• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Moral Ekonomi Pedagang

Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu bentuk peraturan tersebut adalah tentang moral. Dalam bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai susila. Moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima masyarakat dalam perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila. Norma dan nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam moral dan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan baik buruknya tindakan atau perbuatan sebagai manusia. Norma dapat diartikan sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Selain norma, nilai termasuk didalam unsur-unsur moral. Nilai merupakan suatu harga, isi atau makna dari perbuatan yang memiliki tujuan. Nilai berada di dalam moral agar seseorang dapat berbuat baik dengan tujuan yang memiliki nilai. Moral, norma, dan nilai-nilai dapat berjalan apabila didalamnya terdapat atribut yaitu sifat atau tindakan untuk melakukan hal tersebut sehingga menghasilkan perilaku-perilaku yang benar dalam kehidupan (Soekanto, 1990:199).

Bertolak dari semuanya itu, moral telah mencakup berbagai aspek kehidupan baik dalam budaya, agama, politik, pendidikan dan ekonomi. Di dalam ekonomi, moral juga diperlukan. Moral ekonomi adalah suatu tindakan ekonomi yang

(2)

dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi sesuai dengan etika atau tata tertib tingkah laku dalam pola bertindak dan berpikir yang dianggap baik dan benar di dalam aktivitas ekonomi. Nilai-nilai moral diletakkan diatas pertimbangan ekonomi di dalam setiap pengambilan keputusan untuk menjalankan usaha. Moral ekonomi dan etos kerja adalah salah satu hal yang penting didalam peningkatan produktivitas ekonomi.

Moral ekonomi pada awalnya sudah ada sejak masa dulu. Masyarakat pada awalnya menggunakan sistem barter. Kemudian, dengan adanya perkembangan muncullah etika subsistensi pada petani. Moral ekonomi petani tidak berorientasi pada untung dan menghindari resiko. Mereka bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan semata.

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh James.C.Scott pada petani di Asia tenggara ditemukan bahwa banyak petani di Asia tenggara yang hasil panennya hanya digunakan sebagai bahan pangan saja. Mereka menggunakan hasilnya untuk kebutuhan hidup, selebihnya dijual untuk membeli beberapa barang kebutuhan seperti garam, kain dan untuk memenuhi tagihan-tagihan dari pihak luar (Scott, 1981:4-5). Sifat resiprositas dan prinsip ”dahulukan selamat” masih melekat pada masyarakat ini. Sudah menjadi suatu konsensus yang tak terucapkan mengenai resiprositas pada petani untuk menolong kerabat, teman dan tetangga dari kesulitan dan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka dalam kesulitan. Norma-norma inilah yang telah melekat dalam moral ekonomi petani, (Scott, 1981:19)

(3)

Tetapi ketika petani mengalami pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mereka, maka muncul moral ekonomi untuk melakukan suatu tindakan yang benar agar subsistensi mereka tidak terancam. Para petani, menurut James Scott mulai mencari pekerjaan-pekerjaan sampingan. Seperti berjualan kecil-kecilan, menjadi tukang kecil, buruh lepas atau malah berimigrasi. Hal-hal tersebut mulai dilakukan para kaum Peasant untuk tidak tergantung pada bantuan orang lain dengan cara mulai menjual hasil pertanian ke pasar. Pada saat kebutuhan dan perkembangan semakin maju, maka etika subsistensi kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga muncul sistem ekonomi uang.

Sesuai dengan perkembangan dan meningkatnya kebutuhan maka sistem barter yang dilakukan oleh mayarakat pertama berangsur-angsur berubah. Demikian juga dengan moral ekonomi petani yang sifatnya subsistensi dan menghindari resiko juga mengalami peubahan. Perkembangan manusia selalu dinamis karena itu ketika para peasant mengalami dilema, maka mereka mulai mengubah moral ekonomi mereka. Sifat untuk mencapai untung dan mulai mengambil resiko mulai dilakukan oleh kaum peasant yang dimulai dengan menjadi pedagang. Moral ekonomi pedagang yang masih disisipi oleh moral ekonomi petani mulai mengalami berbagai perkembangan.

Menurut Hans Dieter Evers dalam Damsar (2000: 90-92), moral ekonomi pedagang tetap menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual-beli. Evers menyatakan bahwa para pedagang seringkali mengalami dilema, hal inilah yang menyebabkan adanya pertentangan dalam diri pedagang sendiri. Apabila pedagang menggunakan harga yang tinggi, maka dagangannya tidak akan laku, tetapi apabila

(4)

pedagang menjual dagangannya dengan harga murah sedangkan modal sangat mahal maka kerugian akan dialami atau jika pedagang bermurah hati dengan menetapkan harga yang rendah atau memperpanjang jangka waktu pembayaran maka pedagang itu akan menghadapi kerugian juga.

Dalam keadaan seperti ini menurut H.D.Evers, pedagang berusaha mencari jalan keluar sendiri. Diantaranya adalah dengan memilih jalan untuk merantau atau membuka usahanya di daerah lain, sehingga pertentangan batinpun tidak ada lagi. Evers memandang bahwa pedagang adalah manusia yang kreatif dan dinamis. Hal ini didasarkan kepada para pedagang yang tidak tertumpu pada norma-norma yang ada di didalam masyarakat. Mereka bisa menyelesaikan permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada. Berbeda seperti yang dinyatakan James Scott tentang moral ekonomi petani yang didasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas yang terikat sangat statis pada aktivitas ekonomi mereka. Prinsip moral tersebut dipelajari, dipahami, dan diterapkan dalam kehidupan melalui proses pembudayaan secara terus-menerus dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Di sini yang menjadi alat kontrol atas tingkah laku seseorang di dalam komunitas adalah ukuran “baik dan buruk” berdasarkan sistem nilai (budaya) yang dianut oleh masyarakat.

Pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam aktivitas perekonomian akan mengalami hal yang sama dalam dilema atau permasalahan dalam aktivitas ekonomi, baik masyarakat petani, pedagang, nelayan baik mereka yang ada di desa maupun di perkotaan. Apabila mereka menghadapi masalah yang disebut dengan masalah subsistensi atau resiprositas, maka mereka akan mencoba untuk melakukan

(5)

tindakan-tindakan yang baru seperti menjual, menggadaikan, meminjam uang (berhutang) dan tindakan lainnya. Tujuan dari semua itu adalah untuk mengamankan posisi mereka dalam aktivitas perekonomian di dalam menghadapi persaingan yang ada.

Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers dalam Damsar (2000) menemukan 5 (lima) solusi atau jalan keluar yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pedagang dalam menghadapi dilema tersebut, yaitu:

1. Imigrasi Pedagang Minoritas

Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui migrasi atau dengan etnogenesis yaitu munculnya identitas etnis baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang. Evers memberikan contoh tentang ”pedagang kredit” yang ada di Sumateraa Utara, yang sebagian berasal dari suku Batak dan beragama Kristen yang melakukan aktivitas dagangnya sebagai penjual pakaian dan kain bakal baju kepada orang-orang desa dengan pembayaran tidak kontan. ”Pedagang kredit” itu sendiri membeli barang dagangannya kepada pedagang grosir yang umumnya orang Minangkabau. Evers melihat jika orang Minangkabau sendiri yang melakukan ”perdagangan kredit’ seperti yang dilakukan oleh orang Batak, di kampung halaman tempat asalnya maka dia akan dihadapkan kepada dilema yaitu antara mencari keuntungan untuk mengakumulasi modal dan kewajiban moral untuk menikmati bersama dengan orang sekampung atas penghasilannya. Untuk menghindari dilema tersebut maka lebih baik

(6)

merantau (migrasi) ke daerah lain dan melakukan aktivitas perdagangan di sana.

2. Pembentukan Kelompok-Kelompok Etnis atau Religius

Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerja sama tetapi tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang ada di Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai pemasok kebutuhan sandang baru, sedangkan pedagang sendiri memperoleh untung yang relatif besar karena harga ditetapkan relatif lebih tinggi dari harga di pasaran. Ini berarti terdapat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat pedesaan Sumatera Barat dan pedagang kredit yang masing-masing memiliki komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan agama Kristen.

3. Akumulasi Status Kehormatan (Moral Budaya)

Melalui peningkatan akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai dengan studi Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang Jawa bahwa kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan oleh kaum santri memberi dampak kepada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir dan tamak tetapi sebaliknya dianggap orang yangberbudi baik dan bermurah hati.

(7)

4. Munculnya Pedagang Kecil dengan Ciri “Ada Uang Ada Barang”

Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat bahwa para pedagang bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas jika dibandingkan dengan pedagang yang lebih besar. Pedagang bakul akan bersikeras melakukan transaksi dalam bentuk “ada uang ada barang” dan menghindari masalah utang piutang dengan pelanggan. Apabila ada permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang untuk menghindari dilema yang biasanya dialami.

5. Depersonalisasi (Ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi.

Jika ekonomi pasar berkembang dan hubungan-hubungan ekonomi relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial pasar ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktivitas di satu sisi dan di sisi lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya. Ini bukan berarti dilema pedagang hilang tetapi nilainya turun dan ditransformasikan ke dalam suatu figur sosial dan budaya baru.

(8)

2.2. Tindakan Ekonomi

Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk dari tindakan sosial. Menurut Weber, tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai suatu tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Aktor sebagai pelaku ekonomi akan selalu mengarahkan tindakannya menurut kebiasaan dan adat dari nilai-nilai dan norma yang dimiliki dalam sistem hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pada kelompok masyarakat petani, tindakan ekonomi merupakan cerminan langsung dari moral ekonomi sedangkan pada masyarakat pedagang, tindakan ekonomi merupakan kombinasi antara moral ekonomi, kepentingan ekonomi dan dimensi moral mereka yang senantiasa dinamis. Norma-norma moral, adat, hukum dipandang sebagai sesuatu yang mengganjal dalam mencapai kepentingan pribadi. Tetapi sebagai manusia yang kreatif, masyarakat pedagang tetap mencari jalan keluar dengan melakukan proses interaksi antara pedagang dengan pedagang maupun pedagang dengan kelompok masyarakat, (Damsar, 2000:92-100).

Tindakan ekonomi tidak dapat terlepas dari moral ekonomi dalam ekonomi pasar. Di dalam ekonomi pasar, ditemukan budaya yang mempengaruhi sistem nilai-nilai setiap pelaku ekonomi sesuai dengan yang mereka yakini dan pilihan-pilihan rasional yang menuntun para pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan mereka.

Bertolak dari penelitian yang dilakukan oleh James. C.Scott tentang moral ekonomi petani di Asia Tenggara, Robert W. Hefner juga melakukan penelitian tentang Budaya Pasar di Asia Tenggara. Menurut Hefner (1998), kaum pendatang atau migran yang banyak ditemui di Asia Tenggara yakni kaum Tionghoa adalah kelompok yang mampu bersaing dan berkembang dalam melakukan kegiatan

(9)

ekonomi pasar. Tetapi mereka tidak terlepas dari dilema moral yang dipengaruhi oleh budaya yang mereka yakini.

Menurut Jamie Mackie dalam Hefner (1998:197-181) orang Tionghoa di Asia Tenggara lebih berwatak wirausaha dalam kegiatan bisnis dibandingkan penduduk pribumi. Mereka memiliki jaringan ekonomi yang dikenal dengan sistem ekonomi perusahaan keluarga. Sistem-sistem nilai di kalangan orang-orang Thailand, orang Jawa, orang Melayu, orang Burma ataupun orang Vietnam dianggap kurang memiliki orientasi terhadap dagang. Orang Tionghoa yang datang menyebar ke Asia Tenggara, hampir seluruhnya berasal dari kelas-kelas sosial yang telah menyerap budaya Konfusius yakni suatu tradisi yang diteruskan secara turun temurun mengenai apa yang baik, bagaiman perilaku yang baik maupun yang buruk dalam setiap aspek kehidupan khususnya dalam dunia bisnis atau dagang. Dalam kasusnya di Indonesia, Jamie Mackie melihat bahwa pengusaha-pengusaha Tionghoa banyak yang berhasil di bidang dunia bisnis dimana mereka disebut sebagai Cina totok yang dikenal suka bekerja keras, paling berani mengambil resiko dan berhasil. Tindakan ekonomi mereka, prediksi mereka terhadap dunia pasar telah membawa banyak orang Tionghoa untuk berhasil dalam dunia dagang tanpa harus kehilangan hubungan yang baik dengan keluarga mereka.

Berbeda negara berbeda juga karakter masyarakatnya. Menurut Michael G. Peletz dalam Hefner (1998:257-258), masyarakat Melayu di Malaysia tidak mengembangkan tradisi Melayu untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi diantara semua keluarga. Dikalangan orang Melayu, keluarga dan bisnis tidak dicampurbaurkan. Orang Melayu tidak suka bergabung dalam usaha bisnis patungan

(10)

dengan para kerabatnya atau bekerja sama dengan mereka dalam jenis-jenis kegiatan bisnis tertentu. Mereka berusaha memisahkan diri dan melindungi hubungan-hubungan keluarga baik dari sifat keuntungan dan kepentingan pribadi dari para pelaku sosial.

Menurut Tania Murray (Hefner, 1998:223) melalui penelitian yang dilakukan di Penang Malaysia, para pedagang Melayu telah mengalami kesulitan berbisnis ketika mereka berdagang di wilayah kediaman mereka sehingga lebih banyak terjerat dalam kewajiban-kewajiban pribadi dan sosial kepada para pelanggannya yang adalah orang Melayu. Para pedagang secara terpaksa untuk memberi kredit bagi pelanggannya. Hal yang seperti inilah dilihat oleh Evers sehingga memberikan solusi terhadap dilema yang dialami pedagang salah satunya dengan melakukan imigrasi pedagang minoritas seperti yang dilakukan oleh pedagang Minangkabau di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

diterima pada taraf nyata tersebut, sehingga kesimpulannya adalah model regresi yang diperoleh dapat dipergunakan untuk melihat pengaruh Kesadaran Merek, Persepsi Kualitas,

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas SKPDKB BPHTB, SKPDKBT BPHTB dan STPD BPHTB

Langkah- langkah yang dilakukan sebelum verifikasi dosis radiasi adalah menentukan faktor kalibrasi TLD-100, mengukur dosis radiasi permukaan pasien kanker payudara

Sejumlah 60% anak menyatakan kakak sebagai pihak yang turut menjadikannya semangat dalam memperdalam pelajaran bisa dipahami dengan melihat data penunjang

Pada kelompok rentang panjang gelombang 400-600 nm ditemukan karakteristik yang unik, dan diperkirakan merupakan data yang signifikan untuk mewakili karakteristik

Turbine Compressor C-1A dan C-2A terkoneksi secara seri maka nilai Reliability yang didapatkan adalah hasil perkalian antara individu dari masing-masing unit Gas Turbine

Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, bahwa transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh

Punk sendiri bukan hanya sebuah komunitas sosial tetapi mencakup di dalamnya ideologi, politik, musik dan gaya hidup yang terangkum dalam sebuah subkultur yang menjadi