• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. REGULASI EMOSI

1. Pengertian Regulasi Emosi

Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi emosi merupakan istilah yang ambigu karena regulasi emosi bisa diartikan dengan bagaimana emosi mengatur hal lainnya seperti pikiran, fisiologis, dan perilaku (pengaturan oleh emosi) atau bisa juga diartikan dengan bagaimana emosi itu sendiri diatur (pengaturan emosi). Gross (2002) menyatakan bahwa regulasi emosi itu mengacu pada proses yang kita pengaruhi dengan emosi yang kita miliki dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.

(2)

Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

2. Ciri-Ciri Regulasi Emosi

Gross (2007) menyatakan ada tiga ciri dari pengertian regulasi emosi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu:

a. Kemungkinan bahwa seseorang bisa meregulasi emosi baik emosi positif ataupun negatif, dengan cara menaikkan atau menurunkan emosi tersebut. Namun, hanya sedikit yang diketahui apakah emosi seseorang bisa berubah sesuai dengan tahap perkembangan mereka.

b. Regulasi emosi dilakukan dengan kesadaran, seperti memutuskan untuk mengubah topik yang menjengkelkan atau menggigit bibir sendiri saat marah. Tetapi, regulasi emosi juga bisa terjadi tanpa adanya kesadaran penuh, seperti saat seseorang membesar-besarkan kesenangannya setelah menerima hadiah yang tidak menarik (Cole, 1986) atau saat seseorang berpindah perhatian secara cepat dari sesuatu yang menjengkelkan (Boden & Baumeister, 1997). c. Regulasi emosi bukanlah suatu sifat yang baik ataupun buruk. Hal ini penting

untuk dipahami, untuk menghindari kebingungan pada literatur-literatur mengenai stres dan cara mengatasinya (coping), dimana mekanisme

(3)

pertahanan yang standar dianggap sebagai sesuatu yang maladaptif dan berlawanan dengan strategi mengatasi stres yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang adaptif (Parker & Endler, 1996). Namun, dalam pandangan Gross dan Thomson (2007) bahwa proses regulasi emosi itu bisa digunakan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik ataupun lebih buruk, bergantung pada konteksnya.

Selain itu, menurut Goleman (2004), individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi ini dapat dilihat dari enam kecakapan berikut ini:

a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak secara efektif.

b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. c. Memiliki sikap hati-hati

d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan.

e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi

f. Memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya dan lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa seseorang bisa menaikkan, menjaga, dan menurunkan emosi-emosi negatif ataupun positif mereka. Seseorang bisa melakukan regulasi emosi dengan adanya kesadaran penuh ataupun tanpa disadarinya. Selain itu juga, regulasi emosi itu bukanlah merupakan suatu sifat baik ataupun buruk yang menetap. Sementara itu, individu

(4)

yang dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik adalah jika bisa memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, bersikap hati-hati, mudah menyesuaikan diri, toleransi yang tinggi terhadap frustrasi, dan memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan lingkungan.

3. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut

b. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

c. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

d. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

(5)

4. Strategi Regulasi Emosi

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (1998) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu : a. Antecedent-focused strategy

Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat emosi muncul dan terjadi sebelum seseorang memberi respon terhadap emosi. Antecedent- focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu, strategi ini disebut juga dengan cognitive reappraisal. Antecedent-focused strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi sehingga respon yang ditampilkan tidak berlebihan.

b. Respon-focused strategy

Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan menghambat ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression. Respon-focused strategy hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering menggunakan respon-focused strategy membuat seseorang menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta akan menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang menggunakan antecedent-focused strategy. Penelitian membuktikan bahwa antecedent focused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi daripada respon-focusedstrategy.

(6)

Menurut Gross (2001) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan lima cara, yaitu:

a. Situation selection

Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih menonton film komedi daripada membiarkan perasaan marah yang berlebihan saat diputuskan pacar.

b. Situation modification

Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang baru saja diputuskan pacarnya akan mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangannya agar tidak bertambah sedih.

c. Attention deployment

Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang sedih karena baru putus cinta maka ia akan mengalihkannya dengan berbagai cara seperti memikirkan bahwa akan ada lagi pasangan yang lebih baik dari sebelumnya.

d. Cognitive change

Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi

(7)

pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi adalah keberhasilan yang tertunda.

e. Respon modulation

Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi kesedihannya kepada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused strategy, situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan respon modulation.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :

a. Genetik

Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi tempramen dan affect individu.

b. Usia

Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking usia partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap partisipan diminta untuk melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol emosi semakin baik dengan bertambahnya usia.

(8)

c. Religiusitas

Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah.

d. Gaya pengasuhan

Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak, dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya 30

menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah genetik, usia, religiusitas, dan pola asuh.

B. MENTORING AGAMA ISLAM 1. Pengertian Mentoring

Mentoring merupakan sebuah pola pengembangan diri yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an, mentoring adalah suatu proses yang hanya diberikan untuk proses penjenjangan karir. Namun seiring berjalannya waktu, mentoring hingga saat ini juga diterapkan dalam dunia pendidikan (Ingrid, 2005).

Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi, instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu.

(9)

Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama yang melibatkan karakter emosional dan diwarnai oleh sikap hormat serta kesetiaan (Santrock, 2007).

Menurut McCreath (2000), mentoring merupakan sebuah pendekatan yang lebih bersifat persahabatan. Dimana dalam proses persahabatan tersebut ada visi untuk meningkatkan kualitas diri antar sesama baik secara pemikiran maupun emosional.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya mentoring adalah suatu proses peningkatan kualitas diri yang dilakukan secara interpersonal baik dalam hal pendidikan dan pekerjaan melalui pendekatan emosional diantara pementor dengan para mentee-nya yang sifatnya persahabatan.

2. Pengertian Mentoring agama Islam

Satria (2010) mengatakan bahwasanya mentoring agama Islam merupakan sebuah metode pendidikan Islam yang efektif dilakukan. Dalam Islam, istilah mentoring agama Islam lebih dikenal dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam. Mentoring terdiri dari sekelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari lembaga yang menaungi mentoring tersebut.

(10)

Proses jalannya mentoring agama Islam diawali dengan adanya pembukaan mentoring agama Islam. Pada acara tersebut, setiap mahasiswa muslim akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian akan didampingi oleh satu orang pementor (Muhammad, 2011).

Rusmiyati (2003) menambahkan bahwasanya dalam proses mentoring agama Islam kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada mahasiswa berlangsung secara periodik dengan bimbingan seorang pementor. Pola pendekatan teman sebaya yang diterapkan menjadikan program ini lebih menarik dan efektif serta memiliki keunggulan tersendiri.

3. Komponen Mentoring agama Islam

Ada 3 komponen yang mempengaruhi jalannya proses mentoring, yakni : a. Pementor

Pementor merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai pembina dalam proses mentoring. Biasanya pementor merupakan kakak kelas atau senior dari suatu tingkatan yang telah mengikuti pelatihan dan seleksi pementor (Ridwansyah, 2008).

b. Kurikulum

Kurikulum merupakan kumpulan dan urutan materi yang akan disampaikan kepada kelompok mentoring (mentee) secara periodik. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari organisasi yang menaungi mentoring (Satria, 2010).

(11)

c. Mentee

Peserta mentoring atau yang lebih dikenal dengan istilah mentee adalah sekelompok individu yang mendapatkan perlakuan mentoring dari para pementor dalam jumlah yang berkisar antara 3-12 orang (Satria, 2010).

4. Tahapan Proses dalam Mentoring Agama Islam

Dalam buku Suplemen Mentoring Tingkat SMP (2007), tahapan-tahapan dalam proses mentoring yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Pembukaan

Membuka kegiatan mentoring yang dilakukan oleh salah seorang peserta. b. Pembacaan dan Penghayatan Al-Qur’an

Peserta membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan dibimbing oleh pementor setelah itu dilakukan penghayatan Al-Qur’an sebagi proses perenungan dan makna dari ayat-ayat Qur’an yang telah dibacakan, mengetahui asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari. c. Penyampaian Materi

Pementor menyampaikan materi sesuia dengan kurikulum yang telah ditentukan dengan pola pendekatan yang lebih aplikatif dengan realita kehidupan sehari-hari dan fakta yang ada dalam kehidupan nyata sehingga tidak terkesan menggurui para mentee.

d. Diskusi

Diskusi bisa berupa pertanyaan-pertanyaan dari mentee atau kasus-kasus yang berkaitan dengan materi.

(12)

e. Sharing

Sesi ini merupakan kegiatan saling menanyakan kabar. Agenda ini merupakan sarana yang dapat mempererat hubungan diantara sesama kelompok mentoring dan proses pertukaran pikiran menjadi semakin lebih terbuka di dalamnya.

f. Penutup

Penutupan biasanya dilakukan dengan lafaz hamdalah dan doa penutup majelis yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok mentoring.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pelaksanaan Mentoring Agama Islam

Mahasri dan Najmuddin (2008) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas mentoring, yakni :

a. Kesesuaian materi yang disajikan dengan buku panduan

b. Ketertarikan mentee terhadap materi yang disajikan oleh pementor c. Penyimpangan materi yang disajikan oleh pementor

d. Waktu penyajian materi

e. Variasi penggunaan metode pembelajaran

f. Sikap mentee terhadap metode yang digunakan pementor g. Penggunaan alat dan media pembelajaran

h. Kesiapan pementor i. Kedisiplinan pementor

j. Penguasaan materi oleh pementor

(13)

l. Sikap mentee terhadap pementor m. Harapan mentee terhadap pementor 6. Materi Mentoring agama Islam

Materi-materi di dalam mentoring merupakan materi yang dapat mendukung pelajaran Agama Islam, juga dapat menumbuhkan pemahaman-pemahaman yang lebih baik tentang Agama Islam seperti materi tentang akidah, ibadah, dan akhlak (Rusmiyati, 2003). Berikut judul-judul materi yang dibawakan dalam proses mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai yang diadaptasi dari buku Suplemen Mentoring Tingkat SMP (2007) :

a. Allah Melihat Kita (Muraqabatullah)

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah diharapkan peserta menyadari bahwa kita tidak luput dari pengawasan Allah.

b. Ayo Membaca Al-Qur’an

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami manfaat mebaca Al-Qur’an dan termotivasi untuk membacanya dalam kehidupan sehari-hari.

c. Bahaya Riya’

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami makna riya’ dan menjauhinya.

d. Berbuat Ihsan

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah memberikan pemahaman mengenai perbuatan ihsan dan senantiasa berbuat baik kepada sesama.

(14)

e.Birrul Walidain (Berbakti Pada Orangtua Dan Guru)

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui kewajiban kepada orangtua dan mengetahui cara menghormatinya.

f. Dimuliakan dengan Basmallah

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta termotivasi membaca basmallah sebelum memulai suatu kebajikan.

g. Ikhlas dalam Berniat

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui mengapa harus melakukan sesuatu dengan ikhlas.

h. Menebarkan Salam

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat mengetahui keutamaan memberi salam, mengetahui etika memberi salam, dan mengaplikasikannya.

i. Merajut Ukhuwah di Awal Sekolah

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui lebih jauh dan menjalankan cara-cara menumbuhkan ukhuwah secara benar dan baik.

Secara umum tujuan pemberian materi dalam mentoring agama Islam adalah sebagai upaya meningkatkan pemahaman aqidah dan akhlak bagi peserta mentoring. Ketika seseorang memiliki pemahaman aqidah dan akhlak yang baik maka hal ini akan mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan ajaran islam dan hal ini dikenal dengan konsep religiusitas. Menurut Jalaluddin (1996), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri

(15)

individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Selanjutnya menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso,2005) religiusitas adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati dimana di dalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari harinya dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari hari. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya religiusitas adalah suatu bentuk penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen dalam melaksanakan ajaran agamanya yang dinternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut Stanley Hall, masa remaja merupakan masa storm and stress (Santrock, 2007). Tokoh Psikososial Erickson mengatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri.

Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Remaja merupakan masa tumpang tindih karena bukan lagi merupakan anak-anak akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa (Papalia, 2007). Remaja sendiri mempunyai definisi sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan

(16)

sosio-emosional. Perkembangan remaja terbagi menjadi masa remaja awal 11-15 tahun dan remaja akhir 15-22 tahun (Santrock, 2007).

Batasan usia biasanya dimulai dari usia 11 atau 12 tahun sampai akhir dari masa remaja atau awal usia dua puluhan, dan adanya perubahan yang saling bergantung dengan semua bidang perkembangan. Menurut Hurlock (1999) batasan usia remaja berawal dari usia 13/14 hingga 18 tahun. Sementara Monks (1999) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Stanley Hall (dalam Santrock, 2007) justru merentangkan usia remaja yaitu 12-23 tahun. Menurut WHO batasan usia remaja 12-24 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari anak – anak menuju dewasa yang dimulai pada usia 11 tahun dan berakhir pada usia 24 tahun.

2. Perkembangan Emosi Pada Remaja

Menurut Ali dan Asrori (2004), pada setiap tahapan perkembangan terdapat karakteristik yang sedikit berbeda dalam hal perkembangan emosi remaja, yaitu:

a. Periode Remaja Awal

Selama periode ini perkembangan yang semakin tampak adalah perubahan seksual, yaitu perkembangan seksual primer dan sekumder. Hal ini menyebabkan remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Akibatnya tidak jarang mereka cenderung menyendiri

(17)

sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau memperdulikannya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak wajar.

b. Periode Remaja Tengah

Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri.

c. Periode Remaja Akhir

Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang semakin dewasa. Interaksi dengan orang tua menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap dirinya sendiri.

(18)

D. Perbedaan Regulasi Emosi pada Siswa yang Mengikuti dan Tidak Mengikuti Mentoring Agama Islam

Siswa sekolah menengah merupakan masa remaja yaitu salah satu masa dalam perkembangan manusia yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Karena pada masa ini, remaja mengalami banyak perubahan dalam dirinya serta kesulitan yang harus dihadapinya. Dengan kata lain, terjadi gejolak dalam diri remaja (Santrock, 2004).

Perubahan-perubahan selama masa awal remaja terjadi dengan pesat, salah satunya adalah meningginya emosi. Stanley Hall (dalam Santrock, 2004) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode storm and stress yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Gunarsa (2002) mengatakan bahwa salah satu karakteristik yang dapat menimbulkan permasalahan pada masa remaja adalah ketidak stabilan emosi. Segala pertentangan yang timbul dalam diri dan lingkungan mereka akan memicu emosi yang bisa saja berakibat fatal apabila tidak bisa mengatur emosinya dengan baik.

Gross (dalam Manz, 2007) mengatakan pada saat emosi tampak tidak sesuai dengan situasi tertentu, individu sering mencoba untuk mengatur respon emosional agar emosi tersebut dapat lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan, sehingga diperlukan suatu strategi yang dapat diterapkan untuk menghadapi situasi emosional. Hal ini lah yang disebut regulasi emosi, yaitu kemampuan yang dimiliki individu untuk menilai, mengatasi, mengelola, dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional. Saat

(19)

melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk & Fouts, 2002).

Banyak faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, salah satunya adalah religiusitas (Gross, 2007). Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause, dalam Coon, 2005).

Metode pendidikan Islam yang efektif dilaksanakan dalam upaya peningkatan religiusitas adalah mentoring agama Islam (Uhbiyati, 1997). Mentoring agama Islam adalah kegiatan pembinaan yang berlangsung secara periodik mengkaji ajaran-ajaran Islam dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman akhlak dan aqidah sehingga terbentuk muslim yang berkarakter islami (satria, 2010).

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh mentoring terhadap keagamaan ditemukan bahwa motivasi siswa untuk melaksanakan ibadah harian meningkat setelah mengikuti mentoring (Ridwansyah, 2008). Selain itu, dengan mengikuti mentoring agama Islam dapat menambah pemahaman peserta mentoring terhadap Agama Islam (Romli, 2007).

Proses mentoring agama Islam diawali dengan pembukaan, pembacaan Al-Qur’an, pembahasan materi, sharing atau diskusi dan penutupan (Muhammad, 2011). Pada setiap pekannya peserta diberikan materi yang berbeda-beda berkaitan dengan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman aqidah dan akhlak yang disusun berdasarkan

(20)

kebutuhan peserta mentoring pada saat itu (Satria, 2010). Ketika seseorang sudah memiliki pemahaman yang baik terhadap ajaran agamanya, maka ia akan berperilaku sesuai dengan kadar ketaatannya. Hal ini yang dikanal dengan konsep religiusitas yaitu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama (Jalaluddin, 1996). Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan secara teoritis yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesa penelitian adalah : ada perbedaan regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam dimana siswa yang mengikuti mentoring agama Islam memiliki regulasi emosi lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti mentoring agama Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan di atas, maka disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seorang siswa dapat berupa emosi diri sendiri,

Dikutip dari jurnal yang berjudul “Kajian Teoritis Technology Acceptance Model Sebagai Model Pendekatan Untuk Menentukan Strategi Mendorong Kemauan Pengguna Dalam

Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran antar lain yang pertama mempelajari fungsi penilaian, yang kedua mempelajari bermacam- macam teknik dan prosedur penilaian, yang

Dari penjelasan mengenai minat beli diatas, maka dapat dikemukakan bahwa minat beli merupakan suatu proses perencanaan pembelian suatu produk yang akan dilakukan

Menerapkan pembelajaran sambil bermain agar siswa tidak bosan dan senang mengikuti pembelajaran. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis berpendapat bahwa

Berdasarkan beberapa definisi metode pembelajaran yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran merupakan suatu cara atau strategi yang

Dari beberapa pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Regulasi diri adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol, mengatur, merencanakan, mengarahkan, dan memonitor

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik