lebih memperluas jangkauan hasil studi ini kepada sidang pembaca di manapun berada.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya, serta menjadi bagian dari kajian ilmiah yang terus bergulir dan menjadi sumbangan bagi khazanah keilmuan di Indo-nesia. Amin.

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii

Daftar Isi v

BAB

I Hellenisme dan Nahwu 1

BAB

II Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam 15

A. Pengaruh Filsafat Yunani Dalam Dunia Islam 15

1. Hellenisasi Ke Wilayah Persia 19

2. Hellenisasi Pada Masa Kekuasaan Islam 24 B. Transmisi Intelektual Dalam Islam 29

BAB

III Geneologi Gramatika Bahasa Arab 37

A. Akar Budaya Bahasa Arab 37

B. Motivasi Kodifikasi Nahwu 41

C. Pengaruh Filsafat Yunani Pada Masa Sibawaih 55 D. Pengaruh Filsafat Yunani Pasca­Sibawaih 68 E. Perdebatan di Seputar Pengaruh Filsafat Yunani

Terhadap Kodifikasi Nahwu 92

BAB IV Epistemologi Nahwu Sibawaih

103

A. Lingkungan Sibawaih 103

B. Perumusan Nahwu Sibawaih 108

(6)

D. Kajian Bahasa Yunani dan Sibawaih 126 E. Rekonstruksi Gramatika Arab oleh Sibawaih 156

BAB

V Penutup 160

Daftar Pustaka 163

(7)

A

ristoteles (384-322 SM) mengkonsepsikan bahwa dalam setiap kata terdapat sepuluh hal yang menyertainya berdasar beberapa per-tanyaan, yaitu; what, how large, what sort of thing, related to what, where, when, in what attitude, how circumstanced, how active, what doing, how passive, dan what suffering1. Delapan hal ini kemudian dirumuskan dalam istilah; substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi atau postur, keadaan, aksi, dan afeksi atau akibat. Kategorisasi ini kamudian dianggap sebagai cikal-bakal munculnya kajian mengenai bahasa. Wacana ini kemudian men jadi lebih konkrit oleh analisa Dyonisios Thrax (130 SM), seorang filosof dari Aleksandria yang menuangkannya dalam Tecne Grammatike dengan uraian yang, meskipun singkat dianggap sebagai cikal-bakal kajian bahasa secara teknis2.

Di wilayah kekuasaan Arab, jauh sebelum de Saussure (1857-1913 M)3 mengemukakan teori linguistik modern, Khalil bin Ahmad

al-1 Aristotle, The Categories on Interpretation,(London: William Heinemann Ltd, 1962),

h. 17-18.

2 Soeparno, Dasar-dasar Linguistik, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1993), h.

10.Lihat juga terjemah dalam bahasa Inggrisnya, oleh Thomas Davidson dalam The Grammar of Dyonisios Thrax, (St. Louis MO, 1874).

3 Nama lengkapnya adalah Mongin- Ferdinand de Saussure, seorang tokoh

linguistic modern kelahiran Jenewa Swiss pada 26 November 1857. Ia adalah pelatak dasar struktural-isme dan linguistic modern, yang karyanya dibukukan dalam Cours de Linguistique Général-e.Buku ini ditulis oleh murid-muridnya di Universitas Jenewa.

BAB

(8)

Farahidi (w. 175 H) telah mengungkapkan pemikirannya bahwa bahasa adalah sebuah system. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap se-buah makna baik yang tampak (eksplisit) maupun yang tersembunyi (implicit)4. Pemikrian ini kemudian dikembangkan oleh Sibawaih (w. 180

H) yang mencoba menegaskan pemikiran Al-Khalil sebagai gurunya. Nashr Hamid Abu Zaid menyebut bahwa Sibawaih memakai prosedur

ta’wil untuk menyingkap makna terdalam dari sebuah bahasa dengan cara memerikan struktur dan mekanisme bahasa untuk sampai pada makna dan siginifikansinya. Al­Khalil telah memulai kajian fonemis dan leksikografis dengan kedua karya dalam kamus al-‘Ain5 dan karya nahwunya dalam kitab al-Jumal-6. Kamus al-‘Ain dinamai demikian konon karena huruf awal yang dipakai untuk leksikografinya dimulai dengan huruf ‘ain, sebagai huruf yang dalam pengucapannya (makhraj) muncul dari pangkal-tenggorokan, dan diakhiri dengan huruf yang peng ucapan-nya di bibir. Sedangkan al-Jumal- adalah kumpulan masalah nahwu yang terbagi dalam beberapa bab7. Dalam metodologi penyusunan kamus,

Lihat Harimurti Kridal-aksana, Mongin- Ferdinand de Saussure, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2005), dalam prakatanya. Isi buku ini sebelumnya menjadi pengantar dalam terjemahan buku de Saussure dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh UGM Press dengan judul Dasar-Dasar Linguistik Umum.

4 Nahsr Hamid Abu Zaid, Hermeunetika Inklusif, terj. Muhammad Mansur dan

Khoiran Nahdliyin. (Jakarta: ICIP, 2004), h. 269-271.

5 Al-Suyuthi menjelaskan panjang lebar mengenai perdebatan apakah benar kitab

Al-‘Ain adalah karya orisinil dari Al- Khalil ataukah karya orang lain atau karya bersama. Lihat Abdurrahman Jal-al-udin Al-Suyuti, Al-Muzhir fi ‘ulum al-Lughah wa anwa’iha, (Kairo: Maktabah dar al-Turats, tt), h. 77. Dalam bahasan ini al-Suyuti tidak sampai pada kesimpulan tentang siapa sebenarnya pengarangnya, namun dua nama banyak disebut yaitu Al- Khalil dan al- Layts. Sementara dalam banyak bahasan yang lain di beberapa kitab, kamus al-‘Ain selal-u dinisbatkan kepada AL- Khalil.

6 Banyak kitab dinamakan Al-jumal di antaranya oleh Al-Jurjaniy (w. 474), al- Zujaji

(w. 339), Abi Abdillah bin Hisyam (w. 570), lihat Mushtafa bin Abdullah al-kostantiy al­Hanfiy, Kasyfu al- Dzunun, (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), vol I. h. 472-474.

7 Pembagian bab dalam kitab ini menggunakan istilah wujuh, jumal dan fasal. Wujuh

lebih banyak membahas tentang I’rab seperti nashab, rafa’, jar dan jazm. Sedangkan

(9)

selain penelusuran ke daerah atau suku Badui langsung, metode ini me-rumuskan kata-kata yang lazim dipakai dan tidak lazim atau dengan istilah musta’mal- dan muhmal. Musta’mal secara leksikal berarti terpakai dan muhmal berarti sebaliknya yaitu tidak terpakai. Konsep ini berangkat dari keberlakuan sebuah bahasa yang ditemukan yang dikonfirmasikan langsung kepada suku pedalaman. Konfirmasi dilakukan dengan asumsi bahwa masyarakat Badui belum tersentuh oleh peradaban sebagai mana masyarakat kota yang sudah bercampur dengan berbagai bahasa di luar bahasa Arab yang berlaku. Dalam terminologi linguistik modern saat ini mungkin inilah penelitian orisinal bahasa Arab8 paling awal sebagaimana

sosiolinguistik meneliti bahasa oleh bangsa atau suku tertentu dengan me milah kadar validasi dan kepunahan bahasa.

Al-Khalil adalah salah satu guru yang paling berpengaruh dalam pemikiran nahwu Sibawaih, namun Sibawaih lebih banyak disebut se-bagai tokohnya nahwu daripada Al-Khalil sendiri9. Ini dikarenakan

Sibawaih lebih bisa menjelaskan sistematika gramatika Arab dengan lebih terperinci dalam Al-Kitab-nya10. Al-Khalil telah bisa menjelaskan tentang

I’rab serta mabna’; atau teori penetapan atau perubahan harakat di akhir sebuah kata, maka Sibawaih bisa menjelaskan lebih jauh yaitu ke wilayah penjelasan gramatika bahasa Arab secara komprehensif dengan metode

qiyas (analogi)11. Dalam Kitab al-Jumal, Al-Khalil juga baru menjelaskan

tentang macam-macam huruf beserta fungsinya, kajian yang saat ini men-jadi pelajaran qawâidul I’rab di pesantren.

Banyak teori yang menjelaskan kenapa Sibawaih bisa menemukan teorinya sendiri disamping teori yang telah dibangun oleh gurunya. Di

8 Metode ini sering disebut dengan metode istiqra’.

9 Lihat misalnya Abdullah Jâd al-Karim, al- Dars al-Nahwiy fi al Qarni al-‘Isyrîn,

(Qahirah: Maktabah al- Adab, 2004).

10 Ignaz Goldziher, A Short History of Classical- Arabic Literature, (Germany: Georg

Olms Verlagsbuchhandlung Gildesheim, 1966), h. 63. ia menjelaskan bahwa ada dua sumbangan Al- Khalil dan Sibawaih, yaitu; penggalian atas puisi-puisi Arab kuno, dengan memerinci rima dan sajaknya. Dari sini kemudian ditemukan ilmu tentang puisi atau syair Arab atau lebih dikenal- dengan ilmu al-‘arudh. Yang kedua adalah ke­

berhasilannya mengkompilasikan kosakata bahasa Arab dalam sebuah kamus al-‘ain.

11 Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al- Arabiyah wa Tharaiq Tadrisiha, (Beirut: Dar

(10)

antaranya adalah bahwa Sibawaih, selain berguru langsung kepada Al- Khalil, ia juga berguru kepada ulama nahwu di masanya bahkan juga menelusuri sendiri otentisitas bahasa Arab ke daerah pedalaman seba gai-mana Al-Khalil sendiri. Dalam Al-Kitab-nya Sibawaih, memang dalam banyak hal ia mengutip langsung dari gurunya, Al-Khalil, namun juga ia mengembangkannya dalam berbagai istilah yang tidak ditemui dalam teori nahwunya Al-Khalil. Bahkan dalam satu riwayat diceritakan bahwa Al-Khalil sendiri kadang-kadang juga berguru kepada Sibawaih. Suatu hal yang lazim dilakukan oleh para ilmuwan waktu itu, yaitu saling meng-akui sebagai murid bagi tokoh lainnya.

Nayf Ma’ruf Mahmud membagi periodisasi kodifikasi nahwu men­ jadi empat tahap, yaitu; 1). Masa sebelum Sibawaih, sebagai peletak dasar-dasar nahwu, 2). Masa Sibawaih dan kawan-kawan semasa di mana qiyas menjadi argumen nahwu, 3). Masa kodifikasi ilmu I’lal­ oleh Al­ Mubarrad (w. 286 H), Tsa’lab (w. 291 H), Abu ‘Al-i al-Farisiy (w. 377 H). 4). Masa perkembangan, dimulai pada masa Ibnu Jinni (w. 392 H), dan masa selanjutnya oleh Zamakhsyari (w. 538 H), Ibn Anbariy (w. 577), Ibn Madla al- Qurthubiy (w. 592 H), hingga masa sekarang12. Sehingga

penulis menyimpulkan bahwa masa itu secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu masa awal dan perkembangan dengan titik masanya dilekatkan pada Sibawaih.

Sibawaih mengatakan bahwa tujuan menulis al-Kitab adalah untuk menghidupkan ilmu al-Khlail dalam bidang nahwu. Ibnu Nadim men-ceritakan bahwa dalam menyusun al-Kitab ini, Sibawaih melibatkan 42 orang, namun secara umum al-Kitab adalah pengembangan dari dasar-dasar yang telah diletakkan oleh al-Khalil. 13Dalam beberapa hal Sibawaih

justru berbeda dengan al-Khalil, misalnya ketika ia menerangkan tentang sebuah bab, ada ungkapan bahwa, “al-Khalil mengira bahwa lafal- ini begini, padahal harusnya begini…”.14

12 Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al- ‘Arabiyyah Wa Tharaiq Tadrisiha..h. 32. 13 Dijelaskan dalam muqadimah Al- Kitab Sibawaih, h. 25. Tahqiq Abdussal-am

Muhamad Harun.

14 Muqaddimah Abdul Sal-am Muhamad Harun dalam Sibawaih, Al- Kitab. (Kairo:

(11)

Keberhasilan keduanya dalam mengkodifikasikan nahwu secara komprehensif tersebut memang merupakan karya yang sangat monu-mental dalam keilmuan Islam selanjutnya, sebagaimana telah dibahas di atas. Kodifikasi nahwu memainkan peran sentral dan berimplikasi pada tradisi penelitian dan pemikiran yang berkembang pesat pada masa sesudahnya15. Pemerian kata dalam bahasan nahwu menjadi

struktur-struktur sendiri melahirkan pemikiran seperti dalam ilmu tafsir, kalam, fiqh, filsafat hingga tasawuf16. Pemikiran tafsir diwarnai dengan

muncul-nya tafsir bi al-ra’yi (rasionality) yang mendasarkan penafsirannya pada makna kata yang dipisah-pisah berdasarkan posisinya (tarkibnya). Penaf-siran tidak lagi berdasarkan hadits saja akan tetapi meluas ke wilayah kajian bahasa yang dalam wilayah tertentu berkembang menjadi wilayah ta’wil, yang bagi golongan tertentu seperti kaum zhahiriy sangat dijauhi.

Dalam wilayah fiqih muncul pemikiran untuk mengkodifikasi kan ilmu pokok dari fiqih yaitu ushul fiqih yang pertama kali dicetuskan oleh Muhamad bin Idris Al­Syafi’i. Ushul fiqh menjadi karya yang monu­ men tal yang dianggap sebagai dasar bagi seseorang untuk melakukan ijtihad.

Dari gambaran tersebut maka menjadi wajar jika pengetahuan akan nahwu memegang peran yang sentral dalam keilmuan Islam. Di sisi lain dengan ilmu nahwu justru memunculkan efek tersendiri dengan ter-jauhkannya seseorang dari esensi semula dari untuk mempelajari bahasa menjadi terjebak pada wilayah tentang bahasa. Mempelajari nahwu se-harusnya hanyalah alat bantu untuk mengungkap sebuah makna, atau alat berkomunikasi, baik receptive maupun productive.

Kodifikasi nahwu, oleh Sibawaih ini sebenarnya bisa ditelusuri dengan teori pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa Arab dengan

keilmuan Islam (kitab) sering diwarnai dengan perdebatan dalam bingkai syarah atau hasyiyah. Sehingga meskipun dalam bentuknya menjelaskan namun secara isi sebenarnya membantah, adalah hal biasa. Lihat juga kompilasi yang khusus membahas perbedaan pendapat al-Khalil dengan Sibawaih dalam Fakhr Shâlih Sulaima Qadarah, Masâil al-Khilafiyah Bayn al-Khalîl wa Sibawaih, (Yordania: Dâr amal, 1990).

15 Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta:

Lemlit UIN Jakarta, 2008), h. 7-8

(12)

sedemikian militant yang dilakukan oleh para ilmuwan bahasa seperti al-Khalil tersebut kemudian menegaskan factor pemertahanan bahasa Arab yang orisinal sebagai bahasa Qur’an demi menjaga otentisitas al-Quran setelahnya. Dengan demikian tradisi riwayat dan dirayah dalam keilmuan Arab awal memang memainkan peran penting. Setiap hal yang baru kemudian dikonfirmasikan kepada otoritas tertentu. Dalam hal bahasa ini pemilik otoritas tersebut adalah suku Badui pedal-aman. Bahkan konon al-Khalil pernah tinggal sekitar beberapa tahun untuk memper dalam bahasa Arab dari suku pedalaman, tepatnya di sebuah suku yang bernama Hudzail. Dia melibatkan diri secara langsung dalam kehi dupan suku pedalaman tersebut sehingga bisa mendalami bahasanya. Tradisi ini banyak dilakukan oleh linguist Arab untuk mencari otentisitas sebuah bahasa.

Selain itu teori validitas dan kepunahan bahasa nampaknya juga sangat memadai untuk menjelaskan kodifikasi bahasa ini. Teori ini banyak dipakai oleh pakar linguistik untuk merencanakan bahasa demi kepen-tingan bahasa nasional dan pengembangan bahasa. Bahasa bisa punah dan bertahan sangat dimungkinkan dengan berkembangnya budaya se-perti berbaurnya sebuah kelompok pemakai bahasa tertentu dengan pe-makai bahasa lain sebagaimana pijakan yang digunakan al-Khalil di atas dalam memilah bahasa terpakai dan yang tak terpakai. Selain itu juga bisa terjadi karena alih generasi yang secara alami pasti terjadi17. Bahasa pada

generasi satu belum tentu dipakai oleh generasi sesudahnya. Ini terjadi pada banyak bahasa di Indonesia yang telah punah. Bahkan alih generasi ini ditengarai sebagai faktor utama pergeseran bahasa.

Indikasi dari validasi ini menemukan relevansinya ketika Sibawaih berkepentingan untuk memperoleh pengetahuan bahasa setelah ia gagal menguasainya saat menuntut ilmu kepada seorang pakar hadits ber-kebangsaan Arab asli18. Dari beberapa kali kegagalannya

mengung-kap kan kalimat dalam bahasa Arab dari hadits yang dipelajarinya, ia

17 Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

h. 233

18 Pada masa ini (Umayyah) bahasa Arab hanya dikuasai kal-angan bangsawan

(13)

ber keinginan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab hingga ia berguru kepada beberapa pakar waktu itu

Menurut sebagian kalangan, di antaranya adalah Al-bertus Merx (1889), Rundgren (1976), C. H. MVersteegh 19, yang menjelaskan bahwa

perkembangan bahasa di Bashrah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno pada abad 4 SM. Mengutip Lytman, Muhammad Thanthawi menjelaskan bahwa di Eropa, para pakar berbeda pendapat tentang oten-tisitas nahwu. Sebagian berpendapat bahwa ilmu nahwu dipengaruhi oleh filsafat Yunani melalui pemikiran yang telah berkembang di wilayah­ wilayah sekitar Arab. sedangkan yang lain menyatakan bahwa ilmu nahwu diibaratkan dengan pertumbuhan pohon yang memiliki akar dan berkembang sesuai dengan masanya. Artinya ilmu nahwu tumbuh se-cara alami di tanah Arab20.

Orang yang berpendapat bahwa nahwu dipengaruhi oleh filsafat Yunani juga mendasarkan pada pendapat Plato yang telah memulai mem­ berikan bahasa dalam bentuk yang umum yaitu onoma dan rhema. Onoma kata pembuka yang dalam bahasa Arab sejenis dengan istilah musnad dan rhema adalah kata penjelas semacam musnad ilaih. Dalam hal ini ada perdebatan, benarkah kodifikasi nahwu telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani sebagaimana tulisan awal dalam bab ini. Ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan para pakar. Sebagian melihat indikator istilah-istilah yang digunakan dalam nahwu mirip dengan apa yang digunakan oleh Plato dan Aristotels tersbut dalam hal maknanya21. Sedangkan

sebagian yang lain tidak mengakui adanya pengaruh filsafat ini.

19 Pendapat itu kemudian diamini oleh para penulis sejarah misalnya Philp K. Hitti

dalam History Of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi

(Jakarta: Serambi, 2006), h. 302. Juga Soeparno, Dasar- Dasar Linguistik, (Yogyakarta:

Mitra Gama Widya, 1993). h. 12. Syauqi Dhaif tanpa menyebut tokoh-tokohnya juga mengemukakan bahwa banyak oriental­is yang berpendapat bahwa kodifikasi nahwu banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Lihat juga Jonathan Owens, The Foundation Of Grammar; an Introduction of Medieval-Arabic Grammatical- theory,(Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 1988), h.7

(14)

Beberapa pakar hanya menyatakan bahwa Bashrah adalah pusat pemikir (ahl al-ra’y)22, yaitu kelompok yang menerima analogi sebagai

basis pengambilan hukum (istinbath). Seperti yang dilakukan oleh Muhammad bin Idris Syafi’i (w. 204) yang mengembangkan teori ushul fiqhnya dalam kitab Al- Risalah .Konon Al­Syafi’I banyak merujuk kepada

teori bahasa yang dikembangkan oleh para pemikir nahwu di Bashrah ini. Sementara kelompok Kufah banyak disebut sebagai ahli hadits, yang berseberangan dengan kelompok pertama dalam pengambilan hokum. Syauqi Dhaif menjelaskan bahwa tokoh-tokoh Bashrah sudah terbiasa bersinggungan dengan kebudayaan dari luar, sehingga besar kemung-kinan pemikiran Sibawaih juga telah dipengaruhi oleh filsafat Aristotels ini23. Menurut penulis, hal ini hanyalah bersifat dugaan belaka dengan

melacak masuknya ilmu filsafat sebalum kodifikasi nahwu. Ini bisa di­ lihat dari tidak diberikannya data yang memadai tentang wilayah mana dari nahwu yang dipengaruhi filsafat.

Perlu dicatat memang, bahwa proses hellenisasi di wilayah yang kemudian dikuasai oleh Islam sudah berlangsung sejak Islam belum masuk. Bahkan di Persia pernah menjadi pusat pengembangan keilmuan filsafat setelah di barat sendiri terjadi pelarangan untuk mem pelajari filsafat24. Pusat­pusat studi filsafat telah berdiri di Balakh sebagai ikon

bagi perkembangan filsafat di Persia25. Sementara di Irak juga berdiri di

kota Jundisapur. Indikasi bahwa kemudian ilmu ini tumbuh dan ter pelihara hingga Islam masuk setelah menaklukkan Persia sehingga mem pe-ngaruhi pemikiran nahwu sangat diragukan. Kebanyakan yang menya-takan bahwa nahwu telah dipengaruhi oleh filsafat hanya didasarkan pada proses ini, dalam arti bahwa data akurat yang menyatakannya belum ditemukan. Bahkan secar khusus, filsafat baru menjadi kajian pada abad ke-2 Hijriah ketika Al-Kindi (180-260 H) menjadi tokohnya.

22 Seperti De Lacy O’Leary, Arabic Thought And Its Place In History, (London:

Routledge and Kegan Paul, 1963), h. 74.

23 Lihat Syauqi Dhaif, Madaris al- Nahwiyah, h. 21-22.

24 Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000),

cet. Ke-4, h. 220.

(15)

Mengkorelasikan antara teori bahasa dan filsafat memang wilayah yang saling berdekatan dan saling membutuhkan. Dari sini maka tidak heran kalau kemunculan teori nahwu juga menjadi ajang perdebatan tentang keterlibatan ilmu filsafat Yunani tersebut juga berlangsung. Kemunculan yang alami dan bersifat sosial dari ilmu nahwu dipandang sebagai hal yang tidak lazim26. Namun apakah setiap ilmu yang lahir pada

masa itu pasti bersumber dari filsafat Yunani? Filsafat membutuhkan bahasa untuk mengartikulasikan maksud dan makna yang dituju. Se-hingga dugaan-dugaan bahwa ilmu bahasa termasuk nahwu sangat di-pengaruhi oleh filsafat adalah hal yang wajar.

Peran para ahli nawhu pada masa itu adalah peran seorang peneliti yang mengamati tentang bahasa sebagai sebuah gejala secara apa adanya (deskriptif). Artinya bahwa, dari pengamatan tersebut kemudian muncul semacam kesepakatan-kesepakatan antara peneliti tentang objek yang diamati hingga menjadi sebuah teori atau hukum tersendiri tentang bahasa. Dari sinilah kemudian memunculkan perdebatan tentang urgensi nahwu, karena dengan nahwu justru dimungkinkan menjauhkan orang dari tujuan awal mempelajari bahasa itu sendiri.

Al-Khalil misalnya, dalam menuangkan teori tentang bahasa yang ditulis dalam kitab Al-jumal, lebih banyak mengungkapkan fenomena secara deskriptif. Ketika ia mengamati banyak huruf-huruf yang sama namun dalam penggunaan yang berbeda, maka ia kemudian mencatatnya sebagai sebuah gejala baru yang penting untuk dicatat. Apa yang ditulis ini kemudian menjadi informasi penting bagi pengkaji nahwu sesudahnya termasuk Sibawaih. Diskusi-diskusi selanjutnya berkembang dan meng-hasilkan teori-teori turunan sebagaimana kemudian dituangkan dalam

al-Kitab Sibawaih tersebut.

Dalam kitab al-Kitab Sibawaih membahas secara panjang lebar dan lebih rinci daripada apa yang dibahas oleh al-Khalil dalam kitab al-Jumal- sebagai gurunya. Sibawaih mampu menjelaskan fenomena sebuah pre-dikat dalam sebuah kalimat yang bisa muncul dua kali dalam satu kalimat atau yang lazim disebut sebagai fi’il yang butuh dua maf ’ul. Hal -hal seperti

(16)

ini tidak dibahas oleh al- Khalil. Sehingga muncul pertanyaan selanjut nya, darimanakah Sibawaih memperoleh orisinalitas istilah ini? Sementara di sisi lain Sibawaih disebut-sebut sebagai murid al-Khalil. Perangkat apa saja yang digunakan oleh Sibawaih untuk menterjemahkan pemikiran gurunya itu? Dari sini muncul dua implikasi. Pertama, mengenai ke-mungkinan masuknya istilah­istilah dalam ilmu filsafat. Dan kedua implikasi dari pembahasan yang rinci ini yang justru akan menjauhkan sebuah kata atau kalimat dari maknanya. Inilah yang menjadi pijakan kritik para ulama’ nahwu belakangan seperti Ibnu Madla dalam al-Radd ‘ala al-Nuhah. Dari dua implikasi ini perdebatannya belum pernah tuntas, karena bantahan­bantahan yang muncul terhadap kodifikasi nahwu itu sendiri tidak mampu memberikan solusi yang relatif lebih baru. Ibnu Madla sendiri, misalnya, tidak mampu meruntuhkan teori yang telah dikembangakn oleh para ulama nahwu awal, dan justru menuai banyak kritik sesudahnya27.

Bahasa merupakan salah satu unsur (terpenting) dari sebuah ke-budayaan. Dalam definisi mengenai kebudayaan, bahasa memainkan peranan penting dari dinamika yang mengiringi perubahan kebudayaan28,

penulis cenderung mendukung pendapat mengenai alamiahnya kajian bahasa ketika dikaitkan dengan bahasan mengenai kebudayaan. Se-hingga apakah secara langsung filsafat mempengaruhi lahirnya ilmu bahasa juga sangat diragukan.

Tammam Hasan menjelaskan bahwa teori nahwu pada mulanya berbasis dari bacaan al-Qur’an yang waktu itu belum berharakat (syakal), sehingga memunculkan pemikiran agar al-Qur’an bsia dibaca oleh orang di luar Arab. Dari sini kemudian terrumuskanlah teori perubahan harakat pada akhir kata atau kalimat. Ia juga meriwayatkan bahwa al-Khalil dalam mengembangkan teori nahwu awal hanya mengamati bentuk kata dengan menghitung jumlah huruf dalam sebuah kata menjadi 3, 4 dan 5 huruf dan selebihnya adalah huruf tambahan29. Dari dua contoh

27 Seperti dikutip oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam Hermeunetika Inklusif, h. 275. 28 Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawal-i Press, 2002), h.171 29 Tamman Hasan, al- Ushul; Dirasah istimulujiyyah lil Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab,

(17)

ini tidak nampak pengaruh filsafat secara langsung terhadap kodifikasi nahwu pada masa itu.

Asyraf Mahir Mahmud menjelaskan pula tentang awal masa kodifikasi nahwu tentang perdebatan apakah dibenarkan metode qiyas oleh Sibawaih ini sebagai pijakan dalam berargumentasi nahwu?30

Per-debatan inilah yang melahirkan ilmu ushul tentang nahwu (ushul al-Nahwiy). Asyraf juga menjelaskan bahwa pada awalnya, kebutuhan akan nahwu berdasarkan pada bacaan dalam al-Qur’an. Ia tidak menjelaskan tentang campur tangan para ahli filsafat Yunani dalam kodifikasi nahwu awal. Yang ada justru kodifikasi nahwu telah mempengaruhi pemikiran filsafat dikemudian hari dengan lahirnya filosof muslim sebagaimana ter­ sebut sebelumnya.

Untuk itulah dalam tulisan ini penulis akan meneliti kebenaran pengaruh filsafat dalam kodifikasi nahwu awal dengan mengambil pijakan dari Kitab Sibawaih yang membahas nahwu. Penulis memilih Kitab Sibawaih sebagai dasar penulisan karena memandang bahwa Kitab Sibawaih adalah kitab awal tentang nahwu yang sudah paling lengkap daripada kitab al-Jumal–nya al-Khalil sebagai gurunya. Sehingga penulis menganggap bahwa Kitab Sibawaih paling representatif daripada yang lainnya pada masa awal kodifikasinya.

Buku ini ingin menjawab beberapa pertanyaan terkait sejarah nahwu, di antaranya adalah mengenai epistemologi pemikiran nahwu Sibawaih. Penulis ingin mengetahui perjalanan intelektual-Sibawaih, yaitu bagaimana metodologinya dalam merumuskan nahwu dan bagai-mana Sibawaih menelaah gramatika yang telah ditulis oleh guru-guru-nya serta sisi mana saja yang kemudian ditambahkan oleh Sibawaih. Di sinilah pengembangan pemikiran nahwu Siabawaih akan kelihatan orisinalitasnya.

Dari paparan itu akan didapatkan beberapa manfaat mengenai perkembangan pemikiran nahwu pada masa awal kodifikasi dan menge­ tahui sejauh mana implikasi pemikiran nahwu terhadap pemikiran lain dalam keilmuan Islam dan filsafat.

30 Asyraf Mahir mahmud, Mushtal-ahat ilmu ushul al- Nahwiy, (Kairo: Dar Gharib,

(18)

Kajian secara khusus tentang pengaruh filsafat terhadap kodifikasi nahwu Sibawaih ini belumlah banyak. Perdebatan mengenai pengaruh filsafat terhadap nahwu pernah dilakukan oleh antara lain Zamzam A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam jurnal

Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol 1, no.

2, Maret 2003. Dalam artikel ini ia cenderung mendukung pendapat bahwa filsafat sangat mempengaruhi kodifikasi nahwu. Muhbib Abdul Wahab, Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu, dalam Jurnal Afaq Arabiyyah,

FITK UIN Jakarta, Vol. 3, nomor 1, Juni 2008, yang menolak anggapan terpengaruhnya kodifikasi nahwu awal oleh filsafat Yunani. Ade Kosasih,

Ilmu-Ilmu Bahasa Arab dan Perkembangannya Pada Masa Abasiyah I, Tesis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997. Ia menyata kan bahwa ilmu nahwu badalah ilmu yang berkembang karena masuknya pengaruh filsafat. Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996) secara sekilas mengatakan bahwa nahwu Bashrah sangat dipe-ngaurhi oleh filsafat.Ia tidak memberikan data yang akurat juga.Syauqi Dhaif, Madaris al- nahwiyah, (Kairo: Dar al- Ma’arif, 1968), ia juga me-nyinggung sedikit tentang pegaruh filsafat terhadap nahwu dengan tidak memberikan rincian buktinya. Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik,

(Yogyakarta: Mitra Gama WIdya, 1993), yang memberikan gambaran akan kesamaan istilah yang ada dalam nahwu dengan kajian Plato.

Tulisan ini akan mengkaji sejarah nahwu hingga munculnya ahli nahwu di Bashrah menjadi mazhab sendiri terutama pada masa Sibawaih, dengan menggunakan pendekatan histories dan humanistik. Dengan demikian, semua pembahasaan mengenai sejarah awal, akan diakhiri pada masa Sibawaih hidup, yaitu pada tahun 180 H. Pendekatan histories digunakan untuk mengkaji keseluruhan sejarah yang meling-kupi lahirnya kedua tokoh ini sebagai ahli nahwu. Sedangkan pende-katan humanis digunakan untuk mengkaji pribadi tokoh itu sendiri. Data diperoleh dengan kajian teks sejarah masa itu dan hasil karya ulama Bashrah31.

31 Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaidah (ed), ModelPenelitian Agama dan Dinamika Sosial,

(19)

Setelah itu kemudian dibandingkan atau dilihat dengan kacamata linguistik modern, dan dari sini diharapkan bisa diklasifikasikan model pengembangan nahwu oleh kedua tokoh tersebut.

Dengan perspektif linguistik, selain memperlakukan bahasa secara apa adanya (deskriptif), juga memperlakukan bahasa sebagai sistem yang tidak terpisahkan dengan kajian ilmu lain, sesuai dengan gerak laju zaman.32 Misalnya hubungan perkembangan nahwu dengan per

kem-bangan keilmuan keislaman yang lain, seperti fiqih, tasawuf, teologi dan lain­lain. Misalnya hubungan nahwu dengan lahirnya kodifikasi ushul fiqih oleh Syafi’I dan perkembangan ilmu hadits setelahnya.

Untuk mengkaji materi nahwu itu sendiri, penulis akan meng-gunakan teori preposisi, yaitu teori tentang makna dari suatu kalimat. Ini penulis gunakan untuk meneliti mengenai penegembangan teori nahwu oleh Sibawaih.Teori preposisi menegaskan bahwa satu kata tidak bisa berdiri sendiri.

Untuk menelusuri lebih jauh, maka penulis menggunakan bebe-rapa sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer yang penulis gunakan yaitu Al-Kitab, karya Sibawaih, tulisan Aristotels dalam Organon,

dan The Grammar of Dyonisios Thrax.

Pemilihan al-Kitab karya Sibawaih karena dalam kitab ini dibahas penjang lebar tentang nahwu. Penulis akan mengambil pembahasan tentang idiom-idiom atau istilah yang digunakan oleh Sibawaih dalam

al-Kitab-nya. Hal ini penulis lakukan untuk mencocokkan dengan istilah yang digunakan dalam teori filsafat (bahasa) Yunani yang berkembang sebelumnya. Buku al-Inshaf Fi Masail al-Khilaf dipilih sebagai bahan untuk mengetahui pemikiran-pemikiran nahwu yang berkembang pada masa itu.

Sementara pemilihan buku Organon karya Aristoteles digunakan sebagai sumber kajian bahasa. Buku yang digunakan di sini adalah buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagaimana kami

32 Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Landen ( ed), Pesona Bahasa;

(20)

kutip di awal tulisan ini. Demikian pula tulisan Dyonisios Thrax dalam

The Grammar yang juga diambil terjemahan dalam bahasa Inggris.Buku ini juga sebagai pembanding utama terhadap Sibawaih dalam al-Kitab, karena sudah lebih teknis dalam menjelaskan tata bahasa Yunani.

Untuk data sekundernya penulis menggunakan buku-buku sejarah filsafat Yunani pada masa Sibawaih hidup serta biografinya yang me­ liputi kehidupan Sibawaih seperti situasi politik serta pergolakan per-kembangan pemikiran keislaman pada waktu itu. Selain itu juga buku-buku tentang perkembangan pemikiran nahwu di Bashrah, Kufah hingga sesudahnya, seperti Madaris Nahwiyah oleh Syauqi Dhaif, Al-Wasith fi

Tarikh al-nawhi al-‘Arabiy, oleh Abdul karim Muhamad al-As’ad, Al-Lughah wa Al-Mujtama’, oleh Zaki Huzam al-Din, Jâmi’ Durus al-‘Arabiyyah, Mushthafa al-Ghal ayini.

Setelah penulis mengumpulkan dan menelaah materi kitab-kitab tersebut, penulis akan menganalisis data tersebut dengan mengkaji sejarah tokoh tersebut terutama mengenai pengembaraan intelektual-nya hingga bisa merumuskan teori nahwu. Untuk mengkajiintelektual-nya penulis meng gunakan teori tentang tradisi isnad. Kemudian mengelompok-kan pokok-pokok teori nahwu Sibawaih dalam kitabnya dengan cara mengkaji istilah yang digunakan. Untuk menelaah ini penulis meng-gunakan teori linguistik terutama dalam kajian morfologi, sintaksis dan semantics untuk dicari kecenderungan pemikirannya dalam aliran linguistik serta implikasinya dalam pengembangan ilmu bahasa. Selanjut-nya mengidentifikasi hal­hal yang menjadi pemikiran original Sibawaih. Ini dilakukan dengan cara mengkaji apa yang dikemukakan oleh Sibawaih dalam kitabnya.

(21)

B

ab ini akan memaparkan beberapa hal mengenai pengaruh filsafat Yunani terhadap pemikiran dunia Islam pada masa awal hingga masa-masa penaklukan di wilayah luar daerah daratan Arab melalui proses hellenisasi. Selanjutnya akan dijelaskan pula mengenai tradisi transmisi intelektual Islam.

A. PENGARUH FILSAFAT YUNANI DALAM DUNIA ISLAM Pembicaraan mengenai filsafat Yunani dalam banyak hal sebenarnya hanyalah spekulasi saja. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa sejarah tentang filsafat Yunani ini tidak lain adalah mitologi. Sebagaimana juga cerita mengenai sejarah Mesir kuno, Babyolnia, Phoenicia, dan India1.

Ini artinya kebenaran tentang sejarah pemikiran filsafat awal di Yunani

1 M.M. Saarif, ed. A History of Muslim Philosophy, (India: Low Price Publications,

1995), cet. Ke-4. vol.I, h. 75. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejarah ini sebetulnya sulit diferivikasi karena hanyalah imajinasi dari para penulis awal mengenai Yunani. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Jerome R. Ravertz yang mengatakan bahwa karya-karya dan pemikiran mereka sebenarnya tidak terrekam secara tertulis runtut, dan yang ada adalah cuplikan, dan kutipan singkat yang kemudian dirumuskan oleh para sejarawan hingga nampak lebih logis sesuai alur berpikirnya. Lihat Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu,

(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), cet. Ke­3, h.7. Masa ini dalam kategorisasi sejarah masuk zaman kuno (qadimah). Lihat Syawqy Abu Khalil, Fî Târikh Al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991), h.7

BAB

(22)

lebih banyak dibumbui dengan rangkaian cerita tanpa data sejarah yang akurat.

Dalam beberapa literatur selalu dikatakan bahwa filsafat adalah pe­ mikiran yang lahir pertama kali di Yunani. K Bertens dengan tegas me­ ngatakan bahwa filsafat adalah ciptaan asli (genuine) bangsa Yunani2. Ia

menyatakan bahwa Yunani memiliki ciri khas kehidupan yang bisa dibilang sebagai faktor lahirnya filsafat. Ciri khas ini terutama ditandai oleh tiga hal; pertama, berkembangnya mitologi di tengah masyarakat. Mitologi sendiri sebenarnya hidup di belahan dunia lain, tapi ini dianggap sebagai cikal bakal pemikiran filsafat selanjutnya. Proses dari mitos hingga meng hasilkan pemikiran ini oleh Stephen Palmquis disebutnya sebagai

demitologisasi;, sebuah proses dari mitos menjadi bukan mitos.3 Mitologi

di Yunani sudah berlangsung sejak abad­abad sebelumnya hingga filsafat dinyatakan lahir pada abad ke­6 SM. Yang kedua adalah tumbuh suburnya tradisi sastra. Sastra dalam hal ini meliputi dongeng, perumpamaan-perumpamaan dan sebagainya. Dan ketiga adalah pengaruh luar, di mana ilmu pengetahuan sudah berkembang di Timur Kuno4. Dari ketiganya

2 Hal ini sangat berbeda dengan pembahasan oleh Abu Al-Faraj, yang lebih dikenal dengan Al­Nadim, yang mengatakan bahwa Yunani Kuno tidak mengenal huruf dan tulis menulis.Orang Yunani mengenal huruf dan tulis menulis dari orang Syria yang berbahasa Suryani. Lihat dalam Muhammad bin Ishaq Al-Nadim, Al-Fihrisat,

(Teheran, tt), h. 14. Sementara Taufiq al ­Thawil mengatakan bahwa pengambilan sumber filsafat Yunani berasal dari Timur, yang waktu itu diwakili oleh Mesir. Mesir diceritakan sebagai telah memiliki peradaban yang sangat maju dengan ditandai oleh berkembangnya ilmu kedokteran, teknik, kimia, astronomi. Lihat Taufiq al Thawil, Usus al Falsafah, (Kairo: dar al Nahdlah, 1979), h. 34-35. Dalam hal ini nampaknya para penulis sejarah filsafat tidak bisa terlepas dari subyektifitas asal daerah maupun bangsanya. Ia dengan tegas menyatakan bahwa pemikiran filsafat sesungguhnya berawal dari Mesir kuno baru kemudian berpindah ke Yunani. Lihat pada buku yang sama halaman 39­ 42. Lihat juga Abdurrahman ‘Ali al Hajji, Nadzarat fi dirasati tarikh al Islamiy,(Beirut: Maktabah al Shahwah, 1979), h.14.

3 Stephen Palmquis, Pohon Filsafat,terj. Muhamad Shodiq,(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), set. Ke-2, h. 37.

4 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h.20­21. Hal ini

(23)

sebenarnya bukanlah hal yang khas dalam kehidupan setiap bangsa5.

Mitos, tradisi sastra dan percampuran budaya adalah hal yang banyak ber-kembang di belahan dunia manapun.

Perbedaan yang menjadi factor kuatnya tradisi berpikir justru adalah karena suasana kehidupan masyarakatnya yang bebas tidak tertindas oleh hegemoni raja yang memerintah. Campur tangan penguasa di wilayah para filsosof ini diceritakan tidak sampai pada wilayah pemikiran. Baru di abad kemudian, ketika wilayah ini mulai masuk agama Nasrani6

sebagai agama resmi, campur tangan penguasa sudah memasuki wilayah pemikiran hingga memasuki masa kemundurannya.

Lebih lanjut Stephen Palmquis merumuskan lahirnya filsafat dengan ketiga hal di atas sekaligus sebagai lahirnya ilmu. Hal itu digambarkan dengan pola mitos, sastra, filsafat dan ilmu. Hal ini seiring dengan pola lahir, muda, dewasa dan tua pada manusia. Sehingga ia menyamakan bahwa mitologi sebagai proses lahir; kelahiran sebagai proses berpikir awal. Sedangkan dengan sastra digambarkannya sebagai proses muda, ber filsafat sebagai proses dewasa dan ilmu sebagai proses tua7.

Al-Syahrastani (w. 469 H/ 1153 M) termasuk sejarawan Islam awal telah mendeskripsikan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Barat (Yunani) dan pengaruhnya dalam kajian intelektualisme awal. Ia me­ rekam tujuh fiosof Yunani awal, filosof yang sudah membahas akidah atau teologi, filsafat, matematika dan linguistics di Yunani8.

Sedang-kan Bertrand Russell membagi periodisasi dari sejarah filsafat Yunani awal menjadi tiga yaitu, pra-Sokrates, masa Sokrates dan masa setelah Aristoteles9. Pemikiran genuine awal Pra­Sokrates mengenai filsafat

5 Proses penyebaran kebudayaan selalu terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa, yang

sering disebut sebagai difusi kebudayaan. Lihat Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1988), cet.ke-7, h. 161.

6 Penyebutan istilah Nasrani sengaja dipakai agar lebih umum, meliputi pemikiran

dan agama itu sendiri.

7 Lebih lanjut kemudian dijelaskan dengan pendekatan psikologi dengan

istilah-istilah bawah-sadar, sadar, bawah sadar, sadar diri, super sadar. Masing – masing di-lekatkan pada lahir, muda, dewasa dan tua. Lihat Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, 38.

8 Al Syahrastani, al Milal wa al Nihal,(Baghdad: Maktabah Mutsanna,tt), h. 9 Lihat dalam daftar isinya, Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London:

(24)

muncul pertama kali pada awal abad ke -6 oleh Thales pada tahun sekitar 585 SM. Tahun ini didapatkan ketika ia memprediksikan akan ada-nya gerhana matahari pada tahun tersebut10. Thales adalah orang yang

pertama kali mencari prinsip dasar dari kehidupan ini, yang kemudian disimpulkan bahwa prinsip dasar dari kehidupan adalah air11. Semua

berasal dari air dan akan kembali lagi menjadi air. Dari pengembangan pemikiran ini maka kemudian disimpulkan bahwa corak awal dari filsafat Yunani adalah filsafat alam (kosmosentris). Nietzsche, sebagaimana di­ kutip oleh Frederick Copleston, memberi alasan kenapa Thales layak di-posisikan sebagai fiosof awal, adalah karena dari Dia­lah pencetus pen­ dapat bahwa “semua adalah satu”.12

Dari sini nampak bahwa sumber pemikiran oleh para filosof awal adalah pengamatannya pada alam hingga muncul berbagai macam per-tanyaan dan jawabannya. Lebih khusus lagi adalah bahwa sumber awal-nya adalah rasa heran dengan apa yang ada di sekitarawal-nya13; kenapa ada

siang kemudian berganti malam, apa yang membuat dunia ini terang kemudian gelap, apakah itu langit, kenapa ada awan, guntur, gunung dan sebagainya. Semua menginspirasi pertanyaan-pertanyaan yang ber-implikasi jauh pada kurun sesudahnya. Implikasi tersebut di antara-nya adalah bahwa dari pertaantara-nyaan itu kemudian memunculkan kajian tentang teologi. Metode-metode ini pun kelak menghasilkan metode ber-pikir dengan berbagai variasinya, seperti analisis, analogi, sintesis dan sebagainya.

Dalam catatan al­Syahrastani, pendapat para filosof banyak dikaji dari sisi teologi, baik dalam pendapat (premis) umum maupun dalam teknisnya.

masa Katolik; ditandai dengan pendiri awalnya dan masa skolastik, dan masa modern; ditandai oleh masa renaissan hingga Hume dan dari Rousseau hingga abad ini. Russell nampak tidak memasukkan masa Islam sebagai bagian dari sejarah filsafat, meskipun beberapa kali menyinggung Averroes (Ibn Rushd), Ibnu Sina, sebagai tokoh penting. Peridodisasi model ini kemudian diikuti oleh para penulis yang merujuk kepadanya.

10 Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 25. 11 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h.35

12 Frederick Coplestoon, A History of Philosophy, (New York: Doubleday, 1993), h.

76-77.

13 Stephen Krner, Fundamental Questions of Philosophy, (Sussex: The Harvester Press.

(25)

Ia mencatat ada 16 masalah yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang jika diringkas ada dalam wilayah pembahasan mengenai yang wujud, tunggal, penyebab kejadian, etika dan psikologi (ilmu jiwa). Pembahas-an mengenai aspek teologi ini sejalPembahas-an dengPembahas-an pPembahas-andPembahas-angPembahas-an IrfPembahas-an Abdul Hamid yang membedakan pembahasan ilmu di Barat dan di Timur. Menurutnya, pembahasan ilmu di Barat tidak dilandasi dengan bahasan mengenai nilai-nilai keyajinan tertentu atau pengkaitan dengan hal-hal yang transenden. Ini berbeda dengan di Timur, dalam hal ini Islam, yang dalam pembahasannya selalu menggunakan standar nilai agama yang diyakini14. Hal ini nampaknya mempengaruhi arah pembahasan

me-ngenai filsafat antara di Barat dengan di Timur. Metodologi dan nilai yang dikembangkan nampaknya akan mengalami perbedaan pula.

1. Hellenisasi Ke Wilayah Persia

Titik awal dari hellenisasi adalah masuknya kekuasaan Romawi15 ke Mesir

pasca meninggalnya Cleopatra pada masa-masa sekitar abad ke-4 SM berbarengan dengan ditaklukkannya wilayah ini oleh bangsa Romawi, terutama masa Iskandar Agung. Mesir jatuh bersama dengan kota lain-nya yaitu Syiria (Syam), Persia, Samarkand, Bactria, Punjab dan Anatolia16.

14 Irfan Abdul Hamid, al-Falsafat fi al-Islam; Dirasah wa al-Naqd, (Baghdad: Dar al

Tarbiyah, tt), h.15.

15 Yunani pada masa ini adalah wilayah yang meliputi Asia kecil (minor), yang pada masa sekarang kira­kira adalah wilayah Turki hingga ke wilayah Yunani sekarang. Negara ini bertetangga sangat dekat dengan kekuasaan Mesir Kuno. Lihat W. Windenband, History of Ancient Philosophy, (New York: Dover Publications, 1956), h.

16. Dalam menjelaskan tersebarnya budaya Yunani, Mehdi Nakosteen menggunakan tiga istilah, yaitu; ilmu pengetahuan Yunani, Helenisme, dan Helenistik. Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, terj. (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), cet. Ke-2. h. 18.

16 Bertrand Russell, History Of Western Philosophy,..h. 229. Ia membagi sejarah Yunani menjadi tiga; pertama, negara Kota di bawah kekuasaan Aleksander dan Philip,

(26)

Penaklukan dari keempat kota ini hanya Persia saja yang tidak dibarengi dengan kristenisasi17. Persia masih mempertahankan kepercayaan

se-belumnya, penyembah bintang dan benda langit, hingga pada abad-abad ke­6 mereka baru memeluk Kristen. Penyebaran filsafat ke Timur ini setelah Stoisme menjadi gerakan.18

Secara umum peradaban di timur (selain Yunani) sudah menampak­ kan kemajuan. Bahkan pada 4000 SM di Mesir telah berkembang tradisi tulis-menulis, juga di Mesopotamia19.Hal ini ditandai dengan adanya ilmu

yang berkembang di wilayah Mesir seperti adanya bangunan pyramide, ilmu tentang pengawetan mayat, ilmu ukur (geometri)20, dan astronomi.

Filosof awal, Thales dan Phytagoras, ditengarai pernah besinggungan dengan ilmu-ilmu ini ketika mengadakan perjalanan ke timur di abad ke-8 SM. Ilmu yang berkembang di timur ini lebih banyak dalam wilayah ilmu-ilmu yang aplikatif; untuk kepentingan hidup sehari-hari21. Seperti ilmu

ukur yang digunakan untuk pembuatan piramida dan untuk mengukur kembali tanah yang terhempas serta batas tanah yang hanyut oleh banjir sungai Nil. Hal ini berbeda dengan pengembangan ilmu di Yunani yang lebih banyak untuk kepentingan ilmu itu sendiri22.

Dalam perkembangan persebaran ilmu dan filsafat Yunani ke timur, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi; pertama, pembangunan kota Alexandria di Mesir yang sudah menjadi wilayah kekuasaannya dan menjadi kota metropolitan23. Hal ini menyebabkan arus imigrasi

dari Yunani yang besar. Di Alexandria ini dikembangkan ilmu sains. Ber beda dengan di Roma, yang sama-sama di bawah kekuasaan Raja Agustus. Di Roma lebih berkembang ilmu hukum (Jurisprudence). Kedua,

17 Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet.

Ke-4. h. 204.

18 Bryan Magee, The Story Of Philosophy, terj.(Yogyakarta: Kanisius, 2008), h.46. 19 Tulisan waktu itu masih dalam bentuk-bentuk simbol gambar yang disepakati

bersama seperti tulisan China. Lihat Bertrand Russel, History of Western Philosophy, p. 25.

20 Dari segi namanya, geometri berarti pengukuran bumi. 21 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h.31

22 Umar Farrukh, Tarikh al-Fikri al-‘Arabiy, ( Beirut: Dar al Ilm, 1972), h. 30-31. 23 pendapat ini nampaknya merujuk ke De Lacy O’Leary, lihat dalam Arabic Thought

(27)

pengambilalihan Konstatinopel (Istanbul) sebagai ibu kota awal oleh pe-nguasa Nasrani (274 – 306 M) dan menjadikannya sebagai agama resmi oleh Yunani, hingga penguasa ini melakukan penindasan terhadap para intelektual dan filosof, karena para cerdik pandai ini dikhawatirkan akan mengganggu dan menghalangi penyebaran agama Nasrani (Kristen Ortodok). 24

Dari dua hal ini kemudian pada abad ke-4 M mulai terjadi arus besar-besaran perpindahan filsafat ke timur melalui lima kota utama, yaitu; Alexandria, Antioch, Ruha, Harran dan Jundisapur25. Kota-kota ini oleh

De Lacy disebut sebagai lingkaran Alexandria; semacam jaringan baru dengan pusatnya di Alexandria26. Dari Alexandria yang dipimpin oleh

Alexander Agung kemudian dimulai apa yang disebut Hellenisasi di Timur, meliputi kawasan Arab sekarang dan Asia Minor27.

Di Alexandria tumbuh bermacam­macam mazhab filsafat seperti mazhab Phytagoras dan Plato. Sebelumnya di kota ini sudah berkem-bang pula selain ilmu ukur, juga ilmu kedokteran dan sudah mendirikan pusat studi. Ahli kedokteran di kota ini adalah Inkleus, Istofan, Jasius, Marinus, Poles dan Maghanis. Dari ahli hitung dan astronomi yang ter-kenal adalah Batolomius Kludius dan seorang arsiteknya adalah Aklides. Pada abad ke­4 SM, Demokritos, sebagai salah seorang filosof awal pernah mengadakan perjalanan ke kota ini, selain ke Babylonia, Persia dan Athena.

Sedangkan di Antioch terkenal dengan aliran ketuhanan dan me-sianis me, yaitu aliran yang meyakini kebangkitan Yesus (Joshua/ Nabi Isa AS) sebagai juru selamat. Di antara tokohnya adalah Deodorus (w. 394 M). Pengenalan ilmu pengetahuan di Antioch ini melalui manuskrip, seperti oleh Probos, seorang dokter yang hidup pada pertengahan abad

24 Umar Farrukh, Tarikh al Fikri al’ Araby, h.30

25 Aleksandria terletak di pesisir barat Mesir. Antioch terletak di wilayah Syria;

saat itu Syria meliputi negara Syria saat ini, Palestina/ Israel, Lebanon, Jordania. Riha , Harran terletak di Irak, sedangkan Jundisapur terletak di Kazakhstan.

26 De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in History, h. 26

27 V. C. H. Becker dalam al-Turats al-Yunaniy fi al-Khadharah al-Islamiyah,terj.

Abdurrahman Badawi, (Kairo: Dar al Nahdhah, 1965), h. 5. Lihat juga Philip K. Hitti,

(28)

ke ­5. Kelak pada masa Islam, kota ini menjadi pusat studi filsafat pada masa Umar bin Abdul Azis, khalifah terakhir Bani Umayah. Di Syiria ini, selain di Antioch, juga didirikan pusat studi di daerah Nisibis yang dalam penyampaian ilmu pengetahuan di sekolah-sekolahnya meng gunakan bahasa Syria. Sama seperti di Antioch, objek studi yang dikaji adalah masalah ketuhanan dengan dominasi gerejanya. Namun dominasi gereja ini illegal, karena seperti dijelaskan sebelumnya, pihak gereja di Yunani dan di Alexandria selalu menentang pemikiran filsafat.28

Di kota Ruha29 telah berdiri sekitar 50 pusat studi yang mempe lajari

teologi dan budaya Yunani dengan bahasa Suryani30. Kota ini terletak di

Irak di antara sungai Eufrat dan Tigris. Pada tahun 474 sekolah-sekolah ini ditutup oleh Raja Zainun dari Romawi karena diduga menyebarkan paham-paham sesat. Hingga suatu saat tentara mengambil alih kota ini dan membuka kembali sekolah yang pernah tutup. Di sekolah-sekolah ini dipelajari ilmu logika, kedokteran, filsafat Aristoteles dan me nerjemahkan buku-buku Phytagoras, Plato dan Aristoteles.

Sedangkan di Harran, penduduknya sebagian besar beragama Shabiin, penyembah bintang31. Ilmu yang berkembang adalah kedokteran,

mate-matika dan astronomi yang dipelajari dari bangsa Kaldan. Dan di Jundisapur, yang terletak di wilayah Khazastan atau barat daya Persia. Di kota ini menetap beberapa orang Yunani dan kemudian datanglah Raja Justiniyus pada tahun 529 yang memberangus filsafat yang telah berkembang. Para ilmuwan Nestorian ini kemudian pindah ke Persia, Alexandria, Syria di bawah raja Anusirwan dan diminta mengajar di

28 De Lacy O’Leary, Arabic Thought an Its Place in History, h.25-26.

29 Hira pada mulanya adalah kamp militer dan menjadi pusat kekuasaan raja-raja

Lakhmiyyah.

30 Dialek Ruha merupakan dialek terpenting dalam bahasa Aramia di Timur, sehingga bisa bertahan bahkan ketika bahasa Yunani menjadi bahasa pemerintahan di Syria. Lihat Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al-Dibyân, Hunain bin Ishaq; Dirâsah Târikhiyyah Lughawiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Mulk al-Fahd al-Wathaniyyah, 1993), h. 20.

31 Kaum Shabiin sering diidentifikasi sebagai penyembah bintang, ada juga

(29)

sekolah kedokteran32. Kelak dari Harran ini di abad ke-9 dan ke-10 M

menjadi pusat penerjemahan ilmu-ilmu matematika, astronomi, Neo-platonis, dan Neophytagoras.33

Sebelum pengusiran oleh Raja Justiniyus pada 529 M, kota Jundisapur pada Abad 6 M merupakan tempat dilestarikannya kegiatan studi oleh para intelektual Yunani dan Syria. Di sini dikaji pemikiran Hindu, Yahudi, Persia, terutama aspek filsafat dan kebudayaan klasik34.

Selain itu, penerjemahan karya­karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Pahlavi sudah banyak, seperti ilmu kedokteran, musik, dan matematika. Di kuil-kuil tempat para Zoroastrian telah berdiri perpustakaan yang menyimpan buku-buku ilmiah dan etika dalam bahasa Pahlavi (Persia Tengah), yang di kemudian hari juga diterjemahkan sebagiannya ke dalam Bahasa Arab, bahkan hingga bahasa Latin dan bahasa lainnya di Eropa. Transmisi ini berlangsung dari generasi ke generasi.

Di kelima kota pusat pengembangan keilmuan ini dikaji beberapa karya Yunani dalam berbagai bahasan disiplin ilmu, seperti bahasa dan gramatika Yunani dan teologi. Karya­karya yang diterjemahkan antara lain adalah disiplin ilmu mengenai logika Aristoteles termasuk Isagoge -nya Prophyry, Categories, The hermeunetica, dan bab awal mengenai Analytica Priora35. Buku-buku ini dianggap aman dari kontaminasi buruk yang bisa merusak keyakinan Kristen36.

Selanjutnya peran yang besar diberikan oleh kaum Nestorian, yang menerjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Pahlavi, ter-utama setelah didirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah di Persia. Salah satu pusat ilmu pengetahuan Nestorian di Persia adalah Rumah Ardhesir (Beit Ardeshir), yang dijadikan pusat penerjemahan karya-karya

32 Umar Farrukh, Tarikh al Fikri al’ Araby,..h.31. Lihat juga Mehdi Nakosteen,

Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 23.

33 T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publications.

Inc, tt), h.13.

34 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h.27.

35 Semua dikompilasikan dalam satu buku menjadi bernama Organon, dan semua

dinisbatkan sebagai karya Aristoteles.

36 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology, and Misticism,(Oxford: Oneword, 2000),

(30)

Aristoteles dan lainnya. Karya-karya yang diterjemahkan adalah ilmu-ilmu kedokteran, astronomi, dan lainnya. Kelak, kemajuan Eropa juga ber awal dari pusat ilmu pengetahuan di Persia ini37.

Dengan demikian, sebelum Islam datang ke wilayah ini, penerjemah-an ilmu­ilmu pengetahupenerjemah-an, baik lpenerjemah-angsung dari Yunpenerjemah-ani maupun melalui Syria sudah berlangsung pesat. Materi yang diterjemahkan meliputi ilmu kedokteran, matematika, musik, dan sebagainya. Peran gereja dan kaisar yang berkuasa sangat besar dalam menumbuhkan iklim ilmu penge ta-huan di wilayah ini. Di saat di Yunani sendiri ilmu pengetata-huan dan filsafat muli redup, kegemilangan justru muncul di Timur, baik ketika masih di Alexandria (Iskandariyah) maupun ketika sudah di Persia. Yang perlu dicatat juga adalah bahwa, iklim ini saling melengkapi dengan apa yang telah mereka punyai sebelumnya. Hal ini berlaku, baik di Iskandariyah, Antioch, maupun di Jundisyapur. Saling melengkapi ini ke-mudian berkembang dan menyebar hingga keluar wilayahnya masing-masing. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa tradisi pembauran budaya sangat mewarnai dalam tumbuh kembangnya tradisi pemikiran dan ilmu pengetahuan.

2. Hellenisasi Pada Masa Kekuasaan Islam

Penggabungan antara masyarakat Persia dan Islam Arab, bagi Bertrand Russell dianggap sebagai babak baru dari corak agama Islam yang lebih bernuansa saintist dan filosofis38. Hal ini dipandangnya sebagai lebih

me-narik daripada Islam sebelum berkonversi dengan Persia. Bisa jadi hal ini dikarenakan kemampuan Islam yang bisa beradaptasi dengan wilayah dan situasi yang baru, yang telah lama berperadaban ilmu pengetahuan (civilized). Apalagi etika Islam bisa hidup dan berkembang di Persia, sebagai pusat peradaban ilmu oriental dan Yunani. Islam kemudian me­ nyatukan daerah-daerah mereka dengan semangat kesatuan agama dan bahasa39.

37 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 28

38 Bertrand Russell, history Of Western Philosophy,(London: George Allen & Unwin

Ltd, 1965),h. 414.

(31)

Masa kekuasaan Islam yang menonjol dalam hal ini adalah masa Bani Umayyah, yaitu masa-masa awal setelah adanya perebutan ke-kuasaan dari tangan Ali ibn Abi Thalib (w. 661 M) oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan (w. 680 M). Masa ini penuh dengan gejolak politik sebagai hasil dari perebutan klaim yang sah atas jabatan khalifah pengganti Nabi Muhammad (w. 632 H).Berbagai gejolak mewarnai pemerintahan Muawiyah seperti perpindahan ibukota sebagai pusat pemerintahan, pemberontakan-pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap khalifah, balas dendam dan sebagainya. Hingga pada masa-masa yang dianggap stabil, mereka bisa melanjutkan penaklukan daerah baru hingga men-jadi propinsi-propinsi sendiri dengan pusat-pusat kota yang telah ada sebelumnya. Tercatat bahwa pada tahun–tahun setelah 680 M mereka mulai bisa memperluas wilayah hingga ke daerah kekuasaan Byzantium, Afrika Utara, Khurasan (663-671 M), hingga ke Bukhara di Turkistan. (674 M)40. Penaklukan ini sekaligus menobatkan Muawiyah sebagai ahli

strategi militer yang ulung pada masanya.

Hellenisasi pada masa Islam ditandai dengan masa keterbukaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah berkembang pada masa sebelum pena-klukan daerah-daerah baru. Sebelumnya, orang Islam tidak bersing-gungan dalam hal ilmu filsafat dengan orang dari luar Arab, khususnya dengan orang Yunani maupun didikannya. Hellenisasi ini adalah ke­ niscayaan budaya ketika Islam keluar dari jazirah Arab41. Karena wilayah

Arab diapit oleh dua kekuatan besar, yaitu Bizantium di Barat dan Persia di timur.Byzantium mewakili kekuatan Kristen dan Persia mewakili ke-kuatan Majusi.

Babak awal penerjemahan buku dari luar adalah buku berbahasa Yunani dan Qibty yang diambil dari Alexandria pada masa Khalifah Khalid bin Yazid al­Umawy (w. 58 H). Penerjemahan besar­besaran buku­ buku Yunani, baik yang berbahasa Yunani maupun telah dialihbahasa­ kan ke dalam bahasa Syria dimulai pada abad ke-8 Masehi. Orang

Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1990), h.7. 40 Philip K. Hitti, History of The Arabs, h.239-242.

41 Ahmad Fuad al Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet.

(32)

yang pertama kali membawa buku­buku Aristoteles adalah Yahya bin Khalid bin Barmak pada tahun antara 180-193 H, atas perintah khalifah Harun Al Rasyid (W. 193H/ 809 M)42. Kitab-kitab tersebut dikirim ke

Baghdad atas proposal yang diajukan langsung oleh khalifah kepada raja Yunani saat itu setelah diketahui bahwa kitab­kitab itu tidak dibaca oleh khalayak, bahkan oleh pejabat kerajaan sendiri, karena tersimpan rapi di sebuah gudang milik kerajaan. Kitab ini sengaja dijauhkan dari khalayak umum karena raja khawatir kalau sampai terbaca oleh umum, maka akan terjadi perpindahan agama dari Nasrani (Kristen Ortodoks) kepada agama semula43.

Sementara dijelasksan oleh Mehdi Nakosteen bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hellenisasi di daerah kekuasaan Islam, yaitu; pertama, adanya pengusiran sekte-sekte yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan, yaitu sekte Nestorian dan Monophysite dari Yunani oleh pihak Gereja, karena dianggap bertentangan secara doktrinal dengan pihak Gereja. Hingga sekte-sekte ini menempati wilayah baru di daerah Persia dan Arab lainnya, meskipun di daerah baru ini mereka juga tidak bebas bergerak. Datangnya tentara Islam yang me-nyerbu dan menaklukkan kekaisaran Romawi dan Persia dianggap sebagai tentara pembebas bagi mereka. Di samping itu, para tentara ini membawa sikap yang akomodatif dan toleran terhadap adat-istiadat, agama dan kebudayaan setempat. Termasuk juga ilmu pengetahuan yang telah berkembang sebelumnya44.

Kedua, penaklukan oleh Alexander Agung ke daerah Persia, yang sekaligus juga menyebarkan hellenisasi dengan mengakomodasi ter-hadap adat istiadat setempat. Sikap akomodatif ini menjadikan ilmu yang disebarkan lebih kaya dan bervariasi. Faktor yang ketiga adalah pe-ngem bangan akademi Jundisapur dengan mengadopsi kurikulum yang dikembangkan oleh Universitas Alexandria. Pengadopsian yang dimaksud

42 Yahya bin Khalid sendiri tadinya adalah seorang Zindiq yang kemudian masuk

Islam. Lihat dalam Jalaludin Al Suyuthi, Shaun al-Manthiq wa al-Kalam ‘an Fann al-Manthiq wa al-Kalam, (Tanpa Data ).h. 13-14

(33)

adalah dengan menerjemahkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Pahlavi dan Syiria hingga awal-awal kekuasaan Islam. Faktor terakhir adalah peran ilmuwan Yahudi yang cukup besar dalam penerjemahan karya­karya Yunani ke dalam bahasa Arab dan Hebrew45.

Dengan demikian terlihat jelas bagaimana pengaruh pemikiran Yunani dalam dunia Islam, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terlihat dari eksistensi wilayah yang tadinya menjadi daerah koloni kerajaan Romawi dan Bizantium di wilayah-wilayah yang kemudian dikuasai Islam. Pengaruh ini setidaknya mening-galkan bekas tradisi pemikiran masyarakat dalam bentuk kebudaya an dan pranata sosial yang telah berlangsung berabad-abad di wilayah-wilayah itu.

Sedangkan pengaruh secara langsung adalah pengaruh secara tertulis dari karya-karya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab, baik melalui Syria maupun Persia. Karya-karya tersebut adalah bahan-bahan yang diajarkan pada sekolah-sekolah yang didirikan di pusat-pusat kebudayaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pengaruh yang paling nampak adalah pengaruh pemikiran filsafat di dunia Islam, yang menjadi kebutuhan mendasar bagi Islam ketika bersinggungan dengan wilayah tersebut46. Dilihat dari kronologi perkembangannya, sebenarnya

filsafat dalam dunia Islam tumbuh setelah ilmu yang lain seperti ilmu kalam, fiqh dan tasawuf. Namun dalam perkembangannya kemudian filsafat mengiringi perkembangan ilmu yang lain dan menjadi icon bagi ke-majuan dalam dunia Islam.

Dalam pengantar terhadap Arabic Sintax, terjemahan dari Kitab

Mi’at Al-‘Amil karya Al-Jurjani, Abraham Lockett dengan jelas me-nga takan bahwa banyak ilmu di Arab setelah mengalami perluasan ke mudian bersentuhan dengan budaya Yunani melalui daerah­daerah bekas kekuasaannya. Bahkan ia menelusuri lebih jauh kepada Zaid bin Tsabit yang hidup pada zaman Nabi Muhammad dan dianggap sebagai sekretarisnya, telah berhubungan dan mahir dengan pengetahuan

45 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat,…h. 20

46 Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, ( Jakarta: Paamadina, 2000), cet.

(34)

Yunani47. Ia juga mengatakan bahwa sains Islam tidak lain adalah

terje-mahan dari The Isagoge of Prophiry. Namun demikian, ia tidak menolak pendapat mengenai orisinalitas beberapa disiplin ilmu seperti aljabar, trigonometri, dan beberapa hal mengenai astronomi.

Dalam bidang ilmu kalam atau teologi, ada beberapa dogma yang dianggap juga mirip dengan Kristen Nestorian dan dengan demikian juga dianggap sebagai inspirasi bagi pemahaman dalam Islam, yaitu mengenai kesamaan kehendak Tuhan dengan manusia. Dogma ini se-belumnya telah berkembang di Syria pada abad ke-6. Hal ini juga di-dukung dengan banyaknya ilmuwan di Harran yang kemudian menjadi penerjemah pada masa pemerintahan Islam pada abad ke-8 M48.

Melihat bebrbagai komentar seperti itu, maka menjadi relevanlah apa yang dikatakan oleh Abe al-Jabiri bahwa ketika dikatakan tentnag sejarah filsafat dalam Islam, maka ia bagaikan anak tiri yang bukan milik Islam. Teori ini seakan melepaskan secara total keterlibatan Islam dalam olah pemikiran filsafat waktu itu. Padahal penggunaan logika filsafat sebenarnya menyimpan berbagai kepentingan untuk pengembangan Islam itu sendiri terhadap kawasan yang masih dendam dengan keber-hasilan Islam dalam menguasai wilayahnya, terutama adalah kawasan Persia. Para pemuka di kawasan tersebut berkepentingan untuk menye-rang kekuasaan Islam dengan menggunakan ideology setelah pepe-rangan fisik sudah tidak mungkin dilakukan49. Dan ini menjadi cikal

bakal bagi pergulatan pemikiran dalam Islam setelah dalam lingkungan Islam sendiri juga kemudian melakukan “saling serang” dengan muncul-nya paham pemikiran filsafat ini. Dari sinilah sebenarmuncul-nya kejayaan pemikiran itu dimulai, yaitu sikap yang sangat moderat untuk menghadapi serangan dengan pemikiran pula. Dan warisan polemik itulah yang sampai sekarang masih bisa dibaca.

47 Abraham Lockett dalam Arabic Sintax, (India: Hindustanee Press, 1814), h.

VIII-IX.

(35)

B. TRANSMISI INTELEKTUAL DALAM ISLAM

Transmisi ilmu pengetahuan memainkan peran penitng dalam trans-misi intelektual dalam Islam.Islam yang lahir dan tumbuh keluar Arab mewarisi tradisi transmisi keilmuan orang Arab sebelumnya yang hidup di gurun, yaitu ketrampilan seperti menunggang kuda, menghafal dan membuat syair dan sastra50. Adapun tradisi intelektual di sini adalah

tradisi yang berkembang meliputi penerimaan atas hellenisasi dan pe-ngem bangan ilmu pengetahuan awal-awal Islam di Persia. Ini untuk mem bedakan dengan tradisi hellenisasi yang lebih bernuansa filsafat Yunani, dan dengan demikian tradisi intelektual yang dimaksudkan dalam tulisan ini ingin lebih menarik keluar dari pembahasan mengenai tradisi filsafat Yunani kepada ilmu yang lebih luas. Hal ini mengingat Islam memiliki karakteristik sendiri dalam keilmuannya, yang berbeda dengan tradisi sebelumnya. Sementara Islam telah menjadi lembaga tersendiri dengan hadirnya simbol-simbol yang membedakan dengan tradisi lain; kalau hellenisme, misalnya, memiliki Plato dan Aristoteles, Nasrani memiliki Nabi Isa dengan semangat injil, maka Islam kami letakkan secara ber beda dengan tradisi sebelumnya; di dalamnya ada kajian mengenai politik, dakwah, ilmu pengetahuan, kajian tafsir, hadits dan sebagainya.

Landasan awal dari pemikiran dan tradisi keilmuan dalam Islam, selain adanya dalil naqli (text), baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, juga berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah hewan yang berpikir dan bisa berbicara (hayawan al-nâthiq)51. Kesadaran

akan hal ini memicu keinginan untuk menggali potensi yang ada untuk berpikir, baik dalam skala sempit maupun yang lebih luas. Dalam skala sempit adalah bagaimana bertahan hidup, sedangkan yang lebih luasnya adalah bagaimana membuat kemudahan hidup dan kepuasan lain. Berpikir filsafat dianggap sebagai bagian dari berpikir yang luas ini. Dari

50 Dalam tradisi kehidupan di gurun (desert), ketrampilan “olah vocal” melalui

kepandaian puisi adalah pendidikan pertama yang diterimanya dalam hal intelektual. Lihat Charles Michael Stanton, The Higher Learning in Islam, h. 14.

51 Muhammad Abdurrahman Marhaba, Min al-Falsafat al-Yunaniyyah ila al-Falsafat

(36)

pola ini muncul dua bentuk ilmu dalam Islam, yaitu ilmu naqliyah dan ‘aqliyah52.

Sepeninggal Nabi Muhammad, tradisi wahyu dalam Islam dianggap telah selesai dan kemudian dilanjutkan dengan tradisi penyampaian kabar dari Nabi (hadits) secara oral yang disebut tradisi riwayat. Tradisi riwayat ini menempati peran sentral dalam transmisi keilmuan awal dalam Islam dan kemudian berkembang hingga menjadi tren metodo logi pada abad kedua. Abad inilah yang disebut oleh Fazlurrahman sebagai fenomena metodologi keagamaan53. Tradisi ini kemudian terkodifikasi

pada abad ketiga dalam bentuk enam compendium buku hadits yang ter-kenal dengan istilah ashhab al-sittah. Fenomena ini dianggap menarik karena dalam jangka yang begitu lama untuk ukuran berita, hadits bisa di saring menjadi sebuah catatan yang diterima dan disahkan sebagai asli dari Nabi.

Penelusuran mengenai hadits ini diduga tidak terjadi atau muncul pada satu masa pada abad dua saja tetapi sudah muncul sejak perluasan dan penyebaran Islam itu sendiri. Hal ini melihat kompleksitas yang mengitari sebuah hadits, yaitu adanya ketentutan-ketentuan khusus yang mengaturnya sehingga apa yang disampaikan secara berurutan dari orang per orang tersebut kemudian menjadi pegangan banyak orang dan diakui validitasnya. Tradisi penyampaian materi kabar dari Nabi ini me ngan dung dua hal, yaitu materi pokok dari informasi dan siapa yang menjadi jalur periwayatnya (isnad/ transmiter)54.

Transmisi keilmuan dengan cara oral dan tertulis ini menandai per-kembangan awal keilmuan Islam. Pada tradisi oral, dilakukan dengan cara mendengarkan secara langsung ilmu dari seseorang yang memiliki otoritas terhadap hal itu. Otoritas itu di antaranya ditandai dengan ke-mampuan seseorang untuk menguasai satu bidang tertentu dengan basis ingatannya yang kuat. Tradisi mengingat telah menjadi tradisi yang

52 Lihat Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam,( London: Routledge,

2006), h. 39. Lihat juga Siti Maryam, ed. Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik Hingga Modern,( Yogyakarta: LESFI, 2003), h.72.

Referensi

Dokumen terkait