• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Yogyakarta penelitian dilakukan di Majelis Agama Khonghucu Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Yogyakarta penelitian dilakukan di Majelis Agama Khonghucu Indonesia"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

49 A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta dan di Jakarta. Di Yogyakarta penelitian dilakukan di Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Yogyakarta dan di Institut Dialog Antariman di Indonesia (DIAN). Sementara di Jakarta, penelitian dilakukan di Bimas Khonghucu Kementrian Agama Republik Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Berikut ini merupakan deskripsi mengenai tempat penelitian pada penelitian ini.

Pertama, MAKIN Yogyakarta. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat MAKIN. MAKIN Yogyakarta adalah majelis agama Khonghucu Indonesia yang ada dalam wilayah daerah dibawah naungan MATAKIN. MAKIN Yogyakarta/ Kelenteng TJEN LIONG KIONG berdomisili di Jl. Poncowinatan no. 16, Yogyakarta. Ketua MAKIN Yogyakarta adalah Js. Cucu Rohyana.

Kedua, Institut Dialog Antariman di Indonesia atau Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia, disingkat institut DIAN / Interfidei. Lembaga ini terletak di Jl. Banteng Utama No 59 Perum Banteng Baru, Sleman, Yogyakarta. Pada periode 2009-2014 Direktur Pengurus harian DIAN adalah Elga Sarapung. Institut ini tidak berkedudukan mewakili agama

(2)

sebagai institusi, tetapi sebagai perkumpulan dari para pemeluk agama yang terikat oleh imannya.

Ketiga, Pusat Kerukunan Umat Beragama bidang Bimbingan

Masyarakat (Bimas) Khonghucu Kementrian Agama Republik Indonesia. Sampai saat ini agama Khonghucu belum mempunyai ditjen seperti ditjen Islam, Hindu, Buddha, Katolik, ataupun Kristen. Bidang Bimbingan Masyarakat Khonghucu merupakan salah satu organisasi Pusat Kerukunan Umat Beragama. Saat ini Kepala Bidang Bimas Khonghucu Kementerian Agama Republik Indonesia adalah Dra. Hj. Emma Nurmawati,MM. Pusat Kerukunan Umat Beragama bidang Bimbingan Masyarakat (Bimas) Khonghucu Kementrian Agama Republik Indonesia berkantor di Gedung Kementerian Agama alamat Jl. MH. Thamrin No.6 Lantai 5 Jakarta Pusat.

Keempat, MATAKIN. MATAKIN adalah Majelis Pusat yang

menaungi Makin-makin yang ada di berbagai daerah Indonesia. Ketua umum MATAKIN Tahun 2014 adalah Wawan Wiratma, sedangkan wakil ketua umum MATAKIN adalah Drs. Uung Sendana, SH. Alamat MATAKIN berada di Kompleks Royal Sunter Blok D 6, Jl. Danau Sunter Selatan, Jakarta Utara, DKI Jakarta.

2. Deskripsi Subjek Penelitian

Narasumber dalam penelitian ini adalah Ketua MAKIN Yogyakarta, Direktur Pengurus harian Dialog Antar Iman di Indonesia (DIAN), Kepala Bidang Bimas Khonghucu Kementerian Agama Republik Indonesia, Wakil Ketua Umum MATAKIN Tahun 2014, Ketua Generasi Muda Khonghucu

(3)

(GEMAKU) tahun 2014, Presidium dan Sekretaris Dewan Rohaniwan MATAKIN (2010-2014) dan Pjs. Menteri Sekretaris Negara (2000). Berikut ini deskripsi dari narasumber-narasumber tersebut;

Pertama, Js. Cucu Rohyana, ST merupakan Ketua MAKIN

Yogyakarta. Beliau mendapat gelar ―Js‖ atau ―Jensen‖ yang menandakan rohaniawan Khonghucu. Beliau adalah sarjana Tehnik lulusan STTNA jurusan teknik elektro. Sejak kecil sudah menganut agama Khonghucu dan mendapatkan diskriminasi karena menganut agama Khonghucu.

Kedua, Augustina Elga Joan Sarapung. Elga Sarapung adalah seorang tokoh dan aktivis pluralisme. Pada periode 2009-2014 beliau menjabat sebagai Direktur Pengurus harian Dialog Antar-Iman Indonesia (DIAN). Dialog Antariman di Indonesia adalah institute atau lembaga yang mewadahi dialog perkumpulan dari para pemeluk agama yang terikat oleh imannya.

Ketiga, Hj. Emma Nurmawati Hadian M.M. Hj. Ibu Emma

Nurmawati merupakan Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Khonghucu pada Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia. Beliau menyelesaikan studi S2 Manajemen SDM di Universitas Borobudur pada tahun 2002.

Keempat, Drs. Uung Sendana, SH. Beliau adalah Sekretaris Umum MATAKIN pada tahun 2006-2010 dan pada periode selanjutnya 2010-2014 menjabat sebagai Wakil Ketua Umum MATAKIN. Selain aktif berorganisasi, beliau juga seorang dosen agama Khonghucu di Universitas Tarumanegara Jakarta. Menyelesaikan pendidikan S1 Hukum di Universitas

(4)

Negeri Padjadjaran Bandung dan S1 Manajemen Universitas Katolik Parahyangan Bandung, saat ini sedang menempuh S2 Manajemen di Jakarta. Sejak mahasiswa sudah aktif berorganisasi, kini beliau juga aktif dan menjadi narasumber dalam kegiatan Lintas Agama dan Kementrian Agama.

Kelima, Kristan, Conf. Sc. Beliau adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Generasi Muda Khonghucu Indonesia (GEMAKU) periode 2010-2014. Pada tahun 2012 telah menyelesaikan studi S2 perbandingan Agama di Universitas Islam Negeri Ciputat. Sebagai seorang dosen agama Khonghucu, beliau terlibat dalam pembuatan buku teks pelajaran bekerjasama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Keenam, WS. Ir. Budi Santoso Tanuwibowo, M.M. Beliau adalah saksi dan pelaku sejarah dalam proses pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 oleh Gus Dur. Beliau aktif menulis dan banyak terlibat sebagai pembicara dalam berbagai kesempatan. Selain itu, beliau juga menjadi pengurus berbagai organisasi, di antaranya sebagai: Presidium dan Sekretaris Dewan Rohaniwan MATAKIN (2010-2014), Ketua Umum MATAKIN (2002-2010), Ketua Yayasan Amal-Kebajikan MATAKIN (2010-2014), Ketua Kelenteng KONG MIAO Taman Mini Indonesia Indah (2010-2014), Sekretaris Jenderal Perhimpunan Indonesia Tionghoa (2005-2013), Pembina KADIN Indonesia Komite Tiongkok, Sekretaris Jenderal PERSOBARIN, Pendiri dan Presidium PER-MATA, Pendiri dan Pembina Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Pendiri dan Anggota ―MA-DIA‖, Pembina Yayasan Prana Indonesia, serta berbagai organisasi lainnya.

(5)

Ketujuh, Bondan Gunawan, ST. Beliau Pjs. Menteri Sekretaris Negara (2000) kabinet Persatuan Nasional menggantikan Dr.Ir. Alirahman, MSc.

3. Deskripsi Hasil Penelitian Kebijakan Politik Agama Khonghucu dalam Kehidupan Beragama di Indonesia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kebijakan politik tentang agama Khonghucu dalam kehidupan beragama di Indonesia berkaitan erat dengan perjuangan tokoh-tokoh MATAKIN. MATAKIN merupakan wadah tertinggi umat dan kelembagaan agama Khonghucu di Indonesia yang mempunyai kewajiban moral untuk membina umat Khonghucu di Indonesia. Selain tokoh-tokoh Khonghucu, proses dikembalikan posisi Khonghucu sebagai agama juga didukung oleh Presiden Abdurahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia yang ingin memberikan pemenuhan hak bagi kaum minoritas seperti Khonghucu di Indonesia.

Heriyanto Yang, (2010) mengatakan bahwa pada tahun 1965, Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan, mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penetapan Presiden ini mengatur, antara lain, bahwa ada enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Inilah titik awal pemicu debat dan wacana yang tiada habis-habisnya dalam tahun-tahun berikutnya mengenai agama yang diakui negara dan agama yang tidak diakui negara.

(6)

Namun, pada rezim Presiden Soeharto dikeluarkan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Tata Cara Ibadah Cina dan pada surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 470/1978, pemerintah hanya mengakui lima agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Pengaturan dalam Inpres tersebut membatasi kebudayaan dan kepercayaan tradisional Tionghoa.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, narasumber yang menganut agama Khonghucu mengalami beberapa diskriminasi akibat keluarnya Inpres No. 14 Tahun 1967. Berikut ini diskriminasi yang dialami penganut agama Khonghucu yang disampaikan oleh Uung Sendana selaku wakil ketua umum MATAKIN 2014 dalam wawancara tanggal 18 Juni 2014:

a.Dalam bidang ibadah

Umat Khonghucu hanya dapat beribadah secara sembunyi-sembunyi di litang maupun di klentheng. Namun ketika ingin mengadakan upacara-upacara besar/ Tahun Baru Imlek dibatasi. Bahkan klenteng-klenteng disuruh ditutup, tahun 1992 bahkan Ditjen Buddha melarang mengadakan Imlek di klentheng.

b.Diskriminasi dalam bidang pendidikan

Umat Khonghucu dipaksa untuk mengambil salah satu mata pelajaran pendidikan agama dari kelima agama yang ada. Hal tersebut dikarenakan tidak ada guru yang mengampu pendidikan agama Khonghucu. Rata-rata umat Khonghucu pada zaman dulu mengambil mata pelajaran pendidikan agama Katolik, Kristen atau Buddha. Ada pula yang akhirnya mengambil mata pelajaran pendidikan agama Islam. Karena siswa yang

(7)

berkeyakinan agama Khonghucu di sekolah tidak mendapatkan hak memperoleh pelajaran agama Khonghucu, maka banyak masyarakat Khonghucu yang berpindah agama.

c.Perkawinan

Tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dalam perkawinan umat Khonghucu juga harus memilih perkawinan satu diantara lima agama yaitu Islam, Katolik, Hindu, Buddha, atau Kristen. Menyikapi pemaksaan ini ada tiga jalan: pertama, jalan seperti Budi dan Lani (pasangan penganut agama Khonghucu) yang menggugat ke catatan sipil walaupun prosesnya panjang sampai ke Mahkamah Agung, pada zaman Gus Dur baru keluar keputusannya; kedua, jalan yang paling banyak ditempuh oleh umat Khonghucu mencatatkan dirinya secara agama lain misal Katolik atau Buddha walaupun diberkati di lintang/ klenteng agar perkawiannya diakui oleh negara; ketiga yaitu jalan yang tidak memilih jalan pertama atau kedua, dia memilih menikah secara agama saja dan tidak mencatatkannya perkawinannya di catatan sipil.

d.Diskriminasi di Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Karena dalam kolom agama tidak ada pilihan agama Khonghucu sehingga umat Khonghucu dipaksa untuk memilih kelima agama yang ada.

e.Diskriminasi huruf

Huruf kitab-kitab Khonghucu tidak ditulis dalam bahasa mandarin sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia murni dengan tidak

(8)

menampilkan huruf kitabnya. Dahulu tidak diperbolehkan, karena jika ditampilkan dalam bahasa mandarin bisa ditangkap, disita dan diintimidasi.

f. Asimilasi

Orang Tionghoa dipaksa asimilasi, kecuali dengan proses natural menikah dengan kerelaan. Orang cenderung bergaul dengan orang yang sama, tidak hanya orang Tionghoa saja tapi orang Jawa, Sunda, Batak dan lain sebagainya.

g.Akses untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Khonghucu ataupun keturunan Tionghoa cukup sulit untuk menjadi pegawai negeri, bahkan menjadi tentara. Masuk menjadi mahasiswa di peruruan tinggi saja dibatasi, hanya 5% saja.

Pengalaman yang serupa dialami oleh dua narasumber lain yaitu Cucu Rohyana dan Kristan. Bahwa Khonghucu ketika melakukan ibadah tidak diganggu, tetapi yang dihambat adalah hak sipilnya. Umat Khonghucu tidak diperkenankan untuk mengadakan acara sembahyang secara masal pada masa Soeharto. Dalam hal pendidikan juga dirasakan oleh Cucu Rohyana. Selama 32 tahun beliau merasa dikucilkan dan disakiti. Bagaimana tidak, saat menempuh pendidikan Cucu Rohyana dikucilkan oleh beberapa guru, karena Khonghucu dianggap bukan agama. Padahal sudah seharusnya guru paham dan menghargai keyakinan orang lain.

(9)

Diskriminasi juga dialami dalam bidang administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Kebanyakan dari penganut Khonghucu akhirnya mencatatkan agama lain di akta kelahiran maupun KTP. Jika pak Cucu mencatatkan agamanya berbeda dengan kayakinannya, lain halnya dengan pak Kristan. Keluarganya memilih untuk mengkosongi kolom agama di KTP dan menulis sendiri agamanya dengan agama Khonghucu.

Umat Khonghucu menjadi serba salah, karena jika tidak memilih satu diantara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di catatan sipil, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak pendidikan bagi si anak. Namun, jika umat Khonghucu tersebut mencatatkan agamanya dikolom KTP tidak sesuai dengan keyakinannya sama saja dia membohongi Tuhannya. Pada akhirnya kebanyakan umat Khonghucu menulis agama di KTP terserah dan tidak mempermasalahkan, yang penting keyakinan mereka kepada Tuhan.

Selama berpuluh-puluh tahun Khonghucu tidak pernah jelas statusnya sebagai agama atau bukan di Indonesia. Namun, perjuangan umat Khonghucu untuk mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia terus diupayakan. Terbukti pada era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid keluarlah Keppres RI No. 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Pencabutan Inpres yang dilakukan tidak hanya faktor kedekatan tokoh Khonghucu dengan Gus Dur, tetapi juga karena pemikiran Pluralisme

(10)

yang Gus Dur miliki. Peran Gus Dur dalam upaya mengembalikan posisi Khonghucu sebagai agama dan memperjuangkan hak-hak sipilnya sangat berarti bagi umat Khonghucu. Tidak hanya Khonghucu, peran Gus Dur dalam melindungi hak-hak minoritas etnis Tionghoa menjadikan beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Dari hasil wawancara dengan Bondan Gunawan selaku Pjs. Menteri Sekretaris Negara pada pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahwa Gus Dur mencabut Inpres yang dikeluarkan Soeharto itu mempunyai tujuan, yaitu agar tidak ada diskriminasi. Maka semua kegiatan yang berkaitan dengan Tionghoa diperbolehkan oleh Gus Dur. Persoalan agama Khonghucu yang dialami pasca keluarnya Inpres No. 14 Tahun 1967 adalah persoalan pengakuan negara terhadap hak-hak sipil penganut agama Khonghucu yang berstatus warga negara Indonesia. Persoalan tersebutlah yang kemudian diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Khonghucu dan umat Khonghucu untuk memperoleh hak-hak mereka. Menjadi orang yang berketurunan Tionghoa adalah given, mereka tidak bisa memilih untuk menjadi orang pribumi asli.

Berdasarkan wawancara dengan Budi Santoso Tanuwibowo, yang merupakan sekjen MATAKIN pada tahun 2000, menjelaskan bahwa beliau merupakan saksi dan pelaku sejarah dalam proses pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 oleh Presiden Abdurahman wahid. Beliau menjadi saksi karena (1) dekat dengan Gus Dur dan keluarganya, (2) posisi beliau sebagai pimpinan MATAKIN, (3) posisi beliau sebagai pendiri dan pengurus

(11)

Indonesian Conference on religion and Peace yang didirikan Gus Dur, Djohan Effendi, Musdah Mulia dll.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Gus Dur, Cak Nur, dan Djohan Effendi sangat concern terhadap pemulihan status agama Khonghucu. Bahkan Djohan Effendi dan Yusril Ihza Mahendra yang pernah menjadi penulis naskah pidato Presiden Soeharto menulis dalam naskah resmi pidato presiden tentang masih belakunya UU No.1/ PNPS/65 jo. UU No. 5/1969, yang intinya menegaskan bahwa agama-agama yang banyak dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Juga ditegaskan bahwa Presiden Soekarno melalui OEM No. 2, 18 Juni 1956, menetapkan 4 (empat) hari libur fakultatif bagi orang Tionghoa yang pada waktu itu kebanyakan beragama Khonghucu. Keempat hari libur fakultatif itu adalah: Hari Raya Tahun Baru Imlek, Hari Lahir Nabi Khonghucu, Hari Wafat Nabi Khonghucu dan Ceng Beng atau Ritual bersembahyang dan berziarah ke makam leluhur. Mengenai permasalahan status agama Khonghucu tidak ada klasifikasi agama yang diakui atau tidak diakui. Hal ini didasarkan pada Surat Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama No. P/BA.02/548/1999 Tanggal 21 Juli 1999 mengenai status agama khonghucu.

Gus Dur sudah lama menjadi pembela dipulihkannya agama Khonghucu. Beliau sangat memahami akar permasalahan agama Khonghucu.

(12)

Sebelum menjabat sebagai presiden, Gus Dur memang dikenal sebagai seorang yang concern membela hak-hak minoritas. Gus Dur pernah menjadi saksi gugatan pasangan Khonghucu yaitu Budi Wijaya dan Lanny Guito yang pencatatan pernikahannya ditolak Kantor Catatan Sipil Surabaya. Gus Dur menjadi intens dan sering berhubungan dengan Ketua MAKIN di Surabaya, Bingky Irawan yang pada 1998-2006 menjadi salah satu anggota Presidium MATAKIN.

Atas persoalan yang dialami umat Khonghucu, tokoh-tokoh Khonghucu berinisiatif menemui Presiden Abdurahman Wahid. Budi Santoso dan Bingky Irawan pergi menemui Gus Dur di Istana. Mereka mempunyai ide untuk mengusulkan penyelenggaraan Perayaan Tahun Baru Imlek secara nasional yang dihadiri Presiden. Gus Dur menyetujui ide tersebut dan memberikan kesempatan untuk mengadakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. MATAKIN sebagai penyelenggara perayaan tersebut kemudian mempersiapkan diri.

Untuk mengadakan Imlek nasional dengan mendatangkan seorang presiden maka harus mengurus izin ke Mabes Polri dan panglima ABRI. Di era Orde baru, setiap kegiatan yang melibatkan/mengundang banyak orang, ditempat umum/ tertutup harus ada ijin. Ketika mengurus perayaan Imlek ini menjadi masalah, apalagi: (1) mengundang tokoh-tokoh penting, (2) status Khonghucu pun resminya masih terpasung, karena Inpres 14/1967 menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terkait dengan agama/keyakinan orang Tionghoa tak boleh dirayakan secara terbuka.

(13)

Persoalan tersebut diadukan ke Gus Dur, bahwa tidak bisa mengadakan Imlek nasional karena ada Inpres No. 14 Tahun 1967. Melalui proses yang singkat dan tidak berbelit-belit, Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 6 /2000 tanggal 17 Januari 2000 yang mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Setelah keluarnya Keppres No. 6 Tahun 2000 kemudian Mabes Polri memberikan izin. Pada tanggal 17 Februari 2000 diselenggarakan Perayaan Imlek nasional pertama di Jakarta dengan ketua Panitia Budi Santoso Tanuwibowo, dan di Surabaya diadakan Perayaan Cap Go Meh nasional pertama dengan ketua panitia Bingky Irawan.

Pasca keluarnya Keppres No. 6 Tahun 2000 hak-hak sipil umat Khonghucu tidak langsung mendapat pemenuhan. Masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi untuk diperjuangkan. Setelah keluarnya Keppres tersebut belum ada perbedaan yang signifikan terhadap pemenuhan hak-hak umat Khonghucu. Perbedaan yang signifikan terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Walaupun belum mengalami perbedaan yang signifikan terhadap hak-hak sipil umat Khonghucu, Presiden abdurahman Wahid telah memberikan banyak kontribusi. Gus Dur adalah seorang yang sangat pluralis, beliau selalu pasang badan ketika menghadapi hal-hal yang tidak adil. Proses keluarnya Keppres No. 6 Tahun 2000 cukup singkat dan tidak berbelit-belit. Gus Dur dalam hal ini menjadi agen perubahan meskipun secara aturan belum berjalan secara optimal.

(14)

Presiden Abdurahman wahid membantu eksistensi agama Khonghucu melalui spiritnya atau semangatnya. Gus Dur mendirikan yayasan bersama-bersama dengan orang Khonghucu, lalu mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang mana orang-orang Khonghucu terlibat di dalamnya. Beliau membangkitkan masyarakat sipilnya sendiri yang sebenarnya bukan hanya Khonghucu, tetapi semua yang minoritas. Uung Sendana menyatakan, dibawah tahun 1970 terdapat 90% orang Tionghoa yang merupakan orang Khonghucu. Jika merujuk pada sensus penduduk jumlah penganut agama Khonghucu sangat kecil. Sensus penduduk melakukan pengumpulan data dari data kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal dibidang administrasi kependudukan, umat Khonghucu tidak dapat menuliskan agama Khonghucu dalam kolom agama. Selain itu, orang-orang Khonghucu masih trauma mengakui dirinya sebagai Khonghucu.

Permasalahan yang harus dihadapi umat Khonghucu tidak berhenti setelah keluarnya Keppres RI No. 6 Tahun 2000. Pada perjalanan selanjutnya yaitu di masa Presiden Megawati menyisakan permasalahan terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Pemulihan hak-hak umat Khonghucu masih belum terasa signifikan karena masa jabatan Presden Megawati yang cukup singkat yaitu dari 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Selain itu menurut Uung Sendana, Megawati mempunyai karakter yang berbeda dengan Gus Dur.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, ia mengeluarkan Keppres RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Dalam

(15)

sambutan Tahun Baru Imlek Nasional 2553 secara resmi Presiden Megawati menyatakan Tahun Baru Imlek menjadi hari nasional. Setelah dikeluarkannya Keppres RI No. 19 Tahun 2002, kemudian dikeluarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Raya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Di masa Presiden Megawati, perhatian negara terhadap agama Khonghucu dapat dilihat dari Surat Keterangan Departemen Agama RI No. P/TL.01/459/2001 mengenai bentuk-bentuk pembinaan terhadap MATAKIN dan umat Khonghucu. Tidak banyak kebijakan politik terhadap agama Khonghucu yang dilakukan oleh Megawati semasa menjabat sebagai Presiden RI. Selama masa kepresidenannya, Megawati 3 kali selalu hadir di Perayaan Imlek tahun 2002, 2003, dan 2004.

Perjuangan untuk mendapatkan pemulihan hak-hak terus dilakukan oleh MATAKIN. Budi Santoso tanuwibowo menyatakan, perjuangan yang dilakukan MATAKIN lewat cara yang lembut, menjalin komunikasi dengan para pihak terkait, mendekati para tokoh lintas agama untuk menjalin saling pengertian, audiensi ke DPR, Mahkamah Konstitusi, partai politik, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menetri Sekretaris Kabinet, Menteri Sekretais Negara, Wakil Presiden dan Presiden. komunikasi yang dilakukan dengan mengirimkan surat ke berbagai instansi negara tersebut mendapatkan respon yang baik. Pada tanggal 28 Desember 2005 melalui Surat dari Mahkamah Konstitusi RI No. 356/PAN.MK/XII/2005 menjelaskan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 jo UU

(16)

No.5/1969 ternyata masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perbedaan yang signifikan sangat terlihat. Pada masa SBY, pemenuhan hak-hak sipil bagi umat Khonghucu mulai terjadi akselerasi. SBY terpilih sebagai presiden ke 6 pada masa bakti 2004-2009 dan terpilih lagi pada masa bakti 2009-2014. Selama menjabat menjadi Presiden selama dua kali periode, beliau tidak pernah absen hadir dan memberi sambutan selaku Presiden RI dalam perayaan Imlek nasional. Bahkan sejak masa Presiden Abdurahman Wahid sampai Imlek terakhir tidak pernah absen. Presiden SBY memberikan perhatian yang baik terhadap umat Khonghucu. Dapat dilihat dalam surat balasan yang dikirimkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia No. B.398/M.Sesneg/6/2005 bahwa negara memberikan respon yang baik mengenai permohonan Dewan Pengurus MATAKIN agar presiden memberikan sambutan dalam perayaan Tahun Baru Imlek.

Selama kepemimpinannya, SBY mengeluarkan kebijakan agar hak-hak umat Khonghucu dapat terpenuhi. Dalam bidang pelayanan administrasi kependudukan dikeluarkan Surat Mendagri RI No. 470/336/SJ tanggal 24 Januari 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu hal ini menandakan pelayanan KTP Khonghucu dituntaskan. Perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu diperbolehkan, hal ini sesuai dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Agama RI No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 tentang

(17)

penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu. Selain itu, pembangunan kelenteng/ tempat ibadah khonghucu diperbolehkan, termasuk pendirian Kelenteng Kong Miao di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Berdasarkan Surat Departemen Agama RI No. SJ/B.VII/1/BA.01.2/623/06 tanggal 21 Maret 2006 perihal pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, di kementrian Agama Republik Indonesia mulai ada pejabat khusus yang menangani urusan Khonghucu, meski belum setingkat Direktorat Jenderal.

Secara perlahan dan berkelanjutan, pemenuhan hak-hak umat Khonghucu terus diupayakan. Dalam menjalankan perannya, Kementrian Agama Republik Indonesia memberikan sosialisasi tentang pemulihan status dan hak-hak umat Khonghucu. Hal tersebut didasarkan pada Instruksi Menteri Agama RI No. 1 Tahun 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu.

Sejak tahun 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010 terdapat Bimbingan masyarakat (Bimas) umat Khonghucu yang dititipkan melalui Pusat kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementrian Agama Republik Indonesia. Bimas Khonghucu mempunyai tugas dan fungsi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010, Pasal 779 dan Pasal 780 (hal 168) dan untuk Organisasi Instansi Vertikal Kementerian Agama dapat dilihat pada PMA No. 13 Tahun 2013.

(18)

Berikut ini isi pasal 779 dan pasal 780 dalam Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama,

Pasal 779

Bidang Bimbingan Masyarakat Khonghucu mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang urusan dan pendidikan agama Khonghucu

Pasal 780

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 779, Bidang Bimbingan Masyarakat Khonghucu menyelenggarakan fungsi:

a.penyiapan perumusan kebijakan di bidang pelayanan urusan dan pendidikan agama Khonghucu;

b.penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan urusan dan pendidikan agama Khonghucu;

c.penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pelayanan urusan dan pendidikan agama Khonghucu; dan

d.penyiapan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang urusan dan pendidikan agama Khonghucu;

Berdasarkan PMA No. 10 Tahun 2011, pasal 781 Bidang Bimbingan Masyarakat Khonghucu terbagi dua subbidang atas:

a.Subbidang Urusan Agama Khonghucu; dan b.Subbidang Pendidikan Khonghucu.

(19)

Pasal 782

(1) Subbidang Urusan Agama Khonghucu mempunyai tugas melakukan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, dan bimbingan teknis serta evaluasi urusan agama Khonghucu.

(2) Subbagian Pendidikan Khonghucu mempunyai tugas melakukan

penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, dan bimbingan teknis serta evaluasi pendidikan agama Khonghucu.

Berikut ini beberapa point-point bentuk dan program kerja Bimas Khonghucu;

a.Sub Bidang Urusan Agama Khonghucu

1) Orientasi Pembinaan Pemuda dan Siswa Khonghucu

2) Coffee Morning Bimas Khonghucu

3) Workshop Sosialisasi Peraturan Perundangan Pelayanan Agama

Khonghucu

4) Workshop Pembinaan dan Pengembangan Rohaniwan Agama

Khonghucu

5) Bantuan Tempat Ibadah/Ormas/Sekolah Agama Khonghucu

b.Sub Bidang Pendidikan Khonghucu.

1) Pelatihan Kompetensi Guru Agama Khonghucu

2) Peningkatan Kualitas Tenaga Kependidikan Agama Khonghucu 3) Pembentukan Setakhong

(20)

4) Workhshop Penyusunan Silabus dan RPP Pendidikan Agama Khonghucu Tingkat SD

5) Workshop Penyusunan Kurikulum Sekolah Minggu Agama

Khonghucu Workshop Kependidikan Sekolah Minggu Agama Khonghucu

6) Pendataan Tempat Ibadah, Siswa, Guru, Serta Lembaga Pendidikan Terhadap Agama Khonghucu

Dalam berbagai program tersebut, Bimas lebih sering mengadakan

workshop maupun sosialisasi agama Khonghucu. Bidang bimbingan

masyarakat (Bimas) Khonghucu berada dibawah organisasi pusat kerukunan uma beragama karena secara vertical ke atas bahwa Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di pimpin oleh pejabat eselon 1, yaitu Sekretariat Jenderal Kemenag. Berdasarkan pertimbangan dan kebijakan yang matang, maka sebagai rintisan awal terhadap pelayanan Umat Khonghucu dibuat sebuah struktur Bimas Khonghucu yang tepatnya diletakan di PKUB yang di anggap lebih profesional dan terlepas dari kepentingan politik.

Dalam proses pembuatan kebijakan politik tentang diakuinya Khonghucu menjadi salah satu agama di Indonesia, Emma Nurmawati tidak menganjurkan kata diakui ataupun tidak diakui. Kata ―diakuinya‖ dalam pertanyaan tersebut tidak tepat, karena bila mengacu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penceahan penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bahwa di Indonesia tidak ada agama yang diakui dan tidak diakui. Kalimat yang tepat untuk kembalinya exsistensi Agama Khonghucu adalah

(21)

―dipulihkan‖ hak-hak sipilnya, karena keberadaan Agama Khonghucu sebenarnya telah ada sebelum terbentuk negara, ―Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.‖ Di jelaskan pada Pasal 1 di bawah ini.

―…Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan khonghucu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini‖.

Pada dasarnya Kementerian Agama R.I melayani semua agama, yang membedakan adalah menurut Undang-Undang di atas dalam hal ‖bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini‖. Khusus terkait dasar peraturan perundangan pelayanan hak sipil terhadap Agama Khonghucu diantaranya:

a.Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727);

b.Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769);

Latar belakang disetujuinya Khonghucu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia karena Khonghucu disetarakan dengan agama lainnya

(22)

adalah sesuai dengan amanat amanat UUD pasal 29 ayat 2, Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, dan keberadaan agama Khonghucu dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Bahwa Agama Khonghucu memang telah ada sejak dahulu, dalam sensus penduduk pertama yang dilakukan BPS Tahun 1971 terdapat 0.97 % atau 1976 terdapat 0.7 % yang berarti lebih dari 1 juta jiwa. Bila kemudian dalam sensus penduduk BPS Tahun 2010 jumlah umat Khonghucu menurun menjadi 0.05 %, ini perhitungannya tidak akan valid bila dasar perhitungannya hanya KTP, karena setelah keluarnya Intruksi Presiden No. 14 tahhun 1967 terjadi mobilisasi besar-besaran untuk mengisi kolom KTP umat Khonghucu kepada lima agama yang dilayani pemerintah. Kemudian tahun 2010 disensus berdasarkan Agama dimana umat Khonghucu masih dalam pemulihan hak-hak sipilnya dan di KTP tertulis agama lain.

Dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan Bimas, semua mengacu pada peraturan perundang-undangan, begitu juga dengan pelayanan yang diberikan Bimas Khonghucu. Program yang dilakukan adalah pendataan secara menyeluruh tentang jumlah umat Khonghucu di seluruh Indonesia, pendataaan siswa, dan guru agama Khonghucu. Semua program/kebijakan yang diambil adalah sesuai tugas pokok dan fungsi dari Bimas Khonghucu PKUB.

Sesuai amanat konstitusi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu, bimas Khonghucu memberikan

(23)

pelayanan dan pembinaan terhadap 6 agama. Sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 PnPs 1996 yang menyebutkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Kementerian Agama memberikan pelayanan dan pembinaan terhadap 6 agama baik dalam melaksanakan ajaran agamanya di Lingkungan masyarakat maupun dalam mendapatkan pelayanan hak-hak sipil pendidikkan agama di sekolah. Oleh karena itu, Pemerintah konsisten untuk memberi pelayanan dan perlindungan yang sama bagi setiap umat beragama, serta menindak tegas kepada yang melanggar terhadap peraturan dan undang-undang.

Walaupun sampai saat ini masih banyak hambatan bagi umat Khonghucu untuk memperoleh hak-haknya, tetapi baik pemerintah maupun tokoh lintas agama mendukung proses pemenuhan hak-hak umat Khonghucu. Tidak dapat dipungkiri diskriminasi bagi umat Khonghucu untuk memperoleh hak-hak sipilnya mengalami berbagai kendala, bahkan sampai saat ini.

Peran pemerintah, tokoh lintas agama dan masyarakat akan sangat membantu proses pemenuhan hak-hak sipil penganut agama Khonghucu di Indonesia. Peran organisasi Khonghucu seperti MATAKIN masih diperlukan dalam perjuangan pemenuhan hak-hak umat Khonghucu. Berikut ini pernyataan yang disampaikan oleh Uung Sendana mengenai peran MATAKIN ke depan:

1) Kita harus kembali pada fungsi pelayanan kepada umat, dalam hal ini pelayanan-pelayanan keagamaan.

(24)

2) Memberikan pembinaan-pembinaan atau syiar agama, karena setelah sekian lama ini banyak umat Khonghucu yang hanya menjalankan ajaran Khonghucu berdasarkan tradisi saja, dari orang tuanya turun temurun, sembahyang tidak mengerti maknanya.

3) Mendorong pendidikan agama di sekolah-sekolah disamping pendidikan agama di tempat-tempat ibadah.

4) Fokus pada penerbitan-peneribitan buku-buku, karena selama bertahun-tahun buku-buku yang berkaitan dengan Tionghoa sangat dibatasi. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah mulai membuat kitab suci sesuai bahasa aslinya, karena selama ini hanya bahasa tafsirnya saja. Dalam Kitab Suci tersebut sudah mulai ada huruf kitabnya, cara bacanya, dan cara lafalnya. Hal ini penting untuk pemahaman umat agama Khonghucu. 5) Mulai bergerak ke kampus-kampus yang merupakan sumber ilmu

pengetahuan.

6) MATAKIN mengadakan kerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta program pendidikan S2 Perbandingan agama konsentrasinya agama Khonghucu. Selain itu juga mendirikan SETAKHONG atau Sekolah Tinggi Agama Khonghucu di berbagai daerah.

Selain peran MATAKIN, peran negara yang berkewajiban memenuhi hak-hak warga negara juga harus dilaksanakan sesuai amanat konstitusi. Walaupun secara regulasi hukum terhadap hak-hak Agama Khonghucu sebenarnya sudah terpenuhi, tetapi dalam pelaksanaan dilapangan kurang optimal. Permasalah di lapangan adalah masalah teknis yang dapat di

(25)

selesaikan melalui sosialisasi secara berkesinambungan kepada masayarakat Indonesia pada umunya dan umat Khonghucu pada khusunya serta aparatur pemerintah yang terkait agama Khonghucu. Permasalahan ketertinggalan Agama Khonghucu dengan lima agama lain yang lebih dahulu maju, akibat 32 tahun agama Khonghucu dinisbikan maka negara perlu memberikan affirmative action.

Dalam perjuangan memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak umat Khonghucu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang agama seperti Institute Dialog Antar-Iman di Indonesia atau Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (DIAN/Interfidei) juga turut berpartisipasi. Sebagai institut yang bergerak dalam bidang agama, organisasi ini terbuka bagi semua orang yang mau datang beridalog menghargai perbedaan.

Interfidei adalah institut yang mempunyai tugas untuk mendorong dan mengingatkan peran sosial agama-agama agar agama-agama bisa melakukan sesuatu yang kritis dan berfikir positif. Dalam menjalankan tugas tersebut harus ada kerja sama dengan negara. Karena negara yang mengeluarkan kebijakan dan peraturan, hanya bagaimana caranya agama bisa mengingatkan negara tentang tugasnya. Negara harus sensitif terhadap perosalan-persoalan kebangsaan saat ini. Sedangkan didalam masyarakat senantiasa dibangun kesadaran toleransi beragama. Menurut Elga Sarapung adapun peran-peran yang harus dibangun oleh pemerintah antara lain:

(26)

a. Jangan ada diskriminasi politik, tidak menggunakan kata mayortitas maupun minoritas dalam kehidupan beragama.

b. Kebijakan-kebijakan dan sikap tindakan dari pemerintah benar-benar berdasarkan konstitusi. Berdasarkan konstitusi, konsekuensi logisnya adalah mayoritas dan minoritas bukan menjadi ukuran ataupun landasan menerapkan kebijakan.

c. Pemerintah harus berani, apalagi sekarang dengan kelompok-kelompok intoleran yang main hakim sendiri.

Dari setiap rezim pemerintahan, masing-masing presiden mempunyai karakter yang berbeda. Suatu sistem politik bisa saja dikendalikan tergantung siapa yang mempunyai kekuasaan. Menurut Elga Sarapung, bukan pada rezimnya tetapi lebih pada personalnya, Gus Dur sebelum mejadi rezim pemerintah sudah sangat pluralis/ terbuka. Semua kebijakan yang dia anggap tidak benar dalam rangka perbedaan itu, dia buat. Elga sarapung lebih sepakat jika sistem politik diengaruhi oleh personal orang yang mengeluarkan kebijakan. Gus Dur dikenal sebagai seorang yang pluralis sehingga berani memberikan kebebasan bagi kaum minoritas.

Menurut Emma Nurmawati, beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan dalam keadaan apapun negara tidak boleh mengurangi warganya untuk memeluk agama yang diyakininya (non derogable right), agama itu sendiri telah hadir sebelum manusia mengenal kehidupan berbangsa dan bernegara, agama merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa, diwahyukan melalui para nabi sebagai bimbingan manusia

(27)

agar dapat menempuh ―jalan suci‖. Bilamana setiap insan beragama bersinergi membentuk pemerintah demi menciptakan kerukunan, baik kerukunan inter maupun antar umat beragama serta berupaya agar setiap warga negara dapat menjalankan dan mengamalkan agamanya secara baik, sesungguhnya ini akan menjadi modal dasar dalam membangun bangsa dan negara yang bermartabat.

B. Pembahasan

Fokus pembahasan dalam penelitian ini diantaranya ialah Khonghucu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, implikasi pemberlakuan Keppres RI Nomor 6 Tahun 2000 pasca pemerintahan Abdurahman Wahid, dan peran negara untuk memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak etnis tionghoa yang beragama Khonghucu di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, kebijakan politik yang dikeluarkan akan dijabarkan dalam proses dikembalikan posisinya kembali Khonghucu sebagai agama. Sedangkan di masa pemerintahan Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan dijabarkan dalam implikasi pemberlakuan Keppres RI No. 6 Tahun 2000.

1. Khonghucu dikembalikan posisinya kembali sebagai salah satu agama di Indonesia

Negara Indonesia adalah negara multikultural yang mempunyai berbagai macam etnis dan budaya. Jika merujuk pada pendapat Bhikku Parekh tentang multikulturalisme, negara Indonesia tidak dapat dikelompokkan ke dalam salah satu bentuk-bentuk diversitas kebudayaan.

(28)

Indonesia mengandung ketiga bentuk diversitas yang disebutkan oleh Parekh, sehingga masalah multikulturalisme di negara ini sangat kompleks. Atas dasar keanekaragaman yang komplek tersebut, keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Oleh karena itu, terdapat semboyan yang dimiliki Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan atas kebudayaan tersebutlah digunakan untuk memaknai istilah Multikulturalisme di Indonesia.

Salah satu etnis yang telah lama mendiami Indonesia adalah etnis Tionghoa. Sejak masa sebelum kemerdekaan/ penjajahan etnis Tionghoa telah datang dan mendiami Indonesia. Pramoedya Ananta Toer (1998: 212) mengatakan ―kependudukan Hoakiau (etnis Tionghoa) yang pertama-tama di Indonesia sebenarnya tidak jelas‖, tetapi bukti peninggalan sejarah yang bersifat tertulis ditemukan setelah tarikh Masehi. Orang Tionghoa yang datang ke Indonesia setelah abad ke-15, disamping adat dan kebiasaan lain, juga membawa agama mereka (Suryadinata, 2010: 75). Agama yang dibawa antara lain agama Sam Kauw (Tiga Agama) yang mengandung unsur: agama Budha, agama Khonghucu, dan agama Tao, yang kemudian berdiri sendiri-sendiri.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Indonesia terpecah menjadi tiga golongan yaitu Eropa (Belanda), Bumiputera dan Timur Asing (Cina, Arab, India). Pengelompokan tersebut kemudian berlanjut untuk memetakan warga pribumi dan warga non-pribumi. Pada

(29)

masa Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan asimilasi, etnis Tionghoa dianggap sebagai non-pribumi, padahal jika kita merujuk pada sejarah, Pramoedya Ananta Toer (1998: 284) mengatakan bahwa Hoakiau adalah pribumi Indonesia dengan tata cara dan cara hidup tersendiri.

Dalam pembahasan subbab disini menggunakan kata ―dikembalikan posisinya‖, hal tersebut dikarenakan agama Khonghucu sudah masa prakemerdekaan ada di Indonesia dan di masa presiden Soekarno mendapatkan pengakuan bahwa Khonghucu adalah sebuah agama. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto terdapat peraturan yang menyebutkan bahwa Khonghucu adalah salah satu agama yang banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Perlu diketahui bahwa pada Presiden Sukarno lewat OEM No. 2, 18 Juni 1956, menetapkan 4 (empat) hari libur fakultatif bagi orang Tionghoa yang pada waktu itu kebanyakan beragama khonghucu. Keempat hari libur fakultatif itu adalah: Hari Raya Tahun Baru Imlek, Hari Lahir Nabi Khonghucu, Hari Wafat Nabi Khonghucu dan Ceng Beng atau Ritual bersembahyang dan berziarah ke makam leluhur. Pada Tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penetapan Presiden ini mengatur, antara lain, bahwa ada enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Selain itu, dalam naskah pidato Presiden Soeharto menulis tentang masih belakunya UU No.1/ PNPS/65 jo. UU NO. 5/1969, yang intinya

(30)

menegaskan bahwa agama-agama yang banyak dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, status konfusianisme masih belum jelas, terdapat peraturan yang saling bertentangan dan tidak sejalan. Walaupun dalam UU No.1.PNPS/65

menunjukan Khonghucu adalah agama, tetapi Presiden Soeharto

mengeluarkan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Tata Cara Ibadah Cina dan pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470/1978. Keluarnya Inpres tersebut membatasi kebudayaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Jika dilihat dari isi Inpres tersebut tidak disebutkan secara eksplisit Khonghucu dibatasi kebebasan beragamanya, tetapi Khonghucu adalah salah satu agama yang berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, keluarnya inpres tersebut memberikan dampak buruk bagi Khonghucu.

Berikut ini diskriminasi yang dialami penganut agama Khonghucu dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan:

a.Dalam bidang ibadah dan tradisi

Umat Khonghucu hanya dapat beribadah secara sembunyi-sembunyi di litang maupun di klentheng. Umat Khonghucu tidak diperkenankan untuk mengadakan acara sembahyang secara masal pada masa Soeharto. Perayaan tradisi dan keagamaan kelompok etnis Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan Pehcun dilarang dirayakan secara terbuka. Ketika ingin mengadakan upacara-upacara besar/ Tahun Baru Imlek dibatasi. Demikian juga dengan tarian barongsai dan Liang-liong (tarian naga) yang berkaitan dengan kebudayaan Tionghoa dilarang.

(31)

b.Diskriminasi dalam bidang pendidikan

Pada saat menempuh pendidikan umat Khonghucu merasa dikucilkan karena konghcucu dianggap bukan agama. Siswa yang menganut agama Khonghucu dipaksa untuk mengambil salah satu mata pelajaran pendidikan agama dari kelima agama yang ada. Hal tersebut dikarenakan tidak ada guru yang mengampu pendidikan agama Khonghucu. Rata-rata umat Khonghucu pada zaman dulu mengambil mata pelajaran pendidikan agama Katolik, Kristen atau Buddha. Ada pula yang akhirnya mengambil mata pelajaran pendidikan agama Islam. Karena siswa yang berkeyakinan agama Khonghucu di sekolah tidak mendapatkan hak memperoleh pelajaran agama Khonghucu, ternyata berdampak dengan beberapa umat Khonghucu yang pindah agama lain. Haksu Tjie Tjay Ing (2003: 30) menyatakan bahkan ada perguruan tinggi yang memaksa seorang calon dokter yang memeluk agama Khonghucu agar bersedia melakukan sumpah jabatannya sebagai dokter dengan disuruh memilih salah satu agama yang dianggap resmi.

c.Perkawinan

Kantor catatan sipil yang bertugas mencatat perkawinan ternyata menolak dan tidak bersedia mencatat perkawinan pasangan umat Khonghucu walaupun sudah melaksanakan perkawinan menurut tata cara/ hukum agamaKhonghucu. Agar dapat dicatatkan perkawinan umat Khonghucu juga harus bersedia mengaku beragama lain atau memilih satu diantara lima agama yang dianggap resmi yaitu Islam, Katolik,

(32)

Hindu, Buddha, atau Kristen. Menyikapi pemaksaan ini ada tiga jalan, yang pertama jalan seperti Budi dan Lani (pasangan penganut agama Khonghucu) yang menggugat ke catatan sipil walaupun prosesnya panjang sampai ke Mahkamah Agung, pada zaman Gus Dur baru keluar keputusannya; yang kedua, jalan yang paling banyak ditempuh oleh umat Khonghucu mencatatkan dirinya secara agama lain misal Katolik atau Buddha walaupun diberkati di lintang/ klenteng agar perkawiannya diakui oleh negara; yang ketiga yaitu jalan yang tidak memilih jalan pertama atau kedua, dia memilih menikah secara agama saja dan tidak mencatatkannya perkawinannya kepada negara.

d.Diskriminasi di Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berfungsi sebagai identitas diri, umat Khonghucu tidak dibenarkan menyebutkan dirinya beragama Khonghucu tetapi disuruh mengaku beragama lain yang formal dan tercantum dalam daftar isian permohonan kartu tanda penduduk, atau hanya diberi tanda ( ―—― ) seolah-olah tidak memeluk sesuatu agama (Ing, 2003: 30). Pada akhirnya umat Khonghucu dipaksa untuk memilih kelima agama yang ada: Islam, Kristen, Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Jika umat Khonghucu tidak ingin dianggap tidak mempunyai agama maka kebanyakan penganut agama Khonghucu memulis agama mereka dengan agama Buddha karena dianggap persis atau hampir mirip. Walaupun agama Buddha dan agama Khonghucu

(33)

berbeda, tetapi pada saat itu agama Buddha dijalankan secara liberal sehingga dapat mencakup penganut agama Khonghucu.

e.Diskriminasi huruf dan bahasa Mandarin/ Cina

Huruf kitab-kitab Khonghucu tidak ditulis dalam bahasa mandarin sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia murni dengan tidak menampilkan huruf kitabnya. Dahulu tidak diperbolehkan, karena jika ditampilkan dalam bahasa mandarin bisa ditangkap, disita dan diintimidasi. Hal ini berdasarkan Surat Edaran Menteri Penerangan

Nomor 02/SE/Ditjen/PPG/1998 yang melarang penerbitan dan

Pencetakan Tulisan/Iklan beraksara dan berbahasa Cina. f. Asimilasi

Orang Tionghoa dipaksa asimilasi menjadi warga pribumi. Kelompok etnis Tionghoa yang dipandang sebagai nonpribumi harus meninggalkan identitas ketionghoaan mereka jika mereka ingin menjadi orang Indonesia tulen. Padahal proses tersebut sangan sulit, kecuali dengan proses natural menikah dengan kerelaan.

g.Akses untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Khonghucu ataupun keturunan Tionghoa cukup sulit untuk menjadi pegawai negeri, bahkan menjadi tentara. Masuk menjadi mahasiswa di peruruan tinggi saja dibatasi, hanya 5% saja.

Diskriminasi tersebut dirasakan umat Khonghucu selama berpuluh-puluh Tahun. Setelah Soeharto lengser, masyarakat Indonesia mengalami

(34)

kebebasan dan kemerdekaan. Termasuk masyarakat Tionghoa yang selama 30 tahun mengalami pembatasan dan pembelengguan atas hak-hak mereka. Banyak orang Tionghoa yang kemudian muncul dan angkat bicara atas penderitaan mereka.Tidak terkecuali tokoh-tokoh Tionghoa yang beragama Khonghucu yang ikut memperjuangkan hak-hak mereka (Wibowo, 2010: 42). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998 yang menandai berakhirnya orde baru, pada tahun 1999 kemudian terpilihlah Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI. Di masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid ada inisiatif dari tokoh-tokoh Khonghucu menemui beliau. Tokoh Khonghucu tersebut adalah Budi Santoso dan Bingky Irawan yang pergi menemui Gus Dur di Istana Negara. Mereka mempunyai ide untuk mengusulkan penyelenggaraan Perayaan Tahun Baru Imlek secara nasional, yang dihadiri Presiden. Ide tersebut disetujui oleh Gus Dur dan beliau memerintahkan untuk mengadakan dua kali yaitu perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

Perayaan tersebut kemudian diorganisasi oleh MATAKIN. Untuk mengadakan Imlek nasional dengan mendatangkan seorang presiden maka harus mengurus izin ke Mabes Polri dan Panglima ABRI. Di era Orde baru, setiap kegiatan yang melibatkan/ mengundang banyak orang, ditempat umum/ tertutup harus ada izin. Adapun yang menjadi masalah ketika mengurus perizinan perayaan tersebut antara lain: (1) mengundang tokoh-tokoh penting, (2) status Khonghucu pun resminya masih terpasung, karena inpres 14/1967 menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terkait dengan agama/ keyakinan orang Tionghoa tak boleh dirayakan secara terbuka.

(35)

Persoalan tersebut diadukan ke Gus Dur, bahwa tidak bisa mengadakan Imlek nasional karena ada Inpres No. 14 Tahun 1967. Melalui proses yang singkat dan tidak berbelit-belit, Gus Dur mengeluarkan Keppres No. 6 /2000 tanggal 17 Januari 2000 yang mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Setelah keluarnya Keppres No. 6 Tahun 2000 kemudian Mabes Polri memberikan izin. Pada tanggal 17 Februari 2000 diselenggarakan Perayaan Imlek nasional pertama di Jakarta dengan ketua Panitia Budi Santoso Tanuwibowo, dan di Surabaya diadakan Perayaan Cap Go Meh nasional pertama dengan ketua panitia Bingky Irawan.

Kebijakan politik tentang agama Khonghucu dalam kehidupan beragama di Indonesia dapat ditelaah dengan merujuk teori sistem politik menurut David Easton. Dalam konsep ―sistem politik‖ mempunyai arti bahwa sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports) dan sumber-sumber (resources) –semuanya ini adalah masukan-masukan (inputs) (Suharno, 2010: 69). Masukan-masukan (inputs) dalam sistem politik ini adalah tuntutan-tuntutan dari orang Tionghoa yang beragama Khonghucu d Indonesia untuk mendapatkan pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, dukungan (supports) berasal dari MATAKIN yang sejak zaman pra kemerdekaan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi agama Khonghucu di Indonesia serta lembaga atau institut masyarakatt yang bergerak dalam bidang agama.

(36)

Sistem politik adalah mengubah inputs menjadi outputs. Dalam proses Khonghucu dikembalikan posisinya sebagai agama di Indonesia, pemerintah mendapat tuntutan dan dukungan dari penganut Khonghucu maupun organisasi agama (MATAKIN) untuk memberikan pemulihan hak-hak terhadap agama Khonghucu. Adanya dukungan tersebut mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah.

Jadi dapat diketahui bahwa sebab keluarnya Keppres RI No. 6 Tahun 2000 karena faktor yuridis dan faktor Gus Dur. Faktor Yuridis, berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Hak kebebasan beragama dijamin dan diberikan perlindungan oleh negara, oleh karena kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dirasakan oleh warga negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang-geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya, hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan keluar Keppres No.6 tahun 2000.

Selain faktor yuridis, faktor dari Gus Dur juga menjadi sebab keluarnya Keppres No. 6 Tahun 2000. Sosok dari Presiden Abdurahman Wahid yang terkenal sebagai seorang pemikir humanisme, memperjuangkan hak-hak minoritas, pejuang HAM dan bapak multikulturalisme merupakan

(37)

faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Gus Dur sudah lama dekat dengan orang Tionghoa, kedekatan tersebut dibuktikan dengan mendirikan yayasan Indonesian Conference on religion and Peace (ICRP) bersama-sama orang Khonghucu. Sehingga pada tahun 2000, Presiden Abdurahman Wahid berani mengambil keputusan untuk mengeluarkan Keppres RI No. 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres RI No. 14 Tahun 1967 yang selama ini membatasi umat Khonghucu dan cenderung menimbulkan diskriminasi.

Gus Dur mempunyai peran yang berarati bagi Umat Khonghucu, melalui semangat/ spiritnya membantu pemulihan hak umat Khonghucu. Menurut Bondan Gunawan selaku Pjs. Sekretaris Negara pada pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, Gus Dur mencabut Inpres yang dikeluarkan Soeharto itu mempunyai tujuan. Tujuannya adalah agar tidak ada diskriminasi. Maka semua kegiatan yang berkaitan dengan Tionghoa diperbolehkan oleh Gus Dur. Sejak keluarnya Keppres RI No. 6 Tahun 2000 negara memberikan pengakuan kembali kepada agama Khonghucu. Agama Khonghucu mulai berani menampakkan identitas atau simbol-simbol keagamaan, praktik keagamaan maupun tradisi Tionghoa.

Saat orde baru berkuasa, buku-buku bernuasa Tiongkok sulit berkembang apalagi huruf mandarin dalam kitab-kitab agama Khonghucu. Selama kurung waktu 30 tahun tidak ada buku-buku dalam bahasa Mandarin dan hanya ada satu harian berbahasa Mandarin (Prasetyo, 2010: 169). Setelah Gus Dur mengeluarkan Keppres RI No. 6 Tahun 2000, mulai berkembang

(38)

kembali buku-buku bernuasa Tiongkok ataupun mandarin di Indonesia. Bahkan radio maupun televisi tidak takut lagi menyiarkan ataupun manayangkan program yang berbahasa Mandarin. Kesenian tari barongsai dari tari liong diperbolehkan untuk tampil dalam perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini bahkan tampil dalam berbagai acara seperti pembukaan sebuah mal, peristiwa-peristiwa penting semacam pembukaan pesta olahraga, pawai jalan protokol dan lain sebagainya. Hal tersebut ditegaskan oleh Charles A. Coppel (2003: 330) bahwa,

Pall Allen gives examples of the trend to revive Sino-Indonesia culture since 1998 after its suppression under suharto: the revival of the Chinese lion dance (barongsai), the television adaptation of Gouw Peng Liang's 1903 novel Fen Koei, the celebration in public of Chinese New Year, the revival of the Chinese puppet theathre (Wayang Poethi), and the reprinting of Kwee Tek Hoay's 1927 classic Boenga Roos dari Tjikembang and its performance as a stage production. in 2000, the leading publishing house Gramedia embarked on an ambitious series of republications of Sino-Malay literature (Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia). By april 2002, five volumes had already appeared comprising more than 3,000 page. The Chinese New Year celebrations in 2003 were not only celebrated in public, but were,for the first time, a national holiday for all Indonesians. The ban on the use of Chinese language and characters has been lifted: Chinese language courses and chinese language publications are widely available, there are local radio stations broadcasting in mandarin, and television programs in Mandarin (Coppel, 2013: 330).

2. Implikasi pemberlakuan Keppres RI No. 6 Tahun 2000 pasca pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid

Dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina melalui Keppres RI No, 6 Tahun 2000

(39)

maka penyelenggaraan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini. Dalam implikasi pemberlakuan Keppres RI No. 6 Tahun 2000 pasca pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid akan dibahas dalam 3 masa periode pemerintahan yaitu pada masa pemerintahan Presiden Megawati dan 2 kali masa Periode Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. a. Masa Pemerintahan Presiden Megawati

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, ia mengeluarkan Keppres RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Dalam sambutan Tahun Baru Imlek Nasional 2553 secara resmi Presiden Megawati

menyatakan Tahun Baru Imlek menjadi hari nasional. Setelah

dikeluarkannya Keppres RI No. 19 Tahun 2002, kemudian dikeluarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Raya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Di masa Presiden Megawati, perhatian negara terhadap agama Khonghucu dapat dilihat dari Surat Keterangan Departemen Agama RI No. P/TL.01/459/2001 mengenai bentuk-bentuk pembinaan terhadap MATAKIN dan umat Khonghucu. Tidak banyak kebijakan politik terhadap agama Khonghucu yang dilakukan oleh Megawati semasa menjabat sebagai Presiden RI. Selama masa kepresidenannya, Megawati 3 kali selalu hadir di Perayaan Imlek tahun 2002, 2003, dan 2004.

(40)

b. Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Perjuangan untuk mendapatkan pemulihan hak-hak terus dilakukan oleh MATAKIN. Budi Santoso tanuwibowo menyatakan, perjuangan yang dilakukan MATAKIN lewat cara yang lembut, menjalin komunikasi dengan para pihak terkait, mendekati para tokoh lintas agama untuk menjalin saling pengertian, audiensi ke DPR, Mahkamah Konstitusi, partai politik, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menetri Sekretaris Kabinet, Menteri Sekretais Negara, Wakil Presiden dan Presiden. komunikasi yang dilakukan dengan mengirimkan surat ke berbagai instansi negara tersebut mendapatkan respon yang baik. Pada tanggal 28 Desember 2005 melalui Surat dari Mahkamah Konstitusi RI No. 356/PAN.MK/XII/2005 menjelaskan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 jo UU No.5/1969 ternyata masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perbedaan yang signifikan sangat terlihat. Pada masa SBY, pemenuhan hak-hak sipil bagi umat Khonghucu mulai terjadi akselerasi. Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden ke 6 pada masa bakti 2004-2009 dan terpilih lagi pada masa bakti 2009-2014. Selama menjabat menjadi Presiden selama dua kali periode, beliau tidak pernah absen hadir dan memberi sambutan selaku Presiden RI dalam perayaan Imlek nasional. Bahkan sejak masa Presiden Abdurahman Wahid sampai Imlek terakhir tidak pernah absen. Presiden SBY memberikan perhatian yang baik terhadap umat

(41)

Khonghucu. Dapat dilihat dalam surat balasan yang dikirimkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia No. B.398/M.Sesneg/6/2005 bahwa negara memberikan respon yang baik mengenai permohonan Dewan Pengurus MATAKIN agar presiden memberikan sambutan dalam perayaan Tahun Baru Imlek.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia melanjutkan kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya yaitu Gus Dur dan Megawati yang memberikan pemenuhan hak-hak sipil umat dan kelembagaan Khonghucu. Berikut ini kebijakan –kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY terhadap agama Khonghucu:

1) Khonghucu diakui administrasi Kependudukannya.

Selama kepemimpinannya, SBY mengeluarkan kebijakan agar hak-hak umat Khonghucu dapat terpenuhi. Dalam bidang pelayanan administrasi kependudukan dikeluarkan Surat Mendagri RI No. 470/336/SJ tanggal 24 Januari 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu hal ini menandakan pelayanan KTP Khonghucu dituntaskan. Dalam upaya tertib dokumen kependudukan atau tertib administrasi kependudukan, kemudian di masing-masing daerah di Indonesia

mengeluarkan peraturan yang mengatur pelayanan administrasi

kependudukan dan catatan sipil penganut agama Khonghucu. Di Provinsi DKI Jakarta dikeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 53 Tahun 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Penganut Agama Khonghucu. Dengan dikeluarkan surat edaran

(42)

tersebut, eksistensi agama Khonghucu secara resmi diakui dalam administrasi kependudukan baik Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), maupun pencatatan pernikahan. Meskipun di beberapa daerah Indonesia penerapan kebijakan ini masih membutuhkan waktu atau dalam proses.

Dalam Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2562, SBY menegaskan untuk menuntaskan permasalahan teknis dan administratif yang masih terjadi di daerah, berikut isi sambutan tersebut,

Terhadap penuntasan pemberian perlakuan yang adil dan pelayanan administrasi yang baik kepada Umat Khonghucu, saya tegaskan, untuk yang kesekian kalinya, bahwa negara dan pemerintah bukan hanya telah membuktikan dan meniadakan kebijakan yang diskriminatif, tetapi juga terus meningkatkan pemberian pelayanan yang adil dan baik kepada semua penganut agama, termasuk Umat Khonghucu. Banyak yang sudah kita capai, dan banyak pula yang telah pemerintah lakukan.

Oleh karena itu, sejumlah permasalahan teknis dan admnistratif, yang masih terjadi di beberapa daerah saya minta dapat benar-benar dituntaskan. Kepada Kementerian Agama dan Para Gubernur, Kepala Daerah, agar tahun ini dan tahun depan dapat menuntaskan permasalahan yang tersisa, yang berkaitan dengan perlindungan dan pelayanan kepada Umat Khonghucu (Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2562 di Balai Samudera, Jakarta tanggal 14 Februari 2011. www.setneg.go.id).

2) Perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan Agama

diperbolehkan.

Perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu diperbolehkan, hal ini sesuai dengan dikeluarkannya Surat

(43)

Edaran Menteri Agama RI No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 tentang penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu. Pendidikan agama dan Keagamaan Khonghucu diajarkan di sekolah-sekolah maupun perguruan Tinggi. Negara memberikan kesempatan kepada penganut agama khonghucu untuk mendapatkan pelajaran sesuai agama yang dianut. Pada tahun 2008 Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 47 Tahun 2008 tentang standar isi mata pelajaran agama Khonghucu dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata pelajaran agama Khonghucu. Di tahun 2014, Kurikulum 2013 pendidikan agama khonghucu sudah diajarkan di sekolah-sekolah. Selain itu, dalam rangka mencetak tenaga pengajar agama khonghucu didirikan Sekolah Tinggi Agama Khonghucu (STAKHONG).

3) Pembentukan Bimas dan Ditjen Khonghucu

Berdasarkan Surat Departemen Agama RI No.

SJ/B.VII/1/BA.01.2/623/06 tanggal 21 Maret 2006 perihal pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, di kementrian Agama Republik Indonesia mulai ada pejabat khusus yang menangani urusan Khonghucu, meski belum setingkat Direktorat Jenderal. Secara perlahan dan berkelanjutan, pemenuhan hak-hak umat Khonghucu terus diupayakan. Dalam menjalankan perannya, Kementrian Agama Republik Indonesia memberikan sosialisasi tentang pemulihan status dan hak-hak umat

(44)

Khonghucu. Hal tersebut didasarkan pada Instruksi Menteri Agama RI No. 1 Tahun 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu.

Sejak tahun 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010 terdapat Bimbingan masyarakat (Bimas) umat Khonghucu yang dititipkan melalui Pusat kerukunan Umat Beragama (PKUB) kementrian Agama Republik Indonesia. Pada tahun 2014 Presiden SBY memberikan persetujuan untuk membentukan Direktoral Jenderal Agama Khonghucu di Kementrian Agama Rebulik Indonesia. Persetujuan pembetukan ditjen tersbut, disampaikan Presiden saat berpidato pada perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2565 Kongzili di Jakarta Convention Center (JCC) tanggal 7 februari 2014 (www.setkab.co.id).

4) Penggantian istilah cina menjadi Tionghoa/Tiongkok

Selain beberapa kebijakan yang mengalami perkembangan baik, adapula kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY yaitu Keppres nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAb/6/1967, tanggal 28 Juni 1967 yang memutuskan untuk mengganti kata Cina menjadi Tiongkok/ Tionghoa. Karena di masa Orde baru maupun orde lama terdapat ketetapan ataupun peraturan yang saling bertentangan. Disatu sisi Presiden mengakui bahwa Khonghucu adalah salah satu agama yang ada di Indonesia namun peraturan yang ada menunjukan ketidaksesuaian dengan peraturan yang ada diatasnya.

(45)

3. Peran negara untuk memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak etnis tionghoa yang beragama Khonghucu di Indonesia Permasalahan mendasar dalam pengelolaan keberagaman agama di Indonesia adalah pengakuan atas agama-agama. Berdasarkan UUD 1945 BAB XI Agama pasal 29 ayat (2) menyebutkan ―Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agar beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‖. Sesuai dengan konstitusi negara, pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat mempunyai kewajiban untuk memberikan hak bagi setiap warga negaranya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan merdeka.

Mengenai pengakuan negara atas agama terdapat istilah agama yang diakui dan agama yang tidak diakui. Menurut Zainal Abidin Bagir (2014), sesungguhnya istilah ini tidak dikenal dalam UUD ataupun UU,yang bahkan tidak menyebutkan nama-nama agama. Peraturan itu muncul dalam peraturan-peraturan yang lebih rendah. Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penodaan agama (PPA) menyebut dua kategori agama. Pertama, kategori agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Enam agama ini terwakili dalam Kementrian Agama Republik Indonesia dan mendapat pendanaan dari APBN. Kedua, kategori agama-agama lain diluar keenam agama tersebut (seperti yahudi, Zoroastrianisme dan Taoisme) mendapat jaminan dari negara sesuai konstitusi, tetapi berbeda dengan keenam agama

(46)

tersebut, agama ketegori kedua ini dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan.

Negara melalui Kementrian Agama Republik Indonesia terus mengupayakan untuk mengakomodasi agama-agama yang ada di Indonesia. Termasuk agama Khonghucu yang pada tahun 2000 mendapatkan pengakuan sebagai agama. Secara berkelanjutan pemenuhan hak-hak umat Khonghucu terus diupayakan. Sejak tahun 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010 terdapat Bimas Khonghucu yang dititipkan melalui Pusat kerukunan Umat Beragama (PKUB) kementrian Agama Republik Indonesia. Tugas dan fungsi dari Bimas Khonghucu tertuang dalam Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010, Pasal 779 dan Pasal 780 (hal 168) dan untuk Organisasi Instansi Vertikal Kementerian Agama dapat dilihat pada PMA No. 13 Tahun 2013.

Berikut ini isi pasal 779 dan pasal 780 dalam peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama,

Pasal 779

Bidang Bimbingan Masyarakat Khonghucu mempunyai tugas melaksanakan perumusandan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang urusan dan pendidikan agama Khonghucu

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu penetapan Desa dan Desa Adat merupakan amanat Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa khususnya dalam Pasal 116, maka Peraturan Daerah

Daluningrum, Ika P Wahyu Penapisan Awal Komponen Bioaktif Dari Kerang Darah ( Anadara granosa ) Sebagai Senyawa Antibakteri.. Nama Penulis Judul Penelitian Tahun

Demikian yang dilakukan oleh warga belajar kaum perempuan program pelatihan pengelolaan sampah di Rumah Pintar Nur Aini, bahwa dengan melakukan kegiatan yang

siswa dalam menyelesaikan soal statistika yang berdasarkan pada tingkat berpikir.. kreatif siswa antara laki-laki

Iklim komunikasi organisasi yang memiliki mean indikator tertinggi adalah kemauan atasan untuk diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah di

Daftar Personil Inti dengan membawa tanda pengenal bagi Perusahaan yang tidak menghadiri Klarifikasi hasil evaluasi ini dianggap menerima seluruh hasil keputusan

 Membandingkan bentuk penyajian gerak tari gaya kreasi daerah tempat tinggal siswa dengan daerah lain berdasarkan simbol, jenis, fungsi, dan nilai estetis Mengomunikasi.

Rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel bintang dan non bintang November 2015 tercatat 1,35 hari, lebih singkat dibandingkan Oktober 2015 yang