• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN

PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU

Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang

memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan

tindakan-tindakan yang pada prinsipnya merupakan pengurangan-pengurangan hak

asasi manusia. Bentuk dari tindakan tersebut adalah upaya paksa seperti

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.

Praperadilan dalam KUHAP pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan tindakan

pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan

kewenangannya tidak terdapat penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang.

Permasalahannya adalah apakah pengaturan mengenai praperadilan dalam KUHAP

telah cukup memadai untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak

hukum dan melindungi hak seorang tersangka dan terdakwa dalam suatu upaya

paksa. Analisa ini akan memberikan gambaran bahwa ternyata dalam kasus tertentu

pengaturan mengenai praperadilan selama ini belum cukup untuk mengakomodir

tujuan semula dari lembaga praperadilan itu sendiri.

POSISI KASUS

Pada tanggal 15 Juli 2002, diajukan Surat Dakwaan atas nama Terdakwa Arno

Suwarno, Dose Hudaya, dan Siti Wahyu Widayati yang pada pokoknya mendakwa

bahwa mereka telah melakukan tindakan memasukkan keterangan palsu dalam

suatu akta otentik dengan maksud menggunakannya seolah-olah benar, dan

melanggar pasal 266 (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Berdasarkan Surat Dakwaan

tersebut, para Terdakwa memalsukan keterangan dalam akta otentik dalam hal

penggunaan buku kutipan akta nikah antara Siti Wahyu Widayanti dengan Ahmad

(2)

Jajang untuk mengajukan permohonan eksekusi atas suatu putusan perdata tanggal 6

Oktober 1990 antara penggugat Ahmad Jajang dan para Tergugat ahli waris

Yustimiharja, yang pada pokoknya memenangkan gugatan penggugat atas piutang

para Tergugat. Karena Ahmad Jajang telah meninggal pada bulan Febuari 1996,

maka untuk mengajukan eksekusi atas putusan perkara yang dimenangkan oleh

Ahmad Jajang, Siti Wahyuni menggunakan buku kutipan akta nikah yang

dikeluarkan oleh KUA Jatisari sebagai alas hak bahwa selaku ahli waris dari Ahmad

Jajang, Terdakwa berhak atas piutang ahli waris Yustimihadja.

Adapun setelah dilakukan pengecekan oleh salah satu ahli waris

Yustimiharja, yaitu Yohanes Timiharja, didapatkan keterangan bahwa buku kutipan

akta nikah tersebut palsu, karena nomor akta yang bersangkutan, di KUA Jatisari

tercatat bukan atas nama Ahmad Jajang dan Siti Wahyuni, melainkan atas nama

Adam bin Daneng dengan Nela binti Olis.

Dalam perkara pidana penempatan keterangan palsu dalam akta otentik oleh

para Terdakwa, telah dikeluarkan putusan yang menyatakan para Terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana, sehingga

dibebaskan dari segala dakwaan, pada tanggal 15 Oktober 2002. Namun pada saat

pemeriksaan perkara ini berlangsung, dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan

Negeri tertanggal 19 Agustus 2002 (selanjutnya disebut penetapan 1409), yang

menyatakan bahwa saksi Yohanes Timiharja dan saksi Yeni Timiharja diduga keras

telah memberikan keterangan palsu di persidangan. Sehingga Ketua PN

memerintahkan kepada JPU yang bersangkutan untuk menahan para saksi dan

melakukan penuntutan terhadap mereka.

Pada tanggal 6 November 2002, diajukan gugatan praperadilan oleh para

Pemohon antara lain Siti Wahyuni Widayanti, Arno Suwarno, dan Dose Hudaya

terhadap para Termohon, yaitu Kejaksaan Agung RI cq. Kejaksaan Negeri Bandung,

Jaksa Muda dan Ajun Jaksa yang memeriksa perkara ini. Alasan pengajuan gugatan

praperadilan adalah karena para Termohon tidak melaksanakan penetapan PN

(3)

mengenai perintah menuntut dan menahan Yohanes dan Yani Timiharja atas

kesaksian palsu yang diberikan di muka sidang. Tindakan tidak melakukan apa-apa

atas kedua saksi, menurut para Pemohon, dapat dikualifikasikan sebagai

“penghentian penuntutan” yang masuk dalam lingkup pasal 77 KUHAP mengenai

praperadilan.

Atas permohonan tersebut, para Tergugat telah mengajukan tanggapannya

yang terbagi atas tanggapan dalam eksepsi dan dalam pokok perkara. Dalam

eksepsinya, para Termohon menyatakan bahwa permohonan praperadilan harus

ditolak berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

-

Dalil permohonan tidak masuk dalam lingkup pasal 77 KUHAP, dimana dasar

permohonan praperadilan akibat tidak dilaksanakannya penetapan 1409 tidak

masuk lingkup pasal 77 mengenai alasan pengajuan praperadilan atas tidak

sahnya penghentian penuntutan

-

Pemohon bukan merupakan “pihak yang berkepentingan’” sebagaimana

dimaksud dalam pasal 80 KUHAP

-

Permohonan praperadilan bukan merupakan perkara perdata, sehingga

pengajuan gugatan praperadilan tidak dapat dibenarkan

-

Pengajuan para Termohon II dalam perkara ini tidak tepat dan berlebihan,

dimana para Pemohon hanya melaksanakan tugas penuntutan sesuai perintah

Undang-undang.

-

Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permohonan praperadilan gugur

karena JPU telah menyerahkan para Terdakwa kepada Penyidik Polri pada

tanggal 7 November 2002 (dengan bukti surat laporan dan penerimaan

terlampir)

Sedangkan dalam pokok perkara, para Termohon mengajukan dalil-dalil

sebagai berikut:

(4)

-

Materi permohonan bukan merupakan obyek dan wewenang pemeriksaan

praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHAP

-

Termohon II telah melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai ketentuan

Undang-Undang, dimana berdasarkan pasal 174 ayat (3) KUHP, JPU wajib

menindaklanjuti berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan palsu

menurut ketentuan dalam KUHP. Dalam Keputusan Bersama MAHKEJOPOL II

mengenai Penetapan Keterpaduan Sesama Aparatur Penegak Hukum dalam

Penanganan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana, halaman 7 poin 15, pada

pokoknya diterangkan bahwa perintah penahanan oleh Hakim akibat pemberian

keterangan palsu, walaupun ditujukan kepada JPU, merupakan tanggung jawab

Polri. Dalam hal ini, Termohon II telah melimpahkan proses penyidikan perkara

ini kepada Polri

-

Ketetapan 1409 telah dilaksanakan sejak tanggal 7 November 2002

Atas jawaban ini telah diajukan replik dan duplik yang pada pokoknya tetap

berpegang pada dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing pihak.

Majelis Hakim yang bersangkutan telah mengambil keputusan atas perkara

ini pada tanggal 6 November 2002 yang memutuskan menolak eksepsi para

Termohon dan mengabulkan gugatan praperadilan, menyatakan para Termohon

telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta menghukum para Termohon

untuk melaksanakan penetapan 1409.

Atas putusan tersebut, telah diajukan upaya hukum banding pada tanggal 24

November 2002; namun dalam putusan Pengadilan Tinggi tanggal 7 Januari 2003,

dinyatakan bahwa banding yang diajukan tidak dapat diterima berdasarkan alasan

amar putusan

aquo

(putusan praperadilan di PN) tidak termasuk dalam lingkup

praperadilan.

Namun demikian, hingga tahun 2003, penetapan 1409 tidak kunjung

dilaksanakan. Oleh sebab itu, pada tanggal 16 April 2003, kuasa hukum para

(5)

Pemohon mengajukan permohonan eksekusi penetapan 1409 kepada Kejaksaan

Negeri yang bersangkutan. Atas surat tersebut, pihak Kejaksaan mengirimkan

balasan yang pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan eksekusi tersebut

belum dapat ditindaklanjuti, karena pihak Kejaksaan sedang meminta fatwa dari MA

mengenai permasalahan ini.

Adapun pihak Kejaksaan melalui Pangadilan Negeri telah menyampaikan

surat permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai status putusan

praperadilan tersebut, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

-

JPU telah melaksanakan penetapan 1409 dengan cara menyerahkannya pada

penyidik untuk diadakan penyidikan

-

Pemohon menganggap penetapan 1409 belum dilaksanakan karena penahanan

terhadap para saksi yang memberikan keterangan palsu belum dilakukan

Dan memohon fatwa atas hal-hal sebagai berikut:

-

Apakah lembaga praperadilan dapat digunakan oleh Hakim

judex factie

untuk

memutus mengenai tidak dilaksanakannya penetapan Hakim, dan bila tidak

dapat dibenarkan, bagaimana akibat hukumnya;

-

Apakah tindakan JPU menyerahkan para saksi kepada Penyidik Polri dapat

dibenarkan;

-

Mengingat pasal 174 KUHAP, siapa yang berwenang memproses permasalahan

sumpah palsu dan siapa yang harus melaksanakan penahanan terhadap para

Tersangka;

-

Bagaimana status dari putusan praperadilan tersebut?

Namun demikian, MA belum memberikan fatwa berkaitan dengan hal ini,

sehingga eksekusi penetapan 1409 belum dapat dilaksanakan.

(6)

ANALISA

Analisa berikut didasarkan pada berkas putusan praperadilan Pengadilan

Negeri Bandung, pengadilan Tinggi Bandung, serta penetapan Pengadilan Negeri

atas pemberian kesaksian palsu, dimana akan dicermati masalahan lingkup perkara

praperadilan yang dalam hal ini berkaitan dengan masalah pelaksanaan penetapan

PN tersebut.

1. Masalah pemberian keterangan palsu

Dalam sidang, kesaksian dari seseorang merupakan salah satu alat bukti yang

digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan mengenai bersalah atau

tidaknya Terdakwa oleh Majelis Hakim. Dalam sistim hukum Indonesia,

pengambilan keputusan harus didasarkan oleh keyakinan Hakim yang didukung

oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah menurut pasal

184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan

keterangan Terdakwa. Karena signifikansi keberadaan keterangan saksi dalam proses

pengambilan keputusan, maka seseorang yang memberikan keterangan dimuka

pengadilan hendaknya memberikan keterangan yang jujur dan sebenar-benarnya.

KUHAP bahkan memberikan penegasan dalam pemberian kesaksian oleh para saksi

dengan memberikan pengaturan untuk dilakukannya penyumpahan dan selanjutnya

mengatur tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka diberikannya keterangan

palsu dalam sidang pengadilan.

Dalam kasus, permasalahan berawal dari pengajuan JPU dan Kejaksaan

Negeri ke hadapan sidang praperadilan karena dianggap tidak melaksanakan

penetapan Hakim mengenai perintah penahanan dan penuntutan saksi-saksi yang

memberikan keterangan palsu. Dalam pasal 173 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa

dalam hal Hakim telah memperingatkan saksi yang diduga memberikan kesaksian

palsu, bila saksi tersebut tetap pada kesaksiannya, maka Hakim Ketua Sidang dapat

memberi perintah agar saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan

(7)

dakwaan sumpah palsu. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa dalam hal

demikian, Panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat

keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan tersebut, dan setelah

ditandatangani oleh Hakim Ketua sidang dan Panitera, segera diserahkan kepada

penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.

Berdasarkan bunyi pasal 173 tersebut, maka bila dalam persidangan terdapat

Saksi yang memberikan keterangan palsu, maka tindakan yang harus dilakukan oleh

Hakim Ketua Sidang adalah memberikan peringatan. Setelah diberi peringatan dan

Saksi tetap pada keterangannya, maka Hakim yang bersangkutan dapat

memerintahkan agar saksi ditahan, untuk kepentingan penyusunan surat dakwaan

dan penuntutan. Setelah itu panitera membuat berita acara sidang yang memuat

keterangan yang diduga palsu; membubuhkan tanda tangannya dan tanda tangan

Hakim; dan menyerahkannya kepada JPU. Adapun penahanan yang diperintahkan

untuk dilakukan adalah penahanan untuk kepentingan pendakwaan dan

penuntutan, dan tidak dapat dilihat terpisah dengan proses pendakwaan dan

penuntutan yang akan dilakukan.

Berkaitan dengan ketentuan tersebut, menurut Yahya Harahap, berkembang

dua perbedaan pendapat mengenai penerapan ketentuan ini yang berkaitan dengan

penyidikan perkara pemberian kesaksian palsu.

Pendapat pertama menyatakan proses hukum atas tindakan pemberian

kesaksian palsu di hadapan sidang pengadilan tidak memerlukan penyidikan oleh

Polri. Dalam hal ini, berita acara sidang yang dibuat oleh Panitera dianggap cukup

berlaku sebagai berita acara penyidikan Penuntut Umum, sehingga tidak perlu

dilakukan penyidikan terlebih dahulu oleh Polri. Dengan demikian, Penuntut

Umum dapat dengan segera melakukan penuntutan atas perkara ini yang dilakukan

secara bertahap sebagai berikut.

Setelah Penuntut Umum menerima berita acara sidang, penuntut umum

segera menyiapkan berkas perkara. Bila Ia berpendapat perlu melengkapi

(8)

menyempurnakan atau melengkapi pembuktian, dapat dilakukan Penyidikan lebih

lanjut sebagai tambahan berita acara sidang. Sebaliknya, bila penuntut umum

berpendapat berita acara sidang tersebut telah cukup untuk menyusun Surat

Dakwaan, maka tidak perlu dilakukan penyidikan lebih lanjut, dan penuntut umum

segera menyusun Surat Dakwaan, dan melimpahkannya ke pengadilan agar segera

diproses.

Pendapat kedua mengenai penerapan pasal 174 ayat (2) mendasarkan

teorinya pada prinsip diffrensiasi fungsional yang telah digariskan oleh KUHAP,

dimana menurut KUHAP (pasal 6), yang berhak melakukan penyidikan adalah

Pejabat Polri. Kewenangan membuat berita acara perkara sesuai dengan bentuk dan

isi yang ditentukan KUHAP adalah pada Penyidik, dalam hal ini adalah Pejabat

Polri. Selain itu, berita acara sidang yang dibuat panitera tidak memenuhi syarat

‘kelengkapan’ sebagaimana ditentukan dalam pasal 75 KUHAP, dimana dalam berita

acara sidang tidak dimuat mengenai pemeriksaan tersangka, saksi, maupun surat.

Berita acara sidang yang dimaksud pasal 174 ayat (3) hanya memuat keterangan saksi

dengan menyebut alasan dugaan kesaksian palsu tersebut.

Analis sependapat dengan pendapat terakhir yang menyatakan bahwa

penyidikan atas perkara kesaksian palsu dilakukan oleh Penyidik Polri. Hal ini

beranjak dari tujuan materiil dari adanya penyidikan yaitu untuk mencari serta

mengumpulkan bukti bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana yang

dipersangkakan. Dalam hal kesaksian palsu, penyidikan atas dugaan ini dilakukan

dengan mencari kenyataan-kenyataan faktual (yang berupa keadaan atau dalam

wujud materi) yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan saksi palsu di

pengadilan, sehingga pernyataannya tersebut dapat dikatakan palsu (karena

bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya). Adapun penyidikan atas hal

semacam ini merupakan lingkup tugas Penyidik Polri. Selain itu, berdasarkan

redaksi pasal 173 ayat (1) dan (2), Hakim memerintahkan penuntut umum untuk

menahan dan menuntut saksi yang disangka memberikan kesaksian palsu. Dengan

(9)

demikian, memang diperlukan adanya penyidikan lebih lanjut untuk memperjelas

permasalahan, apakah benar saksi tersebut telah memberikan kesaksian palsu atau

tidak.

Lebih lanjut, dalam pasal 174 ayat (3) ditegaskan kewajiban Penuntut Umum

untuk menindaklanjuti (permasalahan kesaksian palsu) menurut ketentuan KUHAP.

Berkaitan dengan ketentuan ini, sudah sewajarnya penerapan pasal 174 ayat (2),

terutama mengenai prinsip difrensiasi fungsional serta tugas, wewenang dan fungsi

penyidik berkaitan dengan pembuatan berita acara perkara, dilaksanakan menurut

ketentuan KUHAP.

Dengan demikian, JPU telah melaksanakan penetapan 1409 berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana JPU telah menyerahkan para

tersangka pemberi kesaksian palsu kepada penyidik Polri, yang dibuktikan dengan

surat penyerahan saksi Yohanes dan Yani Timiharja beserta barang bukti berupa

berita acara sidang, dan surat penerimaan tersangka beserta barang bukti. Adapun

perintah penahanan yang tidak dilakukan oleh JPU (sehingga dipermasalahkan oleh

para Pemohon) merupakan tindakan dalam rangka melakukan dakwaan dan

penuntutan atas perkara tersebut. Dengan demikian pelaksanaan penahanan tersebut

telah diserahkan kepada Pejabat Polri dalam rangka mendapatkan keterangan untuk

kepentingan penyidikan.

Namun demikian, agar penuntut umum dapat dikatakan telah memenuhi isi

penetapan majelis hakim, penuntut umum harus memastikan terselenggaranya

penyidikan dan penahanan atas para Tersangka, yang dilakukan dalam rangka

mendapatkan bukti-bukti dilakukannya tindak pidana. Dalam penetapan 1409,

perintah penahanan selama 30 hari dan perintah penuntutan harus dilihat sebagai

satu kesatuan, dimana penahanan diperintahkan untuk dilakukan untuk

kepentingan penuntutan. Penahanan tidak mungkin dilakukan oleh alasan lain,

misalnya sebagai penghukuman atas diberikannya kesaksian palsu, karena

(10)

pemberian kesaksian palsu masih merupakan dugaan yang harus dibuktikan

kebenarannya melalui mekanisme sidang pengadilan.

Adapun dalam penetapan 1409, Hakim memerintahkan Penuntut Umum

untuk menahan para pemberi kesaksian palsu dan melakukan penuntutan atas

mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 jo pasal 14 huruf j KUHAP,

penuntut umum tanpa prasangka apapun wajib melaksanakan penetapan tersebut.

Tindakan melimpahkan para pemberi keterangan palsu kepada penyidik Polri

merupakan pelaksanaan perintah penuntutan. Selanjutnya, perlu dilaksanakan

perintah kedua yaitu untuk melakukan penahanan selama 30 hari kepada para

tersangka. Pelaksanaan penahanan tersebut dapat dilaksanakan oleh penyidik dalam

rangka penyidikan (sehingga dengan demikian, JPU telah melaksanakan perintah

penahanan) atau bila tidak dilaksanakan oleh penyidik Polri, dapat dilakukan oleh

JPU sendiri demi kepentingan penuntutan. Dengan demikian, penuntut Umum telah

melaksanakan kedua perintah penetapan.

Dalam perkara ini, JPU telah melaksanakan perintah penuntutan, namun

belum melaksanakan perintah penahanan. Akan tetapi dalam KUHAP tidak ada

ketentuan mengenai batas waktu pelaksanaan ketentuan ini, sehingga penangguhan

pelaksanaan penetapan, selama belum lewat batas waktu untuk pelaksanaan

(misalnya perkara telah dilimpahkan ke pengadilan) belum dapat dijadikan alasan

bahwa Penuntut Umum telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan

mengindahkan penetapan Hakim.

2. Masalah Praperadilan

Praperadilan merupakan hal yang baru pengaturannya dalam dunia peradilan

Indonesia. Eksistensi lembaga praperadilan bukan merupakan suatu lembaga

peradilan tersendiri, namun hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi

yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, untuk menilai sah atau

(11)

tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian

penuntutan.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan adalah

“wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini tentang:

a.

sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya, atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b.

sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan

penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan;

c.

permintaan ganti kerugian/rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya, atau

pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.

Adapun lingkup kompetensi lembaga praperadilan berdasarkan pasal 77

KUHAP adalah:

1.

Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau

penghentian penuntutan

2.

Ganti kerugian dan rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan (dengan demikian, perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan)

Sidang praperadilan selanjutnya ditetapkan dalam waktu tiga hari setelah

diterimanya permintaan. Sidang praperadilan dipimpin oleh seorang hakim tunggal

yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri, dengan dibantu oleh seorang panitera.

Pemeriksaan sidang praperadilan dilakukan secara cepat; dan selambat-lambatnya

dalam waktu 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Namun bila suatu

perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan

praperadilan belum selesai, maka permintaan praperadilan tersebut gugur. Atas

putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Namun atas putusan

(12)

praperadilan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan dapat

dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

Dalam kasus, pemohon praperadilan mendalilkan permohonannya atas dasar

tidak dilakukannya penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan Penuntut

Umum untuk menahan dan melakukan penuntutan atas dua orang saksi yang diduga

telah memberikan kesaksian palsu. Lebih lanjut diuraikan oleh Pemohon, tindakan

JPU yang tidak melakukan penuntutan atas kedua saksi tersebut merupakan

tindakan penghentian penuntutan.

Mengenai perintah penahanan dan penuntutan karena kesaksian palsu masuk

yang dalam lingkup pasal 173 (2) KUHAP telah dibahas sebelumnya. Terlepas dari

pendapat bahwa Penuntut Umum telah melaksanakan kewajibannya dalam

menindaklanjuti perkara kesaksian palsu, berikut akan dibahas dalil-dalil yang

dipermasalahkan dalam praperadilan, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas

mengenai praperadilan.

§ Mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan praperadilan

Dalam KUHAP terutama yang mengatur masalah praperadilan (pasal 79

sampai dengan pasal 83) ditentukan mengenai pihak-pihak yang berhak mengajuakn

permohonan praperadilan, yaitu:

-

Tersangka, keluarganya, atau kuasanya

-

Penuntut Umum

-

Penyidik

-

Pihak ketiga yeng berkepentingan

Permohonan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri oleh

Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (atas tidak sahnya penangkapan atau

penahanan) atau oleh Penyidik, Penunutut umum, atau pihak ketiga yang

berkepentingan (atas penghentian penyidikan atau penuntutan) dengan

(13)

menyebutkan alasannya. Sedangkan permohonan praperadilan atas ganti rugi dan

rehabilitasi diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan.

Siapa saja yang termasuk penyidik dan penuntut umum telah diatur secara

jelas dalam KUHAP. Namun pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” tidak

secara tegas dijelaskan oleh pembuat UU, sehingga menimbulkan berbagai

penafsiran dalam penerapannya. Berdasarkan teori-teori penafsiran UU yang telah

dikenal, maka penafsiran atas “pihak ketiga yang berkepentingan” adalah:

-

Secara gramatikal

Korban dalam perkara pidana yang bersangkutan. Dalam hal dihentikannya

penyidikan atau penuntutan suatu perkara, Korban berkepentingan karena

kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan.

-

Secara sistimatikal (penafsiran pasal-pasal dalam hubungannya secara

keseluruhan) Dengan melihat pada prinsip keseimbangan antara kepentingan

individu dan kepentingan umum dalam KUHAP, maka pihak yang

berkepentingan secara khusus adalah korban dalam suatu tindak pidana; dan

secara umum adalah masyarakat yang dirugikan secara tidak langsung dalam

tindak pidana tersebut.

-

Secara historikal (penafsiran dengan melihat perkembangan terjadinya UU

dan lembaga hukum yang diatur didalamnya)

Pihak yang berkepentingan adalah korban dalam suatu tindak pidana, atau

keluarganya

-

Secara teologikal (melihat maksud dari pembuat UU/tujuan dibuatnya UU)

Berdasarkan mekanisme pengawasan horisontal dan vertikal dalam hukum

acara pidana, dan tujuan hukum acara pidana untuk mencapai suatu

ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan; maka

pihak ketiga yang berkepentingan adalah korban, dan masyarakat umum

yang secara tidak langsung dirugikan oleh terjadinya suatu tindak pidana.

(14)

-

Secara ekstensif atau restriktif (dengan memperluas atau mempersempit arti

suatu istilah)

Secara sempit terbatas pada korban atau orang yang dirugikan secara

langsung. Secara luas, tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor,

melainkan meliputi masyarakat luas yang dapat diwakili oleh LSM.

Pada dasarnya pihak ketiga yang berkepentingan meliputi pihak-pihak yang

secara langsung maupun tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan

dan penuntutan, maupun dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal

ini, analis sepakat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri yang menempatkan para

Pemohon sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, dimana para Pemohon

merupakan pihak yang dirugikan bila tindakan pemberian keterangan palsu tersebut

tidak diproses, karena pemberian keterangan palsu tersebut menyangkut nama baik

para Pemohon.

§ Mengenai bentuk permohonan praperadilan

Dalam kasus, para Pemohon mengajukan permohonannya dalam bentuk

gugatan, dan menggunakan terminologi ‘penggugat’ dan ‘tergugat’. Atas hal ini,

Termohon menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima karena

permohonan praperadilan bukanlah perkara perdata, melainkan perkara pidana.

Berkaitan dengan hal ini, dalam KUHAP tidak diatur mengenai bentuk

permohonan praperadilan tersebut. KUHAP hanya menyiratkan bahwa praperadilan

merupakan suatu upaya hukum dalam lingkup hukum pidana, dimana alasan

permohonan praperadilan hanya terjadi dalam lingkup hukum pidana. Adapun

lembaga praperadilan ini diadakan dalam rangka menjamin penegakan hukum dan

perlindungan HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian,

perbedaan penggunaan terminologi atau hal-hal lain yang tidak esensial dan

menyangkut pokok perkara, selama tidak diatur secara tegas, hendaknya tidak

(15)

dipermasalahkan lebih jauh sehingga tidak mengganggu tujuan mulia dari lembaga

praperadilan itu sendiri.

§ Mengenai lingkup perkara praperadilan

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KUHAP telah mengatur secara

jelas mengenai apa saja yang termasuk dalam lingkup pengajuan perkara

praperadilan dalam pasal 77. Pelaksanaan penetapan pengadilan, berdasarkan pasal

13 KUHAP memang masuk dalam lingkup tugas Penuntut Umum, namun kealpaan

pelaksanaan penetapan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak masuk dalam

lingkup praperadilan.

Dalam putusannya atas perkara praperadilan, Hakim praperadilan menerima

permohonan praperadilan berdasarkan pertimbangan bahwa Penuntut Umum telah

tidak melakukan tindakan penyidikan/penuntutan, dalam hal ini

penyidikan/penuntutan yang lahir berdasarkan penetapan hakim. Selain itu, dalam

pertimbangan lain dinyatakan bahwa kesalahan lain dari Penuntut Umum adalah

tidak segera melaksanakan penetapan 1409, dimana pelimpahan para tersangka ke

Penyidik Polri baru dilakukan setelah diajukannya permohonan praperadilan.

Baik dalam KUHAP maupun UU Kejaksaan, merupakan tugas dari Penuntut

Umum untuk melakukan penuntutan, terlebih dalam hal yang telah jelas mengenai

tindak pidana yang dilakukan, sebagaimana dalam kasus ini. Namun demikian, tidak

ada sanksi yang secara tegas dapat dikenakan atas kelalaian penangguhan

penuntutan atas tersangka/terdakwa. Peraturan yang berlaku hanya mengharuskan

Penuntut Umum untuk ‘secepatnya’ melakukan penuntutan dalam hal ia telah

menentukan bahwa berkas perkara telah lengkap/cukup digunakan sebagai dasar

untuk melakukan penuntutan. Batas waktu yang secara tegas dicantumkan adalah

dalam hal Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka dalam

jangka waktu 7 hari harus diberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan

tersebut telah mencukupi untuk dilakukan penuntutan atau tidak. Bila tidak,

(16)

diberikan jangka waktu 14 hari bagi penyidik untuk melengkapinya; dan setelah

lengkap ‘secepatnya’ dilakukan pendakwaan. Namun tidak diatur mengenai akibat

hukum dari ketidaktepatan penggunaan jangka waktu yang telah ditetapkan.

Atas hal tersebut, mungkin dapat/telah diadakan ketentuan teknis mengenai

akibat hukum dari ketidaktepatan penggunaan jangka waktu dalam pendakwaan dan

penuntutan. Namun demikian, hal tersebut tetaplah bukan merupakan lingkup dari

praperadilan. Lingkup praperadilan yang telah secara tegas ditetapkan dalam pasal

77 hanya mengatur masalah penghentian penuntutan sebagai lingkup daripada

praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan penghentian penuntutan adalah dalam

hal telah dilakukannya suatu proses penanganan perkara (penyidikan), namun tidak

dilakukan penuntutan atas perkara tersebut. Dalam perkara ini, proses penuntutan

bukannya dihentikan, namun ditangguhkan karena menunggu selesainya proses

penyidikan, sehingga penanganan perkara dilaksanakan menurut prosedur yang

berlaku. Dengan penyerahan para Tersangka kepada Penyidik Polri, maka proses

penyidikan dapat dianggap telah dilakukan.

Dengan demikian, tindakan Penuntut Umum yang dalam hal ini tidak

langsung melakukan penuntutan tidak dapat dianggap sebagai penghentian

penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHAP, karena penuntutan

bukannya dihentikan, namun belum dilaksanakan karena menunggu hasil

penyidikan. Tindakan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku

mengenai proses penanganan perkara, dan tidak pula bertentangan dengan

ketentuan mengenai jangka waktu dilakukannya penuntutan tersebut.

§ Mengenai gugurnya perkara praperadilan

Dalam pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dinyatakan bahwa permintaan

praperadilan gugur bila perkara (yang dipraperadilankan) sudah mulai diperiksa oleh

Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan permintaan praperadilan tersebut belum

selesai. Dengan demikan ada dua persyaratan gugurnya pemeriksaan praperadilan,

(17)

yaitu perkara telah diperiksa PN dan pemeriksaan praperadilannya belum selesai.

Tujuan dari gugurnya putusan praperadilan adalah untuk menghindari terjadinya

penjatuhan putusan yang berbeda, sehingga mengakibatkan kekacauan.

Kesimpulan Analisa

Secara materiil, putusan Pengadilan Negeri mengenai perkara praperadilan

ini kurang tepat, karena perbuatan Termohon tidak masuk dalam lingkup perkara

Praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP. Termohon pada dasarnya telah

melaksanakan penetapan Pengadilan Negeri mengenai perintah penuntutan atas

pemberi kesaksian palsu dengan melimpahkan para tersangka kepada penyidik Polri.

Tindakan ini adalah selaras dengan ketentuan KUHAP mengenai prosedur

penanganan perkara yang mengharuskan perkara terlebih dahulu disidik oleh

penyidik, sebelum dilakukan pendakwaan dan penuntutan.

Atas perintah penahanan sebagaimana dituangkan dalam Penetapan PN yang

belum dilaksanakan, kealpaan pelaksanaan Penetapan ini bukan merupakan lingkup

praperadilan, sehingga tidak tepat bila diajukan praperadilan atas permasalahan ini.

Lingkup praperadilan hanya mengenai tidak sahnya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi dan rehabilitasi

sebagai akibat dari tidak sahnya penangkapan atau penahanan.

Apakah lembaga praperadilan dalam kasus ini telah mencapai tujuannya? Ada

dua pendapat yang melihat ruang lingkup praperadilan secara berbeda. Menurut

aliran

Legalis formil

, ruang lingkup praperadilan adalah sebagaimana yang

ditetapkan dalam undang-undang. Sehingga untuk hal-hal diluar pasal 77 KUHAP

tidak dapat diajukan praperadilan. Sedangkan menurut pandangan sosiologis,

praperadilan dapat diajukan sepanjang untuk melaksanakan fungsi pengawasan

horizontal diantara institusi peradilan. Lembaga praperadilan semula diajukan

dengan tujuan untuk melaksanakan pengawasan horizontal antara institusi peradilan

dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menilai kinerja institusi

(18)

peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian. Dalam hal alasan permohonan

praperadilan tidak termasuk ruang lingkup dari praperadilan, sebagaimana diatur

dalam pasal 77 KUHAP, maka upaya perlindungan hak asasi kepada pemohon akan

mendapat hambatan. Sehingga untuk mencapai tujuan praperadilan ini hakim harus

diberikan keleluasaan untuk menilai lingkup praperadilan, hal ini sejalan dengan

pandangan sosiologis terhadap praperadilan tadi. Dengan demikian alasan

permohonan praperadilan dalam kasus ini dapat diterima dengan didasarkan pada

pandangan sosiologis. Berkaitan dengan hal ini, menurut kami, pelaksanaan lembaga

praperadilan di Indonesia masih memerlukan pengaturan-pengaturan yang lebih

jauh untuk terciptanya kepastian hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Mengangkat kembali Bapak Gandi Sulistiyanto Soeherman sebagai Presiden Komisaris Perseroan dan mengangkat kembali Bapak Deddy Saleh, Bapak Sarwono Kusumaatmadja,

Dari kesimpulan tersebut, didapati bahwa kenaikan yang significant pada jumlah nasabah terjadi karena pada tahun 2005 perusahaan mulai meluncurkan produk online trading

Perilaku karyawan yang menumbuhkan kepercayaan pelanggan kepada perusahaan agar bisa menciptakan rasa aman.. Dimensi reliability juga memberikan keharusan bagi karyawan untuk

Studi Dokumentasi Observasi Observasi Masalah Implementasi KTSP oleh Guru Fokus Penelitian Perencanaan Proses Pembelajaran Pelaksanaan Pembelajaran Penilaian

Dari fenomena selfie, konsep diri positif remaja perempuan dapat terlihat dari aktivitas yang mereka lakukan saat sebelum melakukan selfie yaitu mereka tidak

Peti kemas (container) adalah suatu kotak besar berbentuk empat persegi panjang, terbuat dari bahan campuran baja dan tembaga atau bahan lainnya yang tahan terhadap cuaca. Saat

Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa tanggapan responden terhadap pesan Islam yang terkandung dalam film “ La Tahzan ” adalah sangat baik, hal ini dapat dilihat dari

Penjelasan tersebut di atas dapat menjadi pertimbangan bahwa memang hak merek dapat dikategorikan sebagai benda/ harta yang kemudian tentunya dapat dijadikan